• Tidak ada hasil yang ditemukan

SIFAT DAN RUANG LINGKUP

MENGINGINKAN KESEDERHANAAN

II. SIFAT DAN RUANG LINGKUP

1. Program IDT adalah bagian dari gerakan nasional penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan secara bertahap

dan berkelanjutan dengan mengikutsertakan berbagai instansi dan lembaga, baik Pemerintah maupun swasta, termasuk perguruan tinggi, dunia usaha, organisasi kemasyarakatan dan lembaga kemasyarakatan lainnya;

2. Program IDT juga merupakan strategi pelaksanaan penanggulangan kemiskinan yang menyeluruh dan terpadu untuk mempercepat perkembangan sosial dan ekonomi masyarakat/desa tertinggal menuju kondisi ketangguhan, ketahanan dan kemandirian;

3. Program IDT menyediakan bantuan khusus berupa modal kerja bagi kelompok penduduk miskin disertai bimbingan dan pendampingan khusus.1

Berorientasi kepada kemandirian, pada tahun 1996 dikembangkan gerakan masyarakat dan pendamping untuk mandiri dari program penanggulangan kemiskinan. Golongan miskin yang mandiri dirancang dicirikan oleh kemampuannya dalam berusaha serta mencari tambahan modal sendiri. Pendamping mandiri mendapatkan nafkah dari kegiatan pendampingan kelompok-kelompok golongan miskin, dapat beralih dari gugus kelompok yang satu ke gugus kelompok lainnya (Sajogyo 1997: 13, 134-136).

Pertarungan gerakan kemiskinan terjadi antara proyek yang diarahkan pada kemandirian masyarakat, dan instruksi presiden untuk melembagakan gerakan tersebut dalam struktur pemerintahan. Menteri Negara Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat dan Pengentasan Kemiskinan bertugas mengkoordinasikan departemen, instansi dan kelompok masyarakat yang memiliki program berhubungan dengan pengentasan kemiskinan, menyusun panduan Gerakan Terpadu Pengentasan Kemiskinan, mengkoordinasikan pelaksanaan program, dan melaporkan kepada presiden. Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional bertugas dalam perencanaan program dan penyediaan dana. Menteri Keuangan bertugas mengatur dana yang diperlukan. Menteri Dalam Negeri bertugas menyusun petunjuk teknis pelaksanaan di provinsi dan kabupaten/kota. Menteri lainnya dan pimpinan lembaga pemeirntah non-departemen wajib memberikan prioritas dan dukungan terhadap pelaksanaan program Gerakan Terpadu Pengentasan Kemiskinan. Gubernur bertugas mengkoordinasi

1 Lampiran Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1993 tanggal 27 Desember 1993.

pelaksanaan program ini. Bupati/Walikotamadya memastikan prioritas program ini di daerah masing- masing.

… dalam rangka mendorong, mengefektifkan dan mengoptimalkan upaya pengentasan kemiskinan secara terpadu dan terkoordinasi antar lintas sektor/instansi terkait dipandang perlu mengeluarkan Instruksi Presiden tentang Gerakan Terpadu Pengentasan Kemiskinan sebagai bagian dari upaya nasional untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.1

Sebenarnya sejak tahun 1994 muncul pula inpres yang melandasi praktik dari diskursus kemiskinan ras dan etnis. Melanjutkan pembicaraan Presiden Soeharto dengan konglomerat pada tahun 1991, dana karitatif dikumpulkan dan selanjutnya dikelola dalam Yayasan Damandiri. Berkaitan dengan itu, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengelola sensus keluarga sejahtera oleh petugas keluarga berencana (KB) di tingkat kecamatan dan desa (Achir 1994: 8-9). Dua kategori terbawah –keluarga pra sejahtera dan keluarga sejahtera I—digolongkan sebagai keluarga miskin. Melalui kelompok Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS) Bantuan dana kepada keluarga miskin dilakukan dalam program tabungan kesejahteraan keluarga (Takesra) dan kredit usaha kesejahteraan keluarga (Kukesra).

Namun, karena jumlah desa di Indonesia ada sekitar 65.000 desa, maka, jelas sekali bahwa program yang dirancang itu (Program IDT) tidak akan bisa membantu keluarga miskin di 43.000 desa lainnya. Sementara itu para konglomerat, yang juga prihatin atas makin melambatnya penurunan tingkat kemiskinan tersebut merasa terketuk hatinya untuk ikut bersama pemerintah memikirkan jalan keluar yang terbaik. Dalam kesempatan yang sama mulai diadakan pula program-program pemberdayaan keluarga dalam rangka pengembangan keluarga kecil yang bahagia dan sejahtera, para pengusaha yang peduli mengusulkan kepada Presiden untuk ikut serta menangani keluarga dan penduduk di desa yang tidak tertinggal…..

