NO PENDIDIKAN TINGKAT
C. Pembahasan Hasil Penelitian
1. Mekanisme dan Pola Rekrutmen dari Partai Golkar dan Hanura
Partai politik dan parlemen (legislatif) merupakan dua aktor utama masyarakat politik, yang memperoleh mandat dari masyarakat sipil, berperan mengorganisir kekuasaan dan meraih kontrol atas negara untuk kepentingan masyarakat. Peran partai politik itu diletakkan dalam arena pemilihan umum, yang di dalamnya terjadi kompetisi antarpartai dan partisipasi politik masyarakat sipil untuk memberikan mandat pada partai atau kandidat pejabat politik yang dipercayainya. Mengikuti logika demokrasi, para pejabat politik (legislatif dan eksekutif) ─ yang telah memperoleh mandat melalui partisipasi politik masyarakat dalam pemilu ─ harus mengelola sumberdaya ekonomi-politik (kekuasaan dan
113 kekayaan) bersandar pada prinsip transparansi, akuntabilitas dan responsivitas untuk masyarakat. Dengan kalimat lain, jabatan-jabatan politik yang diperoleh dari mandat masyarakat itu bukan untuk kepentingan birokrasi, parlemen dan partai politik sendiri, melainkan harus dikembalikan secara akuntabel dan responsif untuk masyarakat. Prinsip ini sangat penting untuk diwacanakan dan diperjuangkan karena secara empirik membuktikan bahwa pemerintah, parlemen dan partai politik menjadi sebuah lingkaran oligharki yang jauh dari masyarakat.
Di sisi lain partai politik dan pemilihan umum merupakan tempat yang paling tepat untuk proses rekrutmen politik, dalam rangka mengorganisir kekuasaan secara demokratis. Rekrutmen merupakan arena untuk membangun kaderisasi, regenerasi, dan seleksi para kandidat serta membangun legitimasi dan relasi antara partai dengan masyarakat sipil. Selama ini ada argumen bahwa rekrutmen politik merupakan sebuah proses awal yang akan sangat menentukan kinerja parlemen (legislatif). Jika sekarang kapasitas dan legitimasi DPRD sangat lemah, salah satunya penyebabnya adalah proses rekrutmen yang buruk.
Dari hasil penelitian yang didapatkan oleh penulis, maka ada hal yang paling menonjol antara pola rekrutmen caleg dari Partai Golkar dengan pola rekrutmen dari Partai Hanura. Partai Golkar secara umum merekrut hanya terbatas kepada internal partai saja ─ walaupun ada ketentuan yang memungkinkan untuk merekrut dari luar ─ sedangkan Partai Hanura terbuka untuk semua, baik dari internal maupun eksternal partai.
Partai Golkar melakukan pola rekrutmen yang terbatas tersebut, memang memiliki beberapa alasan yang memungkinkannya tidak perlu membuka
114 pendaftaran untuk umum. Partai Golkar adalah partai yang saat ini merupakan partai terbesar dengan jumlah kader yang sangat banyak. Pengkaderan yang telah dilaksanakannya pun sudah cukup panjang karena ia adalah partai lama, yang walaupun baru mendeklarasikan diri sebagai partai pada tahun 1999, tetapi secara nyata Golkar sudah ada sejak tahun 1964. Jadi, kalau saat ini Partai Golkar hanya merekrut kader internal partai untuk menjadi calon anggota legislatif hal itu memiliki alasan yang kuat, terutama jika melihat kuantitas kader potensial yang ada.
Apabila melihat kuantitas kader, Partai Hanura yang membuka pendaftaran untuk umum yang mau menjadi caleg juga memiliki alasan yang kuat. Partai ynag relatif baru ini, walaupun potensial meraup suara yang cukup signifikan dalam pemilu 2009, tetapi saat ini belum memiliki kader potensial yang terlalu banyak. Proses pengkaderannya pun belum lama, karena partai ini baru didirikan pada tahun 2006. Maka tidak heran apabila Partai Hanura tidak hanya merekrut dari kalangan internal partai saja, tetapi dari luar juga.
