• Tidak ada hasil yang ditemukan

Merantau Suami dan istri

sama-sama bekerja FAKIR MISKIN CUKUP KAYA ∙   Jumlah 20 rumahtangga ∙   Dipandang malas, tidak

mau berpikir untuk maju, dan tidak kuat bekerja ∙   Memandang diri telah bekerja kerasBerusia lanjut.

∙   Masih muda namun tidak kuat bekerja di sawah. ∙   Bekerja berburuhtani,

makelaran

∙   Pendapatan sekitar Rp 300 ribu per rumahtangga per bulan

∙   Tidak memiliki sawah. ∙   Memiliki rumah, atau

tinggal di tanah milik orang lain.

∙   Tanah untuk rumah yang dimiliki hanya di satu tempat.

∙   Jumlah 50 rumahtangga ∙   Dipandang memiliki

pendidikan formal rendah ∙   Memandang diri bekerja

keras dan sehat ∙   Memiliki sawah 3.000-

5.000 m2

∙   Berburuh tani, maro, merantau

∙   Pendapatan sekitar Rp 10 juta per rumahtangga per tahun

∙   Melalui sinoman dapat memiliki rumah tembok

∙   Jumlah 100 rumahtangga ∙   Kebutuhan pangan

terpenuhi

∙   Dipandang berkemauan kuat, bekerja keras, mematuhi atasan, terampil, dan berkelakuan baik

∙   Memiliki sawah setidaknya 5.000 m2

∙   Masih berburuh, maro, bekerja ke luar pertanian, merantau

∙   Pendapatan sekitar Rp 15 juta per rumahtangga tahun

∙   Menyekolahkan anak- anaknya sampai perguruan tinggi ∙   Melalui sinoman dapat

memiliki rumah tembok

∙   Jumlah 50 rumahtangga ∙   Memiliki sawah 3,5 Ha

hingga 7 Ha

∙   Pendapatan dari sawah sekitar Rp 85 juta sampai Rp 170 juta per

rumahtangga per tahun ∙   Menjadi tokoh

masyarakat, tokoh agama, atau perangkat desa ∙   Mndapatkan warisan

pemilikan sawah sangat luas

∙   Melalui sinoman dapat memiliki ruamh tembok ∙   Dapat turut serta dalam

kelompok simpan pinjam ∙   Pembuka awal lahan desa Bekerja keras di sawah Tidak biasa bekerja keras Jompo Gila setelah merantau Menjadi kepala desa Berdagang Pemecahan sawah melalui pewarisan Pemecahan sawah melalui pewarisan Anggota rumahtangga tidak

mengelola remitan TKI

Anggota rumahtangga tidak mengelola

remitan TKI

Cukupan

Kekurangan

Bertengkar Rukun

Gambar 7. Dikotomi Berbagi Kelebihan

dapat dijual di pasar, sehingga mereka tetap mendapatkan uang dan makanan melalui pengumpulan kepala jatuh. Di Dusun Kalitani –sebagaimana disampaikan di muka—fakir juga dapat ngasak dan menjual padi tersebut kepada penebas dengan harga yang sama dengan hasil pemilik sawah itu sendiri.

Kekuasaan dalam pengelolaan rukun ini ditunjukkan oleh warga yang membantu orang miskin meskipun sekaligus mencurigainya (Geertz 1985: 151- 156). Bantuan diberikan disertai kecurigaan tubuh miskin tidak mampu mengelolanya untuk keluar dari lapisan kekurangan. Subyektivikasi tersebut disusun dari pengalaman obyektif, bahwa selama ini banyak program pemerintah yang telah diberikan kepada golongan fakir, namun tidak bisa meningkatkan pendapatan keluarga mereka. Muslim, kepala urusan pemerintahan di Desa Sawahan, menyatakan sebagai berikut.

