• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hambatan Dalam Penyaluran Kredit Usaha Rakyat

BANK PELAKSANA

PERUSAHAAN PENJAMIN

3.1.4 Hambatan Dalam Penyaluran Kredit Usaha Rakyat

Walaupun KUR telah berhasil memberikan akses pembiayaan yang lebih baik kepada UMKM, namun di masa mendatang akselerasinya masih perlu ditingkatkan. Kesamaan pemahaman terhadap skim KUR perlu dibentuk baik oleh para petugas bank di lapangan maupun masyarakat, sehingga penyimpangan dan persepsi yang keliru tentang KUR, misalnya: tentang ketentuan agunan, persyaratan administrasi, sumber dana KUR, beroperasinya para calo KUR Mikro.

Berbagai polemik tentang program KUR diantaranya di mana para calon nasabah KUR mengeluh karena masih diminta agunan tambahan senilai 30% dari nilai kredit. Padahal sesuai kesepakatan antara pemerintah, perusahaan penjaminan kredit, dan perbankan dijelaskan bahwa nasabah KUR tidak perlu memberikan agunan tambahan.

Jika ditelaah lebih lanjut, timbulnya polemik penyediaan nilai agunan sebesar 30% dari nilai kredit sebenarnya disebabkan adanya benturan kepentingan yang berbeda antara pemerintah, perusahaan penjaminan kredit, perbankan, dan debitur. Dari sisi pemerintah, tentu saja penyaluran KUR sebanyak mungkin adalah indikator kunci keberhasilan pemerintah. Dari sisi perusahan penjaminan kredit, penyaluran KUR yang maksimum akan dapat memberikan penerimaan premi penjaminan semakin besar, juga jumlah Non Perfroming Loan (NPL) yang kecil (baca: klaim kredit macet kecil) merupakan indikator kesuksesan program penjaminan. Bagi perbankan, penyaluran KUR yang besar dengan NPL rendah merupakan bisnis yang menguntungkan.

Sedangkan dari sisi debitur, memperoleh kredit dengan mudah dan (kalau perlu) tanpa agunan adalah impian para UMKM.

Pertanyaannya, apakah program KUR ini telah dapat mempertemukan kepentingan yang berbeda tersebut. Pemerintah telah memberikan jaminan melalui perusahaan penjaminan 70% dengan harapan perbankan akan lebih berani menyalurkan pinjaman. Namun demikian, jika tujuan pemerintah hanya pada besarnya nilai penyaluran kredit, maka

seharusnya nilai penjaminan tidak hanya 70% namun 100%, sehingga tidak ada alasan lagi bagi perbankan untuk menolak permintaan kredit yang diajukan oleh UMKM walaupun tanpa adanya agunan tambahan.

Jika ini yang dilakukan pemerintah maka UMKM dan perbankan akan sangat diuntungkan, namun hal ini akan menimbulkan moral hazard bagi mereka. Bagi perbankan, karena tidak ada risiko maka mereka akan dengan mudah untuk memberikan kredit tanpa adanya pertimbangan yang matang. Sedangkan bagi debitur, karena tidak ada agunan yang diserahkan kepada bank, maka tidak ada risiko jika mereka tidak membayar kewajiban kepada bank. Kalau ini terjadi maka yang akan menderita kerugian adalah perusahan penjaminan karena mereka akan menanggung risiko klaim yang tinggi. Kondisi semacam ini pernah terjadi di era tahun 90-an yang akhirnya menimbulkan kredit macet yang sangat besar di perbankan.

Rasio penjaminan kredit sebesar 70% (tujuh puluh persen) adalah jalan tengah untuk menyatukan kepentingan semua pihak. Namun demikian, dengan risiko yang ditanggung perbankan masih sebesar 30%, bank wajib untuk memitigasinya. Salah satu cara mitigasi risiko adalah dengan meminta agunan tambahan sebesar 30% (tiga puluh persen) dari nilai kredit, khususnya untuk KUR yang mendekati nilai Rp 500 juta.

