• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keberhasilan Penataan PKL: Belajar dari Relokasi PKL Monjari

Surakarta merupakan sedikit dari pemerintah daerah yang memiliki kebijakan dan strategi dalam menata dan membina pedagang kaki lima (PKL) tanpa adanya penentangan yang berarti dari para PKL. Pemindahan pedagang kaki lima (PKL)

Monumen Banjarsari (Monjari) ke sentra PKL Notoharjo merupakan contoh dari kebijakan relokasi yang bagus. Sejak dilakukan boyongan pada tanggal 23 Juli 2006 ke lokasi PKL Semanggi, praktis pemerintah kota Surakarta tidak menemui hambatan berarti dalam penataan PKL.

Namun demikian, persoalan PKL di kota Surakarta tidak berarti telah selesai, sebab jumlah PKL yang berhasil ditangani baru 989 yakni mereka yang dahulu melakukan aktivitas ekonomi di Monumen Banjarsari. Padahal sebagaimana diketahui, jumlah PKL di Surakarta pada tahun 2006 yang lalu saja sudah mencapai angka 5.817 pedagang. Mereka belum semua tertangani dengan baik, namun pendekatan yang ditempuh Pemkot Surakarta berpedoman pada Perda Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Pedagang Kaki Lima, ditengarai dapat mengatasi masalah pedagang kaki lima di kota Surakarta, apalagi Pemkot Surakarta juga telah melakukan banyak hal untuk mengakomodasi kepentingan dan kebutuhan para PKL, yakni selain memperbaiki pasar yang dapat menampung para PKL, juga membuat selter-selter dan memberikan bantuan gerobak kepada PKl yang bersedia dibina dan dikembangkan. Seperti halnya pemerintah kabupaten dan pemerintah kota lainnya, Pemkot Surakarta pun tidak segan-segan melakukan penertiban bagi pedagang kaki lima yang melanggar Perda.

Keberhasilan relokasi PKL Monumen Banjarsari ke pasar Klitikan Notoharjo Semanggi merupakan langkah awal dari penataan PKL di kota Surakarta. Bagi Walikota dan Wakil Walikota Surakarta, keberhasilan penataan PKL Monumen Banjarsari tidak berarti penataan PKL di kota Surakarta telah paripurna, tetapi justru keberhasilan penataan PKL Monumen Banjarsari dijadikan sebagai momentum, pengalaman, dan pembelajaran yang berharga dalam menata PKL di tempat lainnya, yang jumlahnya juga tidak sedikit. Apalagi pemerintah kota dan masyarakat memiliki tekat yang sama, yaitu ingin

menjadikan kota Surakarta tetap BERSERI, yakni bersih, sehat, rapi, dan indah. Komitmen Jokowi, sang walikota yang penampilannya sederhana dan penuh kesantunan ini, untuk tetap membela kepentingan usaha mikro, kecil, dan menengah, termasuk di dalamnya PKL memberi kontribusi bagi keberhasilan penataan PKL. Keberpihakan pak walikota kepada rakyat kecil, utamanya para pedagang kaki lima, ditunjukkan secara terang-terangan, seperti dalam ungkapan berikut.

“Saya membela PKL, karena mereka merupakan aset ekonomi bagi kota Surakarta pak…dengan dididik dan diberdayakan, mereka akan tumbuh menjadi pengusaha yang tidak kalah hebatnya dari pengusaha kaya yang memiliki mall-mall di Surakarta. Saya sendiri tidak anti mall, juga tidak anti pengusaha…tetapi kita harus cermat dalam memberikan izin mendirikan mall…jangan sampai karenanya, kegiatan ekonomi pedagang kecil mati” (wawancara dengan Joko Widodo, walikota Surakarta, Kamis, 28 April 2011).

