• Tidak ada hasil yang ditemukan

Simpulan Umum

Kondisi biofisik terbukti mempengaruhi situasi aksi (menyediakan insentif atau disinsentif) yang dihadapi oleh para partisipan di dalam arena aksi pembangunan KPH. Pada wilayah KPHP Tasik Besar Serkap yang di dalamnya terdapat banyak ijin pemanfaatan hutan berbasis usaha besar (IUPHHK-HTI), −dengan struktur peraturan pemanfaatan hutan yang ada saat ini− cenderung membuka peluang dan menguatkan benturan kepentingan (conflict of interest) bagi sebagian pejabat pemerintahan daerah untuk melakukan praktek-praktek korupsi. Masih maraknya praktek-praktek korupsi dalam suatu wilayah KPH, menjadi salah satu penghambat yang kuat pembangunan KPH. Sebagian aparatur Dinas Kehutanan memandang keberadaan KPH sebagai ancaman yang akan mengurangi kewenangannya, antara lain kewenangan dalam pengesahan RKTUPHHK-HTI. Sementara pada wilayah KPH yang di dalamnya tidak atau sedikit terdapat ijin-ijin berbasis usaha besar, bahkan lebih banyak terdapat ijin- ijin dengan tujuan pemberdayaan masyarakat, yaitu HKm −contohnya pada KPHL Rinjani Barat−, pembangunan KPHnya cenderung berjalan lebih lancar. Hal ini dikarenakan benturan kepentingan dari para pejabat daerahnya relatif lebih rendah. Walaupun untuk penyediaan SDM, sarana-prasarana, dan biaya operasional juga tetap dirasakan berat oleh mereka, namun kendala tersebut tidak sepenuhnya dijadikan sebagai alasan untuk menghambat beroperasinya KPH.

Peraturan pembentukan organisasi KPH yang ada saat ini (PP No. 6/2007 jo. PP No. /2008; PP No. 41/2007, dan Permendagri No. 61/2010) masih mengandung sejumlah kelemahan. Kelemahan-kelemhanan tersebut dapat menghambat proses-proses pembangunan KPH, karena menciptakan struktur situasi aksi yang kurang kondusif bagi munculnya perilaku yang diharapkan dari para partisipan pelaksana kebijakan. Temuan-temuan penting hasil analisis peraturan antara lain (1) pengaturan posisi-posisi partisipan belum sepenuhnya dirancang berdasarkan pertimbangan prospek keterjaminan kelancaran proses, (2) masih terdapat ketidaksinkronan antara PP No. 6/2007 jo PP No. 3/2008 dengan Permendagri No. 61/2010 dalam pengaturan kewenangan menetapkan organisasi KPHL/KPHP, (3) belum adanya aturan agregasi untuk mengantipasi terjadinya ketidakmufakatan di antara para partisipan dalam tahap-tahap penting pengambilan keputusan, (4) belum lengkapnya kriteria organisasi KPHL/KPHP, dan (5) masih kurangnya pasal-pasal yang bisa menjadi pendorong/insentif bagi pemerintah daerah untuk berinisiatif membangun KPH.

Atribut komunitas yang paling penting dan cenderung menghambat pembangunan KPH adalah masalah paradigma dan budaya. Birokrat kehutanan maupun aparatur pemerintah daerah saat ini pada umumnya masih lebih mengedepankan “paradigma pemanfaatan hutan” daripada pengelolaan hutan secara utuh. Operasionalisasi paradigma ini hampir selalu diiringi dengan menguatnya budaya korupsi. Paradigma tersebut tidak sejalan dengan paradigma yang terkandung di dalam konsep KPH, yaitu “paradigma pengelolaan hutan secara utuh di tingkat tapak”. Perubahan paradigma ini juga akan disertai dengan perubahan nilai-nilai (terutama transparansi, akuntabilitas, profesionalitas, dan keadilan) dan kelembagaan. Ketika kebijakan KPH yang ada saat ini kurang memberikan tekanan dan daya dorong (insentif) kepada pemerintah daerah

sebagai pelaksana kebijakan, maka proses perubahan yang terjadi cenderung tidak dapat mengatasi resistensi yang ada.

Dengan adanya masalah-masalah benturan kepentingan (conflict of interest) yang dipicu dari kondisi biofisik, adanya kelemahan-kelemahan peraturan, dan masalah paradigma dan budaya, menyebabkan munculnya perilaku yang kurang dapat bekerjasama dari Pemerintah Provinsi Riau. Sikap ini antara lain dimanifestasikan dengan cara menunda-nunda penempatan personil untuk mengisi struktur organisasi KPHP−TBS. Di sisi lain, pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah belum diarahkan kepada menjawab permasalahan-permasalahan tersebut.

