• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aksesibilitas Bagi Anak Berkebutuhan Khusus dalam Lingkup Pendidikan Inklusi di Sekolah Dasar Inklusi di Kabupaten Sragen Tahun 2012

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Aksesibilitas Bagi Anak Berkebutuhan Khusus dalam Lingkup Pendidikan Inklusi di Sekolah Dasar Inklusi di Kabupaten Sragen Tahun 2012"

Copied!
73
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user 1

Aksesibilitas Bagi Anak Berkebutuhan Khusus dalam

Lingkup Pendidikan Inklusi di Sekolah Dasar Inklusi

di Kabupaten Sragen Tahun 2012

SKRIPSI

Disusun Oleh :

Yazied Hussain Arrachim K5108078

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA Juli 2012

(2)

commit to user

PERNYATAAN KEASLIAN PENULISAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini

Nama : Yazied Hussain Arrachim

NIM : K5108078

Jurusan/ Program Studi : P.I.P/ Pendidikan Luar Biasa

menyatakan bahwa skripsi saya berjudul “AKSESIBILITAS BAGI ANAK

BERKEBUTUHAN KHUSUS DALAM LINGKUP PENDIDIKAN INKLUSI DI SEKOLAH DASAR INKLUSI DI KABUPATEN SRAGEN TAHUN 2012” ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri. Selain itu, sumber informasi yang dikutip dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka.

Apabila pada kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan skripsi ini hasil jiplakan, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan saya.

Surakarta, 19 Juli 2012 Yang membuat pernyataan

Yazied Hussain Arrachim K5108078

(3)

commit to user

Aksesibilitas Bagi Anak Berkebutuhan Khusus dalam Lingkup

Pendidikan Inklusi di Sekolah Dasar Inklusi

di Kabupaten Sragen Tahun 2012

Skripsi

Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Luar Biasa

Jurusan Ilmu Pendidikan

Disusun Oleh :

Yazied Hussain Arrachim K5108078

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA Juli 2012

(4)

commit to user

PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui sebagai salah satu syarat penyusunan Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, pada :

Hari : Kamis

Tanggal : 19 Juli 2012

Persetujuan Pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. Gunarhadi, MA, Ph.D Priyono, S.Pd, M.Si

(5)

commit to user

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan dihadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan telah diterima untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan

Pada Hari : Tanggal :

Tim Penguji Skripsi:

Ketua : Drs. Hermawan, M. Si ………

Sekretaris : Dewi Sri Rejeki, S.Pd, M.Pd ………

Anggota 1 : Drs. Gunarhadi MA, Ph.D ………

Anggota II : Priyono, S.Pd, M. Si ………

Disahkan Oleh :

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret

a.n Dekan

Pembantu Dekan I

Prof. Dr. rer. nat. Sajidan, M. Si NIP. 19660415 199103 1 002

(6)

commit to user

ABSTRAK

Yazied Hussain Arrachim. AKSESIBILITAS BAGI ANAK

BERKEBUTUHAN KHUSUS DALAM LINGKUP PENDIDIKAN INKLUSI DI SEKOLAH DASAR INKLUSI DI KABUPATEN SRAGEN TAHUN 2012. Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sebelas Maret Surakarta, Juli, 2012.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana kualitas aksesibilitas yang telah diperoleh anak berkebutuhan khusus di sekolah dasar inklusi di Kabupaten Sragen tahun 2012.

Penelitian ini menggunakan metode diskriptif kualitatif. Sumber data yang digunakan adalah informan, tempat dan peristiwa serta arsip dan dokumen. Teknik pengumpulan data melalui kuisoner, wawancara, observasi, dan analisis dokumen. Teknik sampling (cuplikan) yang digunakan adalah teknik purposive sampling. Validitas data yang digunakan adalah uji validitas tes dan reliabilitas tes dengan menggunakan rumus korelasi product moment pearson. Analisis data yang digunakan adalah analisa data yang bersifat kualitatif dengan model deskriptif.

Data hasil penelitian menunjukkan rata – rata skor pengukur tingkat aksesibilitas yang diperoleh dari responden guru 3,35 (sedang) dan rata – rata skor pengukur tingkat aksesibilitas dari responden siswa ABK 3,44 (Sedang), sehingga diperoleh skor rata – rata total 3,39 (Sedang) sebagai nilai rata – rata total yang diperoleh dari responden guru dan responden siswa ABK, yang menunjukkan bahwa aksesibilitas bagi anak berkebutuhan khusus dalam lingkup pendidikan inklusi di sekolah dasar inklusi di Kabupaten Sragen tahun 2012 cukup aksesibel. Kata kunci : Aksesibilitas, Anak Berkebutuhan Khusus, Pendidikan Inklusi

(7)

commit to user

ABSTRACT

Yazied Hussain Arrachim. ACCESIBILITY FOR CHILDREN WITH

SPECIAL NEEDS WITHIN THE SCOPE OF INCLUSIVE EDUCATION IN PRIMARY SCHOOL OF SRAGEN REGENCY IN THE YEARS 2012. Thesis, Surakarta: Teacher Training and Education Faculty of Surakarta Sebelas Maret University. July. 2012.

The purpose of this study was to determine the extent quality of the accessibility of that has gained a child with special needs in inclusive primary school of Sragen regency at 2012. This study used a qualitative descriptive method. Techniques of data collection through questionnaires, interviews, observation, and document analysis. Sampling technique used was purposive sampling technique. The validity of the data used is the test validity and reliability tests using Pearson product moment correlation formula. Analysis of the data used is a qualitative data analysis with descriptive models.

Data showed the average score gauges the level of accessibility provided by the teacher respondents is 3,35 (medium) and the average score gauges the level of accessibility of children with special needs student respondents is 3,44 (Medium), to obtain total average scores is 3,39 (Medium) as the total average obtained from the teacher respondents and children with special needs student respondents, which shows that accessibility for children with special needs within the scope of inclusive education in primary schools of Sragen Regency inclusion in the year 2012 is quite accessible.

