• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kelembagaan Proses Operasionalisasi KPH Studi Kasus KPHP Tasik Besar Serkap di Provinsi Riau

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Kelembagaan Proses Operasionalisasi KPH Studi Kasus KPHP Tasik Besar Serkap di Provinsi Riau"

Copied!
129
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS KELEMBAGAAN PROSES

OPERASIONALISASI KPH: STUDI KASUS KPHP

TASIK BESAR SERKAP DI PROVINSI RIAU

ENO SUWARNO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Analisis Kelembagaan Proses Operasionalisasi KPH: Studi Kasus KPHP Tasik Besar Serkap di Provinsi Riau adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2014

Eno Suwarno

(4)

RINGKASAN

ENO SUWARNO. Analisis Kelembagaan Proses Operasionalisasi KPH: Studi Kasus KPHP Tasik Besar Serkap di Provinsi Riau. Dibimbing oleh HARIADI KARTODIHARDJO, LALA M. KOLOPAKING dan SUDARSONO SOEDOMO.

Salah satu substansi penting dari isi UU No. 41/1999 adalah mandat kepada pemerintah untuk membangun KPH pada seluruh kawasan hutan negara. Keberadaan KPH merupakan prasyarat bagi terselenggaranya pengelolaan hutan berkelanjutan dan berkeadilan. Pengelolaan hutan lindung dan hutan produksi harus dilakukan oleh organisasi KPHL/KPHP yang dibentuk oleh pemerintah daerah. Dalam implementasinya, pelaksanaan kewajiban tersebut berjalan tersendat dikarenakan adanya sejumlah kendala. Salah satu KPH yang operasonalisasinya lambat adalah KPHP Tasik Besar Serkap (KPHP-TBS) di Provinsi Riau. Struktur organisasi KPHP-TBS telah ditetapkan melalui Peraturan Gubernur Riau Nomor 47/2011 tanggal 31 Oktober 2011. Namun hingga dua tahun kemudian (hingga akhir Agustus 2013, sampai akhir penelitian ini) Pemerintah Provinsi Riau belum menempatkan personil pada struktur organisasi KPH tersebut. Akibat penundaan ini, maka organisasi KPHP−TBS belum bisa menjalankan tugas pengelolaan hutan di tingkat tapak.

Ditinjau dari perspektif ilmu kelembagaan, perkembangan operasionalisasi KPHP−TBS merupakan outcome dari perpaduan antara struktur situasi aksi dan karakteristik para partisipan yang berinteraksi di dalam arena aksi pembangunan KPH. Struktur situasi aksi dan karakteristik partisipan tidak secara langsung menghasilkan outcome, melainkan melalui pembentukan struktur insentif/disinsentif yang dihadapi oleh para partisipan. Struktur tersebut kemudian mendorong terbentuknya pola perilaku tertentu dari para partisipan. Agregat dari keseluruhan perilaku para partisipan ini yang kemudian menghasilkan outcome.

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menemukan masalah-masalah kelembagaan dan masalah-masalah dalam implementasi kebijakan yang menyebabkan terjadinya kelambatan beroperasinya organisasi KPHP−TBS. Tujuan umum tersebut dijabarkan ke dalam tiga tujuan operasional, yaitu (1) menganalisis pengaruh kondisi biofisik terhadap arena aksi dan outcome

pemanfaatan hutan, yang pada gilirannya akan berpengaruh terhadap arena aksi operasionalisasi KPHP−TBS, (2) menganalisis peraturan pembentukan organisasi KPH dengan menggunakan konsep tujuh jenis aturan dari Ostrom dan Crawford, dan (3) menganalisis pengaruh faktor peraturan, kondisi biofisik, dan atribut komunitas terhadap arena aksi, pola interaksi, dan outcome dalam operasionalisasi KPHP−TBS.

(5)

studi dokumen, pengamatan langsung peneliti pada saat terlibat dalam proses-proses pembangunan KPH, dan melalui wawancara semi terstruktur.

Hasil penelitian menemukan bahwa kondisi biofisik terbukti mempengaruhi situasi aksi yang dihadapi oleh para partisipan. Pada wilayah KPHP-TBS yang di dalamnya terdapat banyak ijin pemanfaatan hutan berbasis usaha besar (IUPHHK-HTI), cenderung membuka peluang dan menguatkan conflict of interest sebagian pejabat pemerintahan daerah untuk melakukan praktek-praktek korupsi. Sebagian aparatur Dinas Kehutanan memandang keberadaan KPH sebagai ancaman yang akan mengurangi kewenangannya.

Temuan-temuan penting hasil analisis peraturan antara lain (1) pengaturan posisi-posisi partisipan belum sepenuhnya dirancang berdasarkan pertimbangan prospek keterjaminan kelancaran proses, (2) masih terdapat ketidaksinkronan antara PP No. 6/2007 jo PP No. 3/2008 dengan Permendagri No. 61/2010 dalam pengaturan kewenangan menetapkan organisasi KPHL/KPHP, (3) belum adanya aturan agregasi untuk mengantipasi terjadinya ketidakmufakatan di antara para partisipan dalam tahap-tahap penting pengambilan keputusan, (4) belum lengkapnya kriteria organisasi KPHL/KPHP, dan (5) masih kurangnya pasal-pasal yang bisa menjadi pendorong/insentif bagi pemerintah daerah untuk berinisiatif membangun KPH.

Atribut komunitas yang paling penting dan cenderung menghambat pembangunan KPH adalah masalah paradigma dan budaya. Aparatur pemerintah daerah saat ini masih lebih mengedepankan paradigma “pemanfaatan hutan” daripada pengelolaan hutan secara utuh. Operasionalisasi paradigma ini hampir selalu diiringi dengan menguatnya budaya korupsi. Sementara kebijakan KPH adalah suatu konsep yang membawa paradigma “pengelolaan hutan secara utuh di tingkat tapak”. Ketika kebijakan KPH yang ada saat ini kurang memberikan tekanan dan insentif kepada pemerintah daerah, maka proses perubahan yang terjadi cenderung tidak dapat mengatasi resistensi yang ada.

Dengan adanya masalah-masalah conflict of interest, adanya kelemahan-kelemahan peraturan, dan masalah paradigma dan budaya, menyebabkan munculnya perilaku yang kurang dapat bekerjasama dari Pemerintah Provinsi Riau. Sikap ini antara lain dimanifestasikan dengan cara menunda-nunda penempatan personil untuk mengisi struktur organisasi KPHP−TBS. Di sisi lain, pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah belum diarahkan kepada menjawab permasalahan-permasalahan tersebut.

Berdasarkan temuan-temuan penelitian, direkomendasikan kepada Kemenhut agar kebijakan pemberian bantuan sarana prasarana dan fasilitasi kepada pemerintah daerah perlu tetap dilanjutkan. Selain itu kebijakan untuk mencegah dan menanggulangi korupsi di dalam arena aksi pemanfaatan hutan juga perlu dilakukan. Kemenhut juga perlu merubah cara berfikir dan pendekatan bahwa disamping menggunakan instrument peraturan, pemerintah juga perlu meningkatkan pembinaan kepada pemerintah daerah serta meningkatkan penyebaran pengetahuan, komunikasi, dan membangun rasa saling percaya. Selain untuk mengatasi resistensi, pendekatan tersebut juga sangat diperlukan untuk mengawal proses transformasi paradigma dan budaya birokrasi kehutanan agar sejalan dengan nilai-nilai baru yang terkandung di dalam konsep KPH.

(6)

SUMMARY

ENO SUWARNO. Institutional Analysis of the Operationalization Process of FMU: A Case Study of Tasik Besar Serkap FMUP in Riau Province.

Supervised by HARIADI KARTODIHARDJO, LALA M KOLOPAKING and SUDARSONO SOEDOMO.

One of the substantial essence of the Regulation No. 41/1999 is a mandate for the government to build the Forest Management Unit (FMU) in all of the national forest areas. The existence of the FMU is a prerequisite for the implementation of sustainable and equitable forest management. The management of protected and production forest should be carried out by the Protected FMU (KPHL) and Production FMU (KPHP) organizations formed by the local government. Along the way, thisobligation was hardly implemented due to several constraints. One of the FMU which show slow operationalization is the PFMU of Tasik Besar Serkap (PFMU-TBS) in Riau Province. The PFMU-TBS organizational structure has been established through the Riau Governor Regulation No. 47/2011 dated October 31, 2011. Yet until two years later (until the end of August 2013,or the end of this study), the Riau provincial government has not put personnel on the organizational structure of the FMU. As a result of this delay, the PFMU-TBS organization cannot perform the forest management tasks at the site level.

Viewed from the institutional science perspective, the operational development of PFMU-TBS is an outcome of a combination of the action situation structure and participant’s characteristics which interact in the action arena of FMU development. The action situation structure and participants characteristics did not directly produce outcome, but through the formation of the incentives/disincentives structure faced by the participants. These structures were then encourage the formation of certain participant’s behavior patterns. The aggregate of this overall participant’sbehavior would then produce the outcome.

The general objective of this research is to find institutional problems and difficulties in the implementation of policies that lead to the delay of the PFMU-TBS operationalization. This general objective is translated into three operational objectives, i.e. (1) to analyze the influence of biophysical conditions of the action arena and forest utilization outcome, which in turn will affect the operationalization of the PFMU-TBS action arena, (2) to analyze the FMU organization formation regulation using seven rules types concept of Ostrom and Crawford, and (3) to analyze the effect of regulation, biophysical conditions and community attributes to the action arena, interaction patterns, and outcome in the PFMU-TBS operationalization.

