• Tidak ada hasil yang ditemukan

HAMBATAN KELEMBAGAAN OPERASIONALISASI KPHP TASIK BESAR SERKAP DI PROVINSI RIAU

4 ANALISIS PERATURAN PEMBENTUKAN ORGANISASI KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN (KPH)

5 HAMBATAN KELEMBAGAAN OPERASIONALISASI KPHP TASIK BESAR SERKAP DI PROVINSI RIAU

Pendahuluan Latar Belakang

Kementerian Kehutanan (Kemenhut) lebih dari satu dekade yang lalu telah menggulirkan program pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), yang terdiri dari KPH Konservasi (KPHK), KPH Lindung (KPHL), dan KPH Produksi (KPHP), dimana setiap wilayah KPH akan dikelola oleh organisasi KPH di tingkat tapak. Pemerintah mencanangkan akan membentuk sekitar 600 unit KPH di seluruh kawasan hutan Indonesia. Pembangunannya dilakukan secara bertahap yang sudah dimulai sejak tahun 2009.

Berdasarkan PP No. 38/2007 dan Permendagri No. 61/2010, pengelolaan hutan lindung (HL) dan hutan produksi (HP) diserahkan kepada pemerintah daerah dengan kewajiban harus membentuk organisasi KPHL/KPHP. Pelaksanaan kewajiban tersebut berjalan tersendat dikarenakan adanya sejumlah kendala. Kartodihardjo (2008) mengungkapkan kendala-kendala tersebut antara lain masih terdapat pengertian yang keliru tentang KPH, belum lengkapnya peraturan perundang-undangan, lemahnya SDM, lemahnya dukungan politis, serta kurangnya sumberdaya yang diperlukan untuk mendukung pembangunan KPH. Kendala-kendala tersebut hingga saat ini masih terus dirasakan. Salah satu KPH yang perkembangannya lambat adalah KPHP Model Tasik Besar Serkap (KPHP−TBS) di Provinsi Riau. Wilayah KPHP−TBS ditetapkan melalui SK Menhut No. 509/Menhut-II/2010 pada tanggal 21 September 2010, kemudian struktur organisasinya melalui Peraturan Gubernur (Pergub) Riau No. 47/2011 tanggal 31 Oktober 2011. Hingga dua tahun setelah dikeluarkannya Pergub tersebut, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau belum bersedia mengisi struktur organisasi KPH tersebut dengan personil yang dibutuhkan, sehingga KPHP−TBS pun belum bisa beroperasi.

Mengacu kepada kerangka kerja IAD Ostrom (2005), terjadinya kelambatan tersebut pada dasarnya merupakan dampak (outcome) dari proses-proses interaksi para partisipan di dalam arena aksi implementasi kebijakan pembangunan KPH. Secara konseptual kebijakan pembangunan KPH merupakan proses pergeseran institusi, dimana secara filosofis akan membawa perubahan fundamental pada (1) sistem nilai dan cara berpikir (dari forest administrator menjadi forest manager), dan pada tingkat (2) transparansi dan akuntabilitas tata kelola hutan (Kartodihardjo dan Suwarno 2014). Menurut Ostrom (2005) kerangka kerja analitis IAD dapat membantu para analis kelembagaan dalam mengidentifikasi variabel-variabel kunci yang membentuk struktur situasi aksi yang dihadapi oleh para partisipan, dan menjelaskan bagaimana peraturan yang digunakan, kondisi biofisik, dan atribut komunitas mempengaruhi struktur situasi tersebut.

Bila pada Bab 3 penelitian difokuskan kepada analisis pengaruh kondisi biofisik terhadap arena aksi dan hasil-hasilnya dari pemanfaatan hutan, kemudin Bab 4 pada analisis peraturan yang digunakan (rules-in use) dalam pembentukan organisasi KPH, maka pada Bab 5 ini menggunakan seluruh komponen kerja

(working part) kerangka kerja IAD untuk mengalisis proses

pembangunan/operasionalisasi KPHP–TBS. Hasil-hasil analisis yang diperoleh pada Bab 3 dan Bab 4 digunakan untuk menjadi bagian dari analisis pada Bab 5.

