• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Kebijakan dan Strategi Penataan PKL di Surakarta dan Semarang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "A. Kebijakan dan Strategi Penataan PKL di Surakarta dan Semarang"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

Peraturan daerah (Perda) dan Peraturan walikota merupakan wujud kebijakan yang digunakan oleh pemerintah kota untuk mengatur, menata, dan membina pedagang kaki lima. Isi Perda yang mengatur tentang pedagang kaki lima antara daerah yang satu dengan lainnya tidak jauh berbeda, namun karakter kepemimpinan dan kultur masyarakat daerah

yang membedakan bagaimana pemerintah kota

mengimplementasikan kebijakan yang berkaitan dengan eksistensi pedagang kaki lima.

Demikian pula, akan tampak dalam uraian berikut bagaimana perbedaan implementasi kebijakan yang diambil oleh pemerintah kota Surakarta dan pemerintah kota Semarang dalam mengatur, menata, dan membina pedagang kaki lima. Dalam uraian juga akan dapat diketahui hambatan apa saja yang dialami pemerintah dalam menata pedagang kaki lima (PKL), serta apa dampak dari penataan tersebut terhadap nasib dan masa depan pedagang kaki lima (PKL).

A. Kebijakan dan Strategi Penataan PKL di Surakarta dan

Semarang

Hampir semua kepala daerah, bupati dan walikota di Indonesia merasakan bahwa keberadaan pedagang kaki lima (PKL) yang makin marak, merupakan persoalan pelik yang tidak mudah diatasi. Para PKL umumnya melakukan aktivitas di tempat-tempat publik, seperti trotoar, taman, tepi jalan, tanah kosong, tepi bantaran sungai, alun-alun, depan kantor pemerintah, depan sekolah, dan tempat-tempat strategis lainnya. Banyak ruang publik berubah fungsi yang tidak sesuai

(2)

dengan peruntukannya, karena ditempati PKL untuk berdagang dan menjalankan usahanya. Akibatnya, lingkungan yang ditempati PKL menjadi kumuh, bau, semrawut, sumpek, tidak sedap dipandang mata, dan tidak jarang mengganggu arus lalu lintas. Kenyamanan pengguna ruang publik, baik pejalan kaki maupun pengemudi sepeda motor dan mobil menjadi terganggu pula. Kondisi inilah yang menyebabkan bupati dan walikota yang menghadapi masalah PKL, membuat kebijakan penataan dan penertiban PKL, tidak terkecuali adalah walikota Surakarta dan Semarang.

Surakarta memiliki tingkat kepadatan (density) yang cukup

tinggi, seperti halnya Semarang. Surakarta padat, karena menjadi tempat persinggahan serta arus manusia dan kendaraan yang menuju dari dan ke kota-kota sekitarnya, seperti Sukoharjo, Karanganyar, Sragen, Purwodadi, Wonogiri, Pacitan, Klaten, Yogyakarta, Boyolali, Salatiga, dan Semarang. Tidak seperti halnya di Semarang, jalan-jalan di Surakarta, kecuali jalan Slamet Riyadi, merupakan jalur lalu lintas yang sangat padat. Para pedagang dan jenis usaha sektor informal lainnya, tumpah ruah menempati tepi jalan, berdesak-desakan dengan toko-toko di sekitarnya. Mall-mall dan pasar swalayan, seperti Grand Mall, Matahari, dan lain-lain, tidak luput pula dari kerumunan para PKL yang ingin mencari rezeki dari tempat keramaian.

Alun-alun kota Surakarta dan pasar Klewer juga padat dijejali PKL, baik yang berdagang makanan dan minuman, maupun yang menjual pakaian dan kerajinan. Kendaraan pun bahkan sering kali padat merayap, sulit masuk dan ke luar dari area alun-alun hingga pasar Klewer, karena tepi jalan di kanan maupun kirinya, banyak dipakai oleh PKL untuk berdagang. Bagi para wisatawan kuliner atau batik yang pernah singgah ke pasar Klewer, pasti akan merasakan kesumpekan dan ketidaknyamanan, akibat dari berjubelnya para pedagang yang

(3)

meluber hingga menjorok ke bahu atau tengah jalan. Tetapi, apakah mereka akan diusir atau digusur.

Demi keindahan kota dan kenyamanan warga kota, sudah semestinya pemerintah layak mengusir mereka. Jika hanya berpedoman pada Perda tentang PKL, sudah seharusnya PKL ditertibkan, dilarang, dan digusur dari lokasi-lokasi tersebut, karena menempati lokasi yang tidak sesuai dengan peruntukannya. Namun hal lain yang harus menjadi pertimbangan sebelum mengambil keputusan adalah masa depan PKL. Pak Joko Widodo, walikota Surakarta, melihatnya dari sisi lain, yaitu aspek kemanusiaan. “Rocker juga manusia”, kata Candil, pentolan “Band Serius”. PKL juga manusia, bukan barang atau patung yang dengan mudahnya dapat dipindah ke sana kemari.

Dalam kaitan ini, pemerintah Surakarta menghadapi dilema. Di satu sisi, para PKL yang beraktivitas di lahan-lahan yang terlarang, sebagian terbesar adalah untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari diri dan keluarganya. Pada sisi lainnya, pemerintah ingin agar kota bersih, indah, tertib, rapi, dan nyaman. Kebijakan menggusur PKL jelas akan berhadapan dengan keterbatasan yang dimilikinya, yaitu terbatasnya kemampuan pemerintah menyediakan lapangan kerja bagi warga kota maupun pendatang. Untuk menata PKL, Pemkot Surakarta mempertimbangkan semua hal, termasuk keinginan memberdayakan PKL dalam rangka menghidupkan dan mengembangkan ekonomi kerakyatan.

Penataan terhadap PKL di kota Surakarta dirasakan sangat mendesak, karena beberapa alasan, yaitu (1) jumlah PKL terlanjur menjamur dan tidak terkontrol, pada tahun 2006 tercatat ada 5.817 PKL, (2) banyaknya fasilitas umum ruang publik yang digunakan oleh PKL, (3) kesemrawutan lalu lintas di lokasi-lokasi kawasan PKL, (4) permasalahan sosial dan ekonomi, (5) makin dirasakan perlunya ruang hijau dan ruang

(4)

terbuka untuk perbaikan kualitas lingkungan, serta (6) keinginan dan desakan dari masyarakat untuk pelaksanaan penataan dan penertiban ruang usaha bagi PKL (Badan Informasi dan Komunikasi Pemkot Surakarta 2007).

Program penataan PKL ini juga merupakan realisasi dari program prioritas walikota dan wakil walikota Surakarta, Ir. H. Joko Widodo dan Fx. Hadi Rudyatmo, yang ingin mengembalikan Surakarta sebagai kota yang bersih, sehat, rapi, dan indah atau terkenal dengan motto “Surakarta Berseri”. Dalam penataan PKL, pemerintah kota Surakarta menyadari bahwa PKL merupakan bagian tak terpisahkan dari perekonomian daerah. Penataan PKL ini oleh pemerintah kota, dimaksudkan untuk memberikan kepastian usaha kepada para PKL, sehingga diharapkan mereka dapat hidup dengan layak dan perekonomian kerakyatan dapat tumbuh dan berkembang. Ruang publik, yang semula digunakan oleh para PKL, setelah penataan, diharapkan dapat dikembalikan peruntukannya seperti semula, sehingga dapat diwujudkan tata ruang kota yang harmonis.

Kebijakan penataan PKL di kota Surakarta secara garis besar dilakukan dengan (1) membuat kawasan PKL dan (2) membuat kantong-kantong PKL, yang pelaksanaannya dilakukan melalui lima strategi.

Pertama, relokasi, yaitu memindahkan PKL apabila tidak tersedia lahan di lokasi dan jumlah PKL banyak.

Kedua, shelter knock down, yaitu PKL dibuatkan shelter jika di lokasi masih tersedia lahan.

Ketiga, tendanisasi, yakni pemberian tenda kepada PKL, yang diperuntukkan pada PKL pada wilayah yang lahannya tersedia dan dioperasikan pada malam hari.

Keempat, gerobakisasi, yakni pemberian gerobak kepada PKL pada wilayah yang lahannya tidak tersedia untuk selter

(5)

dan tenda. Gerobak ini bersifat mobile, dapat dipindahkan setiap saat.

Kelima, penertiban, yakni strategi paling akhir yang diambil pemerintah kota Surakarta, apabila PKL tetap membandel tidak mau mengikuti program penataan yang direncanakan oleh pemerintah kota. Strategi ini diterapkan untuk seluruh PKL yang ada di kota Surakarta, meskipun hingga sejauh kini belum semua dapat dijalankan.

Jumlah PKL di Surakarta yang terdata oleh Pemkot sebanyak 5.817 orang pedagang (Badan Informasi dan Komunikasi Pemkot Surakarta 2007). Secara sistematis dan menggunakan skala prioritas, PKL sebanyak itu akan ditata pemerintah. Dari 5.817 orang pedagang kaki lima tersebut, yang sudah berhasil ditata dengan menggunakan pendekatan atau strategi penataan PKL kota Surakarta ada 989 PKL. Mereka adalah PKL yang beraktivitas di Monumen Banjarsari (Monjari) yang kemudian direlokasi ke pasar Klitikan Notoharjo Semanggi. Sebelum direlokasi, wilayah Monumen Banjarsari sebagai area publik kumuh dan semrawut. Monumen Banjarsari (Monjari) dahulu adalah tempat yang nyaman bagi warga Surakarta untuk berolahraga atau beristirahat. Anak-anak yang sekolahnya berdekatan dengan monumen juga sering menggunakan tempat tersebut untuk berolahraga. Area monumen yang asri sesungguhnya juga digunakan sebagai salah satu paru-paru kota Surakarta, karena kehijauannya yang terjaga dengan baik.

Pasca krisis 1998, banyak pedagang menempati area monumen. Mereka mendirikan lapak dan berdagang di sana. Lama kelamaan jumlahnya bertambah banyak dan menurut catatan pemerintah kota Surakarta, jumlahnya mencapai 989 PKL. Jenis barang-barang yang diperdagangkan di monumen tersebut adalah alat dan perlengkapan mobil dan sepeda motor, aki, ban, sandal dan sepatu, helm, aneka elektronik, alat

(6)

pertanian, pakaian, handphone, alat bangunan, barang-barang antik, las, cat, kaset/CD, barang-barang bekas, serta makanan dan minuman.