Kepemimpinan Jawa yang dihayati pak Jokowi, diduga memengaruhi sikapnya terhadap pedagang kaki lima selama ini. Dalam kepemimpinan Asthabrata, pak Jokowi termasuk tipe pemimpin yang berwatak matahari. Matahari diyakini memiliki manfaat yang besar, sehingga ia diambil sebagai tamsil dalam ajaran Asthabrata (Suratno 2006:79). Sebagai sang surya, matahari menjadi sumber kehidupan bagi semua makhluk, baik hidup maupun makhluk tidak hidup. Pemimpin berwatak matahari memiliki karakter yang sama dengan matahari, yaitu menerangi dunia, memberikan kehidupan kepada semua makhluk, sabar dalam menjalankan tugas, dan ikhlas memberikan miliknya kepada orang lain (Suratno 2006:79).

Penampilannya yang sederhana dan tutur katanya yang halus, menunjukkan bahwa pak Jokowi orang yang tidak arogan, sok kuasa; justru sebaliknya, pak Jokowi adalah tipe

walikota ideal, yang kehalusan budi dan kesederhanaannya, patut menjadi teladan bagi masyarakatnya. Sifat tidak “tega” melihat rakyatnya menderita, membuat pak Jokowi dicintai oleh masyarakatnya.

Dalam kaitannya dengan rakyat, pemimpin Jawa juga memiliki tiga prinsip hidup yang selalu melekat pada dirinya, yaitu “ngayomi” (memberi perlindungan), “ngayemi”( membuat tenteram), dan “ngayani” (memberi kesejahteraan) atau dikenal dengan prinsip 3N.

Seseorang dijadikan atau dipilih sebagai pemimpin, sesuai dengan prinsip 3N di atas, harus mampu memberikan perlindungan kepada rakyat, siapa pun juga, apakah mereka rakyat jelata yang tidak memiliki apa-apa hingga rakyat berada atau mempunyai harta berlebih.

Pemimpin dengan ucapan, sikap, dan perilakunya tidak menyakiti hati rakyat atau membuat mereka menderita. Justru dengan kepemimpinannya, rakyat harus dibuat tenteram dan nyaman hidupnya. Pemimpin seperti ini, jika pergi akan dirindukan bawahannya dan ketika ada di tengah-tengah bawahannya, membuat bawahan merasa senang.

Pemimpin Jawa juga harus berjiwa “memberi”, memiliki sikap dermawan, peduli kepada rakyatnya, dan akan sedih hatinya jika rakyatnya hidup dalam penderitaan dan kemiskinan. Apa pun akan dilakukan pemimpin untuk menyenangkan dan membuat bahagia rakyatnya.

Jokowi adalah tipikal pemimpin Jawa yang “Njawani”, karena mampu menterjemahkan prinsip 3N, dengan memberikan apa yang terbaik bagi rakyat Surakarta, khususnya mereka yang berada pada lapisan menengah ke bawah.

Strategi komprehensif yang dilakukan oleh Pemkot Surakarta dalam menata PKL menunjukkan keberhasilan, terutama dilihat dari tidak adanya resistensi dari para pedagang,

bahkan mereka sangat antusias merespon kebijakan relokasi yang ditentukan Pemkot. PKL Monjari yang pindah ke pasar Notoharjo Semanggi, merasa dirinya “diuwongke” (dimanusiakan), sehingga kepindahannya ke Pasar Notoharjo Semanggi tidak menimbulkan gejolak. Akseptabilitas yang tinggi, ditunjukkan oleh ekspresi mereka dalam merespon kebijakan pak walikota, menjadi preseden yang bagus sekaligus bisa menjadi contoh bagi daerah lain yang memiliki kebijakan dalam penataan pedagang kaki lima.

Dari uraian keberhasilan relokasi PKL Monjari ke Notoharjo Semanggi, dapat disimpulkan bahwa terdapat 3 faktor yang berkontribusi terhadap keberhasilan penataan PKL Monjari oleh Pemkot Surakarta.

Pertama, kepemimpinan Walikota Surakarta Joko Widodo yang “Njawani”, yang lebih berpihak kepada kepentingan wong cilik, sehingga ia diterima dengan baik oleh masyarakat Surakarta, utamanya rakyat kecil.