Dengan demikian maka kerangka umum penelitian yang ditampilkan pada Bab Pendahuluan (Gambar 1 halaman 3) menjadi kerangka penelitian pada Bab 5.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kondisi arena aksi yang menyebabkan terjadinya kelambatan beroperasinya organisasi KPHP−TBS. Deskripsi tersebut akan mencakup (1) pengaruh dari aspek biofisik, atribut komunitas, dan peraturan yang digunakan terhadap arena aksi; (2) struktur situasi aksi dan karakteristik para partisipan di dalam arena aksi; dan (3) pola interaksi dan outcome yang dihasilkan.

Metodologi Penelitian Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2012 sampai dengan bulan Agustus 2013. Tempat penelitian sesuai dengan kedudukan para partisipan yang terlibat dalam pembangunan KPHP−TBS, yaitu di Jakarta, Bogor dan Provinsi Riau. Para partisipan tersebut mencakup unsur pemerintah (instansi kehutanan dan instansi terkait) dan unsur non pemerintah (akademisi, lembaga donor, LSM, perusahaan, dan tokoh masyarakat) di tingkat nasional dan di Provinsi Riau.

Metode Pengumpulan dan Analisis Data

Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Berdasarkan IAD-Framework, variabel yang dianalisis meliputi pengaruh eksogen faktor (kondisi biofisik KPHP−TBS, atribut masyarakat, dan aturan yang digunakan), kondisi arena aksi (situasi aksi dan karakteristik peserta), dan pola interaksi. Untuk mendapatkan pemahaman pada peraturan yang digunakan, analisis isi dilakukan pada sejumlah peraturan yang terkait dengan pengembangan organisasi KPH. Interpretasi dan pelaksanaan peraturan dianalisis berdasarkan pendapat dan perilaku peserta menggunakan wawancara semi terstruktur. Sebanyak 22 informan diwawancarai yang terdiri dari perwakilan dari Dinas Kehutanan Provinsi Riau, Kementerian Kehutanan, akademisi, lembaga donor, perusahaan, dan tokoh masyarakat. Selain itu, data sekunder yang relevan dikumpulkan dari dokumen hardcopy dan internet. Metode pengumpulan data, sumber data, dan analisis data yang disinkronkan dengan tujuan penelitian, ditunjukkan pada Tabel 18.

Hasil dan Pembahasan Pengaruh Faktor Eksogen

Menurut Ostrom (2005), pengambilan keputusan dan pilihan tindakan partisipan di dalam arena aksi sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor eksogen. Faktor eksogen tersebut terdiri dari: kondisi biofisik, atribut komunitas, dan peraturan yang digunakan.

Pengaruh Kondisi Biofisik

Berdasarkan hasil wawancara, hasil identifikasi dari literatur, dan hasil analisis peraturan, diperoleh tiga kelompok atribut biofisik penting dalam implementasi kebijakan pembangunan KPHP−TBS, yaitu: 1) Sifat ekonomi-

Tabel 18 Metode pengumpulan data, analisis data dan sumber data Tujuan Variabel yang dianalisis Metode pengumpulan

dan analisis data

Sumber data 1. Pengaruh faktor eksogen

a Kondisi biofisik

KPHP−TBS Sifat institusi barang; Keberadaan izin-izin konsesi; Kelengkapan organisasi KPH Mengambil dari dokumen, wawancara, mengambil hasil analisis Bab 3 (Deskriptif) •Dokumen RPJ KPHP−TBS •Informan: Dishut Prov Riau (5 org) •Bab 3 laporan penelitian ini

b Atribut komunitas

Kesesuaian nilai-nilai kebijakan dengan budaya birokrasi kehutanan; Tingkat kesepahaman terhadap kebijakan; Homogenitas preferensi terhadap strategi kebijakan.

Wawancara (Deskriptif)

•Informan dari Prov Riau: Dishut (5 org), DPRD (1 org), Akademisi (3 org), LSM (1 org), Perusahaan (2 org), Tokoh Masyarakat (2 org) •Informan nasional: Kemenhut (4 org), Akademisi (2 org), APHI (1 org), Lembaga donor (1 org) c Peraturan yang

digunakan

Aturan posisi; Aturan keanggotaan; Aturan otoritas; Aturan agregasi; Aturan informasi; Aturan lingkup; Aturan biaya-manfaat

Mengambil hasil analisis pada Bab 4

•Bab 4 laporan penelitian ini

2. Kondisi arena aksi

a Situasi aksi Partisipan; Posisi dan Peran; Tugas dan Kewenangan; Kontrol; Informasi; Biaya- manfaat; Dampak yang potensial terjadi Mengumpulkan peraturan, wawancara (Deskriptif) •Website Kemenhut

