• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEMISKINAN RAS DAN ETNIS

Ketika budaya kemiskinan berwujud pengelompokan atas sejumlah disposisi yang berlainan dari kegiatan produksi atau kapitalisme, kekuasaan beroperasi melalui pengembangan prasangka kultural yang dikembangkan oleh orang luar. Penekanan terhadap aspek kebudayaan bersifat holistik, dan kekuasaan beroperasi untuk menghilangkan atau melupakan sudut pandang hierarki sosial. Budaya kemiskinan, dengan demikian, dikenakan kepada seluruh anggota masyarakat tersebut.

Dalam diskursus kemiskinan ras dan etnis diciptakan obyek berupa prasangka sikap dan tingkah laku masyarakat miskin berupa keliaran (Breman 1997: 209-215), tradisionalitas, ketertinggalan, keterpencilan, udik atau gunung (Li 2002: 4-7), berpindah-pindah, jauh dari Tuhan (Gouda, 2007: 197-200). Masyarakat miskin dipandang bersifat tradisional untuk meraih hasil sekedarnya, bukan mengakumulasi hasil. Kapasitas masyarakat tersebut tertinggal dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Mereka juga sulit berorganisasi atau sulit menunjang organisasi produksi, sebaliknya cenderung liar, tidak berkomitmen, atau berperilaku seenaknya. Untuk menjaga kelangsungan hidup yang sesuai dengan keliarannya, mereka tinggal di wilayah terpencil, pegunungan, di dekat atau di dalam hutan.

Identitas budaya kemiskinan yang dikenakan kepada budaya lain sekaligus menjadikan masyarakat tersebut sebagai Si Lain (Other), terutama Si Lain dari budaya produksi dan kapitalis. Besaran diskursus ini dapat ditunjukkan oleh populasi komunitas adat terpencil (KAT) yang dikelola Kementerian Sosial. Pada tahun 2009 jumlahnya mencapai 213.080 keluarga yang berdiam di 27 provinsi, 263 kabupaten, 1.044 kecamatan, dan 2.971 lokasi.1 Budaya kemiskinan juga

1

Diambil dari bahan presentasi Rusli Wahid, Direktur Jenderal Pemberdayaan Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan, Kementerian Sosial RI, pada Semiloka Penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah Tentang Desa Tertinggal, Tanggal 2 Desember 2010 Di Hotel Merlynn Park, Jakarta

dipandang masih berkembang dalam keluarga pra-sejahtera dan sejahtera I, yang dikelola oleh Badan Koordinasi Keluarga Nasional (BKKBN). Jumlahnya mencapai 17.764.735 keluarga menurut data Potensi Desa 2005.

Pembesaran diskursus kemiskinan ras dan etnis lebih ditentukan oleh pihak luar, dibandingkan Si Lain sendiri. Akademisi, terutama etnolog, di masa lalu telah mengembangkan pe-Lain-an (Othering) ini melalui perbandingan dari masyarakat Eropa dan Amerika Utara. Sebagian tulisan etnolog ditulis dalam genre perbandingan budaya tersebut (Geertz 2002: 113-141). Pemerintah menegaskan pe-Lain-an dalam program-program pembangunan, kategorisasi pemukiman, hingga perendahan target penurunan kemiskinan KAT (Li 2002: 31- 32). Swasta sempat menggunakannya untuk menciptakan dualisme struktur dalam industri perkebunan, kehutanan, dan pertambangan (Breman 1997: 81-103).

Dengan mengurung orang miskin pada budayanya yang Lain, yang dinilai lebih rendah daripada budaya orang beradab, sulit untuk membayangkan mereka lepas dari kemiskinan dengan sendirinya. Kekuasaan untuk mengentaskan kemiskinan dioperasikan melalui pendisiplinan mereka menuju peradaban modern, berupa pemukiman menetap maupun penciptaan keluarga inti atau batih.

"Mem-primitif-kan"

Di masa lalu, kekuasaan kolonialisme beroperasi dengan menyusun taksonomi tubuh menurut asal ras. Selama penjajahan Belanda, tubuh terdikotomi menurut ras berkulit putih dan berkulit berwarna. Akan tetapi konstruksi arena rasial tersebut tersubversi oleh munculnya tubuh-tubuh Indo Eropa. Dalam tubuh kreol ini identifikasi rasial mustahil diterapkan. Tubuh kreol akhirnya dimusuhi karena menyabotase dualisme rasial dalam penjajahan (Baay 2010: 176-177).