(8)

commit to user

MOTTO

” Tak ada yang jatuh dari langit dengan

cuma – cuma, semua didapat dari usaha dan do’a ’’

(penulis)

(9)

commit to user

PERSEMBAHAN

Seiring syukurku pada-Mu YA ALLAH, ku persembahkan karya ini untuk:

 Bapak dan Ibu tercinta yang telah memberikan segalanya, dukungan,

motivasi terutama do‟a semoga Allah SWT memberikan kebaikan dan kemuliaan di dunia dan akhirat

 Ambarwati yang selalu jadi sumber semangat yang tak pernah habis

 Kakak dan adik tercinta yang selalu memberiku semangat

 Rekan – rekan liga ngangkruk sebagai tempat melepas penat

 Sahabatku Dessi, Retno, Ridwan, Albiz yang sudah bersedia membagi

tawa denganku

 Bapak dan Ibu Dosen PLB yang telah banyak memberikan ilmu

 Teman-teman PLB angkatan 2008

(10)

commit to user

KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah, dipanjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan karuniaNya, taufiq dan hidayahNya, penulisan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

Dengan selesainya penulisan skripsi ini, penulis merasa memperoleh suatu kebahagiaan tersendiri. Meskipun demikian tidak berarti penulisan ini tanpa hambatan, namun setidaknya pula hambatan tersebut dapat diantisipasi dan diatasi. Hal tersebut tidak lain berkat dorongan, motivasi, dan saran dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh sebab itu, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada yang terhormat :

1. Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatulah, M.Pd, Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan ijin penelitian guna menyusun skripsi ini

2. Prof. Dr. rer. nat. Sajidan, M.Si, Pembantu Dekan 1 Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan ijin penelitian guna menyusun skripsi ini

3. Drs. Amir Fuady, M.Hum, Pembantu Dekan III Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan ijin penelitian guna menyusun skripsi ini.

4. Drs. Rusdiana Indianto, M.Pd, Ketua Jurusan Ilmu Pendidikan FKIP UNS Surakarta, yang telah memberikan ijin penyusunan skripsi

5. Drs. Hermawan, M. Si, Ketua Program Studi Pendidikan Khusus FKIP UNS yang telah memberikan ijin untuk menyusun skripsi

6. Priyono, S.Pd, M.Si, Sekretaris Program Studi Pendidikan Luar Biasa Jurusan Ilmu Pendidikan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta sekaligus selaku dosen pembimbing II yang telah membimbing dengan profesional dalam penulisan skripsi

7. Drs. Gunarhadi MA, P.hD selaku Pembimbing I yang dengan sabar telah memberikan pengarahan, bimbingan dan motivasi sehingga skripsi ini dapat terselesaikan

(11)

commit to user

8. Seluruh kepala sekolah SD inklusi yang ada di Kabupaten Sragen atas ijin untuk melakukan penelitian di sekolah

9. Segenap Bapak/Ibu dosen Program Studi Pendidikan Khusus yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan, sehingga peneliti mampu menyelesaikan penulisan skripsi ini

10. Berbagai pihak yang telah membantu peneliti demi lancarnya penulisan skripsi ini yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa masih ada kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh sebab itu penulis mengaharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna perbaikan. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi majunya ilmu pendidikan di sekitar kita.

Surakarta, 19 Juli 2012

(12)

commit to user

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERNYATAAN ... ii

HALAMAN PENGAJUAN ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iv

HALAMAN PENGESAHAN ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACK... vii

HALAMAN MOTTO ... viii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR BAGAN ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... . 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 4

C. Pembatasan Masalah ... 5

D. Rumusan Masalah ... 5

E. Tujuan Penelitian ... 5

F. Manfaat Penelitian ... 6

BAB II KAJIAN TEORI... ... 7

A. Tinjauan Pustaka... 7

1. Tinjauan Tentang Aksesibilitas... ... 7

2. Tinjauan Tentang Anak berkebutuhan khusus... 10

a. Tunanetra………. 11

b. Tunarungu……… 12

c. Tunagrahita……….. 13

(13)

commit to user

e. Tunalaras……….. 16

3. Tinjauan Tentang Pendidikan Inklusi………... 17

a. Pengertian Pendidikan inklusi ... 17

b. Landasan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi... 20

c. Sarana Prasarana dan Komponen Pendidikan Inklusi ... 21

d. Model Pendidikan Inklusi ………... 25

B. Kerangka Berpikir ... 28

C. Hipotesis ... 28

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... . 29

A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 29

B. Pendekatan dan Jenis Penelitian... 30

C. Data dan Sumber Data ... 30

D. Teknik Pengambilan Sampel... 31

E. Teknik Pengumpulan Data ... 31

F. Uji Validitas………. 33

G. Tekhnik Analisis Data……… ... 37

H. Rancangan Penelitian……….. 38

BAB IV HASIL PENELITIAN ... . 40

A. Deskripsi Data………. 40

1. Deskripsi Lokasi Penelitian……….………. 40

2. Deskripsi Responden Penelitian……….………. 41

a. Responden Guru……… 42

b. Responden Siswa ABK……….……… 43

3. Data Hasil Penelitian ……… 45

B. Hasil Analisis Data ………... 49

BAB V KESIMPULAN, IMPIKASI DAN SARAN... 56

A. Kesimpulan……….. 56

B. Implikasi ……… 56

C. Saran………... 57

(14)

commit to user

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 3.1 Jadwal penelitian ... 29

Tabel 3.2 Koefisien reliabilitas dari Strand, B.N dan Wuilson R. ... 37

Tabel 4.1 Daftar SD inklusi di Kabupaten Sragen ... 41

Tabel 4.2 Daftar persebaran responden guru... ... 42

Tabel 4.3 Daftar responden guru ... 43

Tabel 4.4 Daftar responden siswa ABK ... 44

Tabel 4.5 Skor skala penilaian ... 45

(15)

commit to user

DAFTAR BAGAN

Halaman

(16)

commit to user

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Kisi-kisi Try Out Guru ... 61