Meskipun tergolong PKL liar, mereka memiliki sejumlah kelompok atau paguyuban yang menjadi tempat mereka bernaung dan memikirkan masa depan mereka. Paguyuban tersebut di antaranya adalah paguyuban Masyarakat Mandiri, Masyarakat Mandiri jalan Bali, Pengin Maju, Roda-2, PKL 2000, PKL Sumber Urip, PKL Sumber Rejeki, PKL Guyub Rukun A, PKL Guyub Rukun B, dan PKL non Paguyuban.

Desakan untuk mengembalikan monumen Banjarsari sesuai peruntukannya datang dari berbagai kalangan masyarakat. Menanggapi tuntutan tersebut, pemerintah kota Surakarta menyediakan layanan hotline pesan singkat dengan cara mengirim SMS ke Walikota melalui nomor 0817441111 dan ke nomor Wakil Walikota 0817442222. Beberapa SMS yang pernah terkirim ke Pemkot Surakarta di antaranya berbunyi “Kami merindukan suasana seperti dahulu”, Mohon kepada bapak Walikota agar menata PKL Banjarsari”, Tempat yang dahulu indah kini jadi kumuh”, dan masih banyak SMS lainnya yang sejenis (Badan Informasi dan Komunikasi Pemkot Surakarta 2007).

Pertimbangan pemerintah kota Surakarta untuk

mengembalikan fungsi Monumen Banjarsari tidak hanya karena adanya desakan dari warga masyarakat, tetapi juga karena Monumen Banjarsari merupakan situs sejarah yang harus dilestarikan dan kawasan monumen merupakan wilayah resapan air dan ruang terbuka. Berbagai pertimbangan itulah yang melatarbelakangi mengapa Pemerintah Kota Surakarta memilih kebijakan untuk merelokasi PKL Monumen Banjarsari

ke tempat lain, tanpa mengorbankan kepentingan

kelangsungan usaha PKL. Relokasi yang dilakukan oleh Pemkot Surakarta tidak dimaksudkan untuk meminggirkan para PKL,

(7)

tetapi lebih kepada pemberian kepastian akan kelangsungan usaha, sekaligus memberi rasa aman kepada para PKL.

Rencana Pemkot Surakarta merelokasi para PKL monumen Banjarsari pada tahun 2005 sempat ditolak oleh sebagian PKL. Mereka menolak rencana Pemkot, karena mereka ragu apakah

Pemkot mampu “membersihkan” kawasan Monumen

Banjarsari pasca relokasi. Demikian pula, para PKL juga meragukan keberanian Pemkot untuk bertanggungjawab mengenai kelangsungan usaha PKL di Semanggi pasca relokasi. Kelompok PKL lainnya cenderung setuju jika Pemkot hanya melakukan penataan atas masalah maraknya PKL di Monumen Banjarsari, tidak dengan memindahkan mereka.

Meskipun ada ketidaksetujuan dan penentangan dari sebagian PKL, Pemkot tetap berketetapan hati untuk merelokasi mereka, meskipun ada sebagian PKL yang mengancam akan turun ke jalan. Walikota Surakarta menegaskan bahwa kebijakan relokasi tetap akan dijalankan, karena Pemkot sudah berbuat banyak kepada PKL, sehingga tidak alasan bagi PKL untuk menolak dipindahkan. Relokasi ini sejatinya adalah untuk menjamin kepastian dan kelangsungan usaha PKL. Seperti diungkapkan pak Walikota berikut ini.

Konsep relokasi PKL didasari pada pemikiran bahwa PKL merupakan salah satu potensi ekonomi yang dimiliki kota Surakarta, karena itu keberadaannya tetap dipertahankan tanpa harus mengabaikan aturan hukum dan kepentingan seluruh warga kota Surakarta…relokasi justru akan menjamin kepastian dan kelangsungan usaha mereka” (Badan Informasi dan Komunikasi Pemkot Surakarta 2007).

Untuk mewujudkan rencana relokasi, Pemkot secara terus menerus melakukan sosialisasi, tidak hanya terhadap para PKL, tetapi juga kepada warga masyarakat lainnya. Walikota dan Wakil Walikota tidak jarang turun ke lapangan untuk berdialog

(8)

langsung dengan para PKL. Sosialisasi dan dialog juga dilakukan dengan mengadakan pertemuan di Balaikota maupun di rumah dinas walikota. Media lokal turut mendukung wacana relokasi dengan menerbitkan berita tentang relokasi PKL Monumen Banjarsari.

Dari upaya yng dilakukan oleh Pemkot Surakarta, akhirnya seluruh PKL Monumen Banjarsari bersedia mendaftarkan diri untuk direlokasi ke Semanggi sebelum akhir Januari tahun 2006. Bentuk kesediaan dan dukungan PKL Banjarsari terhadap program relokasi, selain kesediaan mendaftar untuk direlokasi, juga berupa spanduk yang dipasang di berbagai tempat dan

lokasi, misalnya spanduk bertuliskan “Seluruh PKL

Monumen’45 Banjarsari siap direlokasi ke Semanggi”, “Terima kasih kepada Pemkot Surakarta yang telah memikirkan nasib kami”, “Kami pro Relokasi”, “Terima kasih kepada Bapak Jokowi dan Bapak Rudy yang telah memikirkan nasib dan keluarga kami”, dan sejumlah spanduk lainnya.

Upaya relokasi PKL Banjarsari ke Sentra PKL yang baru, yaitu Semanggi dilakukan secara sistematis dan terstruktur, terlihat dari jadwal yang disusun oleh Pemkot Surakarta. Jadwal relokasi itu adalah sebagai berikut.

Pertama, pendataan PKL pada bulan September 2005.

Kedua, desain teknis dan rancangan penempatan pedagang atau zoning kios pada bulan Oktober 2005.

Ketiga, sosialisasi intern oleh Pemkot Surakarta kepada PKL, bekerjasama dengan perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, tokoh masyarakat, dan media massa pada bulan November 2005.

Keempat, persiapan dan pelaksanaan pembangunan konstruksi pada bulan Januari-Mei 2006.

(9)

Kelima, pelaksanaan relokasi, yang meliputi persiapan para PKL, pelaksanaan boyongan bersama, peresmian dan pembukaan oleh walikota pada bulan Juni 2006.

Keenam, revitalisasi monumen, yakni persiapan, perataan tanah, pekerjaan saluran, pemagaran, pavingisasi, pengaspalan jalan, pekerjaan konstruksi sarana bermain anak, jalan setapak,

dan penyelesaian (finishing ) pada bulan Juni-Juli 2006.

Ketujuh, peresmian pemanfaatan kawasan Monumen”45 Banjarsari, diawali dengan upacara bendera dipimpin walikota pada tanggal 17 Agustus 2006.

Sumber: Dokumen Pribadi Gambar 44. Pasar Klitikan Notoharjo Semanggi dilihat dari

depan

Tidak seperti halnya pemerintah kabupaten dan kota lainnya, Pemkot Surakarta sangat serius dalam mempersiapkan lokasi baru bagi pedagang kaki lima yang direlokasi. Pemkot telah menyiapkan lahan di Semanggi seluas 11.950 m² dan di atas lahan itulah dibangun 1.018 kios dan sarana prasarana lainnya, di antaranya adalah tempat parkir mobil, parkir sepeda

(10)

motor, koridor, kantor pengelola, mushola, dan lavatory atau kamar mandi dan toilet umum (Badan Informasi dan Komunikasi Pemkot Surakarta 2007).

Pemilihan lokasi Semanggi bukannya tanpa pertimbangan. Lokasi Semanggi dipilih dengan pertimbangan bahwa lokasi tersebut memiliki potensi ekonomi dan sosial yang tinggi, di antaranya sarana transportasi lengkap, ada pusat kegiatan sebagai pemacu pertumbuhan kawasan, seperti pasar besi, pasar ayam, pasar klitikan, pasar rakyat, rumah toko, subterminal dan bongkar muat, perumahan, penginapan, hotel, restoran, rumah sakit, dan tempat ibadah.

Sumber: Dokumen Pribadi Gambar 45. Subterminal yang menunjang aktivitas ekonomi

PKL di Pasar Notoharjo

PKL yang dipindah diyakini tetap laku, karena citra usaha PKL Monjari telah terbentuk dengan baik, harga barang lebih murah dibandingkan dengan harga di toko-toko, sarana angkutan yang memadai, seperti angkota, bis kota, dan bis antar wilayah, sarana kawasan memadai, seperti jalan, subterminal,

(11)

penunjuk arah dan pusat kegiatan lainnya, serta kenyamanan pembeli pun lebih baik daripada ketika harus berdesak-desakan membeli barang ketika masih di Monumen Banjarsari. Dalam realitasnya, dagangan dan usaha PKL Monjari yang telah berpindah di Semanggi laku dan diminati pembeli. Seperti diungkapkan pak Marsudi (40 tahun), salah seorang penjual pakaian berikut ini.

“awal pindah memang agak sepi pak…setelah 2 tahun di sini, pembeli dan pelanggan mulai berdatangan. Kita tidak kehilangan pelanggan pak, karena kita sudah punya nomor kontak (handphone), sehingga ketika kita pindah…mereka sudah kita beritahu…kapan mereka butuh barang, mereka tinggal telepon…usaha kita juga tidak mati, karena kita pindah bersama-sama…istilahnya “bedol deso” pak…jadi ya pasar tetap hidup” (wawancara dengan Marsudi, Kamis, 28 April 2011).

Pedagang kaki lima yang pindah bersama-sama ke Semanggi, menurut pak Marsudi banyak diantaranya yang lulusan perguruan tinggi. “Mungkin faktor pendidikan inilah yang turut memengaruhi mengapa kepindahan PKL ke Semanggi berjalan mulus pak”, demikian ungkap pak Marsudi. “Saya sendiri lulusan sebuah perguruan tinggi swasta di Semarang, jelek-jelek saya sarjana lho pak, meskipun pekerjaan saya hanya berjualan pakaian” (wawancara dengan Marsudi, Kamis, 28 April 2011).