Perbedaan bentuk rekrutmen antara Partai Golkar yang terbatas hanya kepada internal partai saja dan Partai Hanura yang membuka akses selebar-lebarnya bagi masyarakat umum tidak menjadikannya sebagai perbedaan antara rekrutmen politik yang terbuka dan tertutup. Hal ini bisa kita lihat dari pendapat Lili Romli (2005) yang menyebutkan bahwa suatu rekrutmen dikatakan terbuka apabila seluruh warga negara tanpa kecuali mempunyai kesempatan yang sama untuk direkrut apabila yang bersangkutan telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan. Sedangkan rekrutmen tertutup adalah proses rekrutmen secara
115 terbatas, yaitu hanya individu-individu tertentu saja yang dapat direkrut untuk menduduki jabatan politik atau jabatan pemerintahan. Dalam konteks rekrutmen secara tertutup ini maka individu-individu yang dekat dengan penguasa atau pemimpin politiklah yang mempunyai kesempatan untuk masuk dalam partai politik atau menduduki jabatan politik. Kedekatan itu bisa berdasarkan hubungan darah, persamaan darah, golongan, etnis, persahabatan, almamater, dan sebagainya. Jadi perbedaan ini hanya menyangkut pembatasan sumber bacaleg yang ditetapkan partai.
Apabila kita melihat acuan mekanisme rekrutmen caleg yang ada dalam tubuh partai, tampaknya porsi kewenangan dan pengaruh sangat besar sekali diberikan kepada pimpinan partai. Hal demikian membuat seleksi yang dilaksanakan oleh Partai Golkar maupun Hanura bersifat tertutup dan sangat memungkinkan aspek subyektifitas pimpinan menjadi bagian dalam mempengaruhi hasil seleksi.
Rekrutmen caleg dari kalangan internal partai memiliki keunggulan dalam beberapa hal, terutama menyangkut kualitas kepartaian yang dimiliki oleh si caleg. Orang-orang dari internal partai tentu saja sudah melalui jenjang pengkaderan yang cukup lama dan intensif dibandingkan dengan calon dari luar partai. Hal ini tentu akan sangat berpengaruh terhadap pengenalan, pemahaman, serta internalisasi visi-misi partai. Mengenai masalah ini, Cecep Darmawan (2008) berpendapat bahwa:
keunggulan dari rekrutmen internal dapat memberikan jaminan adanya internalisasi nilai visi dan misi partai politik. Setidaknya, setelah mereka menjalani dan bergerak dalam struktur partai politik dalam beberapa waktu sebelumnya dapat dijadikan pengalaman penting
116 dalam memahami seluk beluk partai atau dinamika politik. Dengan kata lain, orang seperti ini akan merasakan bagaimana rasanya sebagai pemain politik dalam panggung politik yang sebenarnya.
Keunggulan individu yang berasal dari internal parpol seperti diungkapkan oleh Cecep Darmawan tersebut tidak menjamin sepenuhnya caleg yang bersangkutan berkualitas. Hal tersebut tentu sangat terkait dengan kualitas rekrutmen untuk internal parpol itu sendiri dan juga berjalan tidaknya serta berkualitas tidaknya pengkaderan partai.
Sementara itu, banyak pihak yang menilai bahwa rekrutmen caleg dari luar partai banyak mengandung kelemahan. Individu dari luar partai belum teruji jenjang karir politiknya dan diragukan bisa memberikan kontribusi yang cukup berarti di tengah percaturan politik yang syarat dengan tarikmenarik kepentingan. Selain itu, karena berasal dari luar partai, mereka tentu saja tidak memiliki kedekatan atau ikatan ideologis dengan partai.
Harus diakui bahwa rekrutmen caleg dari luar partai juga mendatangkan beberapa keuntungan. Populeritas adalah sesuatu yang dicari dalam merekrut orang-orang di luar partai. Kehadiran mereka dipergunakan partai untuk mendulang suara semaksimal mungkin. Maka tidak heran apabila akhirnya banyak tokoh masyarakat ataupun orang-orang populer yang memiliki jaringan yang luas berhasil menjadi caleg walupun sebelumnya ia tidak berpartai.
Ketika diwawancara di kantornya, peneliti politik yang sekaligus juga sebagai Dosen UNPAD, Arry Bainus, berpendapat bahwa rekrutmen terhadap orang di luar partai akan mendatangkan keuntungan bagi partai, karena dengan begitu partai akan mendapatkan anggota yang berasal dari berbagai latar belakang,
117 seperti purnawirawan, tokoh masyarakat, dosen, guru besar, dan sebagainya, tetapi loyalitas mereka terhadap partai akan sangat sulit diharapkan.