Lampiran 2. Soal Try Out Guru ... 62

Lampiran 3. Kisi-kisi Try Out ABK ... 65

Lampiran 4. Soal Try Out ABK ... 66

Lampiran 5. Perhitungan Reliabilitas ... 68

Lampiran 6. Perhitungan Validitas ... 69

Lampiran 7. Kisi-kisi kuisoner Guru ... 94

Lampiran 8. Soal kuisoner Guru ... 95

Lampiran 9. Kisi-kisi kuisoner ABK ... 98

Lampiran 10. Soal kuisoner ABK ... 99

Lampiran 11. Distribusi Frekuensi Responden Guru ... 101

Lampiran 12. Distribusi Frekuensi Respoden Siswa ABK ... 108

(17)

commit to user

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Permasalahan aksesibilitas sebenarnya sudah lama didengungkan oleh para aktivis gerakan penyandang ketunaan di Indonesia, karena hal itu merupakan salah satu bentuk perlakuan diskriminasi yang utama terhadap para penyandang ketunaan, hingga akhirnya pemerintah mengeluarkan beberapa peraturan atau kebijakan untuk penyediaan fasilitas yang aksesibel bagi para penyandang ketunaan. Pada tahun 1997 muncullah Undang – Undang No.4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat yang kemudian ditindaklanjuti dengan beberapa keputusan menteri yang menyangkut tentang akses fasilitas bangunan fisik yaitu Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No. 468 Tahun 1998 tentang Aksesibilitas, berisi Petunjuk Teknis untuk bangunan dan lingkungan yang aksesibel bagi para penyandang ketunaan. Selanjutnya Keputusan Menteri Transportasi No.KM 71 tahun 1999 tentang Aksesibilitas bagi Penyandang Cacat pada Fasilitas Transportasi Umum, petunjuk aksesibilitas fasilitas transportasi darat, laut, dan udara bagi penyandang cacat.

Sejauh ini persepsi masyarakat tentang aksesibilitas hanya mencakup pada individu yang memiliki ketunaan fisik saja. Padahal individu dengan ketunaan atau gangguan intelegensi dan emosional juga membutuhkan suatu aksesibilitas untuk lebih memudahkan mereka dalam kehidupan. Permasalahan tentang aksesibilitas untuk penyandang ketunaan sekarang menjadi sangat kompleks karena pemerintah selalu menunda untuk merealisasikannya. Jadi masalah aksesibilitas, baik aksesibilitas dalam fasilitas umum maupun dalam hal pendidikan yang ditujukan bagi anak berkebutuhan khusus yang berada dalam lingkup sekolah inklusi belum terwujud dengan baik.

Aksesibilitas dalam hal pendidikan, khususnya dalam lingkup pendidikan inklusi bagi anak berkebutuhan khusus sampai saat inipun dirasa masih kurang. Hal tersebut dikarenakan masih banyak sekolah – sekolah inklusi yang belum

(18)

commit to user

mampu menyediakan sarana aksesibilitas yang dapat memudahkan anak berkebutuhan khusus untuk mendapatkan persamaan kesempatan untuk lebih mempermudahkan mereka dalam segala kegiatan pembelajarannya disekolah. Aksesibilitas bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) di sekolah tidak kalah pentingnya dengan aksesibilitas fisik pada tempat umum. Dalam hal ini aksesibilitas yang dimaksud adalah segala sesuatu yang memudahkan anak berkebutuhan khusus dalam upaya mewujudkan pemenuhan kebutuhan yang mampu membantu anak mencapai potensi maksimalnya. Wujud aksesibilitas bagi ABK di sekolah dapat berupa tulisan braile pada pegangan pintu bagi siswa tunanetra untuk mengetahui ruang apa yang hendak dimasukinya tersebut, untuk siswa tunarungu dapat berupa running text yang dipampang di sekolah untuk memudahkan siswa tunarungu untuk mengetahui informasi yang ada. Bagi siswa tunagrahita dapat diwujudkan dengan menghindari adanya sudut lancip pada bangunan, bagi siswa tuna daksa wujud aksesibilitas dapat berupa diperbanyaknya bidang miring yang ada di sekolah sehingga memudahkan kursi roda untuk berjalan diatasnya. Sedangkan bagi siswa tunalaras bias berupa disediakannya terapis khusus untuk mengontrol tingkah laku anak.

Pada dasarnya pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus disediakan dalam tiga macam lembaga pendidikan, yaitu Sekolah Luar Biasa (SLB), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), dan Pendidikan Terpadu. SLB sebagai wadah pendidikan khusus tertua lebih fokus untuk menampung anak dengan jenis kecacatan yang sejenis, sehingga ada SLB - A untuk penyandang Tunanetra, SLB – B untuk penyandang Tunarungu, SLB – C untuk penyandang Tunagrahita, SLB – D untuk penyandang Tunadaksa, SLB – E untuk penyandang Tunalaras, dan SLB Tunaganda untuk penyandang lebih dari satu kecacatan. Berbeda halnya dengan SDLB, SDLB menampung berbagai jenis anak berkelainan, yang mendapatkan layanan pendidikan ditempat tersebut tidak hanya difokuskan pada satu jenis kecacatan layaknya di SLB sehingga tidak menutup kemungkinan terdapat anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, dan/atau tunaganda yang mendapatkan layanan pendidikan disana. Sedangkan pendidikan terpadu adalah sekolah reguler yang juga menampung anak berkebutuhan khusus

(19)

commit to user

untuk diberikan layanan pendidikan, dengan kurikulum, guru, sarana dan prasarana pendidikan, dan kegiatan belajar mengajar yang relatif sama.

Keterbatasan SLB di Kabupaten Sragen yang sebagian besar berada di wilayah Kecamatan kota atau pusat Kabupaten Sragen itu sendiri mengharuskan pelayanan bagi ABK tidak hanya di SLB saja. Sekolah reguler pun harus siap menampung siswa ABK yang bertempat tinggal di lokasi sekitar sekolah, dikarenakan sulitnya bagi ABK untuk mengakses pendidikan di SLB. Dengan hal ini, mau tidak mau pihak pemerintah Kabupaten harus menyediakan wadah sekolah reguler yang dapat mencakup siswa ABK untuk bersekolah di dalamnya. Dengan demikian pelayanan bagi ABK tidak hanya berpusat di SLB saja. Namun bagi sekolah inklusi yang menampung siswa ABK didalamnya juga tidak bias sembarangan memberikan pelayanan bagi ABK yang bersekolah disana, perlu suatu wujud aksesibilitas yang dapat memudahkan siswa dalam segala kegiatan siswa di sekolah mulai dari kegiatan pembelajaran, interaksi sosial, serta pembekalan suatu keterampilan harus dibekalkan kepada sekolah yang menampung siswa ABK didalamnya.