Kedua, pendekatan kebudayaan (berbasis budaya Jawa) dalam kebijakan penataan PKL menjadikan apa yang dikehendaki walikota Surakarta juga merupakan keinginan PKL, sehingga relokasi ke pasar Notoharjo tidak menemui hambatan.

Ketiga, relokasi PKL Monjari ke pasar Notoharjo berjalan dengan baik, karena adanya blue print penataan PKL Surakarta, mulai dari sosialisasi sampai dengan kegiatan relokasi dan pasca relokasi.

Keberhasilan Pemkot Surakarta di bawah kepemimpinan Walikota Joko Widodo dalam menata pedagang kaki lima, membuat banyak pemimpin daerah kabupaten dan kota belajar dari kisah sukses pak Jokowi. Bahkan delegasi negara tetangga, yaitu Philipina, Kamboja, Vietnam, dan Thailand pernah berkunjung ke Surakarta untuk belajar bagaimana pemerintah

kota, terutama walikotanya dalam menata PKL tanpa menimbulkan gejolak (Kompas, Kamis, 24 Juni 2010, halaman 22). Kondisi PKL pasca relokasi juga menjadi daya tarik bagi pemimpin daerah dalam negeri maupun luar negeri yang hendak belajar dalam menata dan membina PKL. Aktivitas ekonomi yang berjalan baik di Pasar Notoharjo Semanggi, didukung oleh fasilitas pasar dan kebersihan yang bagus, memberikan nilai plus kepada kebijakan pemerintah kota Surakarta, utamanya kebijakan pasca relokasi.

Tidak banyak pemerintah kota dan pemerintah kabupaten yang sukses dalam menata PKL pasca relokasi. Ambil contoh, relokasi PKL Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono (liar) ke sentra PKL Kokrosono, yang dilakukan Pemkot Semarang, hingga kini masih menyisakan persoalan. Sentra PKL Kokrosono yang menjadi tempat relokasi bagi PKL Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono liar terdapat gedung untuk relokasi yang tidak dilengkapi kios yang dapat digunakan oleh PKL untuk menjalankan usahanya.

Di tempat tersebut, kios harus dibuat sendiri dengan biaya sendiri, sehingga standar kios tidak ada. Hal ini jelas memberatkan dan menjadi salah satu alasan mengapa PKL yang direlokasi tidak segera pindah ke sentra PKL Kokrosono. Kios yang harus dibangun di lantai dua menjadi hambatan bagi PKL yang berdagang nasi, membuka usaha bengkel, dan PKL yang menjalankan usaha mebel. Pembeli yang enggan naik ke lantai dua menjadi alasan pula mengapa cukup banyak PKL yang tidak bersedia pindah menempati gedung yang sudah disediakan pemerintah.

Tidak ada adanya standar bangunan kios dan tidak adanya bantuan dana untuk membuat kios, menyebabkan para PKL yang bersedia dipindah, membuat sendiri kiosnya dengan bahan-bahan baku bekas, seperti papan kayu untuk ruang kios, cat seadanya, dan lantai ada yang “dikeramik” dan ada pula

yang dibiarkan polos dari lantai beton. Kios yang ditempati juga dimanfaatkan untuk sembarang usaha dan aktivitas, seperti pembuatan mebel, ternak ayam, warung minuman, kamar tidur, dan lain-lain. Gambar di bawah ini adalah beberapa kios PKL yang dibangun sendiri oleh pedagang di gedung PKL Kokrosono blok H.

Sumber: Dokumen Pribadi Gambar 48. Kios PKL Kokrosono yang harus dibuat sendiri

oleh PKL yang direlokasi

Tidak adanya perencanaan dan pengendalian yang bagus dari Pemkot, membuat banyak kios yang diperjualbelikan oleh PKL tanpa sepengetahuan Pemkot. Konflik antar PKL juga tidak dapat dihindari, karena tidak adanya ketegasan dari Pemkot. Kegiatan penataan kios di gedung G dan H dari 8 gedung berlantai dua yang disediakan untuk kepentingan PKL, yang tidak dikontrol dengan baik oleh Pemkot, menyebabkan terjadinya perebutan tempat antar PKL. Praktik jual beli kios secara liar membuat kondisi PKL Kokrosono menjadi kian tak terkendali. Adanya “free rider” dalam penempatan PKL yang

dipindahkan dari tempat lain, membuat lokasi PKL Kokrosono tidak nyaman untuk aktivitas ekonomi. Belum lagi tempat yang kumuh dan kotor di sekeliling gedung PKL Kokrosono, membuat pembeli tidak betah berlama-lama di Kokrosono.