This study uses qualitative descriptive research design with case study approach. Approach to the problems is conducted by Institutional Analysis and

Development (IAD) Framework of Elinor Ostrom. Based on IAD-Framework, the

(7)

observation during the FMU development process, and semi-structured interviews.

This research found that biophysical conditions shown to affect the action situations faced by participants. The PFMU-TBS region which hold a lot of forest licenses by large enterprises (IUPHHK-HTI) tends to open up opportunities and strengthen the conflict of interestof most local government officials to conduct corrupt practices. Moreover, most Forest Office personnel consider the existence of the FMU as a threat that would diminish their authority.

The key findings from the regulations analysis includes (1) placement of the participants positions has not been fully designed by considering the prospect of smooth process assuredness, (2) there are discrepancies between the PP No. 6/2007 jo PP No. 3/2008 and Permendagri No. 61/2010 in authoritativesettings for the establishment of KPHL/KPHP organizations, (3) the absence of aggregation rules to anticipate the disagreement among the participants in the critical stages of decision-making, (4) incomplete KPHL/KPHP organizational criteria, and (5) lack of regulations that could drive or become an incentives for local governments to take the initiative in the FMU development.

The most important community attributes which tend to inhibit the FMU development are paradigm and cultural problems. Local government personnel were still hold the "forest exploitation" paradigm rather than intact forest management. The operationalization of this paradigm is almost always accompanied by the strengthening of the corruption culture. Meanwhile,the FMU policy is a concept that brings the "intact forest management at the site level"paradigm. When current FMU policy give less pressure and incentives to local government, the changing could not overcome the existing resistance.

The problems of conflict of interest, regulatory weaknesses, and paradigms and cultural issuesled to the emergence of less cooperative behavior of the Government of Riau Province. This attitude was expressed by the delaying of the personnel placement to fill the PFMU-TBS organizational structure. On the other hand, approaches taken by the national government have not been directed to answer these problems.

Based on findings in this research, it is recommended to Ministry of Forestry (MoF) that the policy of infrastructure and facility support to local governments need to be continued. Moreover, policies to prevent and tackle corruption in the forest utilization action arena also needs to be done. The MoF also need to change the way of thinking and approach that -in addition to regulatory instruments- government also need to improve guidance to local authorities and to improve the dissemination of knowledge, communication, and build mutual trust. These approaches, in addition to overcoming resistance, is also needed to oversee the transformation process of forestry bureaucracy paradigms and culture aligned with the new values embodied in the concept of the FMU.

Keywords: institutional problem, IAD-framework, forest management paradigm, conflict of interest, interaction patterns, outcome.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.

(9)
(10)
(11)

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan

ANALISIS KELEMBAGAAN PROSES

OPERASIONALISASI KPH: STUDI KASUS KPHP

TASIK BESAR SERKAP DI PROVINSI RIAU

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2014

(12)

Penguji pada Ujian Tertutup: Prof Dr Ir Bramasto Nugroho, MS

(Guru Besar pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor)

Dr Ir Azis Khan, MSc

(Guru Besar pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor)

Penguji pada Ujian Terbuka: Prof Dr Ir Dudung Darusman, MA

(Guru Besar pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor)

Dr Ir Hariyatno Dwiprabowo, MSc

(13)

Judul Disertasi : Analisis Kelembagaan Proses Operasionalisasi KPH: Studi Kasus KPHP Tasik Besar Serkapdi Provinsi Riau

Nama : Eno Suwarno NIM : E161090031

Disetujui oleh: Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Hariadi Kartodihardjo, MS Ketua

Dr Ir Lala M. Kolopaking, MS Anggota

Dr Ir Sudarsono Soedomo, MS Anggota

Diketahui oleh: Ketua Program Studi

Ilmu Pengelolaan Hutan,

Prof Dr Ir Hardjanto, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana,

Dr Ir Dahrul Syah, MSc.Agr

(14)

PRAKATA

Syukur alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Alloh SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penyusunan disertasi yang berjudul “Analisis Kelembagaan Proses Operasionalisasi KPH: Studi Kasus KPHP Tasik Besar Serkap di Provinsi Riau” dapat diselesaikan. Disertasi ini merupakan laporan penelitian yang dilakukan sejak bulan Mei 2012 sampai Akhir Agustus 2013.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof Dr Ir Hariadi Kartodihardjo MS, Dr Ir Lala M Kolopaking, MS, dan Dr Ir Sudarsono Soedomo, MS selaku komisi pembimbing, yang dengan sabar dan penuh perhatian telah memberikan arahan, dukungan, dan bimbingannya untuk penyelesaian disertasi ini. Selain itu penulis juga diberi kesempatan untuk terlibat di dalam beberapa kegiatan proses pembangunan KPH di Indonesia. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam penyediaan data, literatur, serta kebutuhan-kebutuhan lain terkait penyelesaian penelitian dan studi. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh keluarga (mertua, istri, anak-anak, dan saudara) yang telah memberikan dukungan, pengorbanan dan do’anya sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini.

Semoga kebaikan Bapak Ibu dan semua pihak mendapatkan balasan kebaikan yang berlipat ganda dari Alloh SWT. Akhirnya harapan penulis semoga karya tulis ini dapat menjadi salah satu sumbangsih yang berharga bagi Bangsa Indonesia, khususnya dalam rangka mendukung pembangunan KPH di Indonesia.

Bogor, Juli 2014

(15)

DAFTAR ISI

RINGKASAN iv

SUMMARY vi

PRAKATA xiv

DAFTAR TABEL xvii

DAFTAR GAMBAR xviii

DAFTAR LAMPIRAN xix

DAFTAR SINGKATAN xx

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 4

Tujuan Penelitian 4

Kebaruan (Novelty) 5

Manfaat Penelitian 6

Sistematika Tulisan 7

2 GAMBARAN RINGKAS KEBIJAKAN KPH DAN KERANGKA IAD 8

KPH di Indonesia 8

Definisi KPH 8

Pembentukan KPH 8

Tugas Pokok KPH 9

Urgensi KPH 9

Kerangka Kerja IAD (IAD-Framework) 11

Definisi Institusi 11

Pengembangan dan Penggunaan Kerangka Kerja IAD 12

Arena Aksi 13

Faktor Eksogen 14

Hasil atau Kinerja 14

Aturan 15

Kondisi Biofisik/Material 15

Atribut Komunitas 17

3 ANALISIS PENGARUH KONDISI BIOFISIK TERHADAP ATRIBUT KOMUNITAS DALAM PEMANFAATAN HUTAN DI AREAL KPH 18

Pendahuluan 18

Latar Belakang 18

Kerangka Penelitian 20

Perumusan Masalah 20

Tujuan 21

Metodologi Penelitian 21

Waktu dan Tempat 21

Metode Pengumpulan dan Analisis Data 21

Hasil dan Pembahasan 22

Kondisi Biofisik Wilayah KPH 22

Arena Aksi Pemanfaatan Hutan 29

Pola Interaksi dan Outcomes pada Dua KPH 41

(16)

4 ANALISIS PERATURAN PEMBENTUKAN ORGANISASI

KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN (KPH) 51

Pendahuluan 51

Latar Belakang 51

Tujuan Penelitian 52

Metodologi Penelitian 52

Kerangka Teoritis dan Pendekatan Penelitian 52

Metode Pengumpulan dan Analisis Data 53

Hasil dan Pembahasan 54

Aturan Posisi 56

Aturan Keanggotaan 57

Aturan Otoritas 58

Aturan Agregasi 59

Aturan Informasi 59

Aturan Lingkup 60

Aturan Biaya-Manfaat 61

Simpulan 62

5 HAMBATAN KELEMBAGAAN OPERASIONALISASI KPHP TASIK

BESAR SERKAP 64

Pendahuluan 64

Latar Belakang 64

Tujuan Penelitian 65

Metodologi Penelitian 65

Waktu dan Tempat 65

Metode Pengumpulan dan Analisis Data 65

Hasil dan Pembahasan 66

Pengaruh Faktor Eksogen 66

Arena Aksi 75

Pola Interaksi dan Dampak 77

Simpulan 78

6 SIMPULAN UMUM DAN SARAN 80

Simpulan Umum 80

Saran 81

DAFTAR PUSTAKA 83

Lampiran 91

(17)

DAFTAR TABEL

1 Variabel, metode pengumpulan, analisis dan sumber data 22 2 Luas wilayah KPH Tasik Besar Serkap dan KPH Rinjani Barat

berdasarkan fungsi hutan 23

3 Rezim ijin pemanfaatan hutan berdasarkan PP No. 6/2007 jo. PP No.

3/2008 26

4 Jenis-jenis ijin pemanfaatan hutan di KPHP Tasik Besar Serkap 27 5 Ijin pemanfaatan hutan di KPHL Rinjani Barat 28 6 Keberadaan ijin pemanfaatan hutan pada dua KPH pada tahun 2014 28 7 Situasi aksi pemanfaatan hutan di KPHP−TBS berdasarkan Permenhut

No. P.50/2010 jo. P.26/2012 31

8 Karakteristik para partisipan dalam pemanfaatan hutan di KPHP−TBS 31 9 Situasi aksi pemanfaatan hutan di KPH TBS berdasarkan Permenhut

No. P.62/2008 jo. P.14/2009 jo. P.19/2012 tentang Rencana Kerja

IUPHHK HTI dan HTR 35

10 Karakteristik para partisipan dalam pemanfaatan hutan di KPHP-TBS 35 11 Situasi aksi pemanfaatan hutan di KPHL-RB (Berdasarkan P.62/2008

jo. P.14/2009 jo. P.19/2012 tentang Hutan Kemasyarakatan) 40 12 Karakteristik para partisipan dalam skema Hutan Kemasyarakatan di

KPHL-RB 40

13 Pengaruh kebijakan terhadap biaya transaksi 44 14 Kasus pidana korupsi kehutanan di Provinsi Riau 45 15 Kasus pidana korupsi kehutanan di Provinsi NTB 46 16 Matrik tata kelola hutan, lahan dan REDD+ secara nasional berdasarkan

prinsip-prinsip tata kelola 49

17 Hasil analisis isi tiga peraturan pembentukan organisasi KPH 54 18 Metode pengumpulan data, analisis data dan sumber data 66 19 Situasi aksi pembentukan dan operasionalisasi KPHP−TBS 76

(18)

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka penelitian 3

2 Kerangka analisis IAD 12

3 Kategori empat kelompok barang dan jasa 16 4 Kerangka penelitian pengaruh biofisik 20 5 Peta wilayah KPHP-TBS berdasarkan SK Menhut No.