Pak Sukoyo memang istimewa. Meskipun sering mendapatkan bantuan namun tidak ada perubahan. Ini karena orangnya tidak rajin bekerja. Diberi uang ya habis, diberi uang habis lagi. Pada tahun 2011 ini mertuanya juga mendapatkan bantuan untuk perbaikan rumah sebesar Rp 4,5 juta. Entah uangnya dipakai untuk apa, saya tidak tahu. Dulu dari "BPS"

(maksudnya bantuan langsung tunai atau BLT) kan mendapat Rp 300 ribu setiap bulan.

Golongan fakir sendiri mengembangkan subyektivitas yang berbeda dari identitas yang diciptakan golongan lain. Mereka meyakini telah bekerja keras, namun kerja keras tersebut tidak mempengaruhi posisi sosialnya. Dalam hal ini Sukoyo, si fakir, menyatakan sebagai berikut.

Yang sangat dekat dengan saya, kami berteman tiga orang, hidup bertiga, mati bertiga. Malah mereka sudah meninggal semua. Yang satu Wak Min, ia sudah lama meninggal. Ia berhasil. Saya bekerja lebih banyak, tapi kok dia lebih berhasil. Dia berhasil karena orang tuanya mampu, punya sawah. Pak Towo juga mampu, dia anaknya Mbah Sukar, dia mampu tapi ada masalah dengan perempuan.

Tidak hanya dirinya yang bekerja, namun juga istrinya turut bekerja.

Istri saya ikut ngedos, ngarit, ngasak. Biasanya ia

nggeblog (memukulkan segenggam padi untuk melepas bulirnya).

Predisposisi kerukunan mendorong lapisan cukupan dan lapisan

kekurangan saling membantu pada kejadian-kejadian sosial bersama, seperti

sinoman perkawinan hingga pendirian rumah. Konsep sinoman merujuk pada saling berganti untuk tolong menolong. Pola saling membantu sekaligus bermakna sebagai saling berutang uang, benda dan jasa. Dalam satu periode penanaman atau pemanenan padi, kumulasi upah orang miskin juga dapat diutangkan kepada orang

cukup.

Dinamika Mekanisme Mengutangi/Menabung, Mengakumulasi/Berbagi, Berbagi/ Mengakumulasi

Selama ini mekanisme atau prosedur untuk mengelola kemiskinan atau keluar dari kemiskinan di pedesaan seringkali dilihat secara terpisah-pisah menurut dimensi produksi dan konsumsi ekonomis. Menggunakan pemikiran Geertz, involusi pertanian dinilai sebagai aspek produksi ekonomi atas munculnya

kemiskinan, sementara berbagi dalam kemiskinan (shared poverty) dipandang sebagai akomodasi lembaga sosial untuk mengelola kemiskinan (Wahono 2004: 224-232).

Berbeda dari pandangan tersebut, di Dusun Kalitani mekanisme pengelolaan kemiskinan mengandung dinamika dari aspek-aspek yang semula ditafsir dikotomis. Arena ekonomi digunakan untuk mengakumulasi kekayaan, namun sekaligus juga sebagai mekanisme berbagi kelebihan kepada tubuh fakir

dan miskin. Dinamika mekanisme mengakumulasi/berbagi membuka tindakan menebaskan atau menjual padi di sawah langsung kepada tengkulak, sekaligus membuka peluang kerja bagi golongan kekurangan dan mengasak padi usai pemanenan. Demikian pula arena bantu-membantu, seperti sinoman, digunakan untuk berbagi kelebihan, juga sekaligus untuk mengakumulasi modal. Dalam

sinoman terdapat mekanisme bolak-balik, yang menyumbang akan disumbang di lain waktu, yang disumbang harus menyumbang di masa depan. Dinamika mekanisme berbagi/mengakumulasi memunculkan kehendak untuk rukun dan membantu golongan kekurangan, sekaligus dengan tafsir tidak kehilangan benda- benda yang dibagikan tersebut. Ketika benda-benda diganti dengan uang, berlangsung kehendak untuk membantu dengan memberi utangan uang kepada warga sedesa, sekaligus sebagai wahana untuk menabung uang –inilah dinamika mekanisme mengutangi/menabung.

