• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN A. Deskripsi Data

B. Hasil Analisis Data

Dalam pembahasan hasil ini akan di deskripsikan tentang aksesibilitas bagi anak berkebutuhan khusus di sekolah dasar inklusi di Kabupaten Sragen berdasarkan hasil yang diperoleh dari kuisoner yang telah disebarkan kepada responden guru seklah dasar inklusi serta responden siswa ABK. Hasil yang didapat berupa angka yang akan dideskripsikan beserta hasil observasi dan wawancara untuk memperkuat data kuantitatif yang didapat.

Berdasarkan data yang diperoleh dari responden guru dan respondensiswa ABK, dapat dilihat bahwa skor tertinggi adalah 4,5 termasuk kategori Baik. Pernyataan yang mendapat skor tersebut adalah dalam komponen sikap anggota sekolah dalam point “ hubungan siswa ABK dengan siswa normal”. Hal ini menandakan bahwa di sekolah dasar inklusi di Kabupaten Sragen, siswa ABK tidak mengalami masalah berarti dalam kegiatan interaksi mereka dengan teman satu sekolah lainnya. Sedangkan skor terendah dari penilaian aksesibilitas bagi anak berkebutuhan khusus di sekolah dasar inklusi di Kabupaten Sragen ini adalah 2 yang termasuk kategori kurang. Nilai tersebut terdapat dalam komponen

commit to user

model layanan pendidikan dalam point “keberadaan guru yang mengajarkan keterampilan khusus”. Item pernyataan yang mendapat skor 2 ini menunjukkan bahwa sekolah dasar inklusi di Kabupaten Sragen tidak memberikan suatu pelatihan keterampilan khusus bagi ABK sebagai bekal keterampilan untuk siswa ABK setelah lepas dari sekolah kelak. Dengan diajarkannya suatu keterampilan khusus diharapkan siswa ABK dapat memiliki suatu bekal keterampilan untuk menjadi pegangan hidupnya kelak.

Berikut ini adalah hasil analisa dari responden guru dan siswa ABK tentang aksesibilitas bagi anak berkebutuhan khusus di sekolah dasar inklusi di Kabupaten Sragen berdasarkan susunan tiap – tiap komponennya.

1. Komponen Aksesibilitas

Didalam komponen aksesibilitas terdapat point – point yang mengukur sejauh mana upaya sekolah dalam menyediakan kemudahan – kemudahan dalam penyelenggaraan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus dari masalah bangunan dan tata ruang sekolah yang disesuaikan dengan penderita tunadaksa ata tuna netra hingga masalah penyediaan GPK untuk menunjang proses pembelajaran bagi siswa ABK. Beberapa hal yang membantu tuna daksa dan ditetapkan pada standar penyandang cacat Peraturan Menteri PU tahun 2007 yakninya: Ramp (bidang miring pengganti tangga bagi tuna daksa) dengan perbandingan 1 :12 sampai dengan 1 : 15 antara tinggi dan alas ramp agar memudahkan mendorong kursi roda, Lebar pintu dibuat selebar kursi roda, Toilet duduk dengan railing (tempat berpegang). Dan contoh aksesibilitas fasilitas ideal bagi tuna netra seperti dituliskannya huruf Braille pada handle tangga dan petunjuk arah.

Dalam data yang diperoleh dari responden guru, komponen aksesibilitas sekolah mendapatkan rata – rata skor 3,18 (Sedang), dan dari data yang diperoleh dari responden siswa ABK, mendapatkan rata – rata skor 3,41 (Sedang) . Hal ini di karenakan rendahnya pemanfaatan dana yang telah disediakan pemerintah yang khusus dialokasikan untuk pengembangan infrastruktur pendidikan inklusi yang baik di sekolah. Hal ini dapat dilihat dalam perolehan skor dalam point “penyediaan Guru Pembimbing Khusus