509/Menhut-VII/2010 24

6 Peta wilayah KPHL-RB berdasarkan SK Menhut No.

651/Menhut-II/2010 24

7 Perbandingan keberadaan ijin konsesi hutan pada KPHP-TBS dan

KPHL-RB 28

8 Proses perijinan IUPHHK HA/HT/RE berdasarkan Permenhut No.

P.50/2010 jo No. P.26/2012 30

9 Proses pengesahan rencana kerja IUPHHK-HTI berdasarkan Permenhut No. P.62/2008 jo. P.14/2009 jo. P.19/2012 34 10 Rantai perijinan usaha kehutanan dan titik-titik terjadinya suap/peras 38 11 Proses perijinan dan pelayanan rencana kerja HKm berdasarkan

Permenhut No. P.37/2007 jo. P.18/2009 jo. P.13/2010 jo. P.52/2011 39

12 Alur terjadinya KKN 42

13 Indeks tata kelola hutan, lahan dan REDD+ secara nasional berdasarkan

prinsip-prinsip tata kelola 48

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Tabel daftar penelitian dalam lingkup topik besar pembangunan KPH 91 2 Tabel daftar penelitian lingkup kehutanan yang menggunakan kerangka

(20)

DAFTAR SINGKATAN DAN AKRONIM

AMDAL Analisis Mengenai Dampak Lingkungan

APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBN Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara BKSDA Balai Konservasi Sumber Daya Alam

BKUPHHK Bagan Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu BLU Badan Layanan Umum

BLUD Badan Layanan Umum Daerah BPKH Balai Pemantapan Kawasan Hutan

BT Bujur Timut

BTN Balai Taman Nasional

BUMN Badan Usaha Milik Negara

BUMS Badan Usaha Milik Swasta

CPNS Calon Pegawai Negeri Sipil CPRs Common-Pool Resources

Dir WP3H Direktorat Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan

DR Dana Reboisasi

FGD Focused Group Discussions

GIZ The Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit

HKm Hutan Kemasyarakatan

HK Hutan Konservasi

HL Hutan Lindung

HP Hutan Produksi

HPH Hak Pengusahaan Hutan

HPHH Hak Pemungutan Hasil Hutan

HP-HTI Hak Pengusahaan Tanaman Industri

HTR Hutan Tanaman Rakyat

IAD-framework Institutional Analysis and Development Framework

ICCON Information and Communication Center on Nusa Tenggara

IIUPH Iuran Ijin Usaha Pemanfaatan Hutan IUPHHK Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu

IUPHHK-HA Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam

IUPHHK-HTI Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri

IUPHHK-RE Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem IUPK Ijin Usaha Pemanfaatan Kawasan

IUPJL Ijin Usaha Pemanfatan Jasa Lingkungan IUPHHK Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu

IUPHHBK Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu IPHHK Ijin Pemungutan Hasil Hutan Kayu

IPHHBK Ijin Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu Kadishut Kepala Dinas Kehutanan

KHDTH Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus KKN Kolusi Korupsi Nepotisme

KPH Kesatuan Pengelolaan Hutan

(21)

KPHL Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung KPHP Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi

KPHP−TBS Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi Tasik Besar Serkap KPHL−RB Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Rinjani Barat KPK Komisi Pemberantasan Korupsi

Jo. Juncto

LU Lintang Utara

NTB Nusa Tenggara Barat

Orba Orde Baru

RPJP Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang Pergub Peraturan Gubernur

Pemprov Pemerintah Provinsi

Permendagri Peraturan Menteri Dalam Negeri Permenhut Peraturan Menteri Kehutanan

PERSAKI Persatuan Sarjana Kehutanan Indonesia

PMA Penanaman Modal Asing

PMDN Penanaman Modal Dalam Negeri

PNS Pegawai Negeri Sipil PP Peraturan Pemerintah

PSDH Provisi Sumber Daya Hutan

RKUPHHK Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu

RKTUPHHK Rencana Kerja Tahunan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu SDM Sumber Daya Manusia

SFM Sustainable Forest Management

SK Menhut Surat Keputusan Menteri Kehutanan SKPD Satuan Kerja Perangkat Daerah TGHK Tata Guna Hutan Kesepakatan

VOC Verenigde Oost Indische Compagnie

SKSHH Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan

TII Tranparency International Indonesia

UNDP United Nation Development Programme

UPT Unit Pelaksana Teknis UPTD Pelaksana Teknis Daerah V. Ostrom Vincent Ostrom

(22)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ditinjau dari perspektif ilmu manajemen hutan dan ilmu kelembagaan, kerusakan hutan Indonesia di luar Pulau Jawa pada umumnya adalah karena tidak adanya organisasi pengelola di tingkat tapak. Situasi demikian menyebabkan pada sebagian kawasan hutan negara secara de facto menjadi sumberdaya ”open access”. Praktek-praktek illegal logging dan perambahan hutan menyebabkan terjadinya deforestasi dan degradasi hutan (Kartodihardjo et al. 2011). Kondisi ”open access” ini akibat lemahnya pengelolaan hutan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan pemegang ijin usaha. Ketiga pihak ini di masa lalu dan bahkan hingga sekarang lebih berorientasi kepada mengeksploitasi komoditi kayu, bukan berorientasi kepada pengelolaan kawasan hutan (ICCON 2006).

Seiring dengan terjadinya gerakan sosial yang menuntut reformasi politik pada tahun 1998, pada sektor kehutanan juga terjadi perubahan Undang-Undang yang menjadi landasan hukum pengurusan hutan di Indonesia. Sebelumnya berdasarkan UU No. 5/1967, selanjutnya diganti dengan UU No. 41/1999. Salah satu substansi penting dari isi UU No. 41/1999 adalah dimandatkan kepada pemerintah untuk membangun Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) pada seluruh kawasan hutan negara. Adanya KPH dipandang sebagai prasyarat terselenggaranya pengelolaan hutan berkelanjutan (Sustainable Forest Management–SFM) dan berkeadilan (Kartodihardjo et al. 2011).

Pada masa sebelumnya hingga diterbitkannya UU No. 41/1999, KPH hanya ada di Pulau Jawa, yaitu pada kawasan hutan negara yang dikelola oleh Perum Pehutani. Wilayah kelolanya seluas 2.448.043,4 ha atau sekitar 1,6% dari luas total hutan negara yang berjumlah 127 juta ha. Pengelolaan hutan ini pun sesungguhnya hanya melanjutkan pengelolaan KPH yang sudah dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda. Kawasan hutan negara lainnya (124,5 juta ha atau sekitar 98,4%), dimana sebagian besar berada di luar Pulau Jawa, belum dikelola ke dalam bentuk KPH-KPH kecuali untuk hutan konservasi (22 juta ha atau sekitar 17%) yang telah dikelola oleh sejumlah Balai Taman Nasional (BTN) dan Badan Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA).

Kebijakan pembangunan KPH meskipun sudah lama dicanangkan melalui Undang-Undang No. 41/1999, namun baru diwujudkan dalam 5 tahun terakhir terutama setelah terbitnya PP No. 6/2007 jo PP No. 3/2008 tentang Tata Hutan, Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan (Kartodihardjo dan Suwarno 2014). Pemerintah mencanangkan akan membentuk sekitar 600 unit KPH di seluruh kawasan hutan negara, dimana pembangunannya dilakukan secara bertahap mulai tahun 2009 hingga tahun 2020. Sampai akhir tahun 2014 dicanangkan akan beroperasi sebanyak 120 unit KPH (Kemenhut 2010; 2011).

(23)

pembangunan KPH. Disamping itu, berdasarkan hasil kajian pada tahun 2013, Kartodihardjo dan Suwarno (2014) menyatakan bahwa beberapa Kepala Daerah atau Kepala Dinas Kehutanan masih belum secara bulat menerima kehadiran KPH. Pada umumnya hal demikian disebabkan adanya pengertian bahwa KPH dianggap akan mengurangi peran Dinas Kehutanan, dan KPH dianggap hanya sebagai cost center yang merugikan daerah. Dengan demikian kendala-kendala tersebut hingga saat ini masih terus dirasakan.