Kemudian disusun program atau gerakan keluarga sadar menabung agar supaya para keluarga yang sekarang masih miskin bisa belajar menabung. Dalam rancangan awal dana yang ditabung itu akan dijadikan modal bersama untuk dipergunakan secara

1 Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 1998 tentang Gerakan Terpadu Pengentasan Kemiskinan, bagian Menimbang huruf c.

bergulir oleh para penabungnya. Dengan memberi kesempatan para peserta KB yang telah bergabung dalam kelompok-kelompok untuk menabung akan diperoleh dana yang cukup untuk bisa dipergunakan secara bergulir. Namun karena keluarga-keluarga itu pada umumnya miskin, atas petunjuk Bapak Presiden modal awal tabungan itu disumbang oleh para pengusaha. Gerakan Keluarga Sadar Menabung itu kemudian dicanangkan oleh Bapak Presiden pada tanggal 2 Oktober 1995 dan tabungan para keluarga pra sejahtera dan keluarga sejahtera I itu kemudian terkenal sebagai Tabungan Keluarga Sejahtera atau Takesra.1

Diskursus ini juga mengembangkan program Komunitas Adat Terpencil (KAT), dengan kegiatan yang terpola berupa pendisiplinan suku bangsa yang terpencil dan hidup berpindah-pindah ke dalam permukiman yang mengumpul dan lebih dekat ke wilayah perkotaan (Syuroh 2011: 229-248). Dalam permukiman bentukan tersebut dibangun rumah-rumah kecil untuk keluarga batih. Penghuninya dilatih budidaya dan usaha kerajinan.

Diskursus kemiskinan produksi juga menyelinap dengan program Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal (P3DT). Dengan jangkauan dan nilai program yang lebih terbatas –tidak mencakup seluruh desa tertinggal— program ini sekedar menjadi pendamping Program IDT. Hanya di kawasan Timur Indonesia infrastruktur muncul sebagai bahan diskusi (Sarman dan Sajogyo 2000: 179).

Pandangan diskursus kemiskinan produksi sempat pula masuk ke dalam publikasi kelompok masyarakat IDT terbaik . Dalam dokumen tersebut (Mubyarto 1995: 5-6) tertulis taksonomi tubuh miskin atas penduduk miskin produktif dan penduduk miskin tidak produktif. Sulit untuk berkembang dalam diskursus potensi golongan miskin, pandangan ini tidak berkembang lebih lanjut.

Tidak terwujud hubungan metodologis antara program IDT dari program lainnya –tanda berada pada diskursus yang berbeda. Data keluarga sejahtera tidak digunakan untuk menentukan anggota kelompok masyarakat dalam Program IDT. Pemilihan sendiri oleh warga desa dipandang lebih sesuai dengan diskursus potensi golongan miskin. Bantuan dana langsung –artinya tanpa pembentukan kelompok orang miskin serta pemberdayaan kelompok melalui pendamping—

1 Diunduh dari http://www.damandiri.or.id/index.php/main/sejarah pada tanggal 31 Desember 2011 pukul 6.27 WIB.

juga dinilai tidak sesuai dengan diskursus ini. Begitu pula menimpakan kesalahan pada komunitas adat terasing berkebalikan dari kepercayaan potensi pada diri golongan miskin. Infrastruktur tidak dipandang sebagai bagian diskursus kemiskinan, sehingga Program P3DT ditafsir sebagai pendamping Program IDT. Berkaitan dengan hal ini, Sajogyo (2006: 257-258) menyatakan pemikirannya sebagai berikut.

Jika memakai ukuran orang Barat yang digambarkan dalam Keluarga Berencana, yang termasuk miskin adalah keluarga pra- sejahtera dan keluarga sejahtera I. Jadi kurang lebih setengah penduduk Indonesia masih miskin.