•Informan: sama seperti informan atribut komunitas b Karakteristik partisipan Penguasaan sumberdaya; Keaktifan; Kemampuan memproses informasi; Preferensi; Kriteria seleksi

Wawancara (Deskriptif)

•Informan: sama seperti informan atribut komunitas

3. Pola interaksi Kerjasana atau konflik Wawancara (Deskriptif)

•Informan Prov Riau: Dishut (5 org) •Informan nasional: Kemenhut

institusi sumberdaya hutan; 2) Keberadaan izin konsesi hutan; dan 3) Perlengkapan dan pembiayaan organisasi KPH.

1) Sifat ekonomi-institusi sumberdaya hutan

Common-Pool Resources (CPRs) –seperti laut, danau, sistem irigasi,

”hutan”, internet dan stratosfir− adalah sistem alami atau buatan manusia yang menghasilkan jumlah terbatas unit sumber daya sehingga penggunaan satu orang mengurangi dari jumlah unit sumber daya yang tersedia untuk orang lain. Kebanyakan sumber daya CPRs berukuran besar sehingga sejumlah orang dapat menggunakan sistem sumber daya secara bersamaan, sementara upaya untuk mengeluarkan orang-orang (to exclude) atau membatasinya (to limit) bersifat mahal (Ostrom, Gardner, dan Walker, 1994; Varughese dan Ostrom 2001; Ostrom 2005, 2007b). Karakteritik CPRs tersebut antara lain dapat disebabkan oleh ukuran sumberdaya alam itu semata, misalnya Gibson et al (2000) menyataan bahwa pada kebanyakan hutan karena ukurannya yang luas menyebabkan kesulitan intrinsik untuk mengatasi akses penunggang gelap (free riders).

Berdasarkan sifat ekonomi-institusi barang, sebagian hutan wilayah kerja KPHP−TBS memiliki karakteristik CPRs. KPHP−TBS memiliki areal kerja dengan ukuran yang sangat luas yaitu 513.276 ha, dimana di dalam dan di sekitar kawasan tersebut banyak terdapat masyarakat yang memiliki kebutuhan tinggi terhadap lahan dan produk hasil hutan. Seluas 388.413 ha telah diserahkan kepada pemegang izin pemanfaatan hutan (IUPHHK-HTI, HA, RE dan Hutan Desa), sementara seluas 124.863 ha belum dibebani ijin yang saat ini kondisinya secara de facto menjadi open acces. Kawasan tersebut sebagain besar adalah bekas areal kerja HPH PT Yos Raya Timber.

Berdasarkan PP No. 45/2004 tentang Perlindungan Hutan, tugas perlindungan hutan pada areal yang dibebani hak dan ijin konsesi diserahkan kepada pemegang hak atau pemegang ijin. Ketika ijin konsesi yang sudah habis masa berlakunya dan tidak diperpanjang lagi, kondisi hutan cenderung menjadi

open access, dan pelaksanaan perlindungan hutan menjadi tugas langsung

pemerintah dan pemerintah daerah.

Wilayah kerja KPHP−TBS sebagian besar berupa hutan alam rawa gambut (±90%) yang rentan terhadap kebakaran hutan (KPHP−TBS 2013). Mengacu kepada Ostrom (2005), karakteristik biofisik tersebut menjadi disinsentif bagi calon pengelola, karena beratnya beban pengamanan hutan dari pembalakan liar, perambahan lahan hutan, pembakaran hutan, dan lain-lain. Keberatan ini misalnya dinyatakan oleh Kepala Dinas Kehutanan Provinsi (Kadishutprov) Riau:

“… wilayah yang akan diamankan itu sangat luas dan tidak bisa pakai mobil saja. Kita disuruh memberesi masalah. … ambil saja contoh UPT pusat sendiri (TN Tesso Nilo), sampai timbul banyak masalah, daerah juga yang disalahkan karena banyak okupasi.”