Salah satu KPH yang perkembangan operasionalisasinya berjalan lambat adalah KPH Produksi Model Tasik Besar Serkap (KPHP−TBS) di Provinsi Riau. Wilayah KPHP−TBS ditetapkan sebagai KPHP Model oleh Menteri Kehutanan melalui SK Menhut No. 509/Menhut-II/2010 pada tanggal 21 September 2010. Struktur organisasinya ditetapkan satu tahun kemudian melalui Peraturan Gubernur (Pergub) Riau No. 47/2011 tanggal 31 Oktober 2011 yang berupa Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) di Dinas Kehutanan. Namun hingga dua tahun setelah itu (sampai akhir penelitian ini, akhir bulan Agustus 2013) Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau belum menempatkan personil pada struktur organisasi KPH tersebut. Akibat penundaan ini maka organisasi KPHP−TBS belum bisa beroperasi untuk menjalankan tugas-tugas pengelolaan hutan di tingkat tapak sebagaimana telah diatur di dalam PP No. 6/2007 jo PP No. 3/2008 dan Permendagri No. 61/2010.

Sebagai pembanding, di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) perkembangan operasionalisasi KPH Lindung Rinjani Barat (KPHL−RB) dinilai berjalan cepat. Organisasi pengelola KPH telah ditetapkan pada tanggal 26 Agustus 2008 melalui Pergub NTB No. 23/20081 dalam bentuk UPTD di Dinas

Kehutanan. Rancang bangun KPH ditetapkan oleh Menteri Kehutanan melalui surat keputusan No. SK.337/Menhut-VII/2009. Pada tahun 2009 Dinas Kehutanan Provinsi NTB mengusulkan wilayah KPHL−RB sebagai KPH Model di Provinsi NTB. Usulan tersebut disetujui oleh Menteri Kehutanan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan (SK Menhut) Nomor SK.785/Menhut-II/2009 tanggal 2 Oktober 2009. Lima bulan kemudian, yakni pada bulan Pebruari 2010, Pemda NTB menempatkan 8 orang personil untuk mengisi organisasi KPH. Setelah itu organisasi KPHL-RB segera beroperasi melaksanakan tugas-tugas pengelolaan hutan. Pada tahun anggaran 2011, KPHL-RB telah mendapat dukungan anggaran dari APBD. Pada akhir tahun 2012 personil yang ditempatkan berjumlah 186 orang, terdiri dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebanyak 15 orang dan pegawai kontrak yang ditempatkan sebagai mandor di lapangan berjumlah 171 orang.

Sebagaimana yang telah diungkapkan Kartodihardjo (2008), bahwa salah satu penyebab lambatnya pembangunan KPH di daerah adalah belum lengkapnya peraturan perundang-undangan. Selain kelengkapan peraturan perundangan, kualitas peraturan juga ikut menentukan. Berdasarkan aspek biofisik, antara KPHP−TBS dan KPHL-RB juga terdapat perbedaan mendasar, dimana wilayah KPHP−TBS didominasi oleh Hutan Produksi (HP) dan wilayah KPHL-RB

1Pergub NTB No. 23/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Dinas

(UPTD) Pada Dinas Daerah dan Unit Pelaksana Teknis Badan (UPTB) Pada Inspektorat, BAPPEDA dan Lembaga Teknis Daerah Provinsi NTB. Di dalamnya termasuk penetapan organisasi Balai Kesatuan Pengelolaan Hutan (Balai KPH) sebagai Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Dinas Kehutanan Provinsi NTB.

(24)

didominasi oleh Hutan Lindung (HL). Aspek biofisik beserta peraturan yang mengikutinya, khususnya dalam pemanfaatan hutan diduga akan berpengaruh terhadap kinerja proses pembangunan dan operasionalisasi KPH. Demikian juga dengan karakteristik komunitas para pelaku implementasi kebijakan.

Menurut Ostrom (2005), perilaku para partisipan yang kemudian membentuk pola interaksi di dalam arena aksi, dipengaruhi oleh struktur situasi aksi yang dihadapinya dan karakteristik dari partisipan itu sendiri. Sementara itu arena aksi (yang terdiri dari situasi aksi dan partisipan) dipengaruhi oleh faktor-faktor eksogen (peraturan, kondisi biofisik, dan atribut komunitas). Agregat perilaku para partisipan (yakni pola interaksi) pada kurun waktu tertentu akan menghasilkan dampak tertentu yang sering disebut juga sebagai outcome dari suatu penataan kelembagaan atau kebijakan.

Perkembangan operasionalisasi KPHP−TBS dan KPHL-RB bila ditinjau dari perspektif ilmu kelembagaan, pada dasarnya merupakan outcome dari perpaduan antara struktur situasi aksi dan karakteristik para partisipan yang berinteraksi di dalam arena aksi pembangunan KPH yang bersangkutan. Struktur situasi aksi dan karakteristik partisipan tidak secara langsung menghasilkan

outcome, melainkan melalui pembentukan struktur insentif/disinsentif yang

dihadapi oleh para partisipan. Struktur tersebut kemudian mendorong/mengarahkan kepada terbentuknya pola perilaku tertentu dari para partisipan. Agregat dari keseluruhan perilaku para partisipan ini (pola interaksi) kemudian menghasilkan outcome.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dibuat kerangka umum penelitian sebagaimana ditampilkan pada Gambar 1. Kerangka penelitian ini mengadopsi kerangka fikir dan alur analitis kerangka kerja alalisis dan pengembangan kelembagaan (IAD-framework) (lihat Gambar 2 halaman 12) yang dibuat oleh Ostrom dan para koleganya. Angka 1, 2, dan 3 menunjukan nomor bagian-bagian penelitian yang dapat dipilah secara mandiri sesuai dengan tujuan penelitian masing-masing. Bagian-bagian penelitian tersebut akan diuraikan pada Bab 3, Bab 4, dan Bab 5.

Analisis Pengaruh Kondisi Biofisik

Analisis Rules-in Use Pembangunan

Organisasi KPHL/ KPHP

Analisis Pengaruh Atribut Komunitas

ARENA AKSI PEMBANGUNAN ORGANISASI KPHL/

KPHP

Pola Interaksi Para Partisipan

Outcomes:

Cepat atau lambatnya operasionalisasi KPH

3

2 1

(25)

Perumusan Masalah

Mengacu kepada kerangka analisis dan pengembangan kelembagaan (

IAD-framework)2 yang dikembangkan oleh Ostrom dan para koleganya, cepat atau

lambatnya perkembangan operasinalisasi KPH tersebut pada dasarnya merupakan dampak (outcome) dari proses-proses interaksi para partisipan di dalam arena aksi implementasi kebijakan pembangunan KPH. Melalui kerangka kerja IAD yang dibuatnya, Ostrom menyatakan bahwa para partisipan pada situasi yang melingkupinya bersama-sama dengan faktor-faktor eksogen, akan mempengaruhi pola perilaku mereka yang kemudian menghasilkan dampak (outcomes) atau kinerja (performance). Selanjutnya dapat terjadi hubungan timbal balik dimana

outcomes akan mempengaruhi partisipan, situasi aksi, dan secara potensial dapat mempengaruhi faktor-faktor eksogen (Ostrom 2005; Ostrom et al. 2006).

Polski dan Ostrom (1999) telah memberikan arahan umum penggunaan kerangka kerja IAD untuk analisis kebijakan (lihat Lampiran 3). Menurut Polski dan Ostrom, setelah seorang analis kebijakan mendefinisikan masalah kebijakan maka fokus selanjutnya adalah pada perilaku para partisipan di dalam arena aksi, yang meliputi situasi aksi dan individu-individu dan kelompok-kelompok yang secara berkesinambungan terlibat dalam situasi tersebut. Salah satu tujuan dari analisis ini adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor pada masing-masing tiga bidang yang mempengaruhi perilaku individu dan kelompok dalam situasi kebijakan, yaitu: kondisi biofisik dan material, peraturan yang digunakan, dan atribut komunitas. Dua tujuan lainnya adalah untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi pola interaksi yang logis yang berhubungan dengan perilaku para partisipan di dalam arena aksi, dan hasil (outcomes) dari interaksi tersebut.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian dalam bentuk kalimat tanya sebagai berikut: “Mengapa proses operasionalisasi KPHP−TBS berjalan lambat?” Pertanyaan umum tersebut kemudian dijabarkan kepada pertanyaan-pertanyaan yang lebih khusus, yaitu:

1. Bagaimanakah kondisi biofisik mempengaruhi arena aksi yang dihadapi para partisipan dalam pemanfaatan hutan, yang selanjutnya berpengaruh terhadap atribut komunitas di dalam operasionalisasi KPHP−TBS?

2. Bagaimanakah kondisi peraturan pembentukan organisasi KPH ditinjau dari konsep aturan yang digunakan (rules-in use) dari Ostrom dan Crawford? 3. Bagaimanakah secara bersama-sama faktor kondisi biofisik, peraturan, dan

atribut komunitas mempengaruhi arena aksi, pola interaksi, dan outcome

dalam operasionalisasi KPHP−TBS?

Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menemukan masalah-masalah kelembagaan dan masalah-masalah dalam implementasi kebijakan yang menyebabkan terjadinya kelambatan beroperasinya organisasi KPHP−TBS. Tujuan umum tersebut dijabarkan ke dalam tiga tujuan operasional, yaitu:

1. Menganalisis pengaruh kondisi biofisik terhadap arena aksi dan outcome

pemanfaatan hutan, yang pada gilirannya akan berpengaruh terhadap arena aksi operasionalisasi KPHP−TBS.

2 Uraian tentang kerangka teoritis IAD-framework disajikan pada Bab 2.

(26)

2. Menganalisis peraturan pembentukan organisasi KPH dengan menggunakan konsep tujuh jenis aturan dari Ostrom dan Crawford.