Walau bagaimanapun, di tanah jajahan Indonesia, istilah kemelaratan menjadi lebih jelas terkait dengan kemelut seksual keturunan Eurasia daripada dengan ancaman revolusi kaum proletar. Kemelaratan mengandung kecemasan menyangkut reproduksi antar ras lebih lanjut dan kebejatan seks –dan mengaburkan pemilahan sosial yang kelak dapat terjadi—daripada kecemasan yang timbul karena keprihatinan akan terjadinya pemberontakan anti kapitalis (Gouda 2007: 199).

Kesalahan kreol dialamatkan kepada darah pribumi yang turut mengaliri tubuhnya. Ditelusuri lebih lanjut, darah tersebut muncul dari kesalahan perkawinan yang dimusuhi, yaitu antara pegawai berkulit putih dengan perempuan pribumi. Nyai –perempuan berkulit pribumi tersebut—dinilai tidak bermoral karena mempersembahkan tubuhnya kepada lelaki tanpa perkawinan sah –padahal memang tumbuh hambatan bagi perkawinan sah mereka. Moralitas perkawinan yang rendah menurunkan kualitas tubuh-tubuh kreol, menurunkan kemampuan berbahasa dan bekerja. Tubuh-tubuh inipun akhirnya jatuh miskin atau berlindung pada kriminalitas dan pelacuran (Gouda 2007: 196). Pada titik ini fakta obyektif dan pandangan subyektif perihal negatif tubuh kreol telah menyatu.

Hanya satu abad setelah kedatangannya, penjajah Belanda telah disibukkan dengan kemiskinan yang menimpa tubuh-tubuh kreol. Panti asuhan di Jakarta didirikan sejak tahun 1624 untuk menampung tubuh-tubuh kreol yang masih muda, yang telah ditolak orang tuanya yang bertubuh pribumi dan bertubuh kulit putih (Taylor 2009: 10). Di tangan penjajah, panti asuhan digunakan sebagai salah satu mekanisme pendisiplinan tubuh kreol.

Dalam mendirikan panti asuhan, pemerintah bertujuan untuk menciptakan suatu masyarakat yang teratur "di republik yang terus berkembang secara pesat setiap hari ini" (Taylor 2009: 10).

Namun demikian, perluasan administrasi penjajahan masih saja tertutup bagi tubuh-tubuh kreol hingga awal abad ke 20, sejalan dengan peningkatan kemiskinan mereka –yang saat itu hanya terasakan lewat peningkatan kriminalitas dan pelacuran. Obyektifikasi dari prasangka ini kemudian dilakukan melalui penyelidikan kemiskinan di antara tubuh kreol.

Sensus tersebut membesarkan diskursus ras dan etnis dengan memunculkan serentak tubuh-tubuh kreol yang miskin. Dalam laporan penyelidikan pemerintah jajahan tahun 1902 yang hanya mencakup Jawa dan Madura tersebut, diketahui terdapat 53.584 orang Eropa di Jakarta, namun sebanyak 9.381 tergolong kekurangan (Baay 2010: 176-177). Dari jumlah tersebut, sebanyak 5.933 tergolong miskin, termasuk 3.234 anak-anak. Dihitung

dalam persentase, golongan Indo Eropa yang miskin serta golongan Eropa miskin mencapai 11 persen di Jakarta, 13,3 persen di Semarang, 12,6 persen di Banyumas, 14 persen di Pasuruan, 15,4 persen di Surakarta, 16,7 persen di Madiun, 18,8 persen di Kedu, dan 17,3 persen di Madura. Sebagian besar merupakan mantan serdadu Eropa yang menjadi miskin.

Penelitian H. van Kol memberikan petunjuk berbeda, bahwa pada tahun 1902 keseluruhan penduduk Eropa di Jawa dan Madura mencapai 75.833 jiwa, di antaranya 51.379 jiwa Indo Eropa. Dari jumlah tersebut, sebanyak 17.000 jiwa Indo Eropa hidup dalam kemiskinan. Golongan Indo Eropa yang miskin mencapai 22 persen di Jawa dan Madura, atau 33 persen di seluruh Indonesia.

