NO PENDIDIKAN TINGKAT
C. Pembahasan Hasil Penelitian
3. Hambatan dan Kendala yang ditemui Selama Proses Rekrutmen Calon
Anggota DPRD Provinsi oleh DPD Golkar Jabar dan DPD Hanura Jabar
Partai politik sebagai pemegang amanat untuk menjadi agen dalam mempersiapkan orang-orang yang akan mengisi jabatan-jabatan politik di pemerintahan memiliki tanggungjawab yang sangat besar. Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 sudah sangat jelas memberikan kewenangan kepada parpol untuk mempersiapkan bakal calon yang akan menjadi peserta dalam pemilu tahun 2009 sesuai mekanisme internal masing-masing. Hal ini menjadikan kebijakan dan proses rekrutmen bacaleg yang diterapkan oleh parpol menjadi sesuatu yang sangat krusial dalam penentuan nasib Bangsa Indonesia, dan itu berarti mekanisme yang dijalankan tidak boleh sembarangan dan harus memperhatikan aspek-aspek demokratis dan kapabilitas calon.
Beban berat yang ditanggung oleh partai politik memang tidak mudah untuk dijalankan, kendala yang mengiringi pasti ada, baik kendala dari internal partai maupun eksternal partai. Semuanya harus dihadapi dan diselesaikan dengan baik oleh partai politik guna menciptakan rekrutmen caleg yang berkualitas.
Dari hasil penelitian yang penulis lakukan di Partai Golkar dan Hanura umumnya kesulitan yang ditemui relatif sama yaitu terletak pada masalah administrasi serta pemenuhan kuota 30% perempuan. Semuanya akan kita bahas satu persatu.
130 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 memberikan ketentuan syarat-syarat administrasi yang harus dipenuhi oleh calon anggota legislatif, yaitu
a. kartu tanda Penduduk Warga Negara Indonesia;
b. bukti kelulusan berupa fotokopi ijazah, STTB, syahadah, sertifikat, atau surat keterangan lain yang dilegalisasi oleh satuan pendidikan atau program pendidikan menengah;
c. surat keterangan catatan kepolisian tentang tidak tersangkut perkara pidana dari Kepolisian Negara Republik Indonesia setempat;
d. surat keterangan berbadan sehat jasmani dan rohani; e. surat tanda bukti telah terdaftar sebagai pemilih;
f. surat pernyataan tentang kesediaan untuk bekerja penuh waktu yang ditandatangani di atas kertas bermeterai cukup;
g. surat pernyataan kesediaan untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat/pengacara, notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), dan tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang ditandatangani di atas kertas bermeterai cukup; h. surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali sebagai
pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, atau anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengurus pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah, pengurus pada badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara;
i. kartu tanda anggota Partai Politik Peserta Pemilu;
j. surat pernyataan tentang kesediaan hanya dicalonkan oleh 1 (satu) partai politik untuk 1 (satu) lembaga perwakilan yang ditandatangani di atas kertas bermeterai cukup;
k. surat pernyataan tentang kesediaan hanya dicalonkan pada 1 (satu) daerah pemilihan yang ditandatangani di atas kertas bermeterai cukup.
Persyaratan tersebut adalah persyaratan yang harus dipenuhi oleh semua calon anggota legislatif dari partai manapun. Menurut penulis pemenuhan persyaratan administrasi tidak menjadi kendala yang benar-benar berarti, walaupun kadangkala pada beberapa kasus persyaratan administrasi inilah ─ terutama kasus pemalsuan ijazah ─ yang menjadi biang persoalan. Tetapi dari hasil wawancara dengan pengurus DPD Partai Golkar Jabar dan DPD Hanura
131 Jabar, kasus pemalsuan ijasah ini tidak ditemukan selama proses rekrutmen bacaleg DPRD Provinsi Jabar.
Ketentuan kuota 30% perempuan dalam daftar calon legislatif sebagaimana diatur oleh Pasal 53 UU No. 10 Tahun 2008 belum terpenuhi oleh Partai Golkar maupun Partai Hanura. Ini merupakan salah satu kendala juga yang dihadapi oleh Partai Golkar maupun Hanura, bahkan mungkin semua Parpol.