Krisis moneter tahun 1998 yang diikuti turunnya pemerintahan Presiden Soeharto mulai menguatkan diskursus kemiskinan produksi, sementara diskursus potensi orang miskin mulai tenggelam. Program IDT dihentikan bersamaan dengan pergantian Presiden Soeharto kemudian Presiden B.J. Habibie. Hanya beberapa bulan sejak krisis moneter, program penanggulangan kemiskinan yang bernilai besar muncul dalam bentuk pemberian bantuan tunai Program Jaring Pengaman Sosial (JPS), dan pemberian beras Program Beras untuk Rakyat Miskin (Raskin). Bantuan langsung dipandang lebih simpel tanpa perlu perencanaan partisipatif, serta tidak mempercayai potensi golongan miskin (Mubyarto 2000: 4).

Sangat disayangkan bahwa suasana gotong royong mengatasi kemiskinan yang sudah berkembang baik ini menjadi buyar berantakan karena terjadinya krismon (krisis moneter) menjelang akhir 1997. Dalam suasana panik mengatasi dampak krismon yang cenderung dibesar-besarkan itu lahir berbagai program/proyek JPS yang juga kebablasan, yang tidak menganggap perlu "belajar" dari program-program PPK (Peningkatan Penanggulangan Kemiskinan) yang sudah berjalan seperti program IDT, Takesra, Kukesra, P4K, Kube, dll. Program PDM-DKE yang menyatakan diri "berpola IDT" dalam praktik pelaksanaannya terang-terangan bertentangan dengan program IDT dalam hal tidak mempercayai warga desa untuk menentukan siapa yang berhak menerima bantuan dana JPS/PDM-DKE. Kini nasi telah menjadi bubur, "sesal dulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna"!

Untuk menguatkan arti krisis moneter, BPS telah memanipulasi metode pengukuran garis kemiskinan, dengan menambahkan komponen pengeluaran barang-barang baru. Metode baru ini telah menjaring tubuh-tubuh miskin lebih banyak, sehingga persentase tubuh miskin sebelum dan sesudah krisis moneter meningkat tajam. Melalui kalkulasi lama, kemiskinan pada tahun 1996 sebesar 11,34 persen atau 22,5 juta jiwa, dan kalkulasi baru sebesar 17,5 persen dan 34,5 juta jiwa. Sementara itu, melalui kalkulasi baru kemiskinan pada tahun 1998 sebesar 24,23 persen dan 49,5 juta jiwa. Jika kalkulasi lama 1996 dibandingkan dengan kalkulasi baru 1998, muncullah pandangan bahwa krisis moneter memiliki pengaruh mendalam bagi tubuh miskin di Indonesia, dengan menambah 27 juta tubuh miskin –sementara kalau konsisten menggunakan seluruh kalkulasi terakhir hanya meningkatkan 15 juta tubuh miskin. Pernyataan baru ini memunculkan basis legitimasi praktik program-program pengurangan kemiskinan.

It is interesting to see how BPS has changed the measurement of poverty , to adjust the dynamic of the society and to attempt to improve the coverage of the poor. These changes are all made to make the statictics on poverty more relevant. Yet, those reading such statictics might not be aware of these changes and mightbe inclined to make wrong conclusion…..

… In a certain BPS publication, it was stated that the calculation of the non-food poverty line had been changed in December 1998 to bring it in line with development in society with regard to non-food need. The definition of "needs" was expanded because BPS realized that the needs of society had expanded. Hence, BPS raised the poverty line. With these changes, it is no surprise that poverty figures also increased. Of the increase of 27 million, some of this represented a genuine increase and the rest was simply a result of adjustment of method of calculation (Ananta 2005: 99).

Penguatan diskursus kemiskinan produksi kian berkembang setelah tahun 1998 dikembangkan Program Pengembangan Kecamatan (PPK) dengan donor World Bank untuk sekitar 5.000 kecamatan. Hingga kini program tersebut tidak berhenti, bahkan sejak tahun 2008 program ini berganti nama menjadi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM Perdesaan) yang mencakup seluruh kecamatan pedesaan di Indonesia.

Berbagai arena di dalam Program PPK atau PNPM Perdesaan menyerupai Program IDT, namun telah ditafsir ulang dalam diskursus kemiskinan produksi. Program tersebut menggabungkan komponen kredit kelompok dan infrastruktur. Telah lama donor internasional dikenal lebih mampu mengelola proyek infrastruktur dibandingkan pengembangan kelembagaan (Israel 1992: 2). Pembangunan komponen infrastruktur selesai setelah bangunan diserahkan kepada pemerintah desa, sedangkan pengembangan kredit kelompok seharusnya berkelanjutan hingga durasi proyek selesai. Dalam Program PPK komponen infrastruktur segera mendominasi nilai kegiatan dibandingkan kredit kelompok. Pendamping di tingkat kecamatan dan desa lebih menekankan komponen infrastruktur. Data Potensi Desa tahun 2011 menunjukkan infrastruktur transportasi yang dibangun dengan PNPM mencapai lokasi 46.746 desa, jauh melebihi kegiatan ekonomi yang hanya mencakup belasan ribu desa.