Pendapat dari Arry Bainus tersebut didasarkan pada fenomena “kutu loncat” yang marak terjadi di dunia politik Indonesia dewasa ini. Partai-partai baru yang sekarang ini bermunculan banyak yang berasal dari pecahan partai-partai yang sudah ada. Sosok yang mengisi partai-partai-partai-partai baru tersebut merupakan orang-orang lama yang merasa kepentingannya tidak terakomodir atau mereka merasa kalah bersaing kemudian keluar dari partai dan mendirikan partai baru. Maka tidak heran apabila timbul kekhawatiran apabila pendaftaran dibuka selebar-lebarnya bagi masyarakat, maka orang-orang yang tadinya berasal dari partai lain pun, atau berasal dari latar belakang apa pun, akan mendaftarkan diri sebagai caleg, tetapi kemudian apabila ia kalah maka komitmennya untuk berjuang dengan partai akan disangsikan.
Fenomena “kutu loncat” memang terjadi di tubuh Partai Hanura. Sebagai partai baru, Hanura banyak diisi oleh orang-orang yang tadinya berasal dari partai lain yang merasa kepentingannya tidak terakomodir. Terlepas kepentingan belaka atau memang didasarkan ideologi, yang jelas banyak kalangan yang menyangsikan loyalitas mereka terhadap partai.
Mengenai caleg instan yang dikemukakan oleh Arry Bainus, tampaknya rekrutmen Golkar bisa meminimalisir hal tersebut, berbeda dengan Partai Hanura yang membuka pendaftaran seluas-luasnya bagi masyarakat. Pendaftaran terbuka akan sangat memungkinkan melahirkan caleg instan. Tetapi, bagaimanapun ini
118 adalah konsekwensi yang memang harus diterima dan dilakukan oleh partai baru apabila ingin bertarung memperebutkan suara rakyat.
Menurut Arry Bainus, rekrutmen caleg yang ideal itu harus memperhatikan aspek kaderisasi yang dijalankan oleh internal partai itu sendiri. Caleg yang direkrut haruslah memiliki jenjang pengkaderan yang baik di partai dan track record-nya baik dan dapat dinilai sendiri oleh masyarakat. Jadi, rekrutmen caleg tidak dilakukan terhadap orang-orang yang begitu saja muncul secara instan, caleg yang baik adalah yang mampu merintis karir politiknya dari bawah.
Rekrutmen caleg memang tidak bisa dilepaskan dari proses pengkaderan partai, karena apabila kita kembali tinjau makna rekrutmen politik adalah seleksi dan pemilihan atau seleksi dan pengangkatan seseorang atau sekelompok orang untuk melaksanakan sejumlah peranan dalam sistem-sistem politik pada umumnya dan pemerintahan pada khususnya (Ramlan Surbakti, 1992 : 118), ini berarti bahwa partai politik sebagai salah satu agen yang berperan dalam proses rekrutmen politik harus mempersiapkan para individu yang nantinya akan bertugas untuk melaksanakan tugas dan perannya dalam pemerintahan. Melansir pendapat dari Firmanzah (2008 : 71) bahwa :
Untuk dapat melakukan tugas ini, dalam tubuh organisasi partai politik perlu dikembangkan sistem rekrutmen, seleksi, dan kaderisasi politik. Mendapatkan pemimpin yang baik harus dimulai dari sistem rekrutmen. Dengan adanya sistem ini, nantinya akan dapat diseleksi kesesuaian antara karakteristik kandidat dengan sistem nilai dan ideologi sama serta memiliki potensi
Tugas –tugas yang akan diemban oleh para pemegang jabatan politik maupun pemerintahan bukanlah tugas yang mudah, dibutuhkan pelatihan dan
119 persiapan yang matang untuk membentuk individu-individu yang siap. Peran untuk mempersiapkan ini terutama dimainkan oleh partai politik. Kaderisasi dalam tubuh partai harus dijalankan guna membentuk calon-calon pemimpin yang berkualitas, berkapasitas, dan berintegritas. Hal ini senada dengan pendapat Ramlan Surbakti (2003 : 52) bahwa:
Agar orang-orang yang direkrut ke dalam berbagai posisi kenegaraan itu memiliki kualitas kepemimpinan yang diperlukan untuk melaksanakan jabatan itu, partaipolitik melakukan kaderisasi kepemimpinan baik dalam visi dan misi (ideologi) perjuangan partai maupun dalam bidang substansi yang sesuai dengan tugas kenegaraan.
Beranjak dari asumsi tersebut, tampaknya Golkar lebih siap untuk menjalankan fungsi rekrutmen politiknya dibandingkan dengan Hanura. Golkar partai lama yang sudah boleh dikatakan mapan, kaderisasi yang dijalankan pun sudah teruji pula, dan jenjang karir anggota dalam partai harus mulai dari tingkat bawah. Sedangkan Hanura memang memiliki keterbatasan, ia merupakan partai baru yang belum memiliki kader yang banyak, kederisasi yang dijalankan pun tentu belum berlangsung lama. Walau demikian, partai Hanura sebenarnya memiliki satu keuntungan dibandingkan dengan partai baru lainnya, ia merupakan partai yang terbentuk dari pecahan partai besar, banyak kader bagus dari partai-partai besar masuk ke Hanura, tetapi lagi-lagi perlu diingat bahwa loyalitas mereka terhadap partai patut dipertanyakan.
Secara umum pendekatan pola rekrutmen yang dilakukan oleh Partai Golkar maupun Hanura adalah sama. Ada dua pendekatan yang dilakukan, yaitu pendekatan dengan memperhatikan usulan dari tingkat bawah dan pendekatan merit sistem yang dimanifestasikan lewat proses skoring.
120 Pendekatan usulan dari bawah, bisa kita lihat dari: (1) Partai Golkar menerapkan sistem pengiriman nama bakal caleg yang disusun oleh DPRD Provinsi kepada DPD Kabupaten/Kota untuk dinilai dan diberikan masukan sebagai bahan pertimbangan bagi DPD Provinsi menetapkan daftar calon definitive. (2) Partai Hanura menerapkan sistem penjatahan pengisian bacaleg sebanyak 60% : 40% antara DPD dengan DPC. Apabila tujuan dari pendekatan ini adalah untuk membatasi dominasi Dewan Pimpinan Partai tingkat Provinsi dan memberikan kesempatan kepada Dewan Pimpinan Partai tingkat Kabupaten/Kota sebagai kekuatan di daerah untuk berpartsisipasi, maka cara yang ditempuh oleh Hanura lebih mengena karena 40% jatah kuota yang dimiliki oleh DPC bersifat mutlak, sedangkan untuk partai Golkar, walaupun ada pelibatan terhadap DPD Kabupaten/Kota tetapi sebatas pemberi usul saja. Sehingga tidak heran apabila terjadi kasus seperti yang terjadi di Bogor.
Sebanyak 428 pimpinan desa (Pedes) dan 40 Pimpinan tingkat Kecamatan Partai Golkar Kabupaten Bogor menolak daftar calon legislatif (Caleg) untuk daerah pemilihan Bogor yang dikirimkan Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Golkar Jawa Barat ke Dewan Pengurus Pusat (DPP) Golkar. Penolakan tersebut karena daftar caleg yang dikirimkan DPD Partai Golkar Jabar tidak sesuai dengan rekomendasi yang dikirimkan oleh DPD Partai Golkar Kabupaten Bogor. (http://www.hupelita.com/baca.php?id=55296)
Dalam implementasi rekrutmen caleg, yang paling menentukan adalah proses seleksi. Proses seleksi yang dilakukan oleh Partai Golkar maupun Hanura dengan sistem skoring guna menemukan kader-kader yang berkualitas yang sesuai
121 dengan tuntutan partai terhadap figur yang dibutuhkan. Tetapi dalam proses seleksi tampaknya baik partai Golkar maupun Hanura bersifat tertutup. Seleksi hanya menjadi kewenangan tim seleksi yang terdiri dari para pimpinan partai. Hal inilah yang terkadang membuat terbukti apa yang diungkapkan oleh Maurice Duverger (1993 : 180) bahwa pada dasarnya semua orang yang berbakat memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai posisi elit, tetapi kadangkala mereka dihalangi oleh elit politik yang sedang berkuasa yang membentuk oligarki-oligarki kekuasaan.