commit to user

(GPK) oleh sekolah” serta “keberadaan guru lulusan PLB disekolah” yang mana dalam point penyediaan GPK oleh sekolah hanya mendapatkan skor 2,95 (kurang), dan dalam poin keberadaan guru lulusan Pendidikan Luar Biasa (PLB) hanya mendapatkan skor 2,65 (kurang) serta dalam point “penyediaan GPK oleh sekolah” dari data yang diperoleh dari responden guru juga mendapatkan nilai rata – rata rendah yaitu 2,8 (Kurang). Hal ini diperkuat dengan pendapat dari “S” guru di SDN Sragen 2 yang menyatakan :

“Untuk guru lulusan PLB di sekolah ini belum ada, soalnya sekolah ini masih baru dalam menerapkan inklusi”. (wawancara 5 Mei 2012).

Namun adapula sekolah yang menyediakan GPK lulusan PLB untuk memberikan layanan pendidikan di Sekolahnya.

“Disini ada guru inklusinya mas,tapi datangnya setiap hari Kamis. Kalau hari – hari biasa beliau mengajar di SLB Gemolong, tai kalau hari kamis mengajar di sekolah ini. Data dan absen ABK juga yang bawa beliau”. ( “S.M” SD N Karungan 1 wawancara 6 Juni 2012 ).

Sedangkan menurut permendiknas no 70 tahun 2009 pasal 10 ayat 1 menyatakan “Pemerintah kabupaten/kota wajib menyediakan paling sedikit 1

(satu) orang guru pembimbing khusus pada satuan pendidikan yang ditunjuk untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif ”. Hal ini menunjukkan bahwa

kemudahan yang dapat ditawarkan dari pihak sekolah masih belum maksimal guna memenuhi kebutuhan ABK.

2. Komponen Sarana dan Prasarana

Di dalam komponen ini terdapat data yang menyangkut sejauh mana aliran dana dan bantuan dari pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan inklusi, serta pengaplikasian bantuan dari pemerintah tersebut dalam penyediaan sarana dan prasarana penunjang pembelajaran inklusi yang aksesibel bagi ABK. Berdasarkan data yang diperoleh dari reponden guru dan responden siswa ABK, diketahui dalam komponen sarana dan prasarana mendapatkan rata –rata skor 3,44 (Sedang) dan 3,35 (Sedang). Hal ini menunjukkan bahwa sarana dan prasarana yang dimiliki oleh sekolah dasar inklusi di Kabupaten Sragen cukup baik terutama dalam hal media pembelajaran. Hal ini sejalan dengan Sutjiono (2005) yang menyimpulkan

commit to user

bahwa semua guru sepakat bahwa media itu perlu dalam pembelajaran. Kalau sampai hari ini masih ada guru yang belum menggunakan media, itu hanya perlu satu hal yaitu perubahan sikap. Dalam memilih media, perlu disesuaikan dengan kebutuhan, situasi dan kondisi masing-masing. Dengan perkataan lain, media yang terbaik adalah media yang ada. Terserah kepada guru bagaimana ia dapat mengembangkannya secara tepat dilihat dari isi, penjelasan pesan dan karakteristik siswa.

Namun dalam point program satu GPK untuk satu ABK hanya memperoleh rata – rata skor 2.15 (Kurang). “S.E.S”, guru SD N Pengkol 2 berkomentar

“Sekolah biasanya dapat bantuan berupa peralatan, seperti komputer dan LCD, nanti setelah itu bantuan yang lain baru menyusul” (wawancara 23 mei 2012).