Kekuasaan disalurkan melalui mekanisme standardisasi. Mulai Program PPK tahapan perencanaan partisipatif, hingga pelaksanaan, dan kontrol didisiplinkan dalam panduan-panduan teknis operasional. Kreativitas dari lapangan yang dipandang selaras dengan diskursus kemiskinan produksi dikembangkan sebagai disiplin baru pada pedoman tahun berikutnya. Pada tahun 1998 hanya ditemukan pedoman-pedoman kecil dan tipis (tidak lebih dari 30 halaman) untuk program dan kegiatan, jumlahnya tidak lebih dari 5 buku. Pada saat ini setiap desa mendapatkan 14 buku panduan, masing-masing di atas 50 halaman, yang diperbaiki setiap tahun.

Pandangan efisiensi dipraktikkan dalam arena persaingan proposal antar kelompok dalam desa maupun antar desa dalam satu kecamatan. Penilaian proposal diunggulkan pada efisiensi perencanaan kegiatan. Dalam persaingan di tingkat kecamatan, proposal desa dengan persentase dana swadaya masyarakat tertinggi hampir pasti terpilih untuk menerima dana program. Swadaya masyarakat yang diidentifikasi sebagai kemandirian dalam diskursus potensi golongan miskin, kini ditafsir ulang sebagai modal ekonomi desa untuk mendapatkan proyek. Melalui persaingan, program ini ingin memilih desa yang lebih maju dan mampu menyediakan swadaya lebih tinggi, daripada desa yang lebih tertinggal dan hanya menyediakan swadaya rendah. Pada saat ini konsep

persaingan telah diubah menjadi prioritas, namun pelaksanaannya tetap sesuai teori pengambilan keputusan rasional, yaitu mengurutkan (memprioritaskan) kegiatan sesuai dengan urutan yang paling sesuai dari tujuan pembangunan desa.

4.2.2. Perencanaan Partisipatif di Kecamatan

Perencanaan partisipatif di kecamatan bertujuan untuk menyusun prioritas kegiatan antar desa/kelurahan berdasarkan hasil perencanaan partisipatif di desa/kelurahan, sekaligus mensinergikannya dengan rencana pembangunan kabupaten/kota.

Prioritas hasil perencanaan pembangunan partisipatif PNPM Mandiri dan musrenbang desa/kelurahan menjadi prioritas untuk dibiayai dengan sumber pendanaan kecamatan.1

Formalisasi kegiatan dengan menekankan proposal tertulis ke kecamatan hanya memperhitungkan nilai uang dari swadaya desa. Di dalam desa sendiri konsep kerukunan dari diskursus berbagi kelebihan dimanipulasi warga desa sendiri. Arena kerukunan berupa gotong royong digunakan untuk meningkatkan nilai swadaya desa. Untuk mengoptimalkan kerja warga desa dalam kegiatan program ini, mereka diupah dengan nilai sama atau sedikit di bawah upah buruh bangunan. Upah tersebut benar-benar diberikan kepada warga yang mengerjakan kegiatan, namun segera dikembalikan kepada pemerintah desa untuk dituliskan sebagai swadaya masyarakat.

Persaingan untuk mendapatkan kredit kelompok juga telah menyisihkan tubuh-tubuh miskin. Untuk menunjukkan efisiensi penggunaan kredit –sehingga memenangkan persaingan perebutan kredit kelompok di kecamatan—maka warga desa menyeleksi sendiri tubuh-tubuh yang telah memiliki modal berupa penghasilan tetap. Buruh tani, petani kecil, dan golongan miskin lainnya tidak mendapatkan kesempatan mengusulkan kelompok masyarakat ini. Agar lebih memastikan efisiensi pengembalian kredit kelompok, dalam PNPM Perdesaan bahkan warga yang tidak miskin diperbolehkan mengisi maksimal 25 persen keanggotaan kelompok –padahal dalam diskursus potensi orang miskin kelompok masyarakat hanya beranggotakan golongan miskin tanpa memperhatikan modal awal mereka.

1 Pedoman Umum Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri tahun 2007/2008, halaman 23.

Dokumen terkait