Dengan mulai diselenggarakannya program pendidikan inklusi di yang ditujukan untuk mengakomodasi anak berkebutuhan khusus yang tidak mampu menjangkau SLB, pemerintah Kabupaten Sragen pun mulai menunjuk beberapa sekolah untuk menjalankan program pendidikan inklusi. Sejalan dengan hal itu pihak pemerintah pun memberikan suatu anggaran khusus yang kaitannya mengenai pelaksanaan program pendidikan inklusi tersebut. Dengan adanya anggaran khusus dari pemerintah tersebut, diharapkan sekolah – sekolah inklusi dapat memberikan suatu layanan pendidikan yang baik bagi anak berkebutuhan khusus yang berada di sekolah inklusi. Sekolah inklusi berbeda dengan SLB yang hanya menerima siswa dengan jenis kelainan yang homogen, sekolah inklusi menerima siswas dengan berbagai macam ketunaan sehingga pihak sekolah diharuskan dapat mengakomodasi kebutuhan anak berkebutuhan khusus sesuai dengan karakteristik mereka masing – masing. Dengan kata lain sekolah inklusi haruslah menyediakan aksesibilitas untuk setiap karakter keterbatasan anak berkebutuhan khusus.

(20)

commit to user

Aksesibilitas bagi anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusi memegang peranan yang sangat penting. Apabila sebagian besar aksesibilitas bagi anak berkebutuhan khusus dapat terpenuhi dapat menjadi suatu hal yang mendukung berjalannya suatu pendidikan inklusi yang baik. Akan tetapi bila sebagian besar aksesibilitas bagi anak berkebutuhan khusus yang berada di sekolah inklusi belum bias terpenuhi dengan baik, maka hal tersebut dapat menghambat jalannya proses belajar, interaksi sosial, dan pembentukan karakter siswa. Oleh karena itu, pemenuhan aksesibilitas bagi anak berkebutuhan khusus di sekolah dasar inklusi sangatlah penting guna berjalannya program pendidikan inklusi yang baik bagi anak berkebutuhan khusus.

Dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi, khususnya di sekolah dasar inklusi di Kabupaten Sragen terdapat banyak faktor yang mempengaruhi kualitas layanan pendidikan yang dapat diberikan. Faktor penghambat dan faktor pendukung inilah yang memegang peranan penting pada proses pelaksanaan suatu layanan pendidikan, dengan pengadaan aksesibilitas yang baik bagi anak berkebutuhan khusus terutama yang masih dalam usia sekolah, diharapkan kualitas pendidikan yang didapatkan anak berkebutuhan khusus yang bersekolah di sekolah inklusi sesuai dengan apa yang dibutuhkannya. Berdasarkan hal tersebut, peneliti berniat untuk melakukan studi tentang : Aksesibilitas Bagi Anak Berkebutuhan Khusus Dalam Lingkup Pendidikan Inklusi di Sekolah Dasar Inklusi di Kabupaten Sragen Tahun 2012.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat diidentifikasikan permasalahannya sebagai berikut:

1. Aksesibilitas bagi anak berkebutuhan khusus terutama dalam

penyelenggaraan pendidikan inklusi di sekolah dasar inklusi di Kabupaten Sragen masih perlu ditingkatkan.

(21)

commit to user

2. Terdapat banyak faktor penghambat dan faktor pendukung yang mempengaruhi kualitas layanan pendidikan inklusi di sekolah dasar inklusi di Kabupaten Sragen.

C. Pembatasan Masalah

Adapun pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Subyek penelitian ini adalah siswa dan sekolah dasar inklusi di

Kabupaten Sragen.

2. Obyek penelitian ini adalah aksesibilitas bagi anak bekebutuhan khusus dalam layanan pendidikan inklusi di sekolah dasar inklusi di Kabupaten Sragen serta faktor penghambat dan faktor pendukungnya.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah terurai di atas, maka masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Apa saja wujud aksesibilitas yang didapat oleh anak berkebutuhan khusus di sekolah dasar inklusi di Kabupaten Sragen tahun 2012 ? 2. Apa saja faktor penghambat dan faktor pendukung penyelenggaraan

pendidikan inklusi di sekolah dasar inklusi di Kabupaten Sragen tahun 2012 ?

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui sejauh mana kualitas aksesibilitas yang telah diperoleh anak berkebutuhan khusus di sekolah dasar inklusi di Kabupaten Sragen tahun 2012.

2. Untuk mengetahui apa saja faktor penghambat dan faktor pendukung penyelenggaraan pendidikan inklusi di sekolah dasar inklusi di Kabupaten Sragen tahun 2012.

(22)

commit to user

F. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menambah pengetahuan dalam bidang pendidikan luar biasa tentang peran

penting aksesibilitas bagi anak berkebutuhan khusus dalam

penyelenggaraan pendidikan inklusi.

2. Sebagai gambaran sekaligus memberi informasi pada pemerintah

Kabupaten Sragen mengenai proses pelaksanaan pendidikan inklusi di sekolah dasar inklusi di Kabupaten Sragen.

3. Dengan informasi tersebut, diharapkan kendala-kendala dalam

penyelenggaraan sekolah inklusi di Kabupaten Sragen dapat terjembatani dengan baik dan anak berkebutuhan khusus dapat mengakses pendidikan dengan lebih leluasa.

(23)

commit to user

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Tinjauan Tentang Aksesibilitas

Kata aksesibilitas berasal dari bahasa Inggris (accessibility) yang artinya kurang lebih kemudahan. Jadi aksesibilitas dapat kita pahami sebagai kemudahan yang diberikan pada penyandang cacat untuk dapat mengembangkan dirinya sebagai kompensasi dari tidak berfungsinya bagian – bagian tubuh si penyandang cacat (Tangkesalu, 2005).

Sejauh ini masyarakat hanya mengetahui bahwa kata aksesibilitas hanya berkaitan dengan penyandang ketunaan fisik saja. Hal ini dikarenakan banyak tenaga ahli yang hanya memperhatikan aksesibilitas bagi penyandang ketunaan fisik saja sedangngkan bagi penyandang kecacatan intelejensi dan emosi masih kurang diperhatikan. Seperti pengertian aksesibilitas menurut Undang-Undang No 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat Pasal 1 ayat 4 „Aksesibilitas‟ adalah kemudahan yang disediakan bagi penyandang cacat guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan‟.

Dalam hal ini undang undang tersebut dimaksudkan untuk tujuan berusaha mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan agar penyandang cacat dapat sepenuhnya hidup bermasyarakat. Tujuan tersebut diwujudkan dengan janji Undang Undang tersebut memberikan kemudahan kemudahan aksesibilitas yang menjamin tujuan tersebut diantaranya dengan adanya fasilitas ramah difabel berupa alat transportasi, sarana pendidikan, lapangan kerja, maupun tempat rekreasi ataupun ruang terbuka public termasuk sekolah yang dapat mereka manfaatkan dengan nyaman.