Setelah melakukan penelitian dan pendataan kreol miskin, akhirnya hal ini dipandang sebagai masalah serius. Pemerintah jajahan menetapkan kebijakan penanggulangan kemiskinan, khusus bagi tubuh-tubuh kreol. Selaras dengan runtutan argumen moral di atas, operasi kekuasaan diarahkan untuk memperbaiki moral tubuh kreol.

Surat penggalangan dana yang diedarkan di kalangan donatur potensial pada 1919 oleh suatu perkumpulan di Semarang yang diberi tugas untuk membangun sekolah berasrama untuk perempuan muda Indo, mengetengahkan persoalan itu secara langsung. Imbauan tertulis untuk permohonan dukungan keuangan –atau circulaire (edaran)—menegaskan bahwa para gadis sering jadi korban tak berdaya, yang tidak punya pilihan lain kecuali menyerah kepada "kekuatan jahat di daerah kumuh yang merusak mereka secara fisik dan mental". Tujuan sekolah yang ditetapkan bergantung pada pemberian "cap kebelandaan" yang istimewa, yang dapat mengangkat jiwa mereka dan menjadikan mereka sama terhormatnya seperti gadis-gadis Eropa. Dalam rangka membebaskan remaja putri Indo dari pengaruh buruh lingkungan ibu pribumi mereka, yang sering mengubah mereka menjadi pelacur tentara bayaran atau menjadi "jiwa-jiwa berpandangan picik dan murahan", maka mereka harus berinteraksi dengan guru Belanda dari kalangan baik-baik (Gouda 2007: 195).

Kekuasaan untuk menetapkan kemiskinan pada tubuh kreol sekaligus menutupi identitas miskin pada tubuh pribumi. Penjajah mengidentifikasi tubuh pribumi masih mampu menerima makanan senilai sebenggol (f 2,5) sehari (Soekarno 1965: 177-180). Kekuasaan diskursif juga mengalihkan permasalahan

tubuh pribumi pada keliarannya (Breman 1997: 209-215). Sejak lama tubuh pribumi terlihat sebagai missing link evolusi kera menjadi manusia (Gouda 2007: 213). Nyai sendiri dinilai sebagai wujud keliaran tubuh pribumi, yang menggoda tubuh-tubuh kulit putih (Gouda, 2007: 197-200). Keliaran tubuh juga terindikasi dari perpindahan pemukiman mereka (Li 2002: 4-7). Tubuh yang liar juga saling berkanibal antar sesamanya (Marsden 2008: 355-359).

Dibandingkan dengan industri atau kota yang tertata, maka tugas penjajah terutama mendisiplinkan tubuh-tubuh yang liar ini. Kekuasaan untuk mendisiplinkan tubuh yang liar dimulai dari upaya memukimkan pribumi. Keliaran fisik juga didisiplinkan melalui hukuman-hukuman fisik pula (Breman 1997: 81-103). Didasari pandangan tubuh yang mampu mengkonsumsi sekedar sebenggol sehari, sekaligus untuk mengekangnya dalam perkebunan, maka upah bagi tubuh-tubuh pribumipun sangat rendah. Tidak ada jalan lain bagi tubuh miskin kecuali berutang. Semakin tinggi utang membentuk identitas tubuh buruh, maka semakin erat disiplin yang bisa diterapkan penjajah.

Jejak pemahaman tentang abnormalitas keluarga kreol semasa penjajahan ditemukan kembali dalam perumusan keluarga sejahtera masa kini. Berorientasi Barat, keluarga normal berisikan tubuh-tubuh inti ayah, ibu dan anak, serta mandiri tanpa kerabat.1 Sebagai refleksi negatif dari keluarga kreol, keluarga normal juga haruslah dibentuk melalui perkawinan yang sah. Melalui ketentuan ini, kuasa pemerintah langsung memiskinkan tubuh-tubuh masyarakat adat yang perkawinannya tidak terdaftar di Kantor Urusan Agama maupun Kantor Catatan Sipil.