3. Menganalisis pengaruh faktor peraturan, kondisi biofisik, dan atribut komunitas terhadap arena aksi, pola interaksi, dan outcome dalam operasionalisasi KPHP−TBS.

Kebaruan (Novelty)

Mengacu kepada kriteria orisinalitas dari Phillips dan Pugh (2005) dan Cryer (2006)3 , penelitian ini setidak-tidaknya mengandung tiga nilai kebaruan (novelty), yaitu pertama, pada penggunaan komponen kerja (working part) dan banyaknya variabel yang digunakan dari kerangka kerja IAD Ostrom. Permasalahan implementasi kebijakan KPH pada KPHP-TBS didekati dengan melihat pengaruh tiga unsur faktor eksogen (kondisi biofisik, peraturan yang digunakan, dan atribut komunitas) terhadap arena aksi, pola interaksi, dan dampak (outcome) yang dihasilkan. Kedua, obyek kajiannya adalah implementasi kebijakan pembangunan KPH. Ketiga, dari sisi lokus penelitian ini mengambil kasus pada proses operasionalisasi KPHP Tasik Besar Serkap di Provinsi Riau. Gabungan dari ketiganya menghasilkan sejumlah informasi baru dan kesimpulan penelitian yang berguna bagi pemecahan masalah-masalah pembangunan KPH di Indonesia. Informasi-informasi tersebut antara lain: (1) cenderungan adanya perbedaan respon pemerintah daerah terhadap pembangunan KPH antara KPHP dan KPHL

3

Phillips dan Pugh (2005) dalam bukunya yang berjudul “How to get a PhD: A handbook for students and their supervisors” merangkum kriteria orisinalitas suatu karya ilmiah menjadi 15 (lima belas) kriteria sebagai berikut: (1) Menyajikan bagian utama dari informasi baru untuk pertama kali; (2) Melanjutkan pekerjaan orisinal yang belum selesai; (3) Melaksanakan suatu karya ilmiah orisinal yang dirancang oleh komisi pembimbing; (4) Menyediakan suatu teknik, observasi, atau hasil yang orisinal dalam sesuatu penelitian; (5) Memiliki sejumlah ide, metode dan interpretasi orisinal dari semua yang telah dilakukan oleh orang lain; (6) Menunjukkan orisinalitas dalam pengujian ide orang lain; (7) Melaksanakan pekerjaan empiris yang belum pernah dilakukan sebelumnya; (8) Membuat sintesis yang belum pernah dibuat sebelumnya; (9) Menggunakan bahan yang sudah diketahui tetapi dengan interpretasi baru; (10) Mencoba sesuatu di suatu negara yang sebelumnya telah dilakukan di luar negeri; (11) Mengambil teknik tertentu dan menerapkannya di daerah baru; (12) Membawa bukti baru untuk mendukung isu lama; (13) Melakukan pendekatan lintas-disiplin dan menggunakan metodologi yang berbeda; (14) Menunjukan suatu wilayah pengamatan baru dimana orang-orang dalam disiplin yang sama belum melihat sebelumnya; dan (15) Menambah pengetahuan dengan cara yang belum pernah dilakukan sebelumnya. SedangkanCryer (2006) menyediakan 8 (delapan) kriteria orisinal yang agak berbeda sebagai berikut: (1) Orisinalitas dalam peralatan, tehnik, dan prosedur penelitian, yaitu menggunakan peralatan, tehnik, dan prosedur yang baru dalam melakukan eksplorasi atau pendekatan masalah penelitian; (2) Mengeksplorasi sesuatu yang belum diketahui/dijelajahi, yaitu menyelidiki, mengeksplorasi sesuatu yang sebelumnya belum ada yang melakukan; (3) Eksplorasi tak terduga, yaitu menemukan sesuatu yang tidak terduga sebelumnya; (4) Orisinalitas dalam data, yaitu mengumpulkan data, catatan hasil pengamatan yang belum diolah pada suatu waktu, namun data tersebut mempunyai nilai guna untuk diolah kemudian; (5) Orisinalitas dalam perubahan cara atau tempat penggunaan, yaitu melakukan proses perubahan cara atau tempat penggunaan sesuatu yang sudah ada tapi baru bagi tempat lain; (6) Orisinalitas dari hasil sampingan, yaitu bisa jadi dari jalur utama penelitian tidak menemukan sesuatu yang baru, akan tetapi ada hasil sampinganyang baru. Misalnya dalam cara, peralatan, atau beberapa temuan sekunder lainnya yang menarik; (7) Orisinalitas dalam pengalaman, yaitu berupa pengalaman yang orisinil, beda, dan menarik dari proses menjalankan penelitian itu sendiri; dan (8) Berpotensi untuk diterbitkan, yaitu hasil penelitiannya berpotensi untuk diterbitkan dalam jurnal peer-reviewed. Meskipun tidak dipublikasikan namun layak untuk dipublikasikan.

(27)

yang disebabkan oleh perbedaan peluang perburuan rente ; (2) struktur peraturan pembentukan organisasi KPH masih mengandung sejumlah kelemahan dalam hal pengaturan posisi para partisipan, tidak terdapatnya aturan agregasi untuk mengatasi kemandegan pembangunan KPH oleh pemerintah daerah, dan belum terdapatnya aturan insentif bagi pemerintah daerah; dan (3) adanya hambatan paradigma dan budaya birokrasi kehutanan dalam pembangunan KPH.

Penelitian dalam lingkup topik besar pembangunan KPH telah dilakukan oleh sejumlah peneliti, namun semuanya belum ada yang menggunakan IAD-framework sebagai kerangka analisisnya. Penelitian-penelitian tersebut antara lain dilakukan oleh Alviya dan Suryandari (2008), Kartodihardjo (2008), Supratman (2009), Suryandari dan Alviya (2009), Karsudi et al. (2010), Suryandari dan Sylviani (2010), Ruhimat (2010), Kusumedi dan Rizal (2010), Rizal et al. (2010), Nur (2012), dan Ruhimat (2013). Rincian dari penelitian-penelitian tersebut ditampilkan pada tabel di Lampiran 1.

Demikian juga kerangka kerja IAD sudah banyak digunakan dalam kajian beragam bidang kelembagaan. Namun untuk melihat nilai kebaruan dari penelitian disertasi ini dapat dilihat dari perbedaan dalam tema kajian, fokus, tempat, dan aspek-aspek lainnya. Misalnya Clement dan Amezaga (2009) mengkaji proses desentralisasi kehutanan di Vietnam dengan penekanan pada hubungan antara kebijakan reboisasi dan alokasi lahan dengan tingkat partisipasi masyarakat; Andersson (2011) mengkaji kebijakan desentralisasi kehutanan di Bolivia dengan fokus pada aliran informasi dan proses pembelajaran. Laerhoven (2010) mengkaji faktor-faktor penentu keberhasilan kelembagaan pengelolaan hutan masyarakat (community forest) di beberapa negara; Hardy dan Koontz (2010) mengkaji faktor-faktor keberhasilan kolaborasi pengelolaan dua Daerah Aliran Sungai (DAS) dengan pola penggunaan lahan yang berbeda di Ohio; Tucker et al. (2006) mengkaji hubungan antara kelembagaan, kondisi biofisik, sejarah, dan kepemilikan hutan di Guatemala dan Honduras; Mehring et al. (2011) membandingka tingkat efektivitas antara kelembagaan formal dan informal dalam pengelolaan Taman Nasional Lore Lindu; McGinley dan Cubbage (2011) mengkaji kebijakan sertifikasi pengelolaan hutan di Costa Rica, Guatemala, dan Nikaragua; Sithole (2014) mengkaji masalah hak akses dan pemanfaatan hutan di Swaziland; J. Suwarno (2011) mengkaji kelembagaan pengelolaan DAS Ciliwung; Ardi (2011) mengkaji pengembangan institusi pengelolaan HTR pola agroforestri rotan jernang di Kabupaten Sorolangun, Jambi; dan Nursidah (2012) mengkaji pengelolaan hutan kawasan lindung DAS Arau. Rincian penelitian-penelitian tersebut ditampilkan pada tabel di Lampiran 2.

Manfaat Penelitian

(28)

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan rekomendasi kebijakan guna meningkatkan kinerja proses pembangunan dan operasionalisasi KPHP−TBS. Mengingat di dalam penelitian ini juga dilakukan analisis peraturan yang digunakan secara nasional, maka rekomendasi kebijakan untuk memperbaiki peraturan akan memiliki cakupan manfaat secara nasional.

Adapun manfaat teoritisnya, penelitian ini menyajikan sebuah contoh penggunaan kerangka kerja IAD yang masih sangat langka digunakan pada sektor kehutanan di Indonesia. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Sabatier et al. (2005), kerangka kerja IAD adalah pendekatan terpadu yang bertujuan untuk menjelaskan pola-pola interaksi dan hasilnya, yang dihasilkan dari keputusan dan perilaku para partisipan dalam satu susunan struktur kelembagaan. Dengan demikin maka pada dasarnya kerangka kerja IAD ini dapat digunakan untuk menganalisis beragam susunan kelembagaan lain, terutama yang berbasiskan pengelolaan sumberdaya bersama (Common-Pool Resources–CPRs).

Sistematika Tulisan

Disertasi ini disusun terdiri dari enam bab. Bab-bab tersebut adalah: 1. Bab 1 Pendahuluan, menjelaskan latar belakang dan tujuan penelitian.