Sikap lepas tangan dari pejabat Pemkot membuat para PKL yang berada di Kokrosono bertindak seenaknya terutama dalam menjualbelikan kios kepada orang lain. Jika dibandingkan dengan sentra PKL di Pasar Notoharjo Semanggi Surakarta, lokasi PKL Kokrosono jauh dari ideal, karena tidak ada fasilitas yang mendukung kelancaran dan kenyamanan bagi PKL dalam menjalankan aktivitas ekonomi, seperti yang terlihat di Pasar Notoharjo. Gambar berikut menunjukkan bahwa bangunan PKL Kokrosono dan lingkungan fisik di sekitarnya tidak terawat dan terkesan kumuh.

Sumber: Dokumen Pribadi Gambar 49. Sentra PKL Kokrosono yang kumuh dan tidak

terawat

Keberhasilan walikota Surakarta dalam melakukan penataan dan pembinaan PKL memberi inspirasi kepada walikota Semarang yang baru, yaitu Soemarmo HS untuk

memperindah dan mempercantik kota Semarang tanpa menyakiti warga masyarakat miskin, khususnya pedagang kaki lima. Itu pun dilakukan setelah memperoleh masukan dari Paguyuban Pedagang Kaki Lima Kota Semarang (PPKLS), LSM, dan tokoh-tokoh masyarakat. Apa yang dilakukan walikota Semarang tersebut juga berkaitan dengan “grand strategy” Pemkot untuk mewujudkan kota Semarang sebagai pusat perdagangan dan jasa sesuai dengan arahan Perda kota Semarang Nomor 6 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) kota Semarang Tahun 2005-2025, Perda kota Semarang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) kota Semarang Tahun 2010-1015, dan Perda kota Semarang Nomor 14 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah kota Semarang Tahun 2011-2031.

Berdasarkan Perda-perda tersebut, walikota sejak kepemimpinannya pada tahun 2010 melakukan penataan fisik kota Semarang. Daerah pusat kota, seperti area bundaran Simpang Lima dan sekitarnya, jalan Pahlawan, jalan Menteri Soepeno, jalan Pemuda, area Monumen Tugu Muda dan jalan-jalan di sekitarnya ditata dengan apik, yang membuat ruang publik di sekitarnya menjadi indah dan bersih.

Sumber: Dokumen Pribadi Gambar 50. Ruas jalan Pahlawan yang telah ditata rapi oleh

Pemkot

Sejak itu, banyak warga masyarakat, utamanya anak-anak muda berbondong-bondong mendatangi pusat-pusat kota untuk menikmati keindahan malam kota Semarang. Ada di antara mereka yang sekedar bercengkerama, berbincang-bincang ke sana kemari sekedar untuk melepaskan ketegangan karena lelah beraktivitas pada pagi hingga sore hari. Ada pula yang menyalurkan hobi, seperti berkumpulnya anggota geng motor dan mobil, beradu ketangkasan bersepeda, bermain sepatu roda, menari dan berdansa, serta banyak juga yang menyalurkan hobinya dengan memfoto objek-objek menarik di Tugu Muda maupun di jalan Pahlawan. Ruang publik yang berada di bundaran Simpang Lima, jalan Pahlawan, jalan Menteri Soepeno, jalan Pemuda, dan Monumen Tugu Muda ramai dipadati warga kota Semarang terutama pada hari Jumat hingga Minggu malam.

Selain menata ruang publik menjadi lebih rapi, indah, dan bersih, Pemkot Semarang juga membangun shelter yang

diperuntukkan bagi pedagang kaki lima di sekitar bundaran Simpang Lima dan jalan Menteri Soepeno. Shelter-shelter ini diberikan secara gratis kepada para PKL yang sejak awal sudah berdagang di sekitar bundaran Simpang Lima dan di tepi jalan Pahlawan. Para PKL yang berjualan di tepi jalan Pahlawan pada akhir tahun 2010 direlokasi ke sentra PKL di jalan Menteri Soepeno, tepatnya di sekeliling Taman KB. Di lokasi PKL yang baru ini, para PKL mendapatkan fasilitas shelter dan gerobak gratis. Berkat kerjasama dengan PT. Coca-Cola, gerobak dapat diberikan secara gratis kepada para pedagang. Gambar di bawah ini memperlihatkan shelter yang disediakan Pemkot di jalan Menteri Soepeno.

Sumber: Dokumen Pribadi Gambar 51. Shelter yang disediakan Pemkot untuk PKL

jalan Menteri Soepeno

Oka (30 tahun) adalah salah seorang pedagang yang memperoleh fasilitas sarana prasarana gratis dari pemerintah kota Semarang. Semula ia berdagang di jalan Pahlawan membantu pamannya. Sejak akhir tahun 2010 ia pindah di jalan Menteri Soepeno, sesuai dengan kebijakan Pemkot Semarang

yang merelokasi PKL yang berjualan di jalan Pahlawan ke lokasi PKL jalan Menteri Soepeno.

Menurut penuturan Oka, semua fasilitas untuk berdagang, yaitu tempat (shelter) dan gerobak disediakan gratis oleh Pemkot. Selain itu, juga disediakan fasilitas air dan listrik. “Sekarang enak pak, serba gratis…kita hanya bayar retribusi untuk Dinas Pasar, yaitu Rp14.000,00, itu sudah termasuk air dan listrik; sedangkan untuk paguyuban kita bayar Rp2.000,00”, kata Oka. Ketika ditanya, berapa pendapatan per hari, dengan agak malu-malu, ia menjawab: “ya tidak pasti pak…kalau dirata-rata per hari hanya Rp50.000,00…sepi pak, tidak seperti ketika berjualan di jalan Pahlawan, ramainya hanya hari Sabtu dan Minggu” (Wawancara dengan Oka, Minggu, 9 Oktober 2011).

Sumber: Dokumen Pribadi

Gambar 52. Mbak Oka dengan barang dagangannya

Di jalan Menteri Soepeno awalnya terdapat 48 shelter yang ditempati PKL, yang diberikan kepada (1) PKL yang pada

waktu pagi hari berjualan di sekitar Taman KB jalan Menteri Soepeno dan (2) PKL Pahlawan yang dipindah ke jalan Menteri Soepeno. Pada bulan November 2011 telah dibangun pula shelter di lokasi yang biasa digunakan berdagang oleh pedagang jagung bakar dan penjual helm. Bulan Desember, shelter tersebut telah ditempati oleh pedagang jagung bakar yang berjualan pada malam hari. Di lokasi yang juga berada di jalan Menteri Soepeno ini, dibangun 40 shelter meskipun tempatnya tidak sebaik shelter yang berada di sekeliling Taman KB, namun dapat digunakan para pedagang untuk tempat berjualan, karena juga disediakan fasilitas perlistrikan.

Sementara itu, shelter di Bundaran Simpang Lima jumlahnya ada 87 buah, yang diperuntukkan bagi PKL yang dahulu berdagang di sekitar Bundaran Simpang Lima. Kedelapan puluh tujuh shelter tersebut mengelilingi bundaran Simpang Lima, yang berada di sisi barat, selatan, dan timur; sedangkan sisi utara yang berada di depan hotel Ciputra tidak disediakan shelter karena adanya keberatan dari pihak manajemen hotel. Demikian pula, di depan masjid Baiturrahman Semarang yang biasa digunakan oleh PKL untuk berdagang, tidak dibuatkan shelter karena untuk menghormati warga kota yang hendak sholat di masjid tersebut. Namun demikian, meskipun tidak ada shelter yang dibangun, para pedagang tetap nekat berjualan di depan masjid. Shelter yang disediakan untuk pedagang merupakan bagian dari upaya Pemkot Semarang untuk mempercantik Kota Semarang. Untuk menyelesaikan shelter tersebut, Pemkot telah menghabiskan anggaran sebesar Rp15 milyar.