Saran

Kebijakan pemberian bantuan sarana prasarana, pendidikan dan latihan bagi calon pengelola KPH, fasilitasi penyusunan rencana, dan lain-lain untuk mendukung operasionalisasi KPH masih perlu dilanjutkan. Selain itu kebijakan untuk mencegah dan menanggulangi korupsi di dalam arena aksi pemanfaatan hutan juga perlu dilakukan. Strateginya umumnya, di satu sisi diarahkan kepada memperkecil peluang terjadinya KKN, di sisi lain diarahkan kepada penguatan sistem dan peningkatan kualitas sumberdaya manusia. Misalnya, peraturan tentang informasi calon lokasi dan pengurusan syarat-syarat perijinan IUPHHK tidak diurus langsung oleh para pemohon, akan tetapi disiapkan oleh pemerintah sendiri sebagai pemilik aset. Penilaian dan pengesahan rencana kerja serta pengawasan implementasi rencana kerja perusahaan, dilakukan dengan standar transparasi dan akuntabilitas yang tinggi. Bersamaan dengan itu perlu dilakukan perbaikan sub-sub sistem lainnya yang terkait, yaitu (1) masalah pengaturan kewenangan antara pemerintah dan pemerintah daerah, (2) penanaman nilai-nilai tata kelola pemerintahan yang baik (prinsip-prinsip good governance: transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, integritas, dan fairness), (3) penguatan sistem pengawasan dan penegakan hukum, (4) peningkatan kesejahteraan pegawai, dan (5) peningkatan kapasitas masyarakat sipil sebagai pengawas dan pendorong sistem pemerintahan yang baik.

Berkaitan dengan perbaikan peraturan pembentukan organisasi KPHL/KPHP direkomendasikan: (1) Penetapan posisi-posisi di dalam peraturan dirancang berdasarkan hasil analisis kebutuhan konfigurasi dan formasi partisipan dengan memperhitungkan relevansi serta kekuatan-kekuatannya. Di antaranya dengan memasukkan unsur-unsur yang memiliki daya penyeimbang dan daya dorong yang kuat (unsur perguruan tinggi, LSM, organisasi rimbawan, dll). Pengaturan posisi harus dipadukan dengan penataan otoritas yang diarahkan kepada lebih dominannya posisi-posisi pro-KPH dibanding posisi-posisi yang resisten; (2) Peran Kemendagri selaku pembina organisasi KPHL/KPHP perlu ditingkatkan; (3) Perlu adanya lembaga adhoc non struktural yang berfungsi untuk mengkonsolidasikan potensi dan mendorong peran para pihak dalam pembangunan KPH; (4) Ketidaksinkronan pengaturan kewenangan penetapan organisasi KPHL/KPHP antara PP No. 6/2007 jo. PP No. 3/2008 dengan Permendagri No. 61/2010 dapat diatasi dengan melakukan perubahan Pasal 8 PP No. 6/2007 jo. PP No. 3/2008; (5) Guna mengatasi ketidakmupakatan di antara para partisipan utama, −seperti yang terjadi pada kasus penundaan penempatan personil pada KPHP Tasik Besar Serkap− terlebih dahulu perlu diidentifikasi tahapan-tahapan krusial pengambilan keputusan di dalam suatu peraturan, lalu

dibuat aturan agregasi untuk menyediakan jalan keluarnya; (6) Belum lengkap dan implementatifnya kriteria pada Permendagri Nomor 61/2010 dapat diatasi melalui penyempurnaan kriteria-kriteria tersebut dengan memperhatikan masukan- masukan dari para pihak khususnya dari pemerintah daerah; (7) Perlu ada satuan tugas yang berfungsi sebagai pusat informasi, komunikasi dan konsultasi KPH; dan terakhir (8) Guna mendorong munculnya inisiatif daerah, kebijakan pembangun KPH saat ini perlu disertai dengan sejumlah kebijakan pemberian insentif yang menarik bagi pemerintah daerah.

Guna meningkatkan penerimaan pemerintah daerah terhadap kebijakan KPH, pemerintah (Kemenhut) perlu merubah cara berfikir dan pendekatan bahwa peraturan bukan satu-satunya instrumen untuk mengarahkan perilaku partisipan daerah. Meskipun peraturan itu sendiri masih banyak yang perlu diperbaiki, namun pemerintah juga perlu meningkatkan pembinaan kepada pemerintah daerah serta meningkatkan penyebaran pengetahuan, komunikasi, dan membangun rasa saling percaya. Selain untuk mengatasi resistensi, pendekatan tersebut juga sangat diperlukan untuk mengawal proses transformasi paradigma dan budaya birokrasi kehutanan agar sejalan dengan nilai-nilai baru yang terkandung di dalam konsep KPH. Guna memperlancar pelaksanaan tugas tersebut, Kemenhut perlu meningkatkan kerjasama dengan berbagai pihak, baik dengan jaringan yang sudah terbentuk (akademisi, lembaga donor, Bappenas, dan lain-lain), maupun dengan lembaga-lembaga potensial lain seperti Kemendagri, UKP4, dan KPK.

Sebagai implikasi teoritis dari penelitian ini, kerangka analitis IAD Ostrom sangat potensial untuk digunakan oleh para analis kebijakan, baik pada sektor kehutanan maupun sektor-sektor lainnya. Penggunaan kerangka analitis IAD Ostrom terbukti efektif dalam menemukan masalah-masalah implementasi kebijakan serta memberikan arahan solusinya.

Dokumen terkait