2. Bab 2 Gambaran Ringkas Kebijakan KPH dan Kerangka Kerja IAD, menyajikan dua hal penting berkaitan dengan konteks penelitian dan kerangka teoritis yang digunakan, yaitu: (a) informasi tentang konsep, kebijakan, dan urgensi KPH; dan (b) kerangka teoritis IAD-Framework.

3. Bab 3 Analisis Pengaruh Kondisi Biofisik, dengan menggunakan konsep dan variable yang disediakan di dalam IAD-framework. Disusun untuk memenuhi tujuan penelitian nomor 1.

4. Bab 4 Analisis Peraturan Pembentukan Organisasi KPH, dengan menggunakan konsep rules in-use Ostrom dan Crawford. Disusun untuk memenuhi tujuan penelitian nomor 2.

5. Bab 5 Hambatan Operasionalisasi KPHP−TBS: Sebuah Analisis Kelembagaan. Disusun untuk memenuhi tujuan penelitian nomor 3. Bab ini merupakan bagian utama disertasi, dimana hasil-hasil penelitian pada Bab 3 dan Bab 4 menjadi bagian pendukung bab ini.

6. Bab 6 Simpulan Umum dan Saran, merupakan rangkuman kesimpulan dan saran dari tiga bab sebelumnya.

(29)

2 GAMBARAN RINGKAS KEBIJAKAN KPH DAN

KERANGKA KERJA IAD

KPH di Indonesia Definisi KPH

Berdasarkan Undang-Undang Kehutanan Indonesia No. 41/1999, Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) adalah kesatuan wilayah pengelolaan hutan terkecil sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efesien dan lestari. Sedangkan Castaneda (2000) mendefinisikan KPH sebagai unit pengelolaan hutan yang arealnya telah ditetapkan dengan batas-batas yang jelas, dimana sebagian besar arealnya ditutupi oleh hutan, dikelola untuk jangka panjang, dan memiliki sejumlah tujuan yang jelas yang dituangkan ke dalam rencana pengelolaan hutan.

Dengan demikian maka KPH adalah strategi manajemen hutan berupa pembagian areal lahan hutan ke dalam unit-unit wilayah pengelolaan berdasarkan kriteria tertentu. Luas wilayah satu unit KPH berkisar antara 5000 ha – 700.000 ha (lihat Dir WP3H 2012). Penetapan luas wilayah KPH tersebut sangat dipengaruhi oleh luas dan sebaran wilayah hutan yang ada pada masing-masing provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia.

KPH meliputi KPH Konservasi (KPHK), KPH Lindung (KPHL), dan KPH Produksi (KPHP). KPHK adalah kesatuan pengelolaan hutan yang wilayahnya seluruhnya atau didominasi oleh kawasan hutan konservasi. KPHL adalah kesatuan pengelolaan hutan yang wilayahnya seluruhnya atau didominasi oleh kawasan hutan lindung. KPHP adalah kesatuan pengelolaan hutan yang wilayahnya seluruhnya atau didominasi oleh kawasan hutan produksi.

Pembentukan KPH

Seluruh kawasan hutan Negara di Indonesia akan terbagi habis ke dalam wilayah-wilayah KPH. Dari 127 juta ha kawasan hutan negara, hampir separuhnya tidak dikelola secara intensif. Adapun kawasan hutan yang telah dikelola intensif sebagian besar merupakan hutan produksi dalam bentuk Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) (Kartodihardjo dan Suwarno 2014). Kondisi ini menjadi salah satu pendorong agar pembentukan KPH segera dilaksanakan.

Prosedur pembentukan wilayah KPH diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) Nomor P.6/Menhut-II/2009 tentang Pembentukan Wilayah KPH. Berdasarkan peraturan tersebut pembentukan KPH melalui empat tahap, yaitu: Tahap 1, Usulan Rancang bangun KPH oleh Dinas Kehutanan Provinsi; tahap 2, Arahan pencadangan wilayah KPH oleh Kemenhut; tahap 3,

Usulan Penetapan KPH dari Dinas Kehutanan Provinsi; dan tahap akhir, Penetapan wilayah KPH oleh Kemenhut.

(30)

yang wilayah kerjanya lintas Kabupaten/Kota dalam satu provinsi ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi. Pembentukan organisasi KPHL dan KPHP yang wilayah kerjanya dalam satu Kabupaten/Kota ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Tugas Pokok KPH

Berdasarkan PP No. 6/2007 jo. PP No. 3/2008 Tahun 2008, yang dijabarkan dalam Permenhut No. P.6/ 2010 tentang Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria Pengelolaan Hutan pada KPHL dan KPHP, tugas pokok organisasi KPH adalah sebagai berikut:

1. Melaksanakan penataan hutan dan tata batas di dalam wilayah KPH.

2. Menyusun rencana pengelolaan hutan di tingkat wilayah KPH, termasuk rencana pengembangan organisasi KPH.

3. Melaksanakan pembinaan, monitoring dan evaluasi kinerja pengelolaan hutan yang dilaksanakan oleh pemegang ijin pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan, termasuk dalam bidang rehabilitasi dan reklamasi hutan, serta perlindungan hutan dan konservasi alam.

4. Melaksanakan rehabilitasi dan reklamasi hutan.

5. Melaksanakan perlindungan hutan dan konservasi alam.

6. Melaksanakan pengelolaan hutan di kawasan tertentu bagi KPH yang telah menerapkan pola pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum (BLU) atau Badan Layanan Umum Daerah (BLUD).

7. Menjabarkan kebijakan kehutanan menjadi inovasi dan operasi pengelolaan hutan.

8. Menegakkan hukum kehutanan, termasuk perlindungan dan pengamanan kawasan.

9. Mengembangkan investasi guna mendukung tercapainya tujuan pengelolaan hutan lestari.

Pelaksanaan tugas pokok dan fungsi KPH tersebut yaitu pada penyelenggaraan manajemen pengelolaan hutan di tingkat tapak/lapangan, sedangkan tugas pokok dan fungsi Dinas Kehutanan yaitu penyelenggaraan pengurusan/administrasi kehutanan.

Urgensi KPH

Sebuah Analogi

Kartodihardjo et al. (2011) menganalogikan keberadaan organisasi dan personil KPH di tingkat tapak seperti “rumah dan penghuninya” yang berada pada suatu “hamparan lahan”. “Rumah” adalah organisasi KPH, “penghuni rumah” adalah personil organisasi KPH, sedangkan “hamparan lahan” adalah kawasan hutan negara.

(31)

tersebut selalu menengok dan memeliharanya untuk memastikan bibit tersebut aman dan tumbuh dengan bagus. Sedangkan bila persyaratan tersebut tidak terpenuhi, maka kelangsungan hidup bahkan keberadaan bibit pohon tersebut peluangnya sangat kecil untuk bisa tetap ada dan tumbuh hingga dewasa. Hal ini sudah dibuktikan dengan rendahnya tingkat keberhasilan tanaman GNRHL di luar lahan-lahan masyarakat atau pada lahan-lahan yang tidak ada pengelolanya. Rumah dan penghuninya bukan sesuatu yang ada dengan sendirinya. Ia harus diadakan dan sangat mungkin perhatian dan biaya untuk mengadakannya jauh lebih mahal daripada harga bibit yang ditanam di pekarangan.

Ketidak-berhasilan pengelolaan hutan di Indonesia pada umumnya disebabkan oleh ketiadaan atau lemahnya “rumah dan penghuninya”, yaitu pengelola hutan di tingkat tapak. Ketiadaan atau kelemahan “siapa” yang dari waktu ke waktu mengetahui dan memperhatikan perkembangan sumberdaya hutan di lapangan, memelihara dan menjaga hasil-hasil penanaman pada lahan kritis, mengetahui batas-batas kawasan yang berubah, mengetahui siapa kelompok masyarakat yang paling terkait dan memerlukan manfaat sumberdaya hutan, dan lain-lain. Dengan demikian ditinjau dari aspek prasyarat, ketiadaan pengelola hutan di tingkat tapak, menjadi penyebab utama kegagalan pengelolaan hutan dan terputusnya informasi antara apa yang sesungguhnya terjadi di lapangan dengan keputusan-keputusan yang dibuat, baik di tingkat pemerintah kabupaten/kota, pemerintah provinsi maupun pemerintah (Kartodihardjo et al. 2011).

KPH dan Kelestarian Hutan

Ketiadaan pengelola hutan di tingkat tapak terbukti menjadi penyebab kegagalan bagi banyak program, baik dalam rangka rehabilitasi lahan kritis, pemanfaatan hutan yang lestari, pemberdayaan masyarat, maupun dalam rangka perlindungan hutan. Kegagalan program-program tersebut dengan sendirinya menghasilkan kinerja pengelolaan hutan yang buruk. Indikasitornya dapat dilihat dari masih tingginya jumlah hutan dan lahan yang rusak, misalnya pada bulan Maret 2013 Menteri Kehutanan RI, Zulkifli Hasan, menyatakan bahwa sekitar 60% hutan Indonesia dalam kondisi rusak (Republika, 9 Maret 2013).

Pembangunan KPH dimaksudkan untuk menjalankan fungsi penyelenggaraan pengelolaan hutan di tingkat tapak yang selama ini tidak ada. Adanya KPH akan membuka ruang profesional bagi para rimbawan untuk berkiprah dalam pengelolaan hutan. KPH akan menjembatani dan mengatur lalu-lintas kepentingan para pihak terhadap hutan. KPH bisa mengintegrasikan dan mengorganisasikan potensi-potensi para pihak yang ingin terlibat dalam pengelolaan hutan lestari. Dengan demikian maka keberadaan KPH menjadi faktor pemungkin bagi terwujudnya hutan lestari.