Menurut permendiknas no 70 tahun 2009 pasal 10 ayat 4 “Pemerintah

dan pemerintah provinsi membantu dan menyediakan tenaga pembimbing khusus bagi satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusi yang memerlukan sesuai dengan kewenangannya”. Kemudian hal tersebut diperkuat

dalam ayat 5 yang berbunyi “Pemerintah dan pemerintah provinsi membantu meningkatkan kompetensi dibidang pendidikan khusus bagi pendidik dan tenaga kependidikan pada satuan”. Bisa disimpulkan bahwa sarana dan prasarana yang disediakan oleh pemerintah bagi sekolah hanya meliputi aspek alat bantu dan media ajar saja, namun untuk pemenuhan tenaga didik yang di khususkan untuk siswa ABK masih belum berjalan dengan baik.

3. Komponen Model Layanan Pendidikan

Di dalam komponen model layanan pendidikan terdapat point – point tentang layanan pendidikan yang diberikan oleh sekolah kepada siswa ABK di sekolah sebagai bentuk akomodasi dari sekolah bagi keberadaan siswa ABK. Berdasarkan data yang diperoleh dalam penelitian, diketahui komponen model memiliki skor rata – rata 2,94 (Kurang) dan 3,57 (Sedang). Point yang sama- sama memiliki skor rata – rata kurang adalah dalam point pengajaran keterampilan vokasional bagi siswa ABK. Di dalam point ini hanya diperoleh rata – rata 2,7 dalam hasil perolehan data dari responden guru dan 2,93 dalam data hasil responden siswa ABK. Sehingga dapat disimpulkan bahwa

commit to user

pembekalan keterampilan khusus bagi siswa ABK kurang diperhatikan oleh sekolah. Padahal hal ini sangat penting karena dengan dibekalinya siswa ABK dengan suatu keterampilan khusus, diharapkan keterampilan tersebut dapat dijadikan sebuah pegangan untuk mengarungi hidupnya kelak.

4. Komponen Model Pembelajaran

Di dalam komponen model pembelajaran mencakup tentang kurikulum yang digunakan dalam mengajar siswa ABK, frekuensi pemberian program pembelajaran individual (PPI) bagi siswa hingga Hasil belajar siswa ABK di sekolah. Berdasarkan data yang diperoleh dalam penelitian, diketahui komponen model memiliki skor rata – rata 3,02 (Sedang) dan 2,77 (Kurang). Hal yang mendasari kurang aksesibelnya model pembelajaran yang diterapkan sekolah dasar inklusi di Kabupaten Sragen dapat diketahui dari hasil belajar siswa ABK yang kurang baik dikarenakan dalam pembelajaran bagi siswa ABK masih menggunakan kurikulum untuk sekolah reguler.

Dari data yang diperoleh dari responden guru, point penerapan kurikulum yang dikhususkan bagi siswa ABK memperoleh rata – rata 2,85 (Kurang) dan dalam point hasil belajar siswa ABK mendapat rata – rata 2,65 (Kurang). Sedangkan data yang diperoleh dari responden siswa ABK, point penerapan kurikulum yang dikhususkan bagi siswa ABK memperoleh rata – rata 2,6 (Kurang) dan dalam point hasil belajar siswa ABK mendapat rata – rata 2,46 (Kurang). Siswa yang mempunyai tingkat kecerdasan yang sedang namun menunjukkan prestasi belajar yang buruk karena adanya umpan balik yang tidak mendukung. Hal ini menunjukkan perlunya kajian yang lebih mendalam terhadap aspek kepribadian dan lingkungan agar siswa dapat memiliki prestasi belajar sesuai dengan potensinya (Fahmi, 2003).

Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa model pembelajaran yang digunakan oleh sekolah dasar inklusi di Kabupaten Sragen kurang aksesibel bagi anak berkebutuhan khusus.

5. Komponen Manajemen Sumber Daya Manusia

Berdasarkan data yang diperoleh dari reponden guru dan responden siswa ABK, diketahui komponen manajemen sumberdaya manusia

commit to user

mendapatkan rata – rata skor 3,59 dari responden guru dan 3,70 dari responden siswa ABK, yang termasuk kategori sedang. Hubungan antara pihak sekolah, masyarakat dan orang tua siswa berjalan dengan baik. Menurut pendapat sukinah (2010), keterlibatan orang tua aktif terhadap pendidikan anak disekolah sangat penting dalam kaitannya dengan negosiasi dalam mencari solusi berkenaan dengan pendidikan anak baik di sekolah maupun di rumah.