Para pedagang kaki lima eks Monumen Banjarsari yang telah pindah ke Semanggi memperoleh fasilitas dan perlakuan

yang baik dari pemerintah kota Surakarta. Untuk

memperlancar kepindahan ke Semanggi, utamanya untuk

mengangkut barang-barang dagangan dengan segala

perlengkapan dagang lainnya, Pemkot telah menyediakan 40 truk dengan 80 orang tenaga angkut (Badan Informasi dan Komunikasi Pemkot Surakarta 2007). Kios yang ditempati PKL

(12)

juga diberikan secara cuma-cuma, tidak ditarik bayaran sedikit pun. Pembagian kios diserahkan kepada para pedagang atau paguyuban, didampingi oleh jajaran pemerintah kota. Desain atau tata letak kios juga disesuaikan dengan kebutuhan pedagang, sehingga setiap pembeli bisa merasakan kenyamanan dalam setiap transaksi.

Sebelum menjalankan usaha sebagai PKL, para pedagang juga difasilitasi Pemkot dalam mengurus izin penempatan. Mereka yang telah memenuhi persyaratan akan memperoleh izin penempatan dengan diberi Surat Hak Penempatan dan Kartu Pengenal, yang berlaku satu tahun. Surat hak atau surat izin penempatan yang diberikan kepada PKL gratis. Hal ini sesuai dengan amanat pasal 7 Perda Nomor Tahun 2008 tentang Pengelolaan Pedagang Kaki Lima, yang berbunyi “dalam memberikan izin penempatan PKL, pemerintah daerah tidak memungut biaya”.

Kemudahan yang diberikan Pemkot kepada PKL tidak hanya masalah perizinan penempatan PKL, tetapi juga pengurusan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) dan Tanda Daftar Perusahaan (TDP), yang semuanya diberikan tanpa ditarik bayaran. Dalam hal pengembangan usaha PKL di Pasar Notoharjo Semanggi, Pemkot juga membantu pedagang kaki lima dalam pemasaran produk. Upaya promosi dilakukan, baik melalui media massa cetak dan elektronik, maupun melalui pemasangan baliho, spanduk, dan penyelenggaraan kegiatan khusus agar lokasi baru cepat dikenal.

Tidak seperti halnya pemerintah kabupaten dan pemerintah kota lainnya, Pemkot Surakarta di bawah kepemimpinan walikota Joko Widodo, telah melakukan pendekatan budaya dalam menata PKL, utamanya PKL Monumen Banjarsari. Relokasi atau boyongan dari Monumen Banjarsari ke Pasar Notoharjo Semanggi dilakukan dalam sebuah upacara kirab budaya, yang melibatkan unsur

(13)

pemerintah kota Surakarta, anggota DPRD, beberapa elemen masyarakat, dan para pedagang kaki lima. Prosesi kirab budaya yang menandai boyongan resmi para pedagang kaki lima (PKL) dari kawasan Monumen Banjarsari menuju lokasi baru di Semanggi Pasar Kliwon yang diberi nama baru Pasar Notoharjo dilakukan pada tanggal 23 Juli 2006.

Pindahan atau “bedol deso” PKL Banjarsari ke Semanggi

terbilang langka, karena (1) jumlah PKL yang pindah secara sukarela relatif banyak, yaitu 989 pedagang, (2) mereka pindah secara bersama-sama, dan (3) peserta kirab berjalan kaki menuju Semanggi dengan berpakaian adat Jawa, termasuk walikota dan wakil walikota Surakarta. Kirab budaya juga dimeriahkan oleh kehadiran kereta kuda, barisan prajurit dari Keraton Kasunanan Surakarta, Mangkunegaran dan Kelompok Sadar Wisata. Setelah melalui rute yang telah ditentukan, peserta kirab disambut Gubernur Jawa Tengah, Mardiyanto, di pasar Klitikan Notoharjo Semanggi. Perhatian yang besar dari pemerintah kota maupun pemerintah provinsi dan perasaan “diuwongke” (diperlakukan secara manusiawi) inilah yang menjadi kunci mengapa para pedagang kaki lima di Monumen Banjarsari bersedia pindah ke Semanggi.

Relokasi PKL Monumen Banjarsari sebagai bagian dari kebijakan penataan PKL di kota Surakarta boleh dibilang sukses dan sudah 6 tahun ini para PKL menjalankan aktivitas ekonominya di lokasi yang baru, yaitu Pasar Klitikan Notoharjo Semanggi. Selain membangun pasar Notoharjo untuk pedagang kaki lima Monumen Banjarsari, Pemkot Surakarta juga membangun pasar Panggung Rejo dan Pucang Sawit. Sementara itu, pedagang kaki lima lainnya, yang telah memiliki gerobak

disediakan Shelter, yaitu di Surakarta Square, DKT, Manahan,

Jebres, dan tempat lainnya. Kebijakan yang diambil Pemkot Surakarta terhadap PKL, tidak hanya bersifat penataan, tetapi juga pemberdayaan dan pembinaan.

(14)

Dalam rangka pemberdayaan dan pembinaan PKL, Pemkot

Surakarta telah memberikan pelatihan atau training kepada

pedagang kaki lima, seperti training tentang bagaimana

melayani pembeli, training penataan barang, dan training

manajemen (wawancara dengan Joko Widodo, Walikota Surakarta, Kamis, 28 April 2011). Pemberdayaan yang dilakukan oleh Pemkot Surakarta sesuai dengan arahan pasal 12 ayat (1) Perda nomor 3 Tahun 2008, yang menyatakan bahwa untuk pengembangan usaha PKL, Walikota berkewajiban memberikan pemberdayaan, berupa (a) bimbingan dan penyuluhan manajemen usaha, (b) pengembangan usaha melalui kemitraan dengan pelaku ekonomi yang lain, (c) bimbingan untuk memperoleh peningkatan permodalan, dan (d) peningkatan sarana dan prasarana PKL.

Ketika ditanya, mengapa pak Walikota berkenan memberdayakan PKL? Berikut jawaban pak Joko Widodo, “PKL adalah pedagang sektor informal dan mereka merupakan aset ekonomi kota, sehingga harus diberdayakan” (wawancara dengan Joko Widodo, Walikota Surakarta, Kamis, 28 April 2011). “Lagipula,” masih menurut pak Jokowi, panggilan akrabnya, “pada tahun 2010, PKL bersama pasar memberikan sumbangan yang cukup besar terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD), yaitu sebesar 19 milyar rupiah, sedangkan sektor lainnya termasuk rendah, seperti terminal hanya 2,8 milyar rupiah; restauran menyumbang 6 milyar rupiah, dan hotel sumbangannya sebesar 9,8 milyar rupiah”. Keberhasilan Pemkot Surakarta dalam menata PKL, utamanya PKL Monumen Banjarsari sedikit banyak memberi dukungan terhadap visi kota Surakarta sebagai kota budaya yang bertumpu pada potensi perdagangan, jasa, pendidikan, pariwisata, dan olahraga.

Semarang merupakan ibukota Provinsi Jawa Tengah, maka tidak heran jika Semarang menjadi tempat tujuan para migran dari desa yang ingin mengubah nasib lebih baik dengan bekerja

(15)

di kota. Tahun 2005, penduduk migran yang datang ke kota Semarang mencapai angka 38.910 orang (RPJPD Kota Semarang Tahun 2005-2025). Pada tahun-tahun berikutnya, terjadi peningkatan jumlah migran, yaitu tahun 2006 meningkat menjadi 42.714 orang, tahun 2007 menjadi 43.151 orang, dan tahun 2008 meningkat lagi menjadi 44.187 orang (Bappeda dan BPS Kota Semarang 2010). Tahun 2009 merupakan tahun penurunan jumlah migran di kota Semarang, yakni 35.518 orang, namun demikian jumlah tersebut tetap signifikan jika dikaitkan dengan persoalan kesempatan kerja.

Sebagai ibukota Provinsi Jawa Tengah, Semarang menyediakan berbagai fasilitas ekonomi dan sosial budaya, yang memberi daya tarik tersendiri bagi para migran. Fasilitas fisik, seperti hotel, mall, ritel, tempat-tempat hiburan, serta restoran, kafe dan warung-warung makan, memberikan daya tarik bagi migran untuk mencari pekerjaan. Demikian pula, bangunan kota lama, seperti Gereja Blenduk, Lawang Sewu, Tugu Muda, dan Kuil Sam Poo Kong, menarik para wisatawan lokal maupun pendatang untuk berekreasi. Bangunan baru, yaitu Anjungan Jawa Tengah yang ada di pantai Marina dan Masjid Agung Jawa Tengah juga tidak pernah sepi dari pengunjung, baik lokal Semarang maupun dari luar Semarang. Industri dan pabrik-pabrik yang ada di kawasan dalam kota Semarang maupun di sekitarnya, seperti pabrik tekstil, kayu olahan, keramik, mebel, rokok, jamu, makanan, minuman, dan lain-lain, menyediakan lapangan kerja yang mencukupi bagi warga kota Semarang maupun para migran.

Para migran yang tidak tertampung bekerja di sektor formal dapat mengais rezeki dari sektor informal dengan berdagang atau menjalankan usaha di tempat-tempat keramaian yang tersebar di 16 kecamatan. Mereka kebanyakan berdagang atau menjalankan usaha di kota bawah, karena daerah padat penduduk ada di wilayah kota bawah. Daerah padat penduduk di kota bawah, tersebar di kecamatan Semarang Tengah,

(16)

Semarang Utara, Semarang Timur, Gayamsari, Genuk, Pedurungan, Semarang, Candisari, Gajahmungkur, Semarang Barat, dan Tugu. Kota bawah ini merupakan pusat kegiatan pemerintahan, perdagangan, perindustrian, pendidikan dan kebudayaan.

Arus lalu lintas manusia yang ada di kota bawah menjadi daya tarik bagi PKL. Tepi bantaran sungai, tepi jalan protokol dan jalan umum lainnya, lingkungan pabrik, lingkungan kantor, lingkungan pertokoan, lingkungan mall, lingkungan pasar tradisional, trotoar, taman kota, lingkungan kampus perguruan tinggi dan sekolah, dan tempat-tempat keramaian lainnya, penuh dengan para pedagang kaki lima (PKL). Para PKL ini sering menempati daerah atau area yang terlarang atau dilarang oleh Perda nomor 11 tahun 2000.

