• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : PENERAPAN SISTEM PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN

B. Hambatan Dalam Penerapan Sistem Pembalikan Beban

Pembalikan Beban Pembuktian (Reversal Burden of Proof atau Omkcring van her Bewijslast). Ini merupakan penyimpangan Asas umum Hukum Pidana yang

menyatakan bahwa siapa yang menuntut dialah yang harus membuktikan kebenaran tuntutannya. Dalam hal “Pembalikan Beban Pcmbuktian”, Terdakwalah yang harus mcmbuktikan bahwa dirinya tidak bersalah, jika ía tidak dapat membuktikannya maka ía dianggap bersalah. Sebagai suatu penyimpangan, maka asas ini hanya diterapkan terhadap perkara-perkara tertentu (certain cases) yaitu yang berkaitan dengan delik korupsi, khususnya terhadap delik baru tentang pemberian

(gratification) dan yang berkaitan dengan bribery (penyuapan). Dalam Undang-undang tentang Tindak Pidana Korupsi Pasal 12A, sistem Pembalikan Beban Pcmbuktian, telah dicantumkan secara tegas dan jelas (yaitu : berkaitan dengan Pasal 419 KUHP dan Pasal 420 KUHP).

Dalam konteks yang komprehensif, tidak dapat dipungkiri bahwa korupsi merupakan White Collar Crime dengan perbuatan yang selalu mengalami dinamisasi modus operandinya dari segala sisi sehingga dikatakan sebagai invisible crime yang sangat

79

sulit memperoleh prosedural pembuktiannya, karenanya seringkali mcmerlukan “pendekatan sistem” (Systemic Approach) terhadap pemberantasannya. Berbicara mengenai korupsi tidak sekedar pemidanaan saja, tapi bagaimana kebijakan Hukum Pidana mcnghadapi invisible crime tersebut. Permasalahan korupsi tidak menjadi monopoli negara-negara berkembang, tetapi sudah menjadi gerakan rutinitas semua Negara untuk melakukan pemberantasannya, bahkan disadari bahwa “Combat to Corruption” layaknya nyala api lilin, Sekali waktu terjadi minimalisasi perbuatannya, lain waktu menimbulkan gejolak dan reaksi masyarakat yang cukup keras, namun api itu seolah kuman yang tidak pernah padam, karenanya sangat terkesan membicarakan problematika korupsi dan kajian akademis, meski pendekatan-pendekatan empiris sangat menunjang pembaharuan baik metode pemberantasan korupsi itu sendiri maupun substansi perundang-undangan tersebut.80 Permasalahan atau hambatan lainnya dalam pemberantasan korupsi khususnya penerapan sistem pembalikan beban pembuktian dalam pemberantasan korupsi yang bersifat terbatas dan berimbang ini adalah, sulitnya bagi para Hakim dalam

membangun dan menentukan keyakinannya sehingga dengan keyakinan tersebut juga menimbulkan hubungan kausal antara alat bukti yang disampaikan oleh Penuntut Umum dengan tindak pidana korupsi yang didakwakan kepada Terdakwa. Hal ini terjadi karena: belum adanya aturan yang mengikat Hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang harus diturut oleh Hakim dalam melakukan peradilan. Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada

80

seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Adapun hal ini terjadi, karena adanya persyaratan dalam pemberian pidana menurut sistem KUHAP yang sangat berat, yakni :

1. Minimum dua alat bukti sah, menurut undang-undang. 2. Keyakinan Hakim.

3. Ada tindak pidana yang benar-benar terjadi.

4. Terdakwa itu manusianya yang melakukan perbuatan. 5. Adanya kesalahan pada terdakwa.

6. Pidana macam apa yang akan dijatuhkan Hakim.

Bagi terdakwa, ada segi-segi yang perlu diperhatikan dalam memilih alternatif : apakah ia akan menggunakan hak itu atau tidak. Karena menggunakan hak atau tidak, semuanya ada konsekuensinya. Dalam menggunakan hak terdakwa ada dua hal yang harus diperhatikan oleh terdakwa, yakni:

a. Untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan delik korupsi sebagaimana didakwakan oleh Penuntutan Umum.

b. Ia berkewajiban untuk memberi keterangan tentang seluruh harta bendanya sendiri, harta benda istrinya, atau suaminya (jika terdakwa adalah

perempuan), harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga ada kaitannya dengan perkara yang bersangkutan.

Pada syarat pertama ini, merupakan suatu penyimpangan dari ketentuan KUHAP, yang menentukan bahwa Penuntut Umum wajib membuktikan dilakukan tindak

pidana, bukan terdakwa. Menurut ketentuan ini terdakwa dapat membuktikan dalilnya, bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. Salah satu contoh rekayasa: suatu alibi bagi terdakwa ialah jika pada waktu perbuatan korupsi

dilakukan, terdakwa tidak melakukan delik korupsi (delict action), ia tidak berada di tempat kejadian (locus delictie) dan atau ia tidak berada pada waktu dilakukan perbuatan (tempus delictie), maupun ia tidak melakukan perbuatan yang diuraikan dalam ketentuan Pasal 55 dan atau 56 KUHP, serta Pasal 480 KUHP, pada saat waktu (tempus delictie) perbuatan terjadi/dilakukan, atau disekitar tempat (locus delictie) perbuatan tersebut terjadi/dilakukan.

Syarat kedua ialah ia berkewajiban memberi keterangan tentang asal usul/perolehan hak atau asal usul/pelepasan hak atas harta bendanya pribadi, anak istrinya, ataupun orang lain atau korporasi yang diduga berkaitan dengan delik korupsi tersebut.

Perolehan pelepasan hak itu mengenai kapan; bagaimana, dan siapa siapa saja, yang terlihat dalarn perolehan/pelepasan hak itu serta mengapa dan sebab-sebab apa perolehan atau peralihan itu terjadi.

Penggunaan hak terdakwa ini dapat menguntungkan dan merugikan kedudukan terdakwa dalam pembelaannya.

Selain itu berdasarkan pendekatan historis, keberadaan pasal-pasal suap yang diintrodusirkan dari KUHP ke dalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi, baik Undang-undang No. 3 Tahun 1971 (Pasal 1 ayat 1 sub c) maupun Undang-undang No. 31 Tahun 1999 (Pasal 5 sampai dcngan Pasal 13), selama ini hanya sebagai pasal-pasal tidur yang tidak memiliki makna dalam scjarah pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia, penerapan Pasal-Pasal tersebut tidak mcncapai 0,1% dan

totalitas perkara korupsi. Atas penjelasan berdasarkan pendekatan historis itu, . Sahetapy, juga berpendapat ”bahwa harus ada upaya mcnghindari agar pasal-pasal itu tidak saja menjadi pasal ”impotcn”. Untuk itu, diperlukan suatu cara atau metoda untuk membangunkan kembali ketentuan atau Pasal suap tersebut dalam

pemberantasan tindak pidana korupsi.81

Berdasarkan pendekatan komparatif yuridis, metoda yang dipergunakan untuk mengaktifkan ketentuan atau Pasal suap ini adalah dengan memperkenalkan Sistem Mekanisme Pelaporan.82 Dengan adanya sistem pelaporan atas pemberian suatu barang (atau janji) kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara, maka mereka (pegawai negeri atau penyelenggara negara) akan bertindak pro-aktif, begitu pula dengan aparatur penegak hukum yang bertanggung jawab atas program pemberantasan tindak pidana korupsi. Atas dasar studi penelitian tentang

pemberantasan tindak pidana korupsi, dari keseluruhan deik-delik korupsi yang bersifat multi-normatif itu (delik penyalahgunaan kewenangan, delik materiele wederrechtelijk, delik penggelapan, dan lain-lain), hanya delik suap yang sangat sulit

81

Ibid, hal. 350.

82

Lihat Pasal 12 C, yang berbunyi :

1. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima

melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

2. Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima

gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.

3. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari

kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara.

Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan penentuan gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam Undang-undang tentang Koisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

pcmbuktiannya.83 Selama in ketentuan suap dalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi hanyalah ”macan ompong” yang tidak memilik daya tangkal sama sekali, bahkan delik-delik suap tidak dapat mengikuti gerak dinamika perilaku aparatur penegak hukum agar terhindar dan jcbakan ketentuan suap tersebut.84

Dengan adanya Sistem Mekanisme Pelaporan tersebut akan dapat diketahui apakah suatu pcmberian (gratifikasi) itu sebagai suatu perbuatan suap atau tidak. Melalui sistem pelaporan tersebut akan dapat diterapkan Sistem Pembalikan Beban Pcmbuktian karena Pasal 12 A ini sebenarnya belum merupakan delik (tindak Pidana) suap. Ia (ayat 1) ini baru menjadi delik suap apabila si penerima tidak melaporkan adanya pemberian (diatas 10 juta) itu kepada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diatur pada ayat (3) Pasal 12A ini. Untuk perbuatan itu si penerima dikenakan pelanggaran Pasal 419 dan 420 KUHP jo Pasal 12 Undang-undang No. 31 tahun 1999.

Dengan demikian, apabila ayat (2), (3) dan (4) ini dihapuskan, ketentuan ayat (1) Pasal 12 A ini hanya sebatas simbolis alias Pasal “mati” saja. Akibat lebih jauh, apabila Pasal 12 A ayat (1) dianggap ”mati” (tanpa adanya ayat 2, ayat 3 dan ayat 4), maka tidak ada sistim yang disebut “Pembalikan Beban Pembuktian” tersebut dan ini merupakan suatu kemunduran.85 Selain itu, apabila ayat (2), (3) dan (4) ini dihapuskan 83 Ibid, hal. 351. 84 Ibid. 85 Ibid, hal. 353.

(artinya: tidak ada Sistim Pelaporan), sangatlah sulit untuk menentukan pelanggaran delik suap terhadap si penerima pemberian tersebut, apakah Pasal 11 (Pasal 418 KUHP atau Pasal 13 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 ataukah Pasal 12 (Pasal 419 dan Pasal 420 KUHP) karena unsur-unsur deliknya itu saling berlainan.86

Berdasarkan hasil wawancara yang peneliti lakukan terhadap beberapa orang Jaksa yang bertugas di Medan – Sumatera Utara, beberapa diantara mereka lebih setuju atau sependapat untuk mengelompokkan korupsi ke dalam kejahatan yang pada hakekatnya juga merupakan kejahatan Hak Azasi Manusia (Crimes Against Humanity).87 Hal ini karena akibat dari dilakukannya tindak pidana korupsi tersebut tidak hanya menimbulkan kerugian keuangan negara, melainkan lebih dari itu, yaitu : rusaknya sendi-sendi sosial dan ekonomi bermasyarakat dan bernegara di Republik Indonesia ini dan oleh karenanya yang lebih tepat diberlakukan dalam pembuktian tindak pidana korupsi adalah “reversal of burden proof” atau “omkering van bewijslast” (proses pembuktian Tindak pidana korupsi yang beban pembuktiannya diletakkan pada Terdakwa), artinya terdapat suatu pembalikan beban pembuktian, hal lain yang perlu dicermati dalam rumusan Pasal 12 B Undang-undang No. 20

Tahun 2001 yang memerlukan tinjauan ulang, karena delik intinya adalah : ”yang berhubungan dengan jabatan dan yang melakukan pekerjaan yang bertentangan dengan kewajiban” oleh karena itu seyogyanya tidaklah menjadi rumusan bagian dari

86

Ibid, hal. 352.

87

Wawancara dengan Fahmi Asisten Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara pada tanggal 7 Januari 2008.

unsur Pasal 12 B (kata-kata : ”yang berhubungan dengan jabatan dan yang melakukan pekerjaan yang bertentangan dengan kewajiban”) , hal ini sebagai bentuk eksistensi dan akseptabilitas sistem pembalikan beban pembuktian karena dengan demikian Jaksa Pununtut Umum tidak lagi berkewajiban membuktikan rumusan unsur pasal dimaksud. Beberapa Jaksa lainnya tidak sependapat dan tetap berpandangan bahwa kejahatan korupsi sebagai kejahatan yang dilakukan oleh para intelektual (White Collar Crime),88 adapun alasannya karena sebagian besar dari pelaku kejahatan korupsi adalah mereka yang memiliki tingkat sosial dan intelektualitas lebih tinggi (sehari-harinya menggunakan kemeja berkerah putih atau berdasi sehingga mereka dalam melakukan kejahatan tersebut selalu dilakukan dengan cara yang sistematis dan terorganisir, hal inilah yang membedakannya dengan orang kebanyakan atau orang biasa), hal lain yang perlu dicermati dan tidak kalah pentingnya diperhatikan dalam upaya pemberantasan korupsi, adalah : sulitnya menemukan alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam perundang-undangan. Walaupun ada instrumen pasal 37 Undang-undang No. 31 Tahun 1999, namun tetap diperlukan Peraturan Pemerintah sebagai petunjuk teknis pelaksanaannya, dan guna menghindari terjadinya perbedaan tafsir dalam implementasian pasal ini diperlukan adanya pelaksanaan pelatihan gabungan antara Jaksa dan Hakim secara simultan dan integral serta kontinus,89 karena yang terjadi selama ini masing-masing institusi penegak hukum berjalan sendiri-sendiri meskipun sudah ada lembaga Mahkejapol.

88

Wawancara dengan Lambok Sidabutar Kasi Penuntutan pada Asisten Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara pada tanggal 7 Juli 2008.

89 Ibid.

Jaksa lain berpendapat, hal yang merupakan kendala dalam upaya penerapan Pasal 37 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, karena pasal ini merupakan

ketentuan”banci”90 (penerapan pasal ini tidak mempunyai dampak yang signifikan dalam pembuktian tindak pidana korupsi (gratifikasi atau perampasan harta benda hasil korupsi), karena: bila terdakwa menggunakan haknya dengan cara membuktikan bahwa harta bendanya diperoleh dari usaha (bukan hasil korupsi), maka hal ini hanya berlaku untuk terdakwa tersendiri sedangkan Penuntut Umum tetap harus

membuktikan dakwaannya (bagaimana mungkin Penuntut Umum dapat mengkounter dalil-dalil terdakwa bila harta kekayaan terdakwa sudah melalui proses laundry/pencucian uang).91

Pada kenyataannya, didalam praktek persidangan ketentuan Pasal 37 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 belum pernah digunakan, karena selama ini hal yang berkaitan dengan gratifikasi maupun suap hanya dapat dideteksi oleh

Komisi Pemberantasan Korupsi (selanjutnya disebut KPK) melalui mekanisme sistem pelaporan dalam bentuk Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), disebut juga upaya mencegah dan mendeteksi terjadinya suap) sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 5 dan 10 Undang-undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), Pasal 13 Undang-undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK, Peraturan KPK

90

Wawancara dengan Dedi Frits Radjagukguk Kepala Cabang Kejaksaan Negeri Kisaran di Labuhan Ruku pada tanggal 27 Juni 2008.

91 Ibid.

No. 07/KPK/02 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pemeriksaan Harta Kekayaan

Penyelenggara Negara, tidak demikian halnya dengan Kejaksaan RI, karena Penuntut Umum dapat menggunakan pembalikan beban pembuktian hanya terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan perampasan harta benda Terdakwa (Pasal 38A), artinya Terdakwa yang didakwa melakukan salah satu dari Pasal 2 s/d Pasal 16 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 wajib membuktikan harta benda yang diperoleh sesudah tindak pidana korupsi yang didakwakan bukan berasal dan tindak pidana korupsi. Tuntutan perampasan harta benda tersebut pun diajukan Penuntut Umum pada saat membacakan Tuntutan (Requisitoir) pada perkara pokoknya, hal ini dapat dilakukan bila dalam proses penyidikan Penyidik melakukan penyitaan terhadap harta benda milik Terdakwa yang diperolehnya setelah tindak pidana korupsi tersebut dilakukan oleh Terdakwa).92

Bila mengacu pada sistem pembuktian negatif, terdakwa tidak mempunyai hak untuk membuktikan atau memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isteri atau suami, anak dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan, sedangkan Penuntut Umum mempunyai hak dan kewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Hal ini tidak sesuai dengan Pasal 37A maupun Pasal 38 A Undang-undang No. 31 Tahun 1999 yang menggunakan sistem pembalikan beban pembuktian terbatas dan

92

Wawancara dengan Tomo Sitepu Pengkaji pada Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara pada tanggal 28 April 2008.

berimbang, dimana terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan atau memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isteri atau suami, anak dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan, disamping itu Penuntut Umum juga mempunyai hak untuk membuktikan dakwaannya.

C. Sikap dan Upaya yang Dilakukan oleh Penuntut Umum dan Hakim dalam

Dokumen terkait