Normalitas keluarga ditandai oleh kemampuan tubuh-tubuh di dalamnya untuk berdisiplin menjalankan fungsi-fungsi yang ditentukan, yaitu fungsi keagamaan, sosial budaya, cinta kasih, perlindungan atau proteksi, reproduksi, sosialisasi dan pendidikan, ekonomi, dan pembinaan lingkungan (berhubungan serasi dengan lingkungannya).2 Kian berdisiplin untuk menjalankan lebih banyak ragam fungsi tersebut maka kian normal posisi keluarga. Cukup dengan

1

Undang-undang nomor 52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, Bab 1 Pasal 1 tentang ketentuan umum.

2 Peraturan Pemerintah nomor 21 tahun 1994 tentang penyelenggaraan pembangunan keluarga sejahtera.

memperhatikan fungsi-fungsi puncak yang diharapkan dilaksanakan tubuh setelah terbebas dari kemiskinan (di luar tingkatan Keluarga Pra-Sejahtera dan Keluarga Sejahtera I), terpampang homologinya dengan rasisme keluarga di masa kolonial. Fungsi moral dalam keagamaan beroperasi melalui keikutsertaan pada organisasi keagamaan (Achir 1994: 8-9). Tanda lepas dari kemiskinan juga terekam pada tubuh yang mampu berkontribusi dalam kegiatan kemasyarakatan. Tahapan pembangunan keluarga sejahtera tersebut disampaikan Achir (1994: 8) sebagai berikut.

1. Keluarga Pra Sejahtera (Pra-KS), yaitu yang belum mampu memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal, yaitu sandang, pangan, papan, dan kesehatan.

2. Keluarga Sejahtera Tahap I (KS-I), yaitu keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasar secara minimal, tetapi belum mampu memenuhi kebutuhan psikologis dan sosial. 3. Keluarga Sejahtera Tahap II (KS-II), yaitu keluarga yang

telah dapat memenuhi kebutuhan dasar, psikologis dan sosial tetapi belum mampu mengembangkan keluarga itu seperti kebutuhan untuk menabung dan memperoleh informasi. 4. Keluarga Sejahtera Tahap III (KS-III), yaitu keluarga yang

telah dapat memenuhi kebutuhan dasar, kebutuhan sosial psikologis dan pengembangannya, namun belum dapat memberikan sumbangan (kontribusi) yang maksimal terhadap masyarakat, seperti secara teratur memberikan sumbangan dalam bentuk material dan keuangan untuk kepentingan sosial kemasyarakatan serta berperanserta secara aktif dengan menjadi pengurus lembaga kemasyarakatan atau yayasan-yayasan sosial, keagamaan, kesenian, olah raga, pendidikan, dan sebagainya.

5. Keluarga Sejahtera Tahap III Plus (KS-III Plus), yaitu keluarga-keluarga yang telah dapat memenuhi seluruh kebutuhannya, baik yang bersifat dasar, sosial psikologis maupun yang bersifat pengembangan serta telah dapat pula memberikan sumbangan yang nyata dan berkelanjutan bagi masyarakat.

Cara pandang terhadap kemiskinan ras, etnis, atau sub etnis yang berbeda mula-mula mengembangkan perbedaan budaya tersebut, terutama berupa dikotomi modern-primitif (Gambar 8). Cara pandang berikutnya berkaitan dengan upaya menarik masyarakat primitif ke dalam masyarakat modern. Di sini dikembangkan dikotomi menurun-tetap terhadap tradisi primitif mereka.

Kasus pendisiplinan terhadap keluarga dalam masyarakat adat yang dinilai miskin –yaitu Orang Samin—dapat memperjelas operasi diskursus kemiskinan ras dan etnis ini. Dinilai sebagai kelompok termiskin di antara warga Desa Sawahan, bantuan pemerintah Kabupaten Makmur langsung disampaikan kepada pemimpin Samin di Dusun Kalitani, Kasrino. Ia menceritakan kejadian tersebut.