Tabel 9
Perbandingan caleg DPRD Provinsi Jabar berdasarkan Jenis Kelamin dari Partai GOLKAR dan HANURA
Jenis Kelamin Jumlah (%) GOLKAR HANURA
Laki-laki 84 (73,1%) 56 (80%)
Perempuan 31 (26,9%) 14 (20%)
Diolah dari data KPUD Jabar
Mengenai kesulitan mendapatkan calon anggota legislatif yang berasal dari perempuan DY menganggap bahwa mungkin perempuan saat ini enggan untuk masuk ke dunia politik terutama menjadi caleg, karena kekurang percayaan diri bertarung dengan laki-laki. Tetapi, menurut Komisi Nasional Perempuan ketika diminta pendapatnya pada sidang Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai sengketa UU No. 10 Tahun 2008, tidaklah tepat anggapan umum bahwa minimnya keterlibatan perempuan dalam dunia politik disebabkan oleh keengganan perempuan untuk masuk di ranah politik. Jika pun ada keengganan, ini adalah hasil konstruksi sosial yang bias gender dimana perempuan dipersepsikan sebagai tidak patut berada dalam dunia politik, tidak berani, tidak mau dan tidak mampu terjun di dunia politik. Konstruksi ini yang merupakan
132 bentuk ketidakadilan jender itu sendiri. Sementara itu, laki-laki justru dikonstruksikan sebagai yang mampu dan pantas untuk berada di pentas politik dan urusan publik lainnya.
Inti dari pendapat Komisi Nasional Perempuan tersebut adalah sudah semakin mengakarnya kontruksi gender yang merugikan pihak perempuan, dimana gender perempuan dikontruksi sebagai makhluk yang lemah yang tidak akan bisa bertarung di dunia politik yang serba bermain kepentingan, yang sangat berpotensi untuk timbul konflik atau gesek-gesekan bahkan saling jatuh menjatuhkan. Senada dengan hal tersebut, Ari Bainus (2009) berpendapat bahwa “Stereotipe terhadap minimnya keterwakilan perempuan di legislatif, antara lain perempuan kerap dianggap tidak capable untuk mengurusi hal-hal terkait bidang politik”.
Dalam kesempatan yang sama Arry Bainus mengajukan tiga solusi masalah sulitnya ketercapaian kuota 30% perempuan di Daftar Caleg Partai, lebih-lebih di parlemen, yaitu:
1. Kewajiban menyediakan kuota 30% keterwakilan perempuan, sebenarnya tidak hanya dalam konteks keanggotaan legislatif, tetapi UU tentang partai politik pun mengamanatkan agar di dalam kepengurusan partai politik, 30% terdiri dari perempuan.
2. Kedua, membangun kesadaran di kalangan para pemilih, untuk memahami mengenai pentingnya kebijakan affirmative action. Caranya, dengan memilih calon legislatif perempuan, apa pun partai politiknya.
133 3. Ketiga, ke depan dibuat aturan yang lebih tegas lagi, misalnya, 30% "kursi" DPR RI, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, diperuntukkan bagi perempuan. Namun, tetap melalui mekanisme pemilihan umum legislatif secara demokratis.
Solusi yang diajukan tersebut tampaknya akan mendapat tantangan dari kultur bangsa Indonesia sendiri yang masih diselimuti paham gender yang salah. Selain itu ada juga pihak-pihak yang menolak affirmative action yang dianggap sebagai bentuk diskriminasi baru yang merugikan pihak laki-laki. Salah satu contohnya adalah judicial review pasal 55 ayat (2) serta pasal 214 hurup a, hurub b, hurup c, hurup d, dan hurup e dari UU No. 10 Tahun 2008 yang dilakukan oleh Muhamad Sholeh, S.H; Sutjipto, S.H., M.Kn; Septi Notariana, S.H., M.Kn; Jose Dima Satria, S.H., M.Kn kepada Mahkamah Konstitusi.
Permasalahan perlunya peningkatan partisipasi politik perempuan yang dimanifestasikan dalam keterwakilannya di parlemen, selain diatasi oleh
affirmative action, harus dibenahi dari tubuh parpol sendiri. Partai politik harus
lebih berani memberikan ruang partisipasi bagi perempuan untuk menempati posisi-posisi strategis dalam partai. Partai politik pun harus menjalankan fungsinya sebagai salah satu agen pendidik politik bagi masyarakat, penekanan terhadap partisipasi politik perempuan dengan mengikis kontruksi gender yang tidak adil patut mendapat perhatian.