Arena ekonomis paling penting di Dusun Kalitani ialah budidaya padi sawah. Padi dominan ditanam di sawah, terutama setelah digunakan pompa air, yang mengalihkan air Sungai Juana ke petak-petak sawah secara teratur. Pengorganisasian pompa air dilaksanakan oleh Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) menurut petak-petak sawah, sebagaimana disampaikan pada bab sebelumnya. Penanaman di sawah dapat dilakukan hingga tiga kali, yaitu padi pada musim tanam 1 (MT 1), padi pada MT 2, dan palawija atau hortikultura di antara panen MT 2 dan penanaman MT 1. MT 1 berlangsung antara September hingga Pebruari. MT 2 berlangsung antara Pebruari hingga Juli. Penanaman pada MT 1 berlangsung selama bulan September dan Oktober, dan dipanen pada bulan Januari hingga Pebruari. Penanaman pada MT 2 pada bulan Pebruari dan Maret, dan panen pada bulan Juni hingga Juli. Selain padi sepanjang bulan September

hingga Juli, pada bulan Juni hingga September di sawah juga ditanami kacang tanah, semangka buah dan biji, melon, cabai, bawang merah.

Tebasan lazim digunakan sebagai mekanisme untuk memanen padi di sawah. Penebas memperkirakan produksi padi dalam luasan sawah yang dipanen, lalu menawarkan harganya kepada pemilik sawah. Di samping penebas, yang biasanya berasal dari dalam dusun atau dalam desa, terdapat pula bakul (tengkulak lebih besar) yang berasal dari luar daerah. Mereka mendatangi petani sekitar satu hingga dua minggu sebelum panen, atau sebelum ditawar oleh penebas, lalu menawarnya. Bakul juga membeli gabah dari penebas.

Selama periode tanam padi sekitar empat bulan dalam setahun, dan periode panen padi juga sekitar empat bulan dalam setahun, tubuh-tubuh

kekurangan mendapatkan upah yang mencukupi untuk menghidupi bulan-bulan pengelolaan budidaya sawah yang tidak menyediakan upah harian. Tubuh

kekurangan yang sudah jompo atau masih anak-anak dapat turut serta dalam kerja tanam dan panen ini. Pada saat inilah mekanisme mengakumulasi/berbagi bekerja di sawah. Projo menjelaskan sebagai berikut.

Bulan September ini sudah mulai membuat bibit padi. Setelah berumur 20 hari sampai 25 hari bibit tersebut ditanam ke sawah. Untuk menanam padi satu bau sawah dibutuhkan 30 orang. Buruhnya tidak dipilih-pilih, siapa saja yang mau datang ke sawah itu. Ada juga buruh yang sudah tua yang datang, tidak apa-apa.

Tubuh kekurangan antara lain diidentifikasi sebagai buruh tani, dan taksonomi tubuh buruh tani dibedakan menurut kecepatannya dalam bekerja. Tubuh yang sudah dikenal atau beridentitas cepat menanam dan memanen mendapatkan peluang kerja di sawah lebih luas. Tubuh-tubuh buruh tani mengelompok menurut taksonomi kecepatan kerja tersebut. Untuk memastikan tingkat kecepatan kerja yang diinginkan dalam penanaman dan panen padi, pemilik sawah atau pembeli gabah memesan tanggal kerja kepada kelompok buruh tani beberapa hari sebelumnya. Satu kelompok buruh tani dicirikan oleh kecepatan kerja tubuh yang serupa. Melalui kelompok tersebut buruh-buruh tani cekatan membentuk identitas kerjanya, sekaligus membatasi dan mengusir tubuh

buruh tani yang lebih lemah. Kuswani dari golongan miskin menjelaskan penyisihan ini.