2) Keberadaan izin konsesi hutan

Wilayah KPHP−TBS seluruhnya berupa hutan produksi, yang terdiri dari Hutan Produksi Tetap 491.768 ha (95,8%), Hutan Produksi Terbatas 2.660 ha (0,5%), dan Hutan Produksi Konversi 18.848 ha (3,7%). Pada saat ini di wilayah kerja KPHP−TBS terdapat 20 unit izin konsesi hutan, yang terdiri dari Izin Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman 17 buah, Izin Usaha Pemanfaatan

Hasil Hutan Kayu Hutan Alam 1 buah, Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Eksostem 1 buah, dan Hutan Desa 1 buah.

Adanya hubungan antara aparat pemerintah dengan perusahaan swasta di dalam sistem konsesi hutan seringkali diwarnai praktek-praktek korupsi (Amacher

et al. 2012). Pada Bab 3 telah dibahas kuatnya hubungan antara keberadaan ijin- ijin konsesi dengan maraknya praktek-praktek korupsi. Di Provinsi Riau hal ini dapat dibuktikan dengan telah dipenjaranya tiga orang mantan bupati dan tiga orang mantan kepala dinas kehutanan dan satu mantan gubernur pada periode tahun 2008 – 2014 karena pidana korupsi kehutanan.8 Penelitian Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK) pada akhir tahun 2013 juga menunjukan bukti- bukti yang sama.9 Mengacu kepada hasil penelitian KPK, hingga saat ini berarti

praktek-praktek korupsi kehutanan di Provinsi Riau masih berlangsung.

Sebagaimana telah dikemukakan pada Bab 3, dilihat dari persektif tata kelola pemerintahan (governance) menurut Jain (2011) KKN terjadi karena adanya tiga kondisi, yaitu pertama, ada peluang pemburuan rente yang inheren dengan alokasi kekuasaan atau wewenang sesuai peraturan, kedua, aparatur yang korup memiliki keleluasaan atau independensi di dalam struktur administrasi pemerintahan, dan ketiga, lemah dan tidak efektifnya lembaga-lembaga publik yang bertugas untuk mengendalikan KKN. Sedangkan dilihat dari perspektif individu, Singleton et al. (2006) mengemukakan ada tigal hal yang mendorong terjadinya sebuah upaya fraud (KKN), yaitu adanya pressure (dorongan),

opportunity (peluang), dan rationalization (rasionalisasi). Pressure adalah dorongan yang menyebabkan seseorang melakukan KKN, contohnya kebutuhan biaya hidup dan pendidikan anak, gaya hidup mewah atau keserakahan, kewajiban menyetor kepada pihak-pihak tertentu, dan lain-lain. Opportunity adalah peluang yang memungkinkan KKN terjadi, misalnya karena kewenangan yang dimilikinya dan kurangnya pengawasan. Kemudian unsur yang ketiga yaitu rasionalisasi, dimana pelaku mencari pembenaran atas tindakannya, misalnya tindakannya dianggap sebagai hal yang telah lumrah di negeri ini.

Tumbuh suburnya korupsi ini dapat menghambat pembangunan KPH disebabkan oleh adanya conflict of interest pada sebagian aparatur dinas kehutanan.10 Dengan adanya KPH akan terjadi pengalihan sebagian kewenangan

dan tugas dari Dinas Kehutanan Provinsi kepada KPH dalam rangka melayani perusahaan. Jenis palayanan yang terpenting adalah terkait dengan kewenangan pengesahan RKT IUPHHK sebagaimana diatur dalam PP No. 6/2007 jo PP No. 3/2008 pasal 75 yang berbunyi:

“… pemegang IUPHHK pada HTI dalam hutan tanaman, wajib: (a) ……… (b) menyusun rencana kerja tahunan (RKT) berdasarkan RKUPHHK untuk

disahkan oleh kepala KPH atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri.”

8 Data ditampilkan pada Tabel 14 halaman 45 − 46.

9 Pada wawancara KPK dengan responden dari sepuluh provinsi (salah satunya dari Provinsi

Riau), terungkap bahwa dalam pengurusan izin konsesi perusahaan mengeluarkan biaya untuk mendapatkan rekomendasi gubernur dan bupati sebesar Rp. 50 s/d 100 ribu/ha, sementara untuk monitoring RKT harus menanggung biaya pemeriksaan para pemeriksa sebanyak 140 x 8 HOK (KPK 2013).

10 Antara lain dapat diidentifikasi dari pernyataan mereka: “… kalau ada KPH, lalu nanti

apalagi buat kita?”

Berdasarkan informasi dari seorang mahasiswa pascasarjana IPB program studi ilmu pengelolaan hutan yang saat ini sedang melakukan penelitian tentang politik ekonomi di Provinsi Riau, biaya transaksi tidak resmi yang harus dikeluarkan oleh pemegang ijin IUPHHK-HTI untuk proses-proses sampai mendapatkan pengesahan RKT sekitar Rp. 75 juta. Apabila di wilayah kerja KPHP−TBS saat ini ada 17 ijin IUPHHK-HTI, maka jumlah biaya transaksi per tahun untuk urusan RKT sebesar Rp. 1,275 milyar. Besarnya nilai uang ini bisa menjadi salah satu pendorong terjadinya conflict of interest.

3) Perlengkapan dan pembiayaan organisasi KPH

Di dalam Permendagri No. 61/2010 dinyatakan bahwa organisasi KPHL/KPHP adalah organisasi perangkat daerah (OPD). Organisasi KPH harus diisi oleh SDM sesuai kualifikasi yang diatur dalam Permenhut No. 42/2011. Mengingat KPHP sebagai OPD, maka sebagian besar beban pengadaan infrastruktur, biaya operasional, dan pemenuhan SDM akan menjadi tanggungjawab pemerintah daerah.

Menyadari kemungkinan terjadinya respon negatif dari pemerintah daerah, Pemerintah (Kemenhut) berinisiatif menyediakan sejumlah bantuan (fasilitasi) kepada pemerintah daerah dalam rangka mempersiapkan beroperasinya KPH. Fasilitasi diarahkan kepada tiga hal, yaitu (1) pemberian bantuan sarana prasarana, (2) fasilitasi pembuatan rencana jangka panjang pengelolaan KPH, dan (3) penyiapan SDM pengelola KPH. Fasilitasi sarana prasarana berupa bantuan bangunan kantor, perlengkapan kantor (meja, kursi, lemari, perlengkapan elektronik kantor), kendaraan (roda empat, roda dua, kendaraan air), peralatan operasional (alat komunikasi, komputer, peralatan survey), dan sarana pendukung (pal batas blok atau petak, dan jalan pendukung pengelolaan hutan). Fasilitasi pembuatan rencana kerja jangka panjang dilakukan dengan fasilitasi pembiayaan dan penyediaan tenaga pendamping. Sedangkan penyiapan SDM dilakukan melalui program diklat calon KKPH 2 orang, penempatan tenaga kontrak lulusan SKMA 5 orang per KPH, dan terakhir program sarjana magang di KPH.

Namun demikian walaupun sejumlah bantuan telah diberikan oleh Pemerintah, hal ini belum bisa menghapus keberatan Pemprov Riau terhadap kewajiban membentuk SKPD bar. Alasannya dikaitkan dengan biaya operasional organisasi yang harus mereka tanggung. Hal ini antara lain diungkapkan Kadishutprov Riau:

“… Saya bukan mengecilkan arti bantuan pusat. Umpamanya Riau pertama kali diberi bantuan gedung (senilai) Rp 800 juta, plus mobil satu buah dan sepeda motor tiga buah. Apa artinya itu? Kalau bantuan sarana berarti sifatnya sementara, yang menjadi beban itu adalah operasional (setelah itu). Konsekwensi ke depan nanti daerah yang tanggungjawab.”

Selain itu dalam upaya memenuhi kebutuhan SDM sesuai dengan yang disyaratkan di dalam Permenhut Nomor P.42/2011, di satu sisi persyaratan tersebut ditujukan untuk menjamin kualitas pengelolaan KPH, namun di sisi lain untuk memenuhi persyaratan tersebut menjadi permasalahan tersendiri bagi Pemerintah Daerah. SDM yang memenuhi persyaratan ketersediaannya masih jarang di dalam Dinas Kehutanan Provinsi Riau sendiri. Kalaupun ada biasanya masih sangat dibutuhkan untuk bekerja di Dinas Kehutanan.

Gambaran kebutuhan jumlah SDM untuk mengelola KPHP−TBS (luas 523.276 ha), dapat diperoleh dengan cara membandingkan dengan jumlah SDM di KPHL Rinjani Barat (KPHL−RB, luas 40.983 ha) di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Wilayah kerja KPHL−RB ditetapkan oleh Menteri Kehutanan satu tahun lebih awal daripada penetapan wilayah kerja KPHP−TBS yang ditetapkan tahun 2010. Pengisian personil organisasi KPHL−RB berdasarkan Keputusan Gubernur NTB No: 821.2-1/130/BKD/2010 tanggal 10 Februari 2010. Kondisi pegawai di KPHL−RB per Nopember 2012, PNS berjumlah 15 orang, pegawai kontrak (mandor/petugas lapangan 171 orang), sehingga semuanya berjumlah 186 orang.

Berdasarkan presentasi Kepala KPHL−RB (MM) pada bulan Nopember 2012, kebutuhan ideal jumlah SDM bagi KPHL−RB adalah 25 orang untuk pegawai di kantor KPH, dan 265 orang di resort (Kepala resort 8 orang, staf resort 24 orang, dan mandor 265 orang), sehingga SDM yang dibutuhkan berjumlah 332 orang. Dengan demikian apabila ukuran luas wilayah kerja menentukan jumlah SDM yang dibutuhkan, maka SDM untuk mengelola KPHP−TBS akan dibutuhkan dalam jumlah yang jauh lebih banyak daripada di KPHL−RB. Sementara di sisi lain, untuk melakukan rekrutmen CPNS baru masih terkendala dengan kebijakan nasional dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) yang menetapkan moratorium CPNS. Pada tahun 2013 dilanjutkan dengan kebijakan zero growth jumlah PNS. Dengan demikian maka pengadaan SDM menjadi salah satu kendala tersendiri yang dihadapi oleh Pemprov Riau.

Pengaruh Atribut Komunitas

Atribut komunitas diidentifikasi oleh Meyer mempengaruhi situasi aksi dan pengambil keputusan ketika mereka membuat pilihan kolektif tentang pengaturan kelembagaan. Atribut komunitas dalam menjalankan pilihan kolektif seringkali dapat mengakibatkan pengaturan kelembagaan menjadi tidak efektif (Kiser dan Ostrom 1987) akibat adanya perbedan-perbedaan. Komunitas dalam penelitian ini menunjuk kepada kelompok sosial berdasarkan adanya aspek relasional tertentu (Clark 2007). Anggota komunitas ini adalah seluruh partisipan yang terlibat dalam pembangunan KPHP−TBS. Mengacu kepada Ostrom (2005) dalam penelitian ini dipilih tiga atribut komunitas, yaitu 1) Kesesuaian antara nilai-nilai kebijakan dengan budaya birokrasi kehutanan; 2) Tingkat kesepahaman terhadap kebijakan; dan 3) Homogenitas preferensi terhadap strategi kebijakan.

1) Kesesuaian antara nilai-nilai kebijakan KPH dengan budaya birokrasi kehutanan

Secara konseptual kebijakan pembangunan KPH merupakan proses pergeseran institusi yang membawa perubahan fundamental pada cara berfikir, sistem nilai dan budaya pengurusan hutan Indonesia. KPH akan menggeser titik tumpu peran birokrat kehutanan dari forest administrator menjadi forest manager, serta meningkatkan transparansi dan akuntabilitas tata kelola hutan (Kartodihardjo dan Suwarno 2014). Di sisi lain, sebagian besar birokrat kehutanan hingga saat ini masih menjalankan paradigma dan budaya timber extraction dan timber management. Pengelolaan hutan lebih banyak diserahkan kepada pengusaha dalam bentuk izin pemanfaatan hutan, sementara pemerintah

memposisikan diri sebagai administratur hutan. Ekstraksi kayu di samping menghasilkan modal pembangunan, juga seringkali disertai dengan praktek- praktek korupsi (Mas’oed 1989; Simon 2004; Kartodihardjo 2006; Hidayat 2008). Berkaitan dengan pergeseran institusi, menurut Schlüter (2007) pengambilan keputusan dalam memilih alternatif-alternatif institusi sangat dipengaruhi oleh model mental dari beragam aktor.

Sebagaimana kesimpulan pada Bab 3, banyaknya jumlah ijin IUPHHK di dalam suatu areal kerja KPH cenderung menguatkan nilai-nilai KKN (ditandai dengan rendahnya transparansi dan akuntabilitas) pada komunitas para pelakunya. Kuatnya nilai-nilai KKN di dalam arena pemanfaatan hutan, dapat menghambat proses-proses di dalam arena aksi pembangunan KPH, mengingat para partisipaan di dalam dua arena aksi tersebut sama. Kebiasaan KKN para pejabat di dalam arena aksi pemanfaatan hutan, dapat menghambat proses-proses implementasi pembangunan KPH apabila pembangunan KPH dinilai akan mengurangi kewenangan ataupun membawa nilai-nilai baru yang bertentangan dengan nilai-nilai lama dan preferensi mereka.

Berkaitan dengan budaya korupsi, menurut Cheung (2005) nilai-nilai sistem administrasi publik di sebagian besar negara Asia (secara khusus disebutkan Indonesia dan Cina) mewarisi sistem pemerintahan kolonial, dicirikan dengan birokrasi yang dekat dengan bisnis, dibangun di atas pola patronase dan korupsi yang dilembagakan, gaji pegawai yang rendah, dan kebijaksanaan yang longgar dalam mencari pendapatan tambahan.

Budaya KKN di Indonesia terbentuk melalui proses yang panjang, berakar jauh pada birokrasi kerajaan dan birokrasi kolonial Hindia Belanda. Sebelum Belanda datang, Indonesia diperintah oleh berbagai macam kerajaan yang didukung oleh birokrasi yang bercorak feodal. Pada zaman kolonial, birokrasi dibentuk untuk melayani kepentingan pemerintah kolonial dengan tujuan pokok membantu pemerintah kolonial melakukan ekstraksi kekayaan Indonesia. Strategi yang dipilih oleh pemerintah kolonial adalah dengan menerapkan sistem pemerintahan indirect rule melalui kerjasama dengan para penguasa lokal, yaitu para raja atau elit lokal yang kemudian diangkat menjadi bupati. Karena sumber kekuasaan datang dari pusat, maka para bupati dan perangkat birokrasinya dapat bertindak semena-mena kepada rakyat, asalkan mendapat persetujuan dari penguasa Belanda dan Batavia. Praktek-praktek yang dilakukan oleh para bupati antara lain melakukan pungutan di luar pajak, telah menjadi perilaku yang lumrah (Purwanto, 2009).

Dengan adanya KPH, yang mana secara konseptual membawa nilai-nilai baru berupa peningkatan transparansi dan akuntabilitas dalam tata kelola hutan, maka budaya lama menghadapi tantangan. Oleh karena itu kebijakan pembangunan KPH mengalami resistensi dari para pendukung budaya lama. Yilmaz dan Kılıçoğlu (2013) merangkum sejumlah penyebab terjadinya resistensi terhadap perubahan, antara lain karena alasan: 1) Dampak ekonomi, yaitu jika perubahan dianggap akan mengurangi gaji atau pendapatan tambahan, maka seseorang cenderung akan mempertahankan status quo; dan 2) Mengancam kekuasaan atau pengaruh, yaitu jika perubahan mengancam basis kekuasaan dalam pengambilan keputusan, kontrol terhadap sumber daya dan informasi. Realokasi kewenangan dalam pengambilan keputusan dapat mengancam hubungan kekuasaan dalam jangka panjang.

Uraian tentang adanya resistensi di atas memberikan sebagian jawaban, mengapa operasionalisasi KPHP−TBS berjalan tersendat. Menurut Purwanto (2009), dimensi struktural birokrasi tidak akan berfungsi dengan baik jika tidak diikuti dengan perubahan dimensi budaya. Namun demikian perubahan budaya membutuhkan waktu yang lebih lama dibanding dengan perubahan aturan formal. 2) Tingkat kesepahaman (common understanding) terhadap kebijakan KPH

Kesefahaman terhadap struktur arena aksi di antara para partisipan merupakan salah satu prasyarat untuk terjadinya aksi bersama (Ostrom 2005). Terbangunnya kesepahaman sangat dipengaruhi oleh terjadi atau tidak terjadinya proses berbagi dalam hal cara berfikir, cara melakukan sesuatu, pengetahuan, tujuan, dan kepercayaan (Ostrom 2005; Jaatinen dan Lavikka 2008). Dalam penelitiannya Lee (2001) menemukan bukti bahwa kesepahaman lebih dipengaruhi oleh adanya proses saling berbagi kepercayaan daripada oleh berbagi pengetahuan atau hal lainnya. Mengacu kepada “karakteristik kesepahaman” di atas, dapat dinyatakan bahwa antara partisipan pemerintah dan Pemprov Riau saat ini belum terjadi kesepahaman terhadap kebijakan KPH. Kondisi ini tercermin

Dokumen terkait