KPH dan Akses Masyarakat

(32)

cermat, sehingga proses-proses pengakuan hak, ijin maupun kolaborasi menjadi lebih mungkin dilakukan. Demikian pula penyelesaian konlik maupun pencegahan terjadinya konlik lebih dapat dikendalikan. Selain itu, KPH dapat memfasilitasi komunikasi dengan Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah untuk menata hak dan akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan (Kartodihardjo et al. 2011).

Kerangka Kerja IAD (IAD-Framework) Definisi Institusi

Istilah "institusi atau kelembagaan" didefiniskan dengan banyak cara. Ostrom dan Crawford (2005) mendefinisikan kelembagaan sebagai aturan yang dipahami secara luas, sebagai norma, atau sebagai strategi yang menciptakan insentif bagi perilaku dalam situasi yang berulang. Aturan adalah preskripsi bersama (tentang yang harus, tidak boleh, atau mungkin) yang melarang, mengizinkan atau memerlukan tindakan-tindakan atau hasil tertentu, dan sanksi yang terkait dengan pelanggaran peraturan. Norma adalah preskripsi yang biasanya bersifat informal, yang ditegakkan secara bersama-sama oleh para anggota. Sementara strategi adalah rencana yang sangat teratur yang dibuat oleh individu, dalam struktur insentif yang dihasilkan oleh aturan dan norma, dan harapan kemungkinan perilaku dari orang lain dalam situasi yang dipengaruhi oleh kondisi biofisik yang relevan (Ostrom 2007a).

Selanjutnya Ostrom (2005) mendefisikan institusi dengan redaksi yang agak berbeda, yaitu preskripsi yang digunakan manusia untuk mengorganisasikan semua bentuk interaksi yang berulang dan terstruktur, seperti interaksi yang terjadi di dalam keluarga, antar tetangga, pasar, perusahaan, liga olah raga, gereja, asosiasi swasta, dan pemerintahan pada semua level. Institusi mungkin secara formal digambarkan dalam bentuk undang-undang, kebijakan, atau prosedur, atau mungkin muncul secara informal sebagai norma, standar operasional, atau kebiasaan. Menurut Hurwicz (1994) dalam Polski dan Ostrom (1999), baik secara sendirian atau dalam satu set pengaturan, institusi adalah mekanisme untuk mengatur perilaku dalam situasi yang membutuhkan koordinasi antara dua atau lebih individu atau kelompok individu. Analisis institusi merupakan upaya untuk memeriksa bagaimana aturan yang diadopsi oleh individu dan atau organisasi dalam mengatasi masalah mereka, yang diarahkan kepada hasil yang diinginkan (Imperial, 1999).

(33)

dengan perubahan motivasi dan kebiasaan perilaku, dan fokus analitiknya pada perubahan kepercayaan, norma, dan harapan.

Pengembangan dan Penggunaan Kerangka Kerja IAD

Menurut Ostrom (2005), dalam menganalisis institusi kebijakan seringkali berhadapan dengan kompleksitas. Beberapa situasi kebijakan mungkin sederhana, namun kebanyakan situasi melibatkan pengetahuan dari perspektif yang berbeda, kemudian aktivitas dijalankan pada berbagai tingkatan, dan sejumlah situasi kebijakan yang given mungkin tumpang tindih dengan situasi kebijakan lain, sehingga aktivitas dalam satu situasi mempengaruhi aktivitas di situasi lain.

Dalam rangka memahami apa yang sebenarnya terjadi dalam arena kebijakan, adalah penting untuk menggabungkan masukan dari berbagai disiplin ilmu, beberapa tingkat aktivitas, dan beberapa situasi kebijakan. Inilah salah satu alasan untuk mengembangkan Institutional Analysis and

Development-Framework (IAD-Framework), yaitu untuk memberikan landasan umum untuk

mengintegrasikan beragam unsur-unsur kebijakan dan kerangka kerja bagi analis kebijakan yang berbeda-beda. Kerangka kerja IAD dapat dipandang sebagai metode yang sistematis untuk mengorganisir aktivitas analisis kebijakan, yang kompatibel dengan berbagai macam teknik analisis yang lebih khusus yang digunakan dalam ilmu alam dan ilmu sosial.

Menurut Ostrom (2005), pengembangan dan penggunaan kerangka kerja (framework) membantu kita untuk mengidentifikasi unsur-unsur dan hubungan di antara unsur. Kerangka kerja mengatur pertanyaan diagnostik dan preskriptif. Kerangka kerja menyediakan sebagian besar variabel yang harus digunakan untuk menganalisis semua jenis susunan unsur yang relevan. Kerangka kerja memberikan bahasa meta teori yang diperlukan untuk membahas dan membandingkan teori. Kerangka kerja berusaha mengidentifikasi unsur-unsur universal bahwa setiap teori yang relevan juga perlu untuk dimasukkan. Adapun posisi teori, lebih fokus pada bagian-bagian dari kerangka kerja dan membuat asumsi khusus yang diperlukan bagi analis untuk mendiagnosis fenomena, menjelaskan proses, dan memprediksi hasil.

(34)

Melalui kerangka kerja IAD yang dibuatnya Ostrom menyatakan bahwa para partisipan pada situasi yang melingkupinya, bersama-sama dengan faktor-faktor eksogen, akan mempengaruhi pola perilaku mereka yang kemudian menghasilkan dampak (outcomes) atau kinerja (performance). Selanjutnya dapat terjadi hubungan timbal balik dimana outcomes akan mempengaruhi partisipan, situasi aksi, dan secara potensial dapat mempengaruhi faktor-faktor eksogen. Kriteria evaluasi digunakan untuk menilai kinerja sistem dengan memeriksa pola interaksi dan hasil (Ostrom 2005; 2007b; 2011; Ostrom et al. 2006).

Kerangka kerja IAD dikembangkan oleh Elinor Ostrom bersama para koleganya di Pusat Studi Kelembagaan, Perubahan Populasi dan Lingkungan

(Center for the Study of Institutions, Population and Environmental Cange,

CIPEC) di Universitas Indiana, sejak dua dekade yang lalu atau lebih (Oakerson 1990; Ostom 2005; Ostrom et al. 2006). Kerangka kerja ini dibangun dari beragam teori, diantaranya teori ekonomi politik klasik, teori mikroekonomi neoklasik, ekonomi kelembagaan, teori pilihan publik, ekonomi biaya transaksi, dan teori permainan non kerjasama (Ostrom et al. 2006).

Kerangka kerja IAD telah banyak digunakan oleh para peneliti luar dan mendapat pengakuan luas, antara lain seperti yang dinyatakan oleh Schlager dan Blomquist (1996) dan Koontz (2005), yang menyatakan bahwa IAD adalah kerangka kerja yang telah mapan dan kuat, menekankan kepada analisis pengaruh peraturan terhadap pengambilan keputusan dan tindakan individu atau organisasi. Sementara Sabatier et al. (2005) menyatakan bahwa kerangka kerja IAD adalah pendekatan terpadu yang bertujuan untuk menjelaskan pola-pola interaksi dan hasilnya yang dihasilkan dari keputusan dan perilaku para partisipan (individu dan/atau organisasi) dalam satu susunan kendala kelembagaan. Konsep-konsep terpenting di dalam kerangka kerja IAD adalah arena aksi, situasi aksi, partisipan, faktor eksogen, pola interaksi dan outcomes.

Terdapat dua cara atau pendekatan untuk melakukan analisis kebijakan berbasis kelembagaan. Pendekatan pertama, menggunakan kerangka kerja IAD sebagai alat diagnostik dan bekerja ke arah belakang (backward) sesuai dengan diagram alir untuk menegaskan kembali atau merevisi tujuan kebijakan, mengevaluasi hasil kebijakan, memahami struktur informasi dan insentif kebijakan, atau mengembangkan inisiatif reformasi. Pendekatan ini paling cocok digunakan untuk menganalisis situasi kebijakan yang sudah mapan atau sudah diimplementasikan. Pendekatan kedua adalah bekerja dari belakang ke depan (forward), biasanya untuk mendefinisikan isu atau tujuan kebijakan, dan menggunakan kerangka kerja IAD sebagai suatu aktivitas ekonomi politik. Pendekatan kedua ini paling cocok untuk tugas-tugas kebijakan yang melibatkan pengembangkan inisiatif kebijakan baru, atau membandingkan dengan rancangan kebijakan alternatif (Polski dan Ostrom 1999).

Arena Aksi

(35)

analitis yang digunakan oleh ahli teori, sebagai salah satu cara untuk melihat dunia nyata dengan jalan mengisolasi beberapa variabel kunci yang dianggap mempengaruhi perilaku manusia. Kehidupan nyata tentunya jauh lebih kompleks daripada apa yang direpresentasikan oleh suatu model situasi aksi (Ostrom 1983).

Situasi aksi meliputi tujuh variabel, yaitu (1) Siapa para partisipan, (2) Posisi para partisipan, (3) Hasil (outcomes) yang mungkin terjadi, (4) Keterkaitan antara aksi dan hasil, (5) Tingkat kontrol partisipan terhadap hubungan antara aksi dan hasil, (6) Informasi yang dimiliki para partisipan tentang struktur situasi aksi, dan (7) Biaya dan manfaat yang ditanggung para partisipan. Ketujuh elemen kerja (working parts) tersebut dapat dipandang sebagai elemen-elemen terpenting dan memadai untuk menggambarkan struktur situasi aksi. Elemen-elemen tersebut mirip dengan apa yang digunakan dalam membangun model permainan formal (formal game models) (Ostrom 2005).