Setidaknya terdapat empat azas yang dapat menjamin kemudahan atau aksesibilitas difabel tersebut yang mutlak mestinya harus dipenuhi oleh pemerintah yakninya:

1. Azas kemudahan, artinya setiap orang dapat mencapai semua tempat atau

(24)

commit to user

2. Azas kegunaan, artinya semua orang harus dapat mempergunakan semua tempat atau bangunan yang bersifat umum dalam suatu lingkungan. 3. Azas keselamatan, artinya setiap bangunan dalam suatu lingkungan

terbangun harus memperhatikan keselamatan bagi semua orang termasuk difabel.

4. Azas kemandirian, artinya setiap orang harus bisa mencapai, masuk dan mempergunakan semua tempat atau bangunan dalam suatu lingkungan dengan tanpa membutuhkan bantuan orang lain.

Pada umumnya dalam lingkungan ruang publik kebutuhan akan aksesibilitas terbagi menjadi tiga kategori yaitu :

1. Kecacatan fisik, yang mencakup mereka yang menggunakan kursi roda,

semi-ambulant, dan mereka yang memiliki hambatan manipulatoris yaitu kesulitan gerak otot

2. Kecacatan sensoris (alat indra) yang meliputi orang tunanetra, tunarungu, dan tunawicara.

3. Kecacatan intelektual / mental (tunagrahita,tunalaras).

Aksesibilitas diharapkan mengedepakan kebutuhan seseorang sesuai dengankecacatan yang dimiliki. Karena setiap penyandang ketunaan pastilah memiliki keterbatasan yang berbeda – beda pula seperti bagi penyandang tuna daksa pasti akan mengalami kesulitan dalam hal perubahan tingkat ketinggian permukaan yang mendadak seperti pada tangga atau parit, tidak adanya pertautan landai antara jalan dan trotoar, tidak cukupnya ruang untuk lutut di bawah meja atau wastafel, tidak cukupnya ruang untuk berbelok, lubang pintu dan koridor yang terlalu sempit, permukaan jalan yang tidak rata atau berlubang (misalnya karena adanya bebatuan) menghambat jalannya kursi roda dan masih banyak lagi. Sedangkan hambatan yang bias dialami oleh tuna netra antara lain, tidak adanya petunjuk arah atau ciri-ciri yang dapat didengar atau dilihat dengan penglihatan terbatas yang menunjukkan nomor lantai pada gedung-gedung bertingkat, rintangan – rintangan kecil seperti jendela yang membuka ke luar atau papan

(25)

commit to user

reklame yang dipasang di tempat pejalan kaki, cahaya yang menyilaukan atau terlalu redup. lift tanpa petunjuk taktual (dapat diraba) untuk membedakan bermacam-macam tombol, atau petunjuk suara untuk menunjukkan nomor lantai dan masih banyak lagi.Hambatan yang dapat dialami penyandang tunarungu antara lain : tidak mungkin dapat memahami pengumuman melalui pengeras suara, kesulitan membaca bibir di tempat dengan pencahayaan yang buruk, tidak dapat mendengar bunyi tanda bahaya. sedangkan bagi para penyandang tunagrahita yang memiliki masalah dengan keintelektualannya akan mengalami kesulitan mencari jalan di dalam lingkungan baru jika di sana tidak terdapat petunjuk jalan yang jelas dan baku.

Aksesibilitas adalah kemudahan yang disediakan bagi difabel guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan sebagai suatu kemudahan bergerak melalui dan menggunakan bangunan gedung dan lingkungan dengan memperhatikan kelancaran dan kelayakan, yang berkaitan dengan masalah sirkulasi, visual dan komponen setting. Sehingga aksesibilitas wajib diterapkan secara optimal, guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam mencapai segala aspek kehidupan dan penghidupan, menuntut adanya kemudahan dan keselamatan akses bagi semua pengguna tanpa terkecuali (Lubis, 2009).

Dari pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa aksesibilitas bukan hanya milik para penyandang ketunaan fisik saja melainkan bagi semua orang dengan ketunaan apapun, dan dalam aspek apapun tanpa terkecuali termasuk dalam aspek pendidikan. Bagi anak berkebutuhan khusus yang berada dalam lingkup layanan pendidikan inklusi, wujud dari aksesibilitas bagi mereka adalah segala sesuatu yang lebih memudahkan mereka guna mendapatkaan hak dan pelayanan yang benar – benar mereka butuhkan dari dalam lingkungan sekolah untuk dapat membantu membantu mengembangkan potensi maksimal yang dimiliki. Dalam hal pendidikan hal ini dapat berupa wujud sebuah layanan pendidikan yang lebih memudahkan mereka mencapai potensi maksimal yang dimiliki. Wujud aksesibilitas dalam sekolah inklusi haruslah mencakup semua

(26)

commit to user

jenis ketunaan dari anak berkebutuhan khusus sehingga sekolah dapat menampung anak berkebutuhan khusus tidak hanya dari satu jenis ketunaan saja.

Penyelenggaraan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang berbeda dengan layanan pendidikan bagi anak normal pada umumnnya menyebabkan anak berkebutuhan khusus memerlukan suatu bentuk layanan khusus yang dapat memudahkan anak dalam kegiatan pembelajarannya, mulai dari aspek keselamatan, kemandirian, hingga proses pembelajaran harus aksesibel. Aksesibilitas dalam pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus memegang peranan yang penting dalam tingkat keberhasilan belajar anak berkebutuhan khusus. Semakin baik tingkat aksesibilitas yang mampu disediakan penyelenggara pendidikan, dapat diartikan semakin baik pula hasil belajar yang diperoleh anak berkebutuhan khusus dalam pendidikannya. Begitu pula jika tingkat aksesibilitas bagi anak berkebutuhan khusus kurang baik, bukan tidak mungkin hasil belajar yang dicapai anak berkebutuhan khusus juga tidak maksimal. Dengan demikian dapat diartikan aksesibilitas dalam layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus sangat menentukan tercapainya tujuan pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus.

5. Tinjauan Tentang Anak Berkebutuhan Khusus

Anak berkebutuhan khusus atau yang pada masa lampau disebut anak cacat memiliki karakteristik khusus dan kemampuan yang berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Tipe anak-anak berkebutuhan khusus bermacam-macam dengan penyebutan yang sesuai dengan bagian diri anak yang mengalami hambatan baik telah ada sejak lahir maupun karena kegagalan atau kecelakaan pada masa tumbuh-kembangnya.

