• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : PENERAPAN SISTEM PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN

D. Penerapan Pasal 37 dan 38 Tentang Pembalikan Beban

Istilah sistem pembuktian terbalik lebih dikenal oleh masyarakat sebagai bahasa yang dengan mudah dapat dicerna pada masalah dan salah satu solusi

pemberantasan korupsi. Menurut Andi Hamzah, istilah ini sebenarnya kurang tepat54 apabila dilakukan pendekatan gramatikal. Dari sisi bahasa dikenal sebagai “Omkering van bet Bewijslast” atau “Reversal Burden of Proof” yang bila secara bebas diterjemahkan menjadi “Pembalikan Beban Pembuktian.” Sebagai asas

universal, memang akan menjadi pengertian yang bias apabila diterjemahkan sebagai “pembuktian terbalik”. Disini ada suatu beban pembuktian yang diletakkan kepada salah satu pihak, yang universalistis terletak pada Penuntut Umum, namun mengingat adanya sifat kekhususan yang sangat mendesak beban pembuktian itu diletakkan

53

Ibid, hal. 188-189.

54

Andi Hamzah, makalah, ”Ide Yang Melatarbelakangi Pembalikan Beban Pembuktian”, disampaikan pada acara Seminar Nasional Debat Publik Tentang Pembalikan Beban Pembuktian, yang dilaksankan oleh Fakultas Hukum Universitas Trisakti di Jakarta, tanggal 11 Juli 2001, hal 24.

tidak lagi pada Penuntut Umum, tetapi kepada Terdakwa. Proses pembalikan beban dalam pembuktian inilah yang kemudian dikenal sebagai “Pembalikan Beban Pembuktian” yang bagi masyarakat awam hukum (lay-man) cukup dikenal dengan istilah “Sistem Pembuktian Terbalik”.

Pendapat Andi Hamzah ini sungguh dapat dibenarkan, karena tanpa meletakkan bunyi kata “Beban”, maka makna yang terjadi akan berlainan. Pembuktian Terbalik tanpa kata “Beban” dapat ditafsirkan tidak adanya beban pembuktian dari Terdakwa, sehingga bisa saja ditafsirkan secara harfiah yang hanya melihat pergeseran tata urutan alat bukti saja. Namun demikian terlepas adanya polemik tersebut, publik cukup mengenal istilah “pembuktian terbalik” sebagai bagian dari proses terobosan hukum dalam kerangka mempermudah pembuktian suatu perkara korupsi.55

Asas pembalikan beban pembuktian merupakan suatu sistem pembuktian yang berada diluar kelaziman teoritis pembuktian dalam hukum acara pidana yang universal. Dalam hukum pidana formil, baik system continental maupun anglo saxon, mengenal pembuktian dengan tetap membebankan kewajibannya kepada Jaksa Penuntut Umum, hanya saja dalam “certain cases” diperkenankan penerapan dengan mekanisme yang diferensial, yaitu : Sistem Pembalikan Beban Pembuktian atau dikenal sebagai “Reversal of Burden Proof”(“Omkering van Bewijslast”), itupun tidak dapat dilakukan secara overall, namun memiliki batas-batas yang

55

seminimal mungkin tidak melakukan destruksi terhadap perlindungan dan penghargaan Hak Asasi Manusia, khususnya hak tersangka atau terdakwa.56

Sebelum memasuki substansi pembahasan ini perlu dilakukan suatu klarifikasi mengenai makna dari :

a. Perbedaan antara “Shifting of Burden Proof” dan “Reversal of Burden Proof” b. “Extra Ordinary” terhadap kejahatan korupsi dan penanganannya

memerlukan perangkat yang “extra ordinary”pula.

Makna “Shifting of Burden Proof” adalah suatu “pergeseran beban

pembuktian” yang dianut oleh Undang-undang No. 3 Tahun 1971. Menurut Oemar Seno Adji, pada periode Undang-undang ini belum terjadi suatu pembalikan beban pembuktian, karena asas ini potensial bertentangan dan melanggar prinsip Hak Asasi Manusia, khususnya perlindungan dan penghargaan terhadap hak-hak terdakwa. Beban pembuktian dalam periode ini tetap diberikan kepada Jaksa Penuntut Umum. Ide untuk memberlakukan asas Pembalikan Beban Pembuktian secara total dan absolute telah tidak diterima sebagai realitas hukum berdasarkan alasan-alasan diatas. Karenanya, meskipun dalam Undang-undang No. 3 Tahun 1971 terdapat suatu

perumusan bahwa terdakwa dapat membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan korupsi, namun kewajiban pembuktian ada atau tidaknya dugaan terjadi tindak pidana korupsi tetap berada ditangan Jaksa Penuntut Umum. Disini yang terjadi adalah pergeseran (“Shifting”) bukannya suatu pembalikan (“reversal”) beban pembuktian, begitu pula halnya yang terjadi pada periode Undang-undang No. 31 Tahun 1999.

56

Kedua produk perundang-undangan ini tetap hanya menempatkan pembuktian sebagai suatu “pergeseran” saja, bukan “pembalikan” beban pembuktian, sehingga istilah yang populer pada Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang pembuktian terbalik adalah Sistem Pembalikan Beban Pembuktian yang bersifat Terbatas dan Berimbang. “Terbatas”, karena memang pembalikan beban pembuktian tidak dapat dilakukan secara total dan absolute terhadap semua delik yang diatur dalam Undang- undang No. 31 Tahun 1999, Sedangkan “berimbang” artinya beban pembuktian terhadap dugaan adanya tindak pidana korupsi tetap dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum. Karenanya banyak yang berpendapat bahwa implementasian asas pembalikan beban pembuktian pada kedua produk perundang-undangan ini (Undang-undang No. 3 Tahun 1971 dan Undang-undang No. 31 Tahun 1999) hanyalah gerakan “simbolis” yang tidak memiliki daya represi terhadap pemberantasan korupsi.57

Ide penerapan Asas atau Sistem Pembalikan Beban Pembuktian di Indonesia ini sebenarnya bergulir bukan sejak era Presiden Abdurrahman Wahid sewaktu memberikan jawaban atas Memorandum I DPR beberapa waktu lalu, tetapi sejak menjelang pembahasan RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tahun 1970. Saat itulah bergulir suatu ide tentang salah satu pola pemberantasan tindak pidana korupsi, yaitu melakukan suatu akseptasi terhadap Sistem Pembalikan Beban Pembuktian, yaitu suatu sistem pembuktian, yang berkenaan dengan hukum acara

57

pidana, yang sangat diferensial sifatnya dengan sistem pembuktian yang universal selama ini dikenal melalui pembuktian negatif.58

Hampir sama dengan alasan utama mengajukan asas ini adalah bahwa tindak pidana korupsi ini sangat sulit pemberantasannya, baik karena tindak pidana ini memiliki kualitas pembuktian yang sangat sulit, juga tindak pidana korupsi ini biasanya dilakukan oleh para profesional yang memiliki minimal edukasi yang akseptabel bagi kemungkinannya dilakukan kejahatan tersebut. Selain itu integritas, kapabilitas, dan aktivitas pelaku pada umumnya sangat rentan dengan lingkungan terjadinya tindak pidana korupsi ini, artinya pelaku sangat memahami lingkungan kerja dan format untuk menghindari terjadinya pelacakan terhadap kejahatan tindak pidana korupsi ini.59

Telah diakui pula, bahwa korupsi ini sudah dianggap sebagai kejahatan yang sangat luar biasa atau ‘extra ordinary crime “, sehingga kejahatan ini sering dianggap sebagai ‘beyond the law” karena melibatkan para pelaku kejahatan ekonomi kelas atas (“high level economic”) dan birokrasi kalangan atas (“high level beurocratic”), baik birokrat ekonomi maupun pemerintahan. Bayangkan saja, kejahatan korupsi yang melibatkan kekuasaan, ini akan sangat sulit pembuktiannya. Selain itu kehendak adanya pemberantasan perbuatan ini nyata-nyata terbentur dengan kepentingan kekuasaan yang mungkin melibatkan para birokrasi tersebut. Akibatnya sudah dapat

58

Ibid.

59

diperkirakan bahwa korupsi ini seolah-olah menjadi “beyond the law” dan sebagai bentuk perbuatan yang “untouchble by the law”.

Mengingat tindak pidana korupsi ini sebagai suatu “extra ordinary crime” yang sulit pembuktiannya, maka sebagian besar kalangan (akademisi dan praktisi) berpendapat bahwa penanganannya harus dilakukan sedemikian rupa dan bersifat luar biasa pula. Karena itu tindak pidana korupsi selain dianggap sebagai “extra ordinary crime” juga memerlukan penanganan yang sangat luar biasa (“extra ordinary

enforcement”), yaitu dalam hal ini melalui pergeseran komprehensif terhadap sistem pembuktian yang ada. Apabila sistem pembuktian dalam Hukum Pidana Formil ini tetap menempatkan perangkat Jaksa Penuntut Umum sebagai pihak yang wajib membuktikan suatu perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana, maka dalam tindak pidana korupsi beban pembuktian ini diletakkan pada Terdakwa, artinya terdapat suatu “reversal of burden proof” atau “omkering van bewijslast” yaitu pembalikan beban pembuktian.60

Mengingat khususnya peraturan perundang-undangan ini (lex specialis), maka penanganan tindak pidana korupsi inipun harus bersifat khusus. Kekhususan penanganan ini yaitu melalui perubahan sistem pembuktian yang semula beban pembuktiannya diletakkan kepada Jaksa Penuntut Umum beralih kepada Terdakwa. Terdakwa wajib membuktikan bahwa perbuatan yang dilakukan bukanlah perbuatan melawan hukum (korupsi). Dengan meletakkan beban pcmbuktian kepada Tcrdakwa, maka asas yang diberlakukan dalam tindak pidana korupsi ini-pun beralih dari

60

“presumption of innocence” (praduga tidak bersalah) menjadi “presumption of corruption“ (praduga korupsi) atau “presumption of guilt” (praduga bersalah). Karena itu sering dikatakan bahwa penerapan Sistem Pembalikan Beban Pembuktian berpotensi terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia yang prinsipil sekali.

Bayangkan saja, seseorang yang didakwa melakukan tindak pidana korupsi justru harus membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan perbuatan koruptif dengan mengajukan argumentasi yang layak dapat diterima oleh Penuntut Umum selaku wakil masyarakat atau pemerintah.

Pemerintah, dalam hal ini Menteri Kehakiman RI, sewaktu mengajukan Keterangan Pemerintah dihadapan DPR mengenai RUU tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tanggal 22 Mel 2001 telah mengatakan pada pokoknya bahwa :61

”Sistem Pembuktian biasa ini sering dirasakan tidak efektif dan sangat memberatkan aparatur Penyidik khususnya Jaksa dalam melakukan Penyidikan. Mengapa ? Karena Terdakwa lebih-lebih saat sekarang ini, sudah sangat cerdik dalam menyembunyikan kekayaan yang dikorupnya.

Untuk itu, sistem pembuktian terhadap tindak pidana korupsi yang dianut oleh Undang-undang No. 31 Tahun 1999 perlu diubah dengan “Sistem Pembalikan Beban Pembuktian“.

“Dalam hal ini, setiap pegawai negeri, pegawai BUMN, BUMND, atau Penyelenggara Ncgara yang berdasarkan bukti permulaan mempunyai kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilan atau sumber

pendapatannya, wajib membuktikan sahnya kekayaan yang diperolehnya”. Sistem Pembalikan Beban Pembuktian (Reversal of Burden Proof)

merupakan sistem pembuktian yang dipergunakan bagi negara-negara anglo-saxon

61

dan bertujuan untuk mempermudah pembuktian dalam istilah mereka “certain cases“ atau kasus-kasus tertentu/spesifik atau khusus sifatnya. Dengan demikian sistem pembalikan beban pembuktian ini sangat terbatas hanya pada kasus-kasus tertentu yang sangat sulit pernbuktiannya, sehingga ditempuhlah suatu sistem yang

sebenarnya bertentangan dengan prinsip atau asas universal mengenai pembuktian. Pada negara-negara anglo saxon-pun, sistem pembuktian (beban pembuktian) tetap pada pihak Jaksa Penuntut Umum, bukan pada diri tersangka/terdakwa. Hal ini disebabkan bahwa asas universal dimanapun tetap menghendaki adanya praduga tidak bcrsalah (“presumption of innocence”) sebagai suatu asas yang akseptabilitas sifatnya, sehingga ia, tersangka/terdakwa, tidak pernah dibebankan untuk

rnembuktikan kesalahannya, bahkan tidak pernah ia diwajibkan untuk

mempcrsalahkan dirinya sendiri (“nonself incrimination”), lebih jauh lagi bahwa ia, tersangka/terdakwa, memiliki hak yang dinamakan “The Right to Remain Silent” (hak untuk diam), kesemua ini merupakan bagian dan prinsip perlindungan dan penghargaan HAM (Hak Asasi Manusia) yang tidak dapat dikurangi sedikit apapun dan dengan alasan apapun juga (“Non-Derogable Right’).62

62

BAB III

HAMBATAN DAN ATAU KENDALA

PENERAPAN SISTEM PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI

A. Efektifitas Pasal 37 dan 38 Undang-undang No. 20 Tahun 2001

Dokumen terkait