Dalam permendiknas no 70 tahun 2009 pasal 11 ayat 5 disebutkan

“Satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif dapat bekerjasama dan membangun jaringan dengan satuan pendidikan khusus, perguruan tinggi, organisasi profesi, lembaga rehabilitasi, rumah sakit dan pusat kesehatan masyarakat, klinik terapi dunia usaha, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan masyarakat.” Didalam pelaksanaanya, kerjasama sekolah inklusi di

Kabupaten Sragen dengan instansi pendidikan khusus, panti rehabilitasi serta klinik terapi masih kurang, sehingga masalah yang dialami oleh siswa ABK belum bias terselesaikan dengan baik pula.

6. Komponen Sikap Anggota Sekolah

Berdasarkan data yang diperoleh dari reponden guru dan responden siswa ABK, komponen sikap anggota sekolah memiliki skor rata – rata 3,79 (Sedang) dan 3,44 (Sedang). Komponen ini merupakan komponen yang memiliki perolehan nilai rata – rata tertinggi. Di dalam komponen ini terdapat point – point yang mendeskripsikan tentang hubungan interaksi siswa ABK dengan anggota sekolah baik sesama siswa, hubungan siswa ABK dengan guru hingga keadaan psikologis yang dialami siswa ABK di sekolah secara keseluruhan. Di dalam komponen ini terdapat point yang mendapatkan nilai rata – rata tertinggi yaitu point “hubungan siswa ABK dengan siswa normal” yang mendapatkan skor rata – rata 4,5. Hal ini diperkuat dengan pendapat guru SDN Pengkol 2 “S.E.S” yang berpendapat:

“Siswa ABK disekolah ini tidak dibeda – bedakan, hubungan dengan siswa yang lain juga baik saat istirahat sering bermain bersama (wawancara 23 Mei 2012).

Dengan hal ini dapat disimpulkan bahwa sikap anggota sekolah yang ditujukan pada siswa ABK di sekolah dasar inklusi di Kabupaten Sragen sudah

commit to user

baik. Dengan nyamannya kondisi psikis siswa ABK saat berada di sekolah dapat mempengaruhi proses belajar anak disekolah dengan baik. Apabila siswa kusang nyaman di sekolah bukan tidak mungkin siswa akan kesulitan dalam kegiatan belajarnya atau bahkan minder dan putus sekolah.

Berdasarkan hasil yang didapat dari kuisoner tentang aksesibilitas bagi ABK dalam lingkup pendidikan inklusi di sekolah dasar inklusi di Kabupaten Sragen kepada responden guru dan responden siswa ABK, diperoleh hasil sebagai berikut :

No Responden Perolehan skor rata-rata

Kategori

1 Guru 3.35 Sedang

2 Siswa ABK 3.44 Sedang

Tabel 4.6 Perbandingan hasil antar responden

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa tingkat aksesibilitas yang dimiliki oleh sekolah dasar inklusi di Kabupaten Sragen oleh responden guru memperoleh skor 3,35 (Sedang) termasuk dalam kategori sedang dan dinyatakan cukup aksesibel bagi siswa ABK. Sedangkan hasil yang didapat dari responden siswa ABK memperoleh skor 3,44 (Sedang) sehingga jika diambil rerata dari kedua responden diperoleh rata – rata skor 3,39 (Sedang). Dengan ini dapat disimpulkan secara garis besar bahwa aksesibilitas bagi anak berkebutuhan khusus dalam lingkup pendidikan inklusi di Kabupaten Sragen tahun 2012 cukup aksesibel.

commit to user

BAB V

Dokumen terkait