Karakteristik anak berkebutuhan khusus dan hambatan yang mereka alami seringkali menyulitkan mereka mengakses layanan publik, seperti fasilitas di tempat umum yang tidak aksesibel bagi mereka, hingga layanan tumbuh – kembang dan pendidikan yang relatif membutuhkan usaha dan biaya ekstra. Perbedaan karakteristik siswa ABK disbanding anak – anak pada umumnya

(27)

commit to user

membutuhkan bentuk penanganan dan layanan khusus yang sesuai dengan kondisi mereka. Kondisi mereka yang berbeda bukan menjadi alasan untuk menghindari atau membuang mereka, melainkan justru membuahkan kesadaran untuk menghargai keragaman individu dan memberi perhatian dan layanan seideal yang seharusnya mereka terima. Sebagaimana dinyatakan dalam Deklarasi Bandung: Indonesia menuju Pendidikan Inklusi 2004 menyatakan bahwa keberadaan anak berkelainan dan anak berkebutuhan khusus lainnya di Indonesia berhak mendapatkan kesamaan hak dalam berbicara, berpendapat, memperoleh pendidikan, kesejahteraan dan kesehatan, sebagaimana yang dijamin oleh UUD 1945; serta mendapatkan hak dan kewajiban secara penuh sebagai warga negara. Macam dan karakteristik anak berkebutuhan khusus yang berada di tengah masyarakat kita antara lain :

a. Tunanetra

Menurut Supartinah (1995) “ Anak tunanetra tidak hanya anak yang tidak mampu melihat sama sekali (buta), tetapi juga anak yang hanya mampu melihat dalam keterbatasan (low vision)” (hlm. 16).

Gangguan penglihatan atau kebutaan berarti adanya kerusakan pada mata seseorang, sehingga menyebabkan kemampuan indera penglihatan seseorang tidak dapat berfungsi dengan baik atau bahkan tidak dapat berfungsi sama sekali. Kaufman dan Hallahan mendefinisikan makna tunanetra sebagai individu yang memiliki lemah penglihatan kurang dari 6/60 setelah dikoreksi atau tidak lagi memiliki penglihatan. Karena keterbatasan penyandang tunanetra dalam hal penglihatan, maka dalam proses pembelajarannya lebih menekankan pada alat indera yang lain yaitu indera perabaan dan pendengaran. Oleh karena itu, prinsip yang harus diperhatikan dalam dalam memberikan pengajaran kepada individu tunanetra adalah media yang digunakan hendaknya bersifat faktual dan bersuara. Contohnya, tulisan Braille, gambar timbul dan model benda nyata. Sedangkan media bersuara dapat menggunakan tape recorder dan piranti lunak (software) JAWS.

(28)

commit to user

Melalui pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa yang termasuk dalam klasifikasi tunanetra adalah seseorang yang memiliki kemampuan penglihatan tidak seperti orang awas pada umumnya.

b. Tunarungu

Tunarungu adalah individu yang memiliki hambatan dalam pendengaran permanen maupun temporer (tidak permanen). Soemantri (1996) menyatakan bahwa “Tunarungu dapat diartikan sebagai suatu keadaan kehilangan pendengaran yang mengakibatkan seseorang tidak dapat menangkap berbagai rangsangan, terutama melalui indera pendengaran” (hlm. 74).

Menurut Dwidjosumarto (1990) “seseorang yang tidak atau kurang mampu mendengar suara dikatakan tunarungu”. Ketunarunguan dibedakan menjadi dua kategori, yaitu tuli (deaf) dan kurang dengar (hard of hearing). Tuli adalah mereka yang indera pendengarannya mengalami kerusakan dalam taraf berat sehingga pendengarannya tidak berfungsi lagi. Sedangkan kurang dengar adalah mereka yang indera pendengarannya mengalami kerusakan, tetapi masih dapat berfungsi untuk mendengar, baik dengan maupun tanpa menggunakan alat bantu dengar (hearing aid) (hlm. 1).

Tunarungu di klasifikasikan berdasarkan tingkat gangguan

pendengaran, Menurut Moores dalam Soemantri (1996) tentang Anak Tunarungu :

Orang tuli adalah seseorang yang kehilangan kemampuan mendengar pada tingkat 70 dB ISO atau lebih sehingga ia tidak mengerti pembicaraan orang lain melalui pendengarannya sendiri, tanpa atau menggunakan alat bantu mendengar. Orang kurang dengar adalah seseorang yang kehilangan kemampuan mendengar pada tingkat 35 dB sampai 69 dB ISO sehingga ia mengalami kesulitan untuk mengerti pembicaraan orang lain melalui pendengarannya sendiri, tanpa atau dengan alat bantu mendengar (hlm. 27).

Dengan adanya hambatan pendengaran pada individu tunarungu berakibat terjadinya hambatan dalam berbicara. Sehingga, tunarungu identik dengan tunawicara. Individu tunarungu menggunakan bahasa isyarat untuk berkomunikasi melalui abjad jari yang sudah dipatenkan secara internasional.

(29)

commit to user

Saat ini di SLB bagian B tengah mengembangkan metode komunikasi total, yaitu berkomunikasi dengan menggunakan bahasa verbal, bahasa isyarat dan bahasa tubuh.

c. Tunagrahita

Tunagrahita adalah individu yang memiliki tingkat kecerdasan di bawah rata – rata dan disertai dengan ketidakmampuan dalam adaptasi perilaku yang muncul siring masa tumbuh kembangnya. Menurut Soemantri (1996), anak tunagrahita merupakan kondisi anak yang kecerdasannya dibawah rata – rata, yang ditandai dengan keterbatasan intelegensi dan ketidakcakapan dalam interaksi social (hlm 38). Sedangkan menurut Munzayanah (2000), anak tunagrahita adalah anak yang mengalami hambatan dalam bidang intelektual serta seluruh kepribadiannya, sehingga mereka mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri dengan lingkungan sekitarnya (hlm. 13). Amin (1995) mengemukakan:

Anak Tunagrahita adalah mereka yang kecerdasannya berada di bawah rata- rata, disamping itu mereka mengalami keterbelakangan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan. Mereka kurang cakap dalam memikirkan hal-hal yang abstrak, yang sulit-sulit dan berbelit-belit. Mereka kurang atau terbelakang atau tidak berhasil bukan hanya dalam satu hal tetapi hampir dalam segala-galanya, lebih-lebih dalam pelajaran seperti : mengarang, menyimpulkan isi bacaan, menggunakan simbol-simbol, berhitung dan dalam semua pelajaran yang bersifat teoritis. Dan juga mereka kurang atau terhambat dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan (hlm. 11).