Yang tidak kuat tidak akan ikut rombongan tandur

(menanam padi). Ia dikeluarkan dari rombongan. Kalau rombongannya yang (bekerja) keras, maka dipilih yang (bekerja) keras semua. Saya jarang ikut rombongan, hanya tandur biasa.

Kelompok buruh tani tersebut dapat melakukan serangkaian kerja di sawah secara seirama, dengan kecepatan yang tetap dan sama. Kerja panen, misalnya, terdiri atas mengarit padi, membawakannya ke tempat perontokan, makani

(memberi umpan) segenggam padi kepada buruh perontok dengan alat pengayuh maupun dengan gebyokan (memukulkan segenggam padi ke batu). Kerja lainnya ialah memasukkan gabah ke karung dan membawanya ke pinggir jalan, tempat kendaraan pengangkut sudah menungguinya. Berkelompok menjadi mekanisme kekuasaan untuk menguasai luas dan waktu panen lebih tinggi, dan lebih memudahkan buruh tani untuk lepas dari kemiskinan. Projo menjelaskan mekanisme berburuh tani.

Upah sebedug dari jam tujuh hingga jam dua belas sebesar Rp 25.000,00. Kalau dimulai dari jam enam hingga jam satu siang upahnya sampai Rp 30.000,00. Kalau dikerjakan hingga Maghrib atau jam 6 diupah Rp 60.000,00.

Kadang-kadang Bu Paing (buruh tani golongan miskin) tidak harus menunggu panen untuk membayar utang (pupuk). Dia memiliki organisasi buruh tani untuk menanam padi, ada yang 10 orang ada yang 12 orang. Mereka menanam padi dari pagi sampai sore. Nanti mereka nimbal (beralih) ke sawah yang lain. Setelah tanam selesai, mereka dibayar oleh yang punya sawah. Upah tersebut digunakan untuk membayar yang punya toko. Pada masa tanam dia bekerja tiap hari.

Adapun penggarapan sawah dilakukan dengan maro atau dikerjakan sendiri. Lembaga maro menyalurkan kekuasaan untuk membagi dua hasil panen padi. Dalam maro muncul aturan, bahwa bibit padi disediakan oleh pemilik sawah. Pada saat pemilik tidak menyediakan bibit, maka nilai penyediaan bibit tersebut diperhitungkan pengurangannya dari hasil panen. Pupuk disediakan oleh penggarap. Tubuh golongan kekurangan sendiri diidentifikasi sebagai tubuh

penggarap sawah tersebut. Dalam pengelolaan maro, pemilik sawah menyeleksi tubuh-tubuh penggarap menurut ketekunannya. Pemilik sawah lebih menyukai tubuh yang lebih tekun. Ketekunan sendiri merupakan hasil pelatihan tubuh untuk terus bekerja dalam pertanian. Paing dari golongan miskin menceritakan pengalamannya.

Saya mulai besar setelah mendapatkan garapan sawah dari orang lain. Katanya, kamu rajin, sawah ini kamu kerjakan.

Tubuh yang tekun tidak bisa diwariskan, sebagaimana ditunjukkan oleh kemunculan tubuh fakir setelah orang tuanya meninggal dan tubuh fakir tidak diijinkan meneruskan maro dengan pemilik asal. Projo menceritakan salah satu sisi kejatuhan Sukoyo ke golongan fakir, yaitu saat tanah garapannya diminta kembali oleh pemiliknya karena Sukoyo dinilai malas.

Sebelum memiliki anak, selama 3 tahun ia juga mengerjakan sawah orang sini yang kini menikah lalu tinggal di Seneng. Dia menggarap tanah seluas 2.500 m2. Dulu sama bapak mertuanya menggarap sekitar 6 kotak. Bapak mertuanya menggarap sekitar 3,5 kotak, dia menggarap 2,5 kotak. Tapi setelah bapak mertuanya meninggal, tanah itu diminta oleh yang punya tanah, untuk digarap sendiri.