Pada awal Pak Mustofa menjabat bupati, pernah kepala dinas pertanian men-drop benih padi. Mobil sudah di halaman, benih itu langsung diturunkan. Tujuannya untuk diberikan kepada

sedulur sikep (Orang Samin), khusus untuk warga sedulur sikep. Karena sudah telanjur, ya sudah. Setelah itu saya bagi-bagi, satu KK (kepala keluarga) mendapatkan, kalau tidak salah, 4 bundel. Satu sak besar berisi 12 bundel, cukup untuk 3 KK. Setelah selesai, saya berbicara kepada kamituwo (kepala dusun), “Pak, kejadian seperti ini cukup sekali ini saja. Kalau ada lagi, jangan diletakkan di rumah saya”. Setelah berbicara dengan kamituwo, lalu saya berbicara dengan pak lurah, “Kalau ada kejadian seperti itu lagi, diletakkan di sini saja, di kantor kepala desa”. Lalu saya berbicara dengan pak camat. Terus saya juga berbicara dengan pak bupati, “Jangan sekali-kali saya diperlakukan seperti ini lagi”.

Normal Rasional Kerjasama pemerintah Modern Beragama Abnormal Mistik Musuh pemerintah Primitif Kafir Menurun Tetap

Orang Samin sering digolongkan sebagai sub etnis Jawa. Sejalan dengan penolakan kesahihan perkawinan Orang Samin, karena tidak tercatat di Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil, tubuh-tubuh mereka di-primitif-kan— sekaligus dimiskinkan menurut peringkat keluarga pra sejahtera di atas. Dalam sejarah keluarga masa purba dikenal promiskuitas (Hutter 1981: 21), di mana perkawinan berlangsung secara bebas berkali-kali, sehingga hanya dikenal garis keturunan dari ibu. Pada tubuh anak hanya ditemui jejak ibunya, sementara jejak ayahnya samar-samar. Pandangan serupa diterapkan dalam menyusun kartu keluarga (KK) bagi Orang Samin. Dengan mem-primitif-kan, manusia modern menempatkan mereka pada domain Yang Lain (Othered). Tanpa surat nikah yang sah dari negara, keluarga Samin dimasukkan sebagai bentuk promiskuitas dari ibu. Tubuh ibu terangkat ke permukaan sebagai kepala keluarga, dan meninggalkan jejak pada anak-anaknya. Sebaliknya tubuh ayah tenggelam, di- Lain-kan, dan benar-benar ditulis sebagai lain-lain dalam keluarga tersebut. Muslim menjelaskan praktik program pemerintah ini.

Sekarang jumlah KK sikep 53, jumlah warga sikep 168 jiwa, laki-laki 90 jiwa, perempuan 78 jiwa. Jumlah wajib KTP (Kartu Tanda Penduduk) warga sikep 119 orang. Ini pada saat saya membuatkan KK massal. Orang tua bukan dicatat. Nama KK perempuan. Pada saat pembuatan KK tersebut ada Perda, isinya apabila warga masyarakat membuat KK tetapi tidak dilampiri oleh surat nikah, maka yang menjadi kepala rumahtangga adalah istri. Nama suaminya masuk, tetapi tidak masuk menjadi kepala keluarga, namun masuk ke "lain-lain". Aturan itu tidak hanya berlaku bagi orang sikep, namun bagi semua warga masyarakat yang tidak mempunyai surat nikah, yaitu kepala rumahtangganya perempuan dan suami masuk ke "lainnya". KK SIAK (Sistem Informasi Administrasi Kependudukan) tahun 2009. KK dicap jempol oleh mereka, kecuali yang bersekolah membubuhkan tanda tangan.

Program pembuatan kartu tanda penduduk (KTP) secara massal menunjukkan operasi kekuasaan melalui statistika. Program KTP sebagai penulisan identitas mula-mula menempatkan Orang Samin pada domain pra sejarah yang belum mengenal tulisan, lalu diperadabkan (civilized) dalam budaya tulis identitas diri. Konsep massal dalam program ini terbaca dari penyamarataan

identitas Orang Samin. Melalui konsep massal tersebut jumlah Si Lain diketahui, namun sekaligus identitasnya disangkal. Tanggal lahir dan bulan lahir mereka terkelompok secara seragam, yang berarti pencacah menolak identitas kelahiran secara individual dari tiap-tiap Orang Samin. Agama Adam yang dianut Orang Samin berada di luar enam agama resmi negara, sehingga identitas keagamaan mereka dikosongkan dalam KTP. 1 Pengosongan tersebut sekaligus menempatkan Orang Samin sebagai kafir dari seluruh agama resmi negara. Sejalan dengan penolakan keabsahannya, identitas perkawinan mereka diselewengkan menjadi tidak kawin. Muslim mengungkapkannya dalam proses penyusunan KTP untuk Orang Samin sebagai berikut.