Partisipan adalah individu dan atau organisasi yang terlibat di dalam suatu arena aksi. Partisipan meliputi empat variabel, yaitu (1) Sumberdaya partisipan yang dibawa pada situasi aksi, (2) Penilaian/persepsi partisipan terhadap arena aksi, (3) Cara partisipan dalam memperoleh, melaksanakan, menguasai, dan memanfaatkan pengetahuan dan informasi, dan (4) Proses atau strategi para partisipan memilih kriteria aksi (Ostrom 2005, 2007).

Kerangka kerja IAD mengasumsikan bahwa partisipan bersifat rasional, namun tetap terbatas karena mereka dibatasi oleh sumber daya yang terbatas, pengetahuan yang tidak lengkap dan tingkat kemampuan pemrosesan informasi yang terbatas. Akibatnya, partisipan bisa melakukan kesalahan ketika memilih tindakan tertentu untuk mencapai tujuan (Ostrom 2007). Namun seiring dengan waktu, setelah pengalaman terakumulasi, para partisipan dapat mengadopsi strategi yang berbeda dan mengubah peraturan untuk memperoleh hasil yang lebih baik (Ostrom 2007).

Menurut Ostrom (1999, 2005), penting untuk dicatat bahwa sebagian realitas sosial terdiri dari beberapa arena aksi saling terkait, baik secara berurutan atau secara simultan. Arena aksi sangat jarang yang bersifat independen dari arena aksi yang lain. Dalam hal ini, misalnya arena aksi pembangunan dan operasionalisasi KPH akan terkait dengan beberapa arena aksi lain −antara lain arena aksi pemanfatan hutan− yang mempengaruhi keputusan-keputusan dan tindakan para partisipan di arena aksi tersebut.

Faktor Eksogen

Faktor eksogen meliputi tiga hal, yaitu (1) Karakteristik sumberdaya biofisik/material (biophysical/material condition), (2) Penciri atau atribut komunitas (attributes of community), dan (3) Aturan-aturan yang digunakan (rules in-use). Faktor-faktor ini saling terkait dan secara bersama-sama mempengaruhi perilaku, kegiatan dan strategi yang dilakukan para partisipan (membentuk pola interaksi) dan outcomes yang dihasilkan (Ostrom 2007b).

Hasil atau Kinerja

(36)

gilirannya menghasilkan hasil (outcomes) kebijakan. Bentuk-bentuk hasil

(outcomes) dapat diprediksi dengan mencermati struktur situasi aksi yang

terbentuk dan asumsi yang digunakan terhaadap paartisipan (Ostrom 2005).

Aturan

Definisi aturan di sini lebih dekat kepada pengertian regulasi. Aturan dapat dianggap sebagai seperangkat instruksi untuk menciptakan situasi aksi dalam lingkungan tertentu. Aturan bersifat menggabungkan unsur-unsur untuk membangun struktur situasi aksi. Property rights merupakan salah satu bentuk aplikasi pengaturan. Dalam sistem pemerintahan demokratis dan terbuka, ada banyak sumber aturan yang digunakan oleh individu. Selain undang-undang dan peraturan pemerintah pusat, juga ada aturan yang dibuat oleh pemerintah daerah dan lokal. Di dalam perusahaan swasta, struktur yang berwenang mengadopsi berbagai aturan akan menentukan siapa yang menjadi anggota, bagaimana manfaat didistribusikan, dan bagaimana keputusan dibuat (Ostrom 2005).

Dalam analisis kelembagaan, langkah pertama adalah memahami aturan-aturan yang secara ril digunakan individu dalam membuat keputusan (rules in use). Rules in use adalah seperangkat aturan yang menjadi referensi partisipan jika mereka diminta untuk menjelaskan dan membenarkan tindakan mereka. Individu secara sadar dapat juga memutuskan untuk mengadopsi aturan yang berbeda dan mengubah perilaku mereka untuk menyesuaikan diri dengan keputusan seperti itu (Ostrom 2005). Dilihat dari tipenya, menurut Sabatier (2007)

rules in use dapat berupa aturan formal atau informal, aturan tertulis atau tidak tertulis, bahkan dapat berupa kebiasaan sosial (social habit). Aturan-aturan ini dapat diklasifikasikan berdasarkan dampaknya terhadap tujuh unsur situasi aksi, yaitu aturan posisi (position rules), aturan batas-batas (boundary rules), aturan kewenangan (authority rules), aturan agregasi (aggregation rules), aturan informasi (information rule), aturan lingkup (scope rules), dan aturan biaya-manfaat (payoff rules) (Ostrom dan Crawford 2005).

Kondisi Biofisik/Material

Bila konfigurasi aturan mempengaruhi semua elemen situasi aksi, maka beberapa variabel dari situasi aksi (dengan demikian keseluruhan susunan insentif yang dihadapi oleh individu dalam suatu situasi) juga dipengaruhi oleh atribut dunia biofisik dan material. Tindakan apa yang secara fisik mungkin dilakukan, hasil apa yang dapat diproduksi, bagaimana tindakan terkait dengan hasil, dan apa yang terkandung di dalam informasi bagi para partisipan dipengaruhi oleh dunia biofisik. Peraturan yang sama dapat menghasilkan situasi aksi yang berbeda, tergantung kepada kondisi biofisik yang dihadapi (Ostrom 2005).

(37)

dapat digunakan sebagai atribut untuk mendefinisikan empat jenis barang, yaitu: barang kelompok, barang pribadi, barang publik, dan sumber daya umum.

Substractability of use

Difficulty of excluding

potential beneficiares

Low High

Low Toll goods Private goods

High Public goods Common-pool

resources

Gambar 3 Kategori empat kelompok barang dan jasa Sumber: Ostrom (2005)

Menurut Ostrom dan Hess (2007), istilah “common-property resource”

kadangkala digunakan untuk menggambarkan jenis barang ekonomi yang lebih baik disebut sebagai “common-pool resources”. Semua jenis barang common-pool resources berbagi dua atribut yang penting untuk kegiatan ekonomi, yaitu (1) sangat mahal untuk mengeksklusi individu dari memanfaatkan barang, baik melalui hambatan fisik atau instrumen hukum, dan (2) manfaat yang dikonsumsi oleh satu individu akan mengurangi manfaat yang tersedia bagi orang lain. Dengan memahami kelompok jenis barang yang berbagi kedua atribut itu, memungkinkan para ahli untuk mengidentifikasi masalah inti teoritis yang dihadapi individu “ketika lebih dari satu individu atau kelompok yang dapat memanfaatkan sumber daya tersebut” untuk jangka waktu yang panjang. Selain berdasarkan dua atribut tersebut, khususnya untuk common-pool resources, sifatnya akan berbeda-beda tergantung kepada jenis atribut lain yang mempengaruhi kegunaan ekonomi, seperti ukuran, bentuk, produktivitas, nilai, waktu dan keteraturan unit sumber daya yang dihasilkan. Common-pool resources

dapat dimiliki oleh pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, kelompok-kelompok komunal, individu swasta atau perusahaan, atau digunakan sebagai sumber daya akses terbuka (open acces). Masing-masing dari jenis rezim hak tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangan, akan tetapi pada dasarnya mungkin membutuhkan dasar pengaturan yang sama mengenai akses dan penggunaan sumber daya.

Dengan demikian, CPRs tidak ada hubungan otomatis dengan “kepemilikan (property rights)”, akan tetapi terkait langsung dengan sifat “pemanfaatan” oleh banyak orang. Kepemilikannya dapat berupa state property, common property, ataupun private property, sementara pemanfaatan sumberdaya dilakukan oleh banyak orang dan sulit atau biayanya relatif sangat mahal untuk melakukan eksklusi. Situasi demikian, apabila tidak diatasi dengan pengaturan dan penegakkan kelembagaan yang tepat, cenderung mengarah kepada terjadinya

tragedy of the common.

(38)

kegagalan ketika diterapkan pada situasi dengan kondisi biofisik yang berbeda. Sebagaimana ditunjukkan dalam studi CPRs yang telah dilakukan secara luas, misalnya pengaturan yang efektif sangat dipengaruhi oleh ukuran sumber daya, mobilitas unit sumber daya (misalnya air, satwa liar, atau pohon), keberadaan tempat penyimpanan; jumlah dan distribusi curah hujan, jenis tanah, kemiringan, ketinggian, dan berbagai faktor lainnya (Ostrom 2005).

Atribut Komunitas

Atribut komunitas yang penting dalam mempengaruhi arena aksi meliputi (1) nilai-nilai perilaku yang berlaku di dalam komunitas, (2) tingkat pemahaman bersama (common understanding) bahwa anggota komunitas berbagi (atau tidak berbagi) tentang bagian-bagian tertentu dari struktur arena aksi, (3) tingkat homogenitas preferensi anggota komunitas, (4) ukuran dan komposisi komunitas, dan (5) sejauh mana ketimpangan penguasaan aset dasar di antara mereka.

Gambar

Gambar 1.  Kerangka umum penelitian
Gambar 2  Kerangka analisis IAD
Gambar 4.  Kerangka penelitian pengaruh biofisik
Tabel 1  Variabel, metode pengumpulan, analisis dan sumber data
+7

Referensi

Dokumen terkait