Dibandingkan dengan berburuh tanam dan panen, maro menciptakan modal ekonomis pendukung posisi sosial lebih tinggi, lebih terjamin perolehan pendapatannya, serta dapat memperoleh dana lebih tinggi saat panen. Selain itu, tubuh penggarap dapat sekaligus berganti identitas menjadi tubuh buruh tani selama periode tanam dan panen padi. Projo menjelaskan mekanisme maro.

Saya memiliki tanah yang diparo warga sikep (Orang Samin) seluas 3.500 m2, saya menyediakan bibitnya. Kalau tidak menyediakan bibit, nanti diganti pada waktu panen, dengan cara dikurangi bagian saya. Pupuk juga diperhitungkan. Satu kotak, kalau memang baik, bisa mendapat 1 ton 1 kuintal atau 1 ton 2 kuintal pada MT 1, itupun sudah kena IPA Air (iuran penggunaan air irigasi) sebesar 1/14. Pada MT 2 paling mendapat 8-9 kuintal, sedangkan kalau pengelolaannya bagus bisa mendapatkan 1 ton. Lahan seluas 3.500 m2 atau 1,5 kotak akan mendapat 2 ton 7

kuintal. Ini diparo 50 persen yang punya, 50 persen yang menggarap. Kemarin 1 kuintal gabah senilai Rp 270 ribu sampai Rp 300 ribu. Bahkan kemarin pas panen di sebelah Timur Dusun Kalitani mencapai Rp 300 ribu hingga Rp 350 ribu. Tapi panen- panen yang sudah berjalan paling-paling Rp 270 ribu hingga Rp 300 ribu. Berarti satu kotak mendapatkan Rp 2,7 juta hingga Rp 3 juta, bahkan dipotong yang mengambil atau kerja berburuh. Misalnya 1 ton 1 kuintal, dengan harga Rp 3.000/kg, diambil 25 ribu kali 1 ton 1 kuintal, menjadi 275, berarti dalam satu kotak

diambil tenaga kerja Rp 275 ribu. Ini penghasilan kalau berhasil panen. Gagal panen juga pernah.

Arena ekonomis penting lainnya ialah migrasi beremitan. Migrasi menyeleksi tubuh-tubuh warga desa yang lebih berani. Migran lebih individualistik dalam menghadapi lingkungan baru –pengalaman tubuh migran dengan lingkungan baruya dipastikan berbeda dari cerita-cerita tubuh migran lain yang sudah kembali ke desa. Ada migran yang menetap di lokasi migrasinya – tanda kesuksesan luar biasa—namun lebih banyak yang kembali ke desa. Kesuksesan lalu disusun di dalam desanya sendiri. Mekanisme

mengakumulasi/berbagi muncul ketika migran mengajak warga sedesa untuk turut bermigrasi dan sukses bersama. Projo menjelaskan kondisi tersebut.

Yang keluar negeri di Sawahan sekitar 20 persen penduduk dewasa, di Godhong 25 persen. Di Kalitani yang ke luar negeri lebih banyak, karena imbas dari dusun lain di desa lain, yaitu Galiran. Semula Kutuk, lalu Galiran, Tanggelan, lalu di antara Kalitani dan Sawahan. Selain karena berdekatan, juga ada keluarga yang menceritakan hasil di sana, akhirnya ikut berangkat.

Mekanisme migrasi beremitan mengeluarkan tubuh dari desa untuk sementara waktu, lalu dari luar desa secara subversif menyodorkan modal ke dalam desa, atau membawa modal bersama-sama tubuh migran saat kembali lagi ke desa. Tubuh-tubuh yang bermigrasi ke arah kota Makmur, ke luar kota, ke luar pulau, hingga ke luar negeri, telah menjadi pengubah penting Desa Sawahan. Modal ekonomi yang dimasukkannya menjadi pendorong peningkatan ke arah posisi sosial agak cukup, cukup, bahkan kaya. Identitas tubuh migran beremitan yang sukses diperoleh setelah memperbaiki rumah dan membeli sawah.