Terus masalah kependudukan, KTP, KK. Pemerintah sudah menggembar-gemborkan agar memilikinya, sampai didatangi ke rumahnya untuk membuat KK. Mereka tidak mau. Katanya, "Saya tidak membutuhkan KK, tidak membutuhkan KTP. Kalau Anda ingin membuatkan, ya silakan Anda buat sendiri". Lalu mereka ditanya, "Kapan lahirnya, Mbah?". Jawabnya, "Kelahiran saya silakan dikarang. Kalau umur saya hanya satu". Hal-hal semacam itu semakin mempersulit mereka sendiri.

Program ini tujuannya agar mereka memiliki identitas, walaupun identitasnya itu setengah kenyataan. Sebetulnya salah pernyataan bahwa pemerintah mengucilkan, sebab mereka sendirilah yang tidak mau diurusi, tidak mau membayar pajak, dibuatkan KTP tidak mau, lalu mau diapakan. Dulu pajak tanah murah, pekarangan nol persen. Pajak tanah sedulur sikep (Orang Samin) sebenarnya kecil, itu dibayari oleh pemerintah desa. Mereka ditarik, tetapi sulit. Sekarang tidak sesulit dulu, karena ketika anak-anak sikep merantau ke Jakarta, mereka membutuhkan KTP.

Pe-Lain-an (Othering) Orang Samin dari rasionalitas Barat dilakukan dengan meletakkan pemikiran mereka dalam arena kebatinan atau mistik (Benda dan Castles 1969: 227; Mulder 1984: 21-38). Setelah filsafat kesadaran dan pencerahan ditemukan, berkembang dikotomi antara rasional dan mistis di Barat (King 2001: 15-60). Bersamaan dengan itu, tubuh-tubuh yang dilekati mistis bernilai lebih rendah. Pandangan ini telah memistiskan wilayah di luar Eropa

1 Dapat KTP, Kolom Agama Dikosongkan. In: Monthly Report on Religious Issues, Th. 15, Oktober 2008, halaman 12.

Barat dan Amerika Serikat. Di Jawa sendiri, Orang Samin seringkali digolongkan dalam aliran kebatinan atau mistik. Sepanjang dekade 1960-an hingga 1970-an negara memperkuat aliran kebatinan untuk mendukung kedudukannya melawan kekuatan politik Islam (Mulder 1984: 21-38). Akan tetapi saat ini, sementara tubuh yang beragama bernilai lebih tinggi akibat menerima firman Tuhan, tubuh yang berkebatinan bernilai lebih rendah karena mengolah kebudayaan manusia. Muslim bahkan menyampaikan pernyataan, bahwa peringkat mistik Orang Samin belum sempurna.

Sedulur sikep (Orang Samin) sebenarnya termasuk Islam hakikat. Mereka tidak menggunakan syariat, tetapi keyakinan. Shalatnya itu shalat batin. Hanya sedulur sikep tidak mengetahui sejarah di atasnya.

Orang sikep juga meyakini syahadat penatas (mistik). Tapi bolak balik kembali kepada gurunya. Kadang-kadang guru menjelaskan tidak sampai tuntas. Hanya simpul-simpulnya, bukan keseluruhan. Anda tanyakan kepada sedulur sikep apa itu syahadat penatas, mereka tahu. Tapi mereka tidak tahu cara mengucapkannya. Karena memang tidak diajarkan. Inilah permasalahan yang sebenarnya.

Pe-Lain-an Si Lain (othering the Other) dilakukan dengan menarik tubuh berkebatinan menuju tubuh beragama (Rosyid 2008: 190-230). Tubuh berkebatinan dirangsang melalui pengajian dengan substansi mistik Islam, pelajaran agama formal di sekolah, serta perkawinan perempuan Samin dengan tubuh lelaki beragama Islam. Projo menjelaskan sebagai berikut.