Agunan tambahan ini bukan dimaksudkan untuk mempersulit proses kredit, namun semata-mata untuk menemukan jalan keluar bagi bank agar tetap dapat membiayai UMKM. Apabila menurut analisis, ternyata bank belum yakin dengan kemampuan dan keseriusan debitur untuk mengembalikan kredit, khususnya terkait dengan karakter debitur, maka bank memerlukan semacam “komitmen” dari calon debitur dalam bentuk agunan tambahan. Sebaliknya, apabila bank telah yakin bahwa debitur akan mampu dan serius dalam mengembalikan kreditnya, maka pada umumnya bank tidak akan meminta agunan tambahan. Perlu menjadi pemahaman kita bersama bahwa apabila pemberian sebuah kredit menjadi macet, maka tanggung jawab sepenuhnya kembali kepada

petugas bank, tentunya setelah mempertimbangkan berbagai prosedur dan ketentuan yang berlaku.

Dari uraian tersebut adalah hal yang logis apabila perbankan terpaksa meminta agunan tambahan senilai 30% (tiga puluh persen) dari nilai kredit kepada calon nasabah KUR dengan jumlah mendekati Rp 500 juta, karena tindakan bank ini sebenarnya untuk menyelamatkan kepentingan semua pihak. Dengan kebijakan tersebut, akhirnya perbankan masih dapat menyalurkan KUR. Kondisi seperti ini jauh lebih baik daripada perbankan tidak jadi menyalurkan KUR kepada UMKM karena adanya ketidakyakinan bank terhadap UMKM.

Selain itu berdasarkan kebijakan yang telah disebutkan diatas yang merupakan kebijakan yang terkait langsung dalam implementasi KUR dilapangan dan mempengaruhi percepatan realisasi KUR.

Kebijakan yang dibuat tentunya diharapkan sebagai payung hukum yang mendukung Implementasi KUR tetutama bagi bank pelaksana dalam penyaluran KUR, namun dalam pelaksanaannya ternyata terdapat beberapa peraturan yang sulit untuk diterapkan dan menjadi kendala bagi bank penyalur.

Beberapa masalah yang terdapat pada kebijakan yang disebutkan di atas yang menimbulkan hambatan terutama bagi perbankan dalam penyaluran KUR dapat dikemukakan antara lain :

1. Sistem Informasi Debitur (SID) yang dibuktikan dengan hasil BI Checking menyulitkan bagi bank mendapatkan nasabah.

Sebaliknya bagi nasabah yang telah mendapat kredit (konsumsi, investasi dan modal kerja) menjadi penghalang untuk akses KUR padahal mereka sangat membutuhkan modal usaha;

2. Definisi debitur baru telah menutup peluang bagi nasabah yang sedang menerima kredit dari lembaga perbankan atau kredit program pemerintah untuk mengajukan KUR;

3. Ketentuan besarnya agunan tambahan membuat bank penyalur menjadi ragu untuk menyalurkan KUR;

4. Perpanjangan, suplesi, dan restrukturisasi KUR perlu dirobah atau perpanjang dalam arti diberi kelonggaran agar tidak menyulitkan nasabah dan bank penyalur;

5. Perlu dilakukan penambahan bank penyalur mengingat jumlah yang ada sekarang dirasakan sangat terbatas bila menginginkan KUR lebih merakyat terutama dalam menjangkau nasabah sektor pertanian dan perikanan;

6. Tingkat suku bunga masih dianggap tinggi dan perlu diturunkan;

7. Cakupan debitur KUR perlu diperluas, tidak hanya sebatas ketentuan usaha produktif, layak dan belum bankable;

8. Linkage program penyaluran KUR belum banyak melalui lembaga keuangan mikro; dan lain-lain.

3.2 Perum Jamkrindo Sebagai Pihak Penjamin