PKL yang terorganisasi dengan baik telah ditata oleh Pemkot Semarang, dengan ditempatkan pada lokasi yang tidak mengganggu arus lalu lintas, misalnya PKL Kalisari yang menjalankan usaha berdagang tanaman bunga dan PKL Barito yang menjalankan usaha perdagangan barang-barang klitikan. Para PKL yang berdagang barang-barang klitikan dan alat-alat pertanian dan rumah tangga juga ditempatkan di sentra PKL Kokrosono. PKL yang berdagang makanan dan minuman yang semula berada di kawasan jalan Pahlawan, ditempatkan di lokasi PKL jalan Menteri Soepeno. PKL-PKL terorganisasi tersebut memperoleh perhatian yang memadai dari Pemkot, baik dalam hal perizinan, permodalan, tempat usaha, gerobak atau lapak, dan perlindungan.

Sementara itu, di luar PKL terorganisasi terdapat PKL lainnya yang oleh pihak Pemkot disebut PKL liar. PKL jenis ini menempati hampir di semua wilayah kecamatan yang ada di kota Semarang. Mereka berdagang atau menjalankan usaha tidak hanya pada pagi hingga siang hari, tetapi ada juga yang berdagang dari sore hingga malam hari. Di antara para PKL liar

(17)

tersebut adalah PKL yang menjalankan aktivitas ekonomi yang ada di tepi bantaran sungai Kaligarang dan Banjir Kanal Barat, yaitu PKL Sampangan, PKL Basudewo, dan PKL Kokrosono.

Kemacetan lalu lintas, kekotoran, kekumuhan, dan

kesemrawutan merupakan pandangan sehari-hari ketika para pengguna jalan atau siapa pun yang melintasi jalan-jalan yang padat PKL.

Di antara ketiga lokasi PKL yang menjadi objek penelitian ini, lokasi PKL Kokrosono yang dipandang paling ramai, semrawut, dan kumuh. Hal ini karena: (1) para PKL umumnya menjajakan barang-barang bekas, berupa barang klitikan, (2) mereka kebanyakan berjualan secara lesehan, menggelar barang dagangan seperti apa adanya di tepi jalan, dan (3) jalan Kokrosono lebarnya tidak lebih dari 6 meter, sehingga ketika ditempati para PKL di sisi kanan dan kiri, akan makin sempit dan mengganggu arus lalu lintas.

Proyek pembangunan waduk Jatibarang dan normalisasi sungai Kaligarang dan Banjir Kanal Barat, yang telah lama menjadi prioritas Kementerian Pekerjaan Umum, mulai dikerjakan pada tahun 2009 dan diharapkan akan berakhir pada tahun 2014. Proyek normalisasi sungai tentu saja memberikan pengaruh terhadap keberadaan para PKL yang menjalankan aktivitas ekonomi di sisi sungai. Pembangunan fisik sungai, mulai dari pengerukan lumpur akibat dari sedimentasi sungai yang sudah terlalu lama dan pembuatan talut, telah menyingkirkan PKL yang menempati tepi sungai, baik mereka yang ada di Sampangan, Basudewo, maupun Kokrosono.

Sebagai bagian dari pemerintah pusat, tentu saja pemerintah kota Semarang mengambil sikap mendukung proyek, sehingga diambil kebijakan relokasi bagi PKL yang menempati wilayah tepi sungai. Apalagi rencana normalisasi sungai Kaligarang dan sungai Banjir Kanal Barat juga sudah dituangkan dalam RPJPD kota Semarang tahun 2005-2025,

(18)

RPJMD kota Semarang tahun 2010-1015, dan RTRW kota Semarang tahun 2011-2031.

Normalisasi sungai Kaligarang dan Banjir Kanal Barat ditandai dengan aktivitas merapikan sungai, tidak hanya di dalam dan di pinggir (DAS dan sempadan), tetapi juga menata dan merapikan lingkungan di sisi kanan dan kiri sungai yang ditempati para pedagang. PKL terkena dampaknya, tidak dapat menjalankan aktivitas ekonomi dan harus keluar dari wilayah tersebut. Relokasi ini diawali dengan tindakan penertiban yang dilakukan oleh Pemkot Semarang. Tidak adanya komunikasi yang efektif antara Pemkot dengan para PKL, penertiban yang dilakukan oleh Pemkot menyebabkan terjadinya perlawanan dari para PKL, terutama mereka yang menjalankan aktivitas di Sampangan dan Basudewo. Demikian pula, tidak adanya perencanaan yang komprehensif dari Pemkot, menyebabkan perlawanan (resistensi) di kalangan para PKL.

Tidak seperti yang dilakukan oleh pemerintah kota Surakarta, strategi Pemkot Semarang dalam menata PKL lebih diutamakan pada dua hal, yaitu penertiban (penggusuran) dan relokasi. Sebagaimana sudah dikemukakan sebelumnya, penertiban terhadap PKL dilakukan di hampir semua pelosok kota yang terdapat pedagang sektor informal. Pedagang nasi, pedagang makanan dan minuman, pedagang jajanan oleh-oleh khas Semarangan, pedagang bunga, dan pedagang barang-barang bekas yang berjualan di tepi sungai, di trotoir, di taman-taman kota, dan tempat-tempat lain yang terlarang, pernah mengalami penertiban dan penggusuran. Ada yang kapok, lalu tidak berjualan lagi di tempat tersebut, tetapi banyak juga yang kembali berjualan ketika mereka merasa aman dan tidak ada

tindakan penertiban dari aparat Satpol PP. Taktik “run and

back” yang mereka gunakan, yaitu lari menyingkir dan kembali

(19)

Pemkot menertibkan para pedagang tersebut, lebih didasari oleh kepentingan sepihak, yaitu menata kota agar tertib, asri, indah, bersih, aman, dan nyaman. Hal ini dilakukan untuk mengejar tujuan jangka pendek, yaitu dalam rangka meraih penghargaan Adipura. Sementara itu, kepentingan pedagang, untuk memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarganya tidak begitu diperhatikan. Pendek kata, yang penting kota bersih, tidak ada lagi PKL yang mengotorinya, demikian yang dikehendaki Pemkot.

Selain tujuan jangka pendek di atas, kebijakan yang ditempuh Pemkot Semarang dalam menata PKL tersebut juga didasari oleh tujuan jangka panjang Pemkot untuk mewujudkan Semarang sebagai kota perdagangan dan jasa. Sesuai dengan Perda Nomor 12 Tahun 2011 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Semarang Tahun 2010-2015, Pemkot Semarang ingin mewujudkan visi kota Semarang, yaitu terwujudnya kota Semarang sebagai kota Perdagangan dan Jasa yang berbudaya menuju Masyarakat Sejahtera.

Visi kota Semarang ini sejalan dengan visi walikota Semarang Soemarmo HS, yakni yang terkenal dengan sebutan SETARA atau Semarang Kota Sejahtera. Waktunya Semarang Setara, sebagaimana sering diucapkan walikota dalam berbagai kesempatan, dimaksudkan untuk membangun motivasi dan mengoptimalkan potensi kota Semarang, melalui komitmen seluruh pemangku kepentingan (pemerintah, masyarakat, dan swasta) untuk bersama-sama membangun kota Semarang dan

mensejajarkannya dengan kota metropolitan lainnya.

Waktunya Semarang Setara juga dimaksudkan sebagai momentum kebangkitan seluruh masyarakat kota Semarang agar mampu menjadikan kota Semarang sejajar dengan kota-kota metropolitan lainnya dalam segala aspek kehidupan, guna mencapai kesejahteraan bersama. Oleh karenanya, Semarang

(20)

Kota Sejahtera merupakan sasaran akhir dari pembangunan kota, terutama pada masa kepemimpinan Soemarmo HS.

Untuk mewujudkan visi kota Semarang, Pemkot Semarang merumuskan misi sebagai berikut.

Pertama, mewujudkan sumberdaya manusia dan masyarakat kota Semarang yang berkualitas.

Kedua, mewujudkan pemerintahan kota yang efektif dan efisien, meningkatkan kualitas pelayanan publik, serta menjunjung tinggi supremasi hukum.

Ketiga, mewujudkan kemandirian dan daya saing daerah.

Keempat, mewujudkan tata ruang wilayah dan infrastruktur yang berkelanjutan.

Kelima, mewujudkan kesejahteraan sosial masyarakat. Visi dan misi kota Semarang diwujudkan dengan memprioritaskan program-program pembangunan dalam bentuk Sapta Program, yang meliputi (1) program penanggulangan kemiskinan dan pengurangan pengangguran, (2) program penanganan rob dan banjir, (3) program peningkatan pelayanan publik, (4) program tata ruang dan peningkatan infrastruktur, (5) program peningkatan kesetaraan dan keadilan gender, (6) program peningkatan pelayanan pendidikan, dan (7) program peningkatan pelayanan kesehatan (http://semarangkota.go.id/cms/index.php?option=com_content &task=view&id=34&Itemid=53. diunduh pada hari Kamis, 8 September 2011).

Kebijakan Pemkot Semarang yang tidak komprehensif, yang hanya bertumpu pada penertiban dan relokasi, serta didukung oleh sikap petugas Satpol PP yang arogan, akhirnya menimbulkan tingkat akseptabilitas yang rendah di kalangan pedagang. Pada hampir semua tempat yang digusur, para pedagang memperlihatkan reaksi yang hampir sama, yaitu

(21)

menolak dan melawan. Penolakan dan perlawanan yang dilakukan PKL memiliki motif yang sama, yaitu untuk mempertahankan lokasi berdagang demi menyambung hidup. Gambar di bawah ini menunjukkan bagaimana arogansi dari petugas Satpol PP dan bagaimana reaksi dari pedagang kaki lima yang digusur.

Sumber: Suara Merdeka Kamis, 14 Juli 2011 Gambar 46. Petugas Satpol PP sedang membongkar Lapak

PKL di Indraprasta Semarang

Pembongkaran empat bangunan PKL di Jalan

Kusumawardani Semarang pada tanggal 19 Mei 2011 misalnya, menimbulkan perlawanan dari PKL (Suara Merdeka, Jumat, 20 Mei 2011). Sebagaimana diberitakan Suara Merdeka tersebut, proses pembongkaran bangunan sempat diwarnai kericuhan dan para pedagang melakukan perlawanan karena mereka merasa belum pernah mendapatkan teguran dan peringatan sebelumnya. Pedagang kecil, seperti pedagang bakso, meskipun sendirian, berani melawan dan menolak digusur ketika sedang berjualan. Tipologi perlawanan yang dilakukan PKL, yaitu membandel, bertahan di tempat atau tidak mau dipindah.

(22)

Sumber: Semarang Metro, 21 Juni 2011 Gambar 47. Pedagang Bakso bersitegang dengan Aparat

Satpol PP di Jl.Pandanaran Semarang

Sikap membandel dari pedagang bakso di atas merupakan

salah satu contoh dari perlawanan “wong cilik” terhadap

kebijakan penertiban dan penggusuran yang dilakukan Pemkot. Perlawanan yang hebat dan sistematis, terjadi di lokasi PKL Sampangan dan Basudewo, karena bangunan dan lapak mereka dibongkar oleh petugas Satpol PP. Bukan hanya itu yang membuat mereka melawan. Tidak adanya kepastian relokasi yang representatif, membuat mereka menolak dipindahkan dan tetap bertahan di lokasi.

B. Keberhasilan Penataan PKL: Belajar dari Relokasi PKL

Monjari

Surakarta merupakan sedikit dari pemerintah daerah yang memiliki kebijakan dan strategi dalam menata dan membina pedagang kaki lima (PKL) tanpa adanya penentangan yang berarti dari para PKL. Pemindahan pedagang kaki lima (PKL)

(23)

Monumen Banjarsari (Monjari) ke sentra PKL Notoharjo merupakan contoh dari kebijakan relokasi yang bagus. Sejak dilakukan boyongan pada tanggal 23 Juli 2006 ke lokasi PKL Semanggi, praktis pemerintah kota Surakarta tidak menemui hambatan berarti dalam penataan PKL.

Namun demikian, persoalan PKL di kota Surakarta tidak berarti telah selesai, sebab jumlah PKL yang berhasil ditangani baru 989 yakni mereka yang dahulu melakukan aktivitas ekonomi di Monumen Banjarsari. Padahal sebagaimana diketahui, jumlah PKL di Surakarta pada tahun 2006 yang lalu saja sudah mencapai angka 5.817 pedagang. Mereka belum semua tertangani dengan baik, namun pendekatan yang ditempuh Pemkot Surakarta berpedoman pada Perda Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Pedagang Kaki Lima, ditengarai dapat mengatasi masalah pedagang kaki lima di kota Surakarta, apalagi Pemkot Surakarta juga telah melakukan banyak hal untuk mengakomodasi kepentingan dan kebutuhan para PKL, yakni selain memperbaiki pasar yang dapat menampung para PKL, juga membuat selter-selter dan memberikan bantuan gerobak kepada PKl yang bersedia dibina dan dikembangkan. Seperti halnya pemerintah kabupaten dan pemerintah kota lainnya, Pemkot Surakarta pun tidak segan-segan melakukan penertiban bagi pedagang kaki lima yang melanggar Perda.

Keberhasilan relokasi PKL Monumen Banjarsari ke pasar Klitikan Notoharjo Semanggi merupakan langkah awal dari penataan PKL di kota Surakarta. Bagi Walikota dan Wakil Walikota Surakarta, keberhasilan penataan PKL Monumen Banjarsari tidak berarti penataan PKL di kota Surakarta telah paripurna, tetapi justru keberhasilan penataan PKL Monumen Banjarsari dijadikan sebagai momentum, pengalaman, dan pembelajaran yang berharga dalam menata PKL di tempat lainnya, yang jumlahnya juga tidak sedikit. Apalagi pemerintah kota dan masyarakat memiliki tekat yang sama, yaitu ingin

(24)

menjadikan kota Surakarta tetap BERSERI, yakni bersih, sehat, rapi, dan indah. Komitmen Jokowi, sang walikota yang penampilannya sederhana dan penuh kesantunan ini, untuk tetap membela kepentingan usaha mikro, kecil, dan menengah, termasuk di dalamnya PKL memberi kontribusi bagi keberhasilan penataan PKL. Keberpihakan pak walikota kepada rakyat kecil, utamanya para pedagang kaki lima, ditunjukkan secara terang-terangan, seperti dalam ungkapan berikut.

“Saya membela PKL, karena mereka merupakan aset ekonomi bagi kota Surakarta pak…dengan dididik dan

diberdayakan, mereka akan tumbuh menjadi

pengusaha yang tidak kalah hebatnya dari pengusaha kaya yang memiliki mall-mall di Surakarta. Saya

sendiri tidak anti mall, juga tidak anti

pengusaha…tetapi kita harus cermat dalam

memberikan izin mendirikan mall…jangan sampai karenanya, kegiatan ekonomi pedagang kecil mati” (wawancara dengan Joko Widodo, walikota Surakarta, Kamis, 28 April 2011).

Kepemimpinan Jawa yang dihayati pak Jokowi, diduga memengaruhi sikapnya terhadap pedagang kaki lima selama ini. Dalam kepemimpinan Asthabrata, pak Jokowi termasuk tipe pemimpin yang berwatak matahari. Matahari diyakini memiliki manfaat yang besar, sehingga ia diambil sebagai tamsil dalam ajaran Asthabrata (Suratno 2006:79). Sebagai sang surya, matahari menjadi sumber kehidupan bagi semua makhluk, baik hidup maupun makhluk tidak hidup. Pemimpin berwatak matahari memiliki karakter yang sama dengan matahari, yaitu menerangi dunia, memberikan kehidupan kepada semua makhluk, sabar dalam menjalankan tugas, dan ikhlas memberikan miliknya kepada orang lain (Suratno 2006:79).

Penampilannya yang sederhana dan tutur katanya yang halus, menunjukkan bahwa pak Jokowi orang yang tidak arogan, sok kuasa; justru sebaliknya, pak Jokowi adalah tipe

(25)

walikota ideal, yang kehalusan budi dan kesederhanaannya, patut menjadi teladan bagi masyarakatnya. Sifat tidak “tega” melihat rakyatnya menderita, membuat pak Jokowi dicintai oleh masyarakatnya.

Dalam kaitannya dengan rakyat, pemimpin Jawa juga memiliki tiga prinsip hidup yang selalu melekat pada dirinya,

yaitu “ngayomi” (memberi perlindungan), “ngayemi”( membuat

tenteram), dan “ngayani” (memberi kesejahteraan) atau dikenal

dengan prinsip 3N.

Seseorang dijadikan atau dipilih sebagai pemimpin, sesuai dengan prinsip 3N di atas, harus mampu memberikan perlindungan kepada rakyat, siapa pun juga, apakah mereka rakyat jelata yang tidak memiliki apa-apa hingga rakyat berada atau mempunyai harta berlebih.

Pemimpin dengan ucapan, sikap, dan perilakunya tidak menyakiti hati rakyat atau membuat mereka menderita. Justru dengan kepemimpinannya, rakyat harus dibuat tenteram dan nyaman hidupnya. Pemimpin seperti ini, jika pergi akan dirindukan bawahannya dan ketika ada di tengah-tengah bawahannya, membuat bawahan merasa senang.

Pemimpin Jawa juga harus berjiwa “memberi”, memiliki sikap dermawan, peduli kepada rakyatnya, dan akan sedih hatinya jika rakyatnya hidup dalam penderitaan dan kemiskinan. Apa pun akan dilakukan pemimpin untuk menyenangkan dan membuat bahagia rakyatnya.

Jokowi adalah tipikal pemimpin Jawa yang “Njawani”,

karena mampu menterjemahkan prinsip 3N, dengan memberikan apa yang terbaik bagi rakyat Surakarta, khususnya mereka yang berada pada lapisan menengah ke bawah.

Strategi komprehensif yang dilakukan oleh Pemkot Surakarta dalam menata PKL menunjukkan keberhasilan, terutama dilihat dari tidak adanya resistensi dari para pedagang,

(26)

bahkan mereka sangat antusias merespon kebijakan relokasi yang ditentukan Pemkot. PKL Monjari yang pindah ke pasar

Notoharjo Semanggi, merasa dirinya “diuwongke”

(dimanusiakan), sehingga kepindahannya ke Pasar Notoharjo Semanggi tidak menimbulkan gejolak. Akseptabilitas yang tinggi, ditunjukkan oleh ekspresi mereka dalam merespon kebijakan pak walikota, menjadi preseden yang bagus sekaligus bisa menjadi contoh bagi daerah lain yang memiliki kebijakan dalam penataan pedagang kaki lima.

Dari uraian keberhasilan relokasi PKL Monjari ke Notoharjo Semanggi, dapat disimpulkan bahwa terdapat 3 faktor yang berkontribusi terhadap keberhasilan penataan PKL Monjari oleh Pemkot Surakarta.

Pertama, kepemimpinan Walikota Surakarta Joko Widodo yang “Njawani”, yang lebih berpihak kepada kepentingan wong cilik, sehingga ia diterima dengan baik oleh masyarakat Surakarta, utamanya rakyat kecil.

Kedua, pendekatan kebudayaan (berbasis budaya Jawa) dalam kebijakan penataan PKL menjadikan apa yang dikehendaki walikota Surakarta juga merupakan keinginan PKL, sehingga relokasi ke pasar Notoharjo tidak menemui hambatan.

Ketiga, relokasi PKL Monjari ke pasar Notoharjo berjalan

dengan baik, karena adanya blue print penataan PKL Surakarta,

mulai dari sosialisasi sampai dengan kegiatan relokasi dan pasca relokasi.