Yang sudah tua memang agak sulit berubah, namun saya dan Pak Kebayan (Kepala Urusan Pemerintahan) mendekati yang masih muda-muda. Sekarang yang masih muda sudah mulai menikah, anaknya sudah mulai bersekolah, bahkan sudah mulai masuk pesantren. Ini ada keluarga yang jelas orang sikep, umur orang tuanya setara dengan Mbah Kasrino, namun ia ke pesantren, bahkan sekarang sudah sampai Madrasah Tsanawiyah, bahkan ada yang berkuliah sampai Musawirin di pesantren di Gresik. Ini anaknya orang sikep. Bapak dan ibunya dulu juga tidak menikah, bahkan keluarganya sikep semua, namun ia punya minat untuk bersekolah. Katanya dulu ia dekat dengan guru agama di desa ini, lalu bertanya-tanya kepada temannya, yang menjadi santri di Gresik. Akhirnya ia jadi ikut ke pesantren. Tidak ada pertengkaran dalam keluarga karena anaknya keluar dari

sikep, ia tidak dikucilkan, bahkan hubungannya dengan keluarganya tetap baik-baik saja.

Wahono, aktivis lembaga swadaya masyarakat yang dekat dengan Orang Samin, memberikan penjelasan sebagai berikut.

Mereka memahami bahwa sekolah itu islamisasi. Mereka tidak suka bersekolah, karena bisa meninggalkan sikep. Mereka akhirnya memutuskan untuk tidak masuk sekolah tersebut.

Di tempat lain, keliaran masyarakat adat diidentifikasi pula dari pola pemukimannya yang berpindah-pindah (Li 2002: 4-7). Dalam pandangan evolutif, tubuh-tubuh primitif yang berburu dan meramu tidak bermukim secara menetap (Geertz 1981: 1-7, 88-94). Tubuh berpindah sesuai pergerakan lokasi-lokasi kemasakan buah di hutan atau pergerakan hewan buruan. Dengan mengontraskan domestikasi tanaman dan hewan piaraan pada masyarakat desa, maka masyarakat adat yang berpindah-pindah tersebut kian di-primitif-kan. Orientasi pemusatan wilayah ialah desa tempat menetap masyarakat modern, dan operasi pemilahan lokasi tersebut menjadikan areal peramuan dan perburuan di hutan dipandang sebagai wilayah terpencil atau terasing (Syuroh 2011: 229-248). Masyarakat modern mengoperasikan kekuasaan untuk menyusun taksonomi tersebut sekaligus

meng-asing-kan masyarakat adat. Program pemberadaban masyarakat adat kemudian diarahkan untuk memukimkan mereka. Gerakan pemukiman mengharuskan masyarakat adat untuk membudidayakan tanaman dan menternakkan hewan. Pada saat masyarakat adat mendomestikasi hewan dan tumbuhan, program Komunitas Adat Terpencil (KAT) juga mendomestikasi masyarakat adat dalam desa-desa bentukan proyek. Unit kerabat masyarakat adat dipotong menjadi unit-unit keluarga inti, dan secara obyektif ditempatkan pada rumah-rumah beruangan terbatas untuk keluarga kecil. Perenggangan solidaritas kerabat menjadi basis lain bagi pemberadaban, yaitu kesiapan keluarga inti atau batih untuk melakukan kerja produktif dan menghasilkan uang (Morgan 1975: 87- 99). Syuroh (2011: 238) menunjukkan upaya pemukiman Suku Kubu justru menguatkan identitas ke-Lain-an mereka.

Departemen Sosial ternyata hanya menyediakan lahan seadanya yang berlokasi dekat perkebunan kelapa sawit, padahal Orang Kubu ini terasa risi dan minder bila bertemu dengan orang luar yang mereka sebut ”orang terang”. Pemukiman yang baru ini mempengaruhi efek psikologis bagi Suku Kubu yang membuat mereka tidak betah bermukim di tempat yang baru tersebut

Domestikasi mungkin tetap menjadi mekanisme penanggulangan

Dokumen terkait