Bersamaan dengan itu harga sawah di Dusun Kalitani turut meningkat, yang bermakna pula sebagai peningkatan derajat kesulitan untuk naik ke posisi sosial lebih tinggi lagi. Adapun tubuh migran yang gagal terjatuh ke posisi fakir dan

miskin. Projo menjelaskan perubahan dusun sebagai konsekuensi masuknya modal ekonomi dari tubuh beremitan.

Ada yang semula fakir kemudian masuk golongan cukup. Mas Saiful, contohnya, karena merantau ke luar negeri.

Kenyataannya setelah merantau 2-4 tahun dapat berhasil membeli tanah. Saat ini yang membeli tanah ialah orang yang merantau. Orang kaya tidak lagi membeli tanah karena yang meninggikan harga tanah ialah orang yang merantau. Awalnya orang merantau ini dari fakir, tidak memiliki tanah.

Merantau lebih merujuk di luar migrasi harian atau komuter. Tubuh ke luar desa selama beberapa hari hingga berbulan-bulan ke luar kota Makmur, atau bertahun-tahun ke luar pulau Jawa dan ke luar negeri. Di Dusun Kalitani lebih banyak warga yang merantau ke luar negeri.

Untuk berangkat ke luar negeri, mereka membutuhkan izin atau restu, dari suami, orang tua, bahkan kiai. Izin menjadi mekanisme evaluasi tubuh. Begitu tubuh diidentifikasi sebagai pemberani, maka izin migrasi diberikan.

Pada saat ini prosedur keberangkatan ke luar negeri dipandang lebih mudah. Arab Saudi menjadi pilihan utama migran perempuan, karena prosedur untuk ke sana lebih mudah daripada ke negara lain. Periode tinggal di perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI) hanya seminggu atau beberapa minggu. Tidak ada kursus bahasa tertentu, dibandingkan kursus bahasa Mandarin untuk ke Taiwan. Pada saat ini bahkan pembiayaan ke sana gratis, dibandingkan keharusan membayar dana Rp 3 jutaan rupiah ke Taiwan. Arab Saudi juga memberikan kelebihan simbolik, di mana migran yang beruntung dapat menunaikan ibadah umroh atau haji. Salah satu migran pertama ke Arab Saudi justru muncul dari golongan kaya, dan ia sekaligus berhaji saat bekerja di sana.

Di Arab Saudi sendiri, tubuh migran sebagai pembantu disejajarkan mesin harian rumahtangga. Bekerja sejak bangun tidur –bangun lebih dahulu daripada majikan—lalu bekerja seharian hingga malam, seringkali kaki migran kaku dan sakit untuk sekedar berselonjor menjelang tidur. Makian dari majikan sering

dialami seluruh migran, selebihnya ada yang disiksa, diperkosa, hingga dibunuh majikan. Jejak-jejaknya masih bisa diikuti dari tumbuhnya anak-anak kreol Jawa- Arab, orang gila seusai migrasi, hingga kuburan migran di Dusun Kalitani.

Walaupun demikian, Arab Saudi tetap menjadi rangsangan kerja. Seringkali keberangkatan pertama menghasilkan kesuksesan. Satu kali masa kontrak berlangsung selama dua tahun. Dalam setahun pembantu di Arab Saudi mendapatkan gaji bersih sekitar Rp 14 juta, sehingga dalam satu masa kontrak mendapatkan Rp 28 juta.

Migrasi beremitan merupakan mekanisme kerjasama akumulasi modal ekonomi dan peningkatan posisi sosial antara tubuh migran dan tubuh keluarganya atau tubuh kerabatnya di desa. Tubuh migran berperan mencipta modal ekonomi, sementara tubuh keluarga dan kerabat di desa bertugas mengakumulasi modal melalui pembangunan rumah, pembelian sawah, ternak, perhiasan, dan barang lainnya. Kerjasama pernah terjadi antara anak yang menjadi migran dan orang tuanya, suami yang menjadi migran dengan istri dan kerabatnya, atau istri dengan suami dan kerabatnya. Projo menjelaskan sebagai berikut.

Ada yang anaknya pergi ke Saudi dan berhasil. Di rumah oleh orang tuanya didirikan rumah untuk anak yang berkerja tersebut. Si anak juga dibelikan sawah. Pada saat memiliki pacar dan menikah, maka dari suami maharnya juga lumayan. Maharnya ada yang membawa sepeda motor, kerbau. Itu karena anak perempuan itu berhasil.

Kerjasama antara istri yang bermigrasi dengan suami di desa lebih sulit dipraktikkan. Tubuh istri dan tubuh suami berpisah untuk waktu yang lama. Selama perpisahan tersebut, kesulitan utama adalah peralihan identitas istri ke tubuh suami. Kegiatan di dalam rumah dan pengasuhan anak beralih menjadi tugas tubuh suami. Tubuh suami sebenarnya semula diidentifikasi sebagai tubuh pencari nafkah. Akan tetapi tambahan identitas istri hampir menutup waktu-waktu untuk mencari nafkah saat anak-anak belum dewasa. Kekuasaan yang mengalir dari tubuh buruh migran telah menghilangkan identitas suami, dan menggantinya dengan identitas istri. Konsekuensinya, perpisahan tubuh istri dari suami sering

diikuti dengan perceraian, setelah terlebih dahulu suami melakukan perselingkuhan dengan tetangganya. Pada kasus yang baru diselesaikan di Dusun Kalitani, migran bahkan mengirimkan remitan khusus bagi suami untuk membayar pelacur. Akan tetapi tidak ada pelacuran di Dusun Kalitani, dan remitan dialihkan untuk merangsang istri tetangganya. Konflik terjadi saat tubuh migran kembali ke desa dan menolak perselingkuhan tersebut. Kuswani menceritakannya sendiri sebagai berikut.

Kakak saya juga menjadi TKW, dia sukses. Setelah ke sana yang pertama, dapat membeli sawah dan tanah. Terus ke sana lagi, ternyata suaminya selingkuh. Kakah saya bertengkar, perempuan dengan perempuan, lalu suaminya dibawa ke penjara. Untuk menebusnya diberi uang Rp 10 juta ke polisi. Sampai sekarang mereka tidak bercerai.

Suami saya sendiri dulu berkata, uang untuk ini, untuk itu. Tapi namanya laki-laki, di rumah kesepian, saat saya ke luar negeri, dia mengatakan ingin kawin lagi. Saya belum cerai tapi dia sudah kawin. Dia tidak menunggu, oh istri saya sedang bekerja, capai. Kalau sedang marah-marah kepada suami wajar, karena sudah capai bekerja di luar negeri, tapi uangnya habis ke mana-mana. Tapi dia tidak sabar. Di mana-mana sama, perempuan ingin disanjung suami, apalagi sudah capai-capai merantau. Tapi maunya cerai terus. Ya sudah, punya suami juga kerja, tidak punya suami juga kerja.

Sejak dekade 1980-an migrasi beremitan terus bereproduksi. Kegagalan kumulasi modal ekonomi dan posisi sosial pada satu generasi –padahal remitan dinilai besar—justru menjadi salah satu pendorong migrasi bagi anaknya dan tetangga.

Kumulasi kekayaan di dalam dusun tidak langsung dilakukan melalui kumulasi uang. Arena ekonomi uang tidak dikenal secara mendalam. Tanpa pengalaman yang memadai, mengelola uang dipandang sulit. Di dusun ini tidak ada lembaga perbankan atau lembaga penyimpanan uang lainnya. Uang tunai

Dokumen terkait