Keberhasilan Pemkot Surakarta di bawah kepemimpinan Walikota Joko Widodo dalam menata pedagang kaki lima, membuat banyak pemimpin daerah kabupaten dan kota belajar dari kisah sukses pak Jokowi. Bahkan delegasi negara tetangga, yaitu Philipina, Kamboja, Vietnam, dan Thailand pernah berkunjung ke Surakarta untuk belajar bagaimana pemerintah

(27)

kota, terutama walikotanya dalam menata PKL tanpa menimbulkan gejolak (Kompas, Kamis, 24 Juni 2010, halaman 22). Kondisi PKL pasca relokasi juga menjadi daya tarik bagi pemimpin daerah dalam negeri maupun luar negeri yang hendak belajar dalam menata dan membina PKL. Aktivitas ekonomi yang berjalan baik di Pasar Notoharjo Semanggi, didukung oleh fasilitas pasar dan kebersihan yang bagus, memberikan nilai plus kepada kebijakan pemerintah kota Surakarta, utamanya kebijakan pasca relokasi.

Tidak banyak pemerintah kota dan pemerintah kabupaten yang sukses dalam menata PKL pasca relokasi. Ambil contoh, relokasi PKL Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono (liar) ke sentra PKL Kokrosono, yang dilakukan Pemkot Semarang, hingga kini masih menyisakan persoalan. Sentra PKL Kokrosono yang menjadi tempat relokasi bagi PKL Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono liar terdapat gedung untuk relokasi yang tidak dilengkapi kios yang dapat digunakan oleh PKL untuk menjalankan usahanya.

Di tempat tersebut, kios harus dibuat sendiri dengan biaya sendiri, sehingga standar kios tidak ada. Hal ini jelas memberatkan dan menjadi salah satu alasan mengapa PKL yang direlokasi tidak segera pindah ke sentra PKL Kokrosono. Kios yang harus dibangun di lantai dua menjadi hambatan bagi PKL yang berdagang nasi, membuka usaha bengkel, dan PKL yang menjalankan usaha mebel. Pembeli yang enggan naik ke lantai dua menjadi alasan pula mengapa cukup banyak PKL yang tidak bersedia pindah menempati gedung yang sudah disediakan pemerintah.

Tidak ada adanya standar bangunan kios dan tidak adanya bantuan dana untuk membuat kios, menyebabkan para PKL yang bersedia dipindah, membuat sendiri kiosnya dengan bahan-bahan baku bekas, seperti papan kayu untuk ruang kios, cat seadanya, dan lantai ada yang “dikeramik” dan ada pula

(28)

yang dibiarkan polos dari lantai beton. Kios yang ditempati juga dimanfaatkan untuk sembarang usaha dan aktivitas, seperti pembuatan mebel, ternak ayam, warung minuman, kamar tidur, dan lain-lain. Gambar di bawah ini adalah beberapa kios PKL yang dibangun sendiri oleh pedagang di gedung PKL Kokrosono blok H.

Sumber: Dokumen Pribadi Gambar 48. Kios PKL Kokrosono yang harus dibuat sendiri

oleh PKL yang direlokasi

Tidak adanya perencanaan dan pengendalian yang bagus dari Pemkot, membuat banyak kios yang diperjualbelikan oleh PKL tanpa sepengetahuan Pemkot. Konflik antar PKL juga tidak dapat dihindari, karena tidak adanya ketegasan dari Pemkot. Kegiatan penataan kios di gedung G dan H dari 8 gedung berlantai dua yang disediakan untuk kepentingan PKL, yang tidak dikontrol dengan baik oleh Pemkot, menyebabkan terjadinya perebutan tempat antar PKL. Praktik jual beli kios secara liar membuat kondisi PKL Kokrosono menjadi kian tak

(29)

dipindahkan dari tempat lain, membuat lokasi PKL Kokrosono tidak nyaman untuk aktivitas ekonomi. Belum lagi tempat yang kumuh dan kotor di sekeliling gedung PKL Kokrosono, membuat pembeli tidak betah berlama-lama di Kokrosono.

Sikap lepas tangan dari pejabat Pemkot membuat para PKL yang berada di Kokrosono bertindak seenaknya terutama dalam menjualbelikan kios kepada orang lain. Jika dibandingkan dengan sentra PKL di Pasar Notoharjo Semanggi Surakarta, lokasi PKL Kokrosono jauh dari ideal, karena tidak ada fasilitas yang mendukung kelancaran dan kenyamanan bagi PKL dalam menjalankan aktivitas ekonomi, seperti yang terlihat di Pasar Notoharjo. Gambar berikut menunjukkan bahwa bangunan PKL Kokrosono dan lingkungan fisik di sekitarnya tidak terawat dan terkesan kumuh.

Sumber: Dokumen Pribadi Gambar 49. Sentra PKL Kokrosono yang kumuh dan tidak

terawat

Keberhasilan walikota Surakarta dalam melakukan penataan dan pembinaan PKL memberi inspirasi kepada walikota Semarang yang baru, yaitu Soemarmo HS untuk

(30)

memperindah dan mempercantik kota Semarang tanpa menyakiti warga masyarakat miskin, khususnya pedagang kaki lima. Itu pun dilakukan setelah memperoleh masukan dari Paguyuban Pedagang Kaki Lima Kota Semarang (PPKLS), LSM, dan tokoh-tokoh masyarakat. Apa yang dilakukan walikota

Semarang tersebut juga berkaitan dengan “grand strategy”

Pemkot untuk mewujudkan kota Semarang sebagai pusat perdagangan dan jasa sesuai dengan arahan Perda kota

Semarang Nomor 6 Tahun 2010 tentang Rencana

Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) kota Semarang Tahun 2005-2025, Perda kota Semarang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) kota Semarang Tahun 2010-1015, dan Perda kota Semarang Nomor 14 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah kota Semarang Tahun 2011-2031.

Berdasarkan Perda-perda tersebut, walikota sejak

kepemimpinannya pada tahun 2010 melakukan penataan fisik kota Semarang. Daerah pusat kota, seperti area bundaran Simpang Lima dan sekitarnya, jalan Pahlawan, jalan Menteri Soepeno, jalan Pemuda, area Monumen Tugu Muda dan jalan-jalan di sekitarnya ditata dengan apik, yang membuat ruang publik di sekitarnya menjadi indah dan bersih.

(31)

Sumber: Dokumen Pribadi Gambar 50. Ruas jalan Pahlawan yang telah ditata rapi oleh

Pemkot

Sejak itu, banyak warga masyarakat, utamanya anak-anak muda berbondong-bondong mendatangi pusat-pusat kota untuk menikmati keindahan malam kota Semarang. Ada di antara mereka yang sekedar bercengkerama, berbincang-bincang ke sana kemari sekedar untuk melepaskan ketegangan karena lelah beraktivitas pada pagi hingga sore hari. Ada pula yang menyalurkan hobi, seperti berkumpulnya anggota geng motor dan mobil, beradu ketangkasan bersepeda, bermain sepatu roda, menari dan berdansa, serta banyak juga yang menyalurkan hobinya dengan memfoto objek-objek menarik di Tugu Muda maupun di jalan Pahlawan. Ruang publik yang berada di bundaran Simpang Lima, jalan Pahlawan, jalan Menteri Soepeno, jalan Pemuda, dan Monumen Tugu Muda ramai dipadati warga kota Semarang terutama pada hari Jumat hingga Minggu malam.

Selain menata ruang publik menjadi lebih rapi, indah, dan

(32)

diperuntukkan bagi pedagang kaki lima di sekitar bundaran

Simpang Lima dan jalan Menteri Soepeno. Shelter-shelter ini

diberikan secara gratis kepada para PKL yang sejak awal sudah berdagang di sekitar bundaran Simpang Lima dan di tepi jalan Pahlawan. Para PKL yang berjualan di tepi jalan Pahlawan pada akhir tahun 2010 direlokasi ke sentra PKL di jalan Menteri Soepeno, tepatnya di sekeliling Taman KB. Di lokasi PKL yang baru ini, para PKL mendapatkan fasilitas shelter dan gerobak gratis. Berkat kerjasama dengan PT. Coca-Cola, gerobak dapat diberikan secara gratis kepada para pedagang. Gambar di bawah

ini memperlihatkan shelter yang disediakan Pemkot di jalan

Menteri Soepeno.

Sumber: Dokumen Pribadi Gambar 51. Shelter yang disediakan Pemkot untuk PKL

jalan Menteri Soepeno

Oka (30 tahun) adalah salah seorang pedagang yang memperoleh fasilitas sarana prasarana gratis dari pemerintah kota Semarang. Semula ia berdagang di jalan Pahlawan membantu pamannya. Sejak akhir tahun 2010 ia pindah di jalan Menteri Soepeno, sesuai dengan kebijakan Pemkot Semarang

(33)

yang merelokasi PKL yang berjualan di jalan Pahlawan ke lokasi PKL jalan Menteri Soepeno.

Menurut penuturan Oka, semua fasilitas untuk berdagang, yaitu tempat (shelter) dan gerobak disediakan gratis oleh Pemkot. Selain itu, juga disediakan fasilitas air dan listrik. “Sekarang enak pak, serba gratis…kita hanya bayar retribusi untuk Dinas Pasar, yaitu Rp14.000,00, itu sudah termasuk air dan listrik; sedangkan untuk paguyuban kita bayar Rp2.000,00”, kata Oka. Ketika ditanya, berapa pendapatan per hari, dengan agak malu-malu, ia menjawab: “ya tidak pasti pak…kalau dirata-rata per hari hanya Rp50.000,00…sepi pak, tidak seperti ketika berjualan di jalan Pahlawan, ramainya hanya hari Sabtu dan Minggu” (Wawancara dengan Oka, Minggu, 9 Oktober 2011).

Sumber: Dokumen Pribadi Gambar 52. Mbak Oka dengan barang dagangannya

Di jalan Menteri Soepeno awalnya terdapat 48 shelter yang ditempati PKL, yang diberikan kepada (1) PKL yang pada

(34)

waktu pagi hari berjualan di sekitar Taman KB jalan Menteri Soepeno dan (2) PKL Pahlawan yang dipindah ke jalan Menteri Soepeno. Pada bulan November 2011 telah dibangun pula shelter di lokasi yang biasa digunakan berdagang oleh pedagang

jagung bakar dan penjual helm. Bulan Desember, shelter

tersebut telah ditempati oleh pedagang jagung bakar yang berjualan pada malam hari. Di lokasi yang juga berada di jalan Menteri Soepeno ini, dibangun 40 shelter meskipun tempatnya

tidak sebaik shelter yang berada di sekeliling Taman KB,

namun dapat digunakan para pedagang untuk tempat berjualan, karena juga disediakan fasilitas perlistrikan.

Sementara itu, shelter di Bundaran Simpang Lima

jumlahnya ada 87 buah, yang diperuntukkan bagi PKL yang dahulu berdagang di sekitar Bundaran Simpang Lima.

Kedelapan puluh tujuh shelter tersebut mengelilingi bundaran

Simpang Lima, yang berada di sisi barat, selatan, dan timur; sedangkan sisi utara yang berada di depan hotel Ciputra tidak

disediakan shelter karena adanya keberatan dari pihak

manajemen hotel. Demikian pula, di depan masjid Baiturrahman Semarang yang biasa digunakan oleh PKL untuk

berdagang, tidak dibuatkan shelter karena untuk menghormati

warga kota yang hendak sholat di masjid tersebut. Namun demikian, meskipun tidak ada shelter yang dibangun, para

pedagang tetap nekat berjualan di depan masjid. Shelter yang

disediakan untuk pedagang merupakan bagian dari upaya Pemkot Semarang untuk mempercantik Kota Semarang. Untuk

menyelesaikan shelter tersebut, Pemkot telah menghabiskan

anggaran sebesar Rp15 milyar.

Menurut penuturan walikota Semarang, Soemarmo HS, anggaran tersebut digunakan untuk menata dan mempercantik

seluruh bundaran Simpang Lima, termasuk pembuatan shelter

bagi PKL. Ketika ditanyakan mengapa Pemkot harus mengeluarkan sedemikian banyak anggaran guna menata bundaran Simpang Lima, walikota mengungkapkan bahwa,

(35)

besaran anggaran untuk mempercantik Simpang Lima didasarkan atas keberadaan Simpang Lima sebagai wajah utama kota Semarang, bahkan Simpang Lima ini sudah menjadi ikon kota sejak lama (Harian Semarang, Kamis, 26 Agustus 2010, halaman 2).

Gambar di bawah ini merupakan salah satu shelter yang

dibuat di depan E-Plaza Semarang, yang berada di sebelah barat bundaran Simpang Lima. Sejak awal tahun baru (2012), seluruh

shelter yang ada di sekeliling bundaran Simpang Lima sudah digunakan pedagang makanan dan minuman untuk berjualan.

Sejak dioperasikan shelter-shelter tersebut, suasana malam

Simpang Lima makin ramai, karena di sekeliling bundaran Simpang Lima, banyak dipadati para pedagang nasi dan minuman serta pengunjung Simpang Lima yang ingin menikmati suasana malam Simpang Lima sambil makan dan minum.

Sumber: Dokumen Peribadi

(36)

Secara selintas, kebijakan Pemkot Semarang ini sepertinya memberikan manfaat bagi semua PKL yang ada di kota Semarang. Sesungguhnya tidak seperti itu. Hanya PKL yang terorganisasi dan yang mudah terjangkau oleh pemerintah kota Semarang yang diberi perhatian secara memadai oleh Pemkot. Kebijakan diskriminatif dalam penataan PKL ditunjukkan Pemkot.

PKL yang terorganisasi dan dapat ditata, diberi fasilitas untuk menjalankan usaha ekonomi, seperti dibuatkan shelter dan dibantu gerobak untuk berdagang, sedangkan PKL liar yang jumlahnya lebih banyak dari PKL terorganisasi dibiarkan tanpa ada fasilitasi dan mereka rentan terkena penggusuran.

Pembuatan shelter di pinggir bundaran Simpang Lima pun

sesungguhnya dapat dilihat dari dua sisi. Di satu sisi, pemerintah memang peduli kepada kehidupan wong cilik, yaitu PKL, dengan memberikan tempat berdagang di pusat kota. Pada sisi lain, bisa saja pembuatan shelter di pusat kota tersebut untuk memberi kesan bahwa Pemkot Semarang peduli kepada kehidupan dan nasib rakyat kecil, utamanya PKL. Padahal jika ditilik secara mendalam, sikap diskriminatif Pemkot masih tampak. PKL yang liar, sulit diatur, dan sulit dikendalikan, seperti mereka yang beraktivitas ekonomi di Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono, tidak ditata dengan baik, bahkan ada kesan dibiarkan, sehingga permasalahan PKL di kota Semarang belum tuntas diselesaikan.

PKL liar yang berdagang dan menjalankan aktivitas ekonomi tidak hanya yang berlokasi di Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono, yang ketiganya berada di tepi sungai Kaligarang dan Banjir Kanal Barat. Masih banyak PKL liar yang menempati lokasi-lokasi strategis, baik di pusat kota maupun di pinggir kota, yang semuanya belum ditangani secara baik oleh Pemkot. Ini semua adalah akibat dari tidak adanya pedoman penataan dan pembinaan PKL yang komprehensif.

(37)

C. Hambatan yang dihadapi Pemerintah

Setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah sudah tentu tidak semuanya dapat diterima masyarakat. Ada pihak yang pro dan ada pula yang kontra terhadap kebijakan yang diambil. Mereka yang pro atau setuju dengan kebijakan biasanya adalah pihak yang diuntungkan atau setidaknya tidak dirugikan dari kebijakan yang telah diputuskan. Sementara itu, pihak yang kontra, menolak, atau menentang kebijakan tersebut adalah pihak yang tidak memperoleh keuntungan apa pun dari kebijakan tersebut atau mereka berada pada pihak yang dirugikan akibat dari kebijakan yang akan dan telah diambil.

Permasalahan PKL bukan persoalan yang mudah dipecahkan. Banyak faktor yang melingkupinya. Tidak hanya terkait dengan masalah sempitnya lapangan kerja di sektor formal, tetapi juga berhubungan dengan faktor-faktor lainnya, seperti meningkatnya arus migrasi ke kota, bertambahnya jumlah penduduk kota, makin sempitnya lahan kota karena dipadati oleh gedung-gedung perkantoran, bisnis, perbankan, dan perdagangan, makin lengkapnya fasilitas kota, karakteristik urban yang umumnya rendah pendidikan dan tak berketerampilan, dan faktor lainnya, yang membuat kota menjadi tempat menarik bagi migran atau urban yang hendak mengubah nasibnya menjadi lebih baik.

Para migran dan urban yang tidak terserap oleh sektor ekonomi formal, umumnya mencari rezeki dengan memasuki sektor informal, misalnya dengan menjadi pedagang kaki lima. Jenis usaha yang dipilih pun beraneka ragam, ada yang menjadi pedagang makanan dan minuman, pedagang alat-alat pertanian dan pertukangan, pedagang barang-barang bekas (klitikan), pedagang pakaian, dan lain-lain.

Para PKL yang rata-rata modalnya sedikit ini, biasanya mencari tempat yang ramai atau padat manusia. Tidak adanya

(38)

tempat kosong yang khusus disediakan oleh Pemkot, membuat mereka nekat menempati area terlarang, seperti tepi sungai, trotoar, emperan toko, ruang dekat pasar tradisional maupun modern, ruang dekat sekolah, ruang dekat perkantoran, dan area lainnya yang mudah diakses pembeli. Anggaran yang terlalu kecil sering menjadi kendala bagi pemerintah kabupaten dan kota di Jawa Tengah untuk melakukan penataan dan pembinaan pedagang kaki lima.

Kota Surakarta dengan jumlah PKL lebih dari 5.000 orang dan Semarang dengan jumlah PKL lebih dari 11.000 orang mengalami kesulitan dalam menata dan menertibkan PKL. Data jumlah PKL ini bisa saja berubah lebih tinggi, karena data terbaru belum diperoleh. Selain itu, pertumbuhan dan perkembangan yang cepat dari sektor ekonomi informal (PKL) juga merupakan variabel yang dapat menambah data jumlah PKL.

Keterbatasan lahan yang dimiliki pemerintah kota merupakan kendala tersendiri, apalagi sebagian lahan harus disediakan pemerintah untuk ruang terbuka hijau (RTH) yang tidak boleh digunakan untuk aktivitas lain, selain untuk kepentingan RTH. Sikap PKL yang sulit diatur juga menjadi kendala bagi Pemkot untuk menata dan membina PKL. Hari ini ditertibkan, mereka patuh tidak menempati area terlarang, tetapi begitu tidak ada penertiban, mereka kembali lagi ke tempat semula. Mirip film Tom and Jerry, petugas Satpol PP sebagai Tom selalu mengejar-ngejar PKL sebagai Jerry. Mereka tidak pernah akur, Tom dengan gigi taringnya menakut-nakuti Jerry, tetapi Jerry yang cerdik tampaknya tidak pernah jera.

PKL tampaknya memang tidak pernah jera untuk berdagang di tempat terlarang, meskipun acapkali Satpol PP menertibkannya. Pemerintah kabupaten Grobogan misalnya, mengakui kewalahan dalam mengatur pedagang kaki lima di Purwodadi. Menurut Kabid Pengendalian Lingkungan BLH

(39)

Pemkab Grobogan, Endah Pamularsih, kegagalan kabupaten Grobogan memperoleh Adipura, karena masih adanya kawasan kumuh yang ditempati para PKL (Semarang Metro, Sabtu, 5 November 2011).

Kebanyakan pemerintah kabupaten atau kota melakukan penataan PKL, salah satu tujuan terpenting adalah untuk memperoleh penghargaan Adipura, sebuah penghargaan

prestisius bagi bupati atau walikota yang berhasil

memperolehnya. Untuk keperluan tersebut, tidak segan-segan pemerintah menggusur PKL atau setidaknya mengarahkan PKL agar tidak mengganggu persiapan dan pelaksanaan penilaian Adipura. Pemkot Semarang biasanya meminta PKL untuk tidak berdagang beberapa hari ketika tiba masa penilaian Adipura dari pemerintah pusat.

Komunikasi yang kurang antara Pemkot dan PKL juga menjadi penyebab sekaligus hambatan mengapa PKL sulit ditata. Macetnya komunikasi antara kedua belah pihak, menyebabkan munculnya perasaan saling curiga dan tidak adanya kepercayaan satu dengan lainnya. Keberhasilan relokasi PKL Monjari ke pasar Notoharjo Semanggi Surakarta merupakan bukti dari berlangsungnya komunikasi yang intensif antara Pemkot dengan PKL.

Komunikasi berlangsung baik ketika walikota beserta wakilnya melepas baju kedinasan dan bersedia berbaur dengan

PKL, sehingga PKL menjadi impresif terhadap apa yang

dilakukan orang nomor satu dan nomor dua di Surakarta tersebut. Perhatian yang besar dari pemimpin tersebut mampu membuka kunci ketertutupan, kebandelan, dan kenekatan dari PKL, sehingga para PKL akhirnya bersedia dipindah ke tempat lain yang lebih baik kondisinya. Hal ini tidak terjadi di kota Semarang.

Tidak adanya komunikasi dialogis antara Pemkot Semarang dan PKL menjadikan PKL tidak mudah menerima kebijakan

(40)

Pemkot. Rapat-rapat yang diadakan PKL tidak pernah dihadiri oleh pejabat kota Semarang. Kalau pun pernah, hanya menjelang akhir perjuangan PKL Basudewo, wakil walikota bersedia hadir, itu pun hanya sekali untuk menegosiasi PKL agar mereka bersedia pindah ke sentra PKL Kokrosono. Pejabat kota Semarang yang lebih mengedepankan gengsi kekuasaan, membuat mereka tidak dengan mudah diterima di kalangan para PKL. “Kalau diundang untuk membicarakan nasib kita, mereka tidak pernah datang pak, mungkin gengsinya turun kalau hadir di tengah orang miskin”, demikian ungkap pak Achmad. Pedagang kaki lima (PKL) menjadi resisten ketika mereka ditertibkan, apalagi penertiban dilakukan secara tidak manusiawi.

Penertiban dan penggusuran sebagai bahasa kekuasaan Pemkot menjadi pintu masuk bagi PKL untuk melakukan perlawanan, apalagi dalam realitas kebijakan yang dikeluarkan Pemkot, para PKL harus berada pada posisi harus mengalah, kalah dan dikalahkan demi kepentingan yang lebih besar. Mereka harus minggir dari jalanan atau tempat terlarang lainnya, demi pembangunan yang lebih besar manfaatnya bagi kota dan masyarakat.

Sikap bandel atau membangkang merupakan tipikal dari sebagian PKL di kota Semarang. Sikap bandel dan membangkang ini juga merupakan hambatan yang dihadapi Pemkot dalam menata PKL. Para PKL pada saat “dirazia” akan pergi dari lokasi, tetapi begitu kondisi sudah aman, mereka akan kembali ke tempat semula. Ini terjadi tidak hanya di Semarang, tetapi juga di daerah lainnya.

“Kami berkali-kali telah memperingatkan, tetapi tidak diindahkan, terpaksa kami merazia mereka”, keluh

Daniel Sandanafu, Kabid pengendalian dan

Operasional Satpol PP Kota Semarang (Semarang Metro, Kamis, 17 November 2011).

(41)

Kebandelan PKL juga dirasakan oleh Kepala Satpol PP Kabupaten Grobogan, Daru Wisakti.

“Banyak PKL yang membandel meskipun sering kami tertibkan, dan kali ini bagi yang melanggar akan kami proses sampai Pengadilan atas pelanggaran Perda”, tegas Daru (Semarang Metro, Sabtu, 5 November 2011).

Sikap bandel dan tidak disiplin dari PKL Semarang juga ditunjukkan dari banyaknya PKL yang tidak memiliki Surat Keputusan resmi dari Pemkot untuk izin berdagang. Mereka yang sudah menempati lahan dan telah mendirikan bangunan dan lapak tidak resmi, juga banyak di antaranya yang menjual lahan kepada pihak lain.

“lahan bukan hak milik banyak yang dijual dan dipindahtangankan kepada pihak lain…sebenarnya hal ini dilarang dan bertentangan dengan ketentuan Perda PKL, tetapi mereka tetap membandel…di Semarang banyak PKL liar yang tidak memiliki SK resmi sehingga sulit bagi kami untuk melakukan penataan dan penertiban”, demikian keluh pak Azis, Ka.Sub. Dinas Pasar Semarang (wawancara dengan pak Azis, Rabu, 29 Februari 2012).

Dalam kaitan dengan sikap petugas Satpol PP, Siswono (2009:94) dalam disertasinya berjudul Resistensi dan Akomodasi: Suatu Kajian tentang Hubungan-hubungan Kekuasaan pada Pedagang Kaki Lima (PKL), Preman, dan Aparat di Depok Jawa Barat, menemukan bahwa petugas Satpol PP sesungguhnya tidak tega ketika akan menggusur PKL, karena mereka membutuhkan tempat untuk mencari penghidupan, tetapi karena harus taat pada tugas dan perintah dari pimpinan, maka petugas Satpol PP mau tidak mau harus menertibkan PKL. Ini artinya, bahwa petugas Satpol PP di Depok dalam melaksanakan perintah sesungguhnya tidak sepenuh hati.

(42)

Namun demikian, ditemukan pula, bahwa ada di antara petugas Satpol PP yang dalam melaksanakan tugasnya memanfaatkan kesempatan dengan menarik sejumlah uang kepada para PKL dengan dalih untuk uang keamanan. Perilaku petugas Satpol PP ini tidak jauh berbeda dengan tindakan preman di sekitar lokasi PKL yang melakukan pungutan liar, juga dengan dalih untuk dana keamanan.

D. Dampak Kebijakan Penataan PKL

Dalam kasus PKL Monjari, pemerintah kota Surakarta termasuk berhasil dalam melakukan penataan PKL. Sebanyak 989 PKL bersedia dipindah setelah melalui serangkaian strategi yang ditempuh pemerintah kota Surakarta, mulai dari kegiatan sosialisasi, komunikasi, penyiapan lahan, pembangunan sarana prasarana, hingga kirab budaya kepindahan para PKL ke Pasar Notoharjo Semanggi Surakarta. Pendekatan budaya yang diterapkan walikota Surakarta, Joko Widodo, membuat para

PKL menjadi “ewuh pakewuh” dan bersedia pindah tanpa ada

konflik.

Di tempat yang baru, yakni di Pasar Notoharjo, para PKL dapat menjalankan usaha dagangnya tanpa ada rasa takut dan was-was akan digusur petugas Satpol PP, karena di pasar ini mereka berdagang sudah diberi izin untuk menjalankan usaha. Fasilitas pasar yang memadai, mulai dari kios, area parkir, sarana kebersihan, WC dan toilet, mushola, hingga terminal angkutan kota, membuat mereka betah bekerja di tempat yang baru. Mereka juga tidak kehilangan pelanggan dan pembeli, karena pada saat pindah mereka sudah memiliki nomor ponsel pelanggan, sehingga ketika pindah para pelanggan diberitahu tentang kepindahan tersebut. Hubungan antara penjual dan pembeli, utamanya dengan pelanggan hingga kini tetap terpelihara.

(43)

Pasar Notoharjo sebagai sentra PKL untuk barang-barang klitikan tetap ramai dikunjungi pembeli, tidak hanya warga dari Surakarta, tetapi juga dari daerah sekitarnya, seperti pembeli dari Sukoharjo dan Karanganyar. Para PKL juga merasakan dampak positif dari usahanya di Pasar Notoharjo dan hingga kini pun usaha dagangnya masih tetap lancar, sehingga kebutuhan ekonomi keluarga dapat dipenuhi. Gambar di bawah ini menunjukkan bagaimana kondisi pedagang kaki lima (PKL) yang berdagang di Pasar Klitikan Notoharjo, Semanggi, Surakarta.

Sumber: Dokumen Pribadi

Gambar 54. Suasana di Pasar Klitikan Notoharjo Surakarta

Kebijakan penataan PKL di Surakarta mendapat sambutan positif dari para PKL, salah satunya adalah karena Walikota Surakarta beserta segenap jajarannya memberi layanan yang sebaik-baiknya kepada para PKL. Mereka yang direlokasi ke Pasar Notoharjo Semanggi Surakarta, tidak ditarik iuran sedikit pun. Semua urusan kepindahan, termasuk sarana transportasi

Gambar

Gambar 44. Pasar Klitikan Notoharjo Semanggi dilihat dari  depan
Gambar 45. Subterminal yang menunjang aktivitas ekonomi  PKL di Pasar Notoharjo
Gambar  di  bawah  ini  menunjukkan  bagaimana  arogansi  dari  petugas  Satpol  PP  dan  bagaimana  reaksi  dari  pedagang  kaki  lima yang digusur
Gambar 47. Pedagang Bakso bersitegang dengan Aparat  Satpol PP di Jl.Pandanaran Semarang
+6

Referensi

Dokumen terkait

Berdiskusi kegiatan apa saja yang sudah dimainkannya hari ini, mainan apa yang paling disukai2. Bercerita pendek yang berisi

Simpulan penelitian pengembangan ini adalah (1) Dihasilkan modul pembelajaran fisika dengan strategi inkuiri terbimbing pada materi fluida statis yang tervalidasi; (2)

Secara teoritis dapat dijadikan sumbangan informasi dan keilmuan yang yang berarti bagi lembaga yang berkompeten mengenai pentingnya kondisi fisik atlet, khususnya atlet

skor penilaian yang diperoleh dengan menggunakan tafsiran Suyanto dan Sartinem (2009: 227). Pengkonversian skor menjadi pernyataan penilaian ini da- pat dilihat

KONTRIBUSI POWER TUNGKAI DAN KESEIMBANGAN DINAMIS TERHADAP HASIL DRIBBLE-SHOOT DALAM PERMAINAN FUTSAL.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

1) Penetapan toleransi risiko level korporat, khususnya pada sasaran bisnis perusahaan yang tercantum dalam RKAP. 2) Penetapan toleransi risiko level proses yang berada

Untuk melihat seberapa besar pengaruh ukuran perusahaan, risiko bisnis, pertumbuhan asset, profitabilitas dan kepemilikan managerial terhadap struktur modal pada

Bahwa sebagai pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Sumbawa Barat Nomor 9 Tahun 2009 tentang Sumber Pendapatan Desa, untuk segala pungutan baik berupa benda dan