• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hambatan yang dihadapi Pemerintah

Setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah sudah tentu tidak semuanya dapat diterima masyarakat. Ada pihak yang pro dan ada pula yang kontra terhadap kebijakan yang diambil. Mereka yang pro atau setuju dengan kebijakan biasanya adalah pihak yang diuntungkan atau setidaknya tidak dirugikan dari kebijakan yang telah diputuskan. Sementara itu, pihak yang kontra, menolak, atau menentang kebijakan tersebut adalah pihak yang tidak memperoleh keuntungan apa pun dari kebijakan tersebut atau mereka berada pada pihak yang dirugikan akibat dari kebijakan yang akan dan telah diambil.

Permasalahan PKL bukan persoalan yang mudah dipecahkan. Banyak faktor yang melingkupinya. Tidak hanya terkait dengan masalah sempitnya lapangan kerja di sektor formal, tetapi juga berhubungan dengan faktor-faktor lainnya, seperti meningkatnya arus migrasi ke kota, bertambahnya jumlah penduduk kota, makin sempitnya lahan kota karena dipadati oleh gedung-gedung perkantoran, bisnis, perbankan, dan perdagangan, makin lengkapnya fasilitas kota, karakteristik urban yang umumnya rendah pendidikan dan tak berketerampilan, dan faktor lainnya, yang membuat kota menjadi tempat menarik bagi migran atau urban yang hendak mengubah nasibnya menjadi lebih baik.

Para migran dan urban yang tidak terserap oleh sektor ekonomi formal, umumnya mencari rezeki dengan memasuki sektor informal, misalnya dengan menjadi pedagang kaki lima. Jenis usaha yang dipilih pun beraneka ragam, ada yang menjadi pedagang makanan dan minuman, pedagang alat-alat pertanian dan pertukangan, pedagang barang-barang bekas (klitikan), pedagang pakaian, dan lain-lain.

Para PKL yang rata-rata modalnya sedikit ini, biasanya mencari tempat yang ramai atau padat manusia. Tidak adanya

tempat kosong yang khusus disediakan oleh Pemkot, membuat mereka nekat menempati area terlarang, seperti tepi sungai, trotoar, emperan toko, ruang dekat pasar tradisional maupun modern, ruang dekat sekolah, ruang dekat perkantoran, dan area lainnya yang mudah diakses pembeli. Anggaran yang terlalu kecil sering menjadi kendala bagi pemerintah kabupaten dan kota di Jawa Tengah untuk melakukan penataan dan pembinaan pedagang kaki lima.

Kota Surakarta dengan jumlah PKL lebih dari 5.000 orang dan Semarang dengan jumlah PKL lebih dari 11.000 orang mengalami kesulitan dalam menata dan menertibkan PKL. Data jumlah PKL ini bisa saja berubah lebih tinggi, karena data terbaru belum diperoleh. Selain itu, pertumbuhan dan perkembangan yang cepat dari sektor ekonomi informal (PKL) juga merupakan variabel yang dapat menambah data jumlah PKL.

Keterbatasan lahan yang dimiliki pemerintah kota merupakan kendala tersendiri, apalagi sebagian lahan harus disediakan pemerintah untuk ruang terbuka hijau (RTH) yang tidak boleh digunakan untuk aktivitas lain, selain untuk kepentingan RTH. Sikap PKL yang sulit diatur juga menjadi kendala bagi Pemkot untuk menata dan membina PKL. Hari ini ditertibkan, mereka patuh tidak menempati area terlarang, tetapi begitu tidak ada penertiban, mereka kembali lagi ke tempat semula. Mirip film Tom and Jerry, petugas Satpol PP sebagai Tom selalu mengejar-ngejar PKL sebagai Jerry. Mereka tidak pernah akur, Tom dengan gigi taringnya menakut-nakuti Jerry, tetapi Jerry yang cerdik tampaknya tidak pernah jera.

PKL tampaknya memang tidak pernah jera untuk berdagang di tempat terlarang, meskipun acapkali Satpol PP menertibkannya. Pemerintah kabupaten Grobogan misalnya, mengakui kewalahan dalam mengatur pedagang kaki lima di Purwodadi. Menurut Kabid Pengendalian Lingkungan BLH

Pemkab Grobogan, Endah Pamularsih, kegagalan kabupaten Grobogan memperoleh Adipura, karena masih adanya kawasan kumuh yang ditempati para PKL (Semarang Metro, Sabtu, 5 November 2011).

Kebanyakan pemerintah kabupaten atau kota melakukan penataan PKL, salah satu tujuan terpenting adalah untuk memperoleh penghargaan Adipura, sebuah penghargaan prestisius bagi bupati atau walikota yang berhasil memperolehnya. Untuk keperluan tersebut, tidak segan-segan pemerintah menggusur PKL atau setidaknya mengarahkan PKL agar tidak mengganggu persiapan dan pelaksanaan penilaian Adipura. Pemkot Semarang biasanya meminta PKL untuk tidak berdagang beberapa hari ketika tiba masa penilaian Adipura dari pemerintah pusat.

Komunikasi yang kurang antara Pemkot dan PKL juga menjadi penyebab sekaligus hambatan mengapa PKL sulit ditata. Macetnya komunikasi antara kedua belah pihak, menyebabkan munculnya perasaan saling curiga dan tidak adanya kepercayaan satu dengan lainnya. Keberhasilan relokasi PKL Monjari ke pasar Notoharjo Semanggi Surakarta merupakan bukti dari berlangsungnya komunikasi yang intensif antara Pemkot dengan PKL.

Komunikasi berlangsung baik ketika walikota beserta wakilnya melepas baju kedinasan dan bersedia berbaur dengan PKL, sehingga PKL menjadi impresif terhadap apa yang dilakukan orang nomor satu dan nomor dua di Surakarta tersebut. Perhatian yang besar dari pemimpin tersebut mampu membuka kunci ketertutupan, kebandelan, dan kenekatan dari PKL, sehingga para PKL akhirnya bersedia dipindah ke tempat lain yang lebih baik kondisinya. Hal ini tidak terjadi di kota Semarang.

Tidak adanya komunikasi dialogis antara Pemkot Semarang dan PKL menjadikan PKL tidak mudah menerima kebijakan

Pemkot. Rapat-rapat yang diadakan PKL tidak pernah dihadiri oleh pejabat kota Semarang. Kalau pun pernah, hanya menjelang akhir perjuangan PKL Basudewo, wakil walikota bersedia hadir, itu pun hanya sekali untuk menegosiasi PKL agar mereka bersedia pindah ke sentra PKL Kokrosono. Pejabat kota Semarang yang lebih mengedepankan gengsi kekuasaan, membuat mereka tidak dengan mudah diterima di kalangan para PKL. “Kalau diundang untuk membicarakan nasib kita, mereka tidak pernah datang pak, mungkin gengsinya turun kalau hadir di tengah orang miskin”, demikian ungkap pak Achmad. Pedagang kaki lima (PKL) menjadi resisten ketika mereka ditertibkan, apalagi penertiban dilakukan secara tidak manusiawi.

Penertiban dan penggusuran sebagai bahasa kekuasaan Pemkot menjadi pintu masuk bagi PKL untuk melakukan perlawanan, apalagi dalam realitas kebijakan yang dikeluarkan Pemkot, para PKL harus berada pada posisi harus mengalah, kalah dan dikalahkan demi kepentingan yang lebih besar. Mereka harus minggir dari jalanan atau tempat terlarang lainnya, demi pembangunan yang lebih besar manfaatnya bagi kota dan masyarakat.

Sikap bandel atau membangkang merupakan tipikal dari sebagian PKL di kota Semarang. Sikap bandel dan membangkang ini juga merupakan hambatan yang dihadapi Pemkot dalam menata PKL. Para PKL pada saat “dirazia” akan pergi dari lokasi, tetapi begitu kondisi sudah aman, mereka akan kembali ke tempat semula. Ini terjadi tidak hanya di Semarang, tetapi juga di daerah lainnya.

“Kami berkali-kali telah memperingatkan, tetapi tidak diindahkan, terpaksa kami merazia mereka”, keluh Daniel Sandanafu, Kabid pengendalian dan Operasional Satpol PP Kota Semarang (Semarang Metro, Kamis, 17 November 2011).

Kebandelan PKL juga dirasakan oleh Kepala Satpol PP Kabupaten Grobogan, Daru Wisakti.

“Banyak PKL yang membandel meskipun sering kami tertibkan, dan kali ini bagi yang melanggar akan kami proses sampai Pengadilan atas pelanggaran Perda”, tegas Daru (Semarang Metro, Sabtu, 5 November 2011).

Sikap bandel dan tidak disiplin dari PKL Semarang juga ditunjukkan dari banyaknya PKL yang tidak memiliki Surat Keputusan resmi dari Pemkot untuk izin berdagang. Mereka yang sudah menempati lahan dan telah mendirikan bangunan dan lapak tidak resmi, juga banyak di antaranya yang menjual lahan kepada pihak lain.

“lahan bukan hak milik banyak yang dijual dan dipindahtangankan kepada pihak lain…sebenarnya hal ini dilarang dan bertentangan dengan ketentuan Perda PKL, tetapi mereka tetap membandel…di Semarang banyak PKL liar yang tidak memiliki SK resmi sehingga sulit bagi kami untuk melakukan penataan dan penertiban”, demikian keluh pak Azis, Ka.Sub. Dinas Pasar Semarang (wawancara dengan pak Azis, Rabu, 29 Februari 2012).

Dalam kaitan dengan sikap petugas Satpol PP, Siswono (2009:94) dalam disertasinya berjudul Resistensi dan Akomodasi: Suatu Kajian tentang Hubungan-hubungan Kekuasaan pada Pedagang Kaki Lima (PKL), Preman, dan Aparat di Depok Jawa Barat, menemukan bahwa petugas Satpol PP sesungguhnya tidak tega ketika akan menggusur PKL, karena mereka membutuhkan tempat untuk mencari penghidupan, tetapi karena harus taat pada tugas dan perintah dari pimpinan, maka petugas Satpol PP mau tidak mau harus menertibkan PKL. Ini artinya, bahwa petugas Satpol PP di Depok dalam melaksanakan perintah sesungguhnya tidak sepenuh hati.

Namun demikian, ditemukan pula, bahwa ada di antara petugas Satpol PP yang dalam melaksanakan tugasnya memanfaatkan kesempatan dengan menarik sejumlah uang kepada para PKL dengan dalih untuk uang keamanan. Perilaku petugas Satpol PP ini tidak jauh berbeda dengan tindakan preman di sekitar lokasi PKL yang melakukan pungutan liar, juga dengan dalih untuk dana keamanan.

Dokumen terkait