Somantri (2007), mengelompokkan tunagrahita berdasarkan tingkat intelegensinya yang diukur dengan tes Stanford Binet dan Skala Weschler, yaitu:

1) Anak tunagrahita Ringan

Disebut moron atau debil, yang memiliki IQ antara 68-52 (menurut Skala Binet) atau IQ antara 69-55 (menurut Skala Weschler), mereka masih dapat belajar membaca, menulis dan berhitung sederhana. Dengan bimbingan dan pendidikan yang baik, anak terbelakang mental ringan pada saatnya akan dapat memperoleh penghasilan untuk dirinya sendiri.

2) Anak tunagrahita sedang

Disebut imbesil , yang memiliki IQ antara 51-36(menurut Skala Binet) atau IQ antara 54-40 (menurut Skala Weschker). Anak terbelakang mental sedang bisa mencapai perkembangan Mental Age (MA) sampai kurang

(30)

commit to user

lebih 7 tahun. mereka masih dapat dididik mengurus dirinya sendiri, melindungi dirisendiri dari bahaya seperti berjalan di jalan raya, berlindung dari hujan,menghindari kebakaran dan sebagainya.

3) Tunagrahita berat

Disebut Idiot yang memilki IQ antara 32-20 (menurut Skala Binet) atau IQ antara 39-25 (menurut Skala Weschler). Mereka tidak dapat dididik mengurus dirinya sendiri, sehingga ia memerlukan bantuan total seperti mandi, berpakaian, makan, minum dan lain-laindan memerlukan perlindung dari bahaya seumur hidup. Apalagi anak tunagrahita sangat berat yang memilki IQ di bawah 19 (menurut Skala Binet) atau IQ di bawah 24 (menurut Skala Weschler), ia sangat memerlukan bantuan total seumur hidupnya (hlm. 106).

Menurut Efendi (2006) yang mengklasifikasikan anak tunagrahita untuk keperluan pendidikan yaitu:

“Idiot kecerdasannya sekalipun sudah berusia lanjut tidak lebih dari anak normal berusia 3 tahun. Imbisil kecerdasan maksimal tak lebih dari kecerdasan anak normal usia 7 tahun. Debil perkembangan kecerdasannya antara setengah hingga tiga perempat kecepatan anak normal atau pada usia dewasa kecerdasannya maksimal kira-kira sama dengan anak normal usia 12 tahun. Moron kecerdasan maksimal tak lebih dari kecerdasan anak normal usia 16 tahun” (hlm. 90).

Somantri (2007), mengelompokkan tunagrahita berdasarkan tingkat intelegensinya yang diukur dengan tes Stanford Binet dan Skala Weschler, yaitu:

1) Anak tunagrahita Ringan

Disebut moron atau debil, yang memiliki IQ antara 68-52 (menurut Skala Binet) atau IQ antara 69-55 (menurut Skala Weschler), mereka masih dapat belajar membaca, menulis dan berhitung sederhana. Dengan bimbingan dan pendidikan yang baik, anak terbelakang mental ringan pada saatnya akan dapat memperoleh penghasilan untuk dirinya sendiri.

2) Anak tunagrahita sedang

Disebut imbesil , yang memiliki IQ antara 51-36(menurut Skala Binet) atau IQ antara 54-40 (menurut Skala Weschker). Anak terbelakang mental sedang bisa mencapai perkembangan Mental Age (MA) sampai kurang lebih 7 tahun. mereka masih dapat dididik mengurus dirinya sendiri, melindungi dirisendiri dari bahaya seperti berjalan di jalan raya, berlindung dari hujan,menghindari kebakaran dan sebagainya.

3) Tunagrahita berat

Disebut Idiot yang memilki IQ antara 32-20 (menurut Skala Binet) atau IQ antara 39-25 (menurut Skala Weschler). Mereka tidak dapat dididik mengurus dirinya sendiri, sehingga ia memerlukan bantuan total seperti mandi, berpakaian, makan, minum dan lain-laindan memerlukan perlindung dari bahaya seumur hidup. Apalagi anak tunagrahita sangat

(31)

commit to user

berat yang memilki IQ di bawah 19 (menurut Skala Binet) atau IQ di bawah 24 (menurut Skala Weschler), ia sangat memerlukan bantuan total seumur hidupnya (hlm. 106).

Karena individu tunagrahita memiliki keterbatasan dalam kemampuan intelejensia dan perilaku sosialnya, maka pembelajaran bagi anak tunagrahita lebih dititikberatkan pada kemampuan bina diri dan sosialisasi.

d. Tunadaksa

Anak tunadaksa sering disebut dengan istilah anak cacat tubuh, cacat fisik, dan cacat ortopedi. Istilah tunadaksa berasal dari kata “tuna” yang berarti rugi atau kurang dan ”daksa” yang berarti tubuh. Tunadaksa adalah anak yang memiliki anggota tubuh tidak sempurna, sedangkan istilah cacat tubuh dan cacat fisik dimaksudkan untuk menyebut anak cacat pada anggota tubuhnya, bukan cacat indranya. Selanjutnya istilah cacat ortopedi terjemahan dari bahasa Inggris orthopedically handicapped. Orthopedic mempunyai arti yang berhubungan dengan otot, tulang, dan persendian. Dengan demikian, cacat ortopedi kelainannya terletak pada aspek otot, tulang dan persendian atau dapat juga merupakan akibat adanya kelainan yang terletak pada pusat pengatur sistem otot, tulang dan persendian. Menurut Somantri (2007) “tuna daksa adalah suatu keadaan rusak atau terganggu sebagai akibat gangguan bentuk atau hambatan pada tulang, otot dan sendi dalam fungsinya yang normal. Kondisi ini dapat disebabkan olah penyakit, kecelakaan, atau dapat juga disebabkan oleh pembawaan sejak lahir”(hlm.126).

Efendi (2006) juga menyatakan bahwa “anak tuna daksa adalah ketidakmampuan anggota tubuh untuk melaksanakan fungsinya disebabkan oleh berkurangnya kemampuan anggota tubuh untuk melaksanakan fungsi secara normal akibat luka, penyakit atau pertumbuhan yang tidak sempurna” (hlm.114).