Menurut penuturan walikota Semarang, Soemarmo HS, anggaran tersebut digunakan untuk menata dan mempercantik seluruh bundaran Simpang Lima, termasuk pembuatan shelter bagi PKL. Ketika ditanyakan mengapa Pemkot harus mengeluarkan sedemikian banyak anggaran guna menata bundaran Simpang Lima, walikota mengungkapkan bahwa,

besaran anggaran untuk mempercantik Simpang Lima didasarkan atas keberadaan Simpang Lima sebagai wajah utama kota Semarang, bahkan Simpang Lima ini sudah menjadi ikon kota sejak lama (Harian Semarang, Kamis, 26 Agustus 2010, halaman 2).

Gambar di bawah ini merupakan salah satu shelter yang dibuat di depan E-Plaza Semarang, yang berada di sebelah barat bundaran Simpang Lima. Sejak awal tahun baru (2012), seluruh shelter yang ada di sekeliling bundaran Simpang Lima sudah digunakan pedagang makanan dan minuman untuk berjualan. Sejak dioperasikan shelter-shelter tersebut, suasana malam Simpang Lima makin ramai, karena di sekeliling bundaran Simpang Lima, banyak dipadati para pedagang nasi dan minuman serta pengunjung Simpang Lima yang ingin menikmati suasana malam Simpang Lima sambil makan dan minum.

Sumber: Dokumen Peribadi

Secara selintas, kebijakan Pemkot Semarang ini sepertinya memberikan manfaat bagi semua PKL yang ada di kota Semarang. Sesungguhnya tidak seperti itu. Hanya PKL yang terorganisasi dan yang mudah terjangkau oleh pemerintah kota Semarang yang diberi perhatian secara memadai oleh Pemkot. Kebijakan diskriminatif dalam penataan PKL ditunjukkan Pemkot.

PKL yang terorganisasi dan dapat ditata, diberi fasilitas untuk menjalankan usaha ekonomi, seperti dibuatkan shelter dan dibantu gerobak untuk berdagang, sedangkan PKL liar yang jumlahnya lebih banyak dari PKL terorganisasi dibiarkan tanpa ada fasilitasi dan mereka rentan terkena penggusuran. Pembuatan shelter di pinggir bundaran Simpang Lima pun sesungguhnya dapat dilihat dari dua sisi. Di satu sisi, pemerintah memang peduli kepada kehidupan wong cilik, yaitu PKL, dengan memberikan tempat berdagang di pusat kota. Pada sisi lain, bisa saja pembuatan shelter di pusat kota tersebut untuk memberi kesan bahwa Pemkot Semarang peduli kepada kehidupan dan nasib rakyat kecil, utamanya PKL. Padahal jika ditilik secara mendalam, sikap diskriminatif Pemkot masih tampak. PKL yang liar, sulit diatur, dan sulit dikendalikan, seperti mereka yang beraktivitas ekonomi di Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono, tidak ditata dengan baik, bahkan ada kesan dibiarkan, sehingga permasalahan PKL di kota Semarang belum tuntas diselesaikan.

PKL liar yang berdagang dan menjalankan aktivitas ekonomi tidak hanya yang berlokasi di Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono, yang ketiganya berada di tepi sungai Kaligarang dan Banjir Kanal Barat. Masih banyak PKL liar yang menempati lokasi-lokasi strategis, baik di pusat kota maupun di pinggir kota, yang semuanya belum ditangani secara baik oleh Pemkot. Ini semua adalah akibat dari tidak adanya pedoman penataan dan pembinaan PKL yang komprehensif.

Dokumen terkait