Oleh karena itu pembelajaran bagi tunadaksa hendaknya disesuaikan dengan karakteristik mereka juga, dengan cara meminimalisir aktivitas pembelajaran yang menggunakan aktivitas motorik serta mengakomodasi dan menyesuaikan fasilitas sekolah dengan kebutuhan anak tunadaksa sendiri.

(32)

commit to user

e. Tunalaras

Banyak istilah yang berbeda-beda digunakan untuk menggambarkan anak-anak yang mempunyai masalah berat dalam hubungan sosial, interpersonal dan intrapersonal (seperti berfikir, berperasaan, bersikap). Belum ada definisi yang dapat diterima secara umum tentang anak-anak yang mengalami gangguan emosional dan gangguan perilaku. Banyak ahli atau kelompok-kelompok profesi yang menangani anak-anak semacam ini merasa bebas untuk menyusun berbagai macam definisi berdasarkan maksud-maksud profesinya. Ada beberapa alasan mengapa belum ada definisi yang jelas tentang kelainan perilaku tersebut. Pertama, adanya masalah tentang alat ukur yang dapat digunakan. Kedua, belum ada kesepakatan yang jelas tentang bagaimana keadaan kesehatan mental yang baik. Ketiga, berbagai macam teori yang berbeda-beda tentang gangguan emosional dalam terminologi dan definisi mereka.

Berdasarkan masalah-masalah diatas telah banyak usaha untuk menyusun definisi gangguan emosional tersebut. Anak tuna laras adalah anak yang mengalami hambatan emosi dan tingkah laku sehingga kurang dapat atau mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungannya dan hal ini akan mengganggu situasi belajarnya (Somantri, 2007). Pokok kajian dalam bahasan ini adalah anak yang mengalami gangguan tingkah laku yang memerlukan layanan pendidikan luar biasa. Dalam dunia pendidikan luar biasa, anak yang mengalami masalah tingkah laku disebut anak tunalaras yang di dalamnya mencakup anak yang mengalami gangguan emosi (emosional disturbance) dan anak dengan gangguan perilaku (behavioral disorder).

Tunalaras adalah individu yang mengalami hambatan dalam mengendalikan emosi dan kontrol sosial. Definisi anak tuna laras atau emotionally handicapped atau behavioral disorder lebih terarah berdasarkan definisi dari (Bower, 1981) yang menyatakan bahwa anak dengan hambatan emosional atau kelainan perilaku, apabila menujukkan adanya satu atau lebih dari lima komponen berikut ini: tidak mampu belajar bukan disebabkan karena

(33)

commit to user

faktor intelektual, sensori atau kesehatan; tidak mampu untuk melakukan hubungan baik dengan teman-teman dan guru-guru; bertingkah laku atau berperasaan tidak pada tempatnya; secara umum mereka selalu dalam keadaan tidak gembira atau depresi; dan bertendensi ke arah simptom fisik seperti merasa sakit atau ketakutan yang berkaitan dengan orang atau permasalahan di sekolah (Delphie, 2006). Individu tunalaras biasanya menunjukan perilaku menyimpang yang tidak sesuai dengan norma dan aturan yang berlaku di sekitarnya.

Dengan segala keterbatasan yang dimiliki oleh anak tunalaras dalam hal mengendalikan emosi dan kontrol sosialnya, secara tidak langsung akan berimbas pada kemampuan anak dalam menerima pelajaran. Oleh karena itu anak tunalaras termasuk dalam kelompok anak yang memerlukan layanan khusus dalam hal pendidikannya.

6. Tinjauan Tentang Pendidikan Inklusi a. Pengertian Pendidikan Inklusi

Pendidikan inklusi adalah termasuk hal yang baru di Indonesia. Ada beberapa pengertian mengenai pendidikan inklusi, diantaranya pendidikan inklusi merupakan sebuah pendekatan yang berusaha mentransformasi sistem pendidikan dengan meniadakan hambatan-hambatan yang dapat menghalangi setiap siswa untuk berpartisipasi penuh dalam pendidikan. Hambatan yang ada bisa terkait dengan masalah etnik, gender, status sosial, kemiskinan dan lain-lain. Dengan kata lain pendidikan inklusi adalah layanan pendidikan anak berkebutuhan khusus yang dididik bersama-sama anak lainnya (normal) untuk memaksimalkan potensinya. Sekolah inklusi adalah sekolah reguler yang mengkoordinasi dan mengintegrasikan siswa reguler dan siswa penyandang cacat dalam program yang sama, dari satu jalan untuk menyiapkan pendidikan bagi anak penyandang cacat adalah pentingnya pendidikan inklusi. Tidak hanya memenuhi target pendidikan dasar, akan tetapi lebih banyak keuntungannya tidak hanya memenuhi hak-hak asasi manusia dan hak-hak anak berkebutuhan khusus tetapi lebih penting lagi bagi kesejahteraan anak, karena pendidikan inklusi mulai dengan merealisasikan

(34)

commit to user

perubahan keyakinan masyarakat yang terkandung di mana akan menjadi bagian dari keseluruhan. Dengan demikian anak berkebutuhan khusus merasa tenang, percaya diri, merasa dihargai, dilindungi, disayangi, bahagia dan bertanggung jawab. Pendidikan inklusi terjadi pada semua lingkungan sosial anak, Pada keluarga, pada kelompok teman sebaya, pada sekolah, pada institusi-institusi kemasyarakatan lainnya. Sebuah masyarakat yang melaksanakan pendidikan inklusi berkeyakinan bahwa hidup dan belajar bersama adalah cara hidup yang terbaik, yang menguntungkan semua orang, karena tipe pendidikan ini dapat menerima dan merespon setiap kebutuhan individual anak.

Sri Widati, dkk (2010) menyatakan bahwa penyelenggaraan pendidikan inklusif dapat memberikan kesempatan akses yang seluas – luasnya bagi seluruh anak berkebutuhan khusus untuk memperoleh pendidikan sesuai dengan kebutuhan mereka tanpa diskriminasi. Dengan diterapkannya pendidikan inklusif memungkinkan anak berkebutuhan khusus bersekolah di sekolah manapun sesuai dengan keinginannya (hlm. 194).

Baihaqi dan Sugiarmin (2006) menyatakan bahwa hakikat inklusif adalah mengenai hak setiap siswa atas perkembangan individu, sosial, dan intelektual. Para siswa harus diberi kesempatan untuk mencapai potensi mereka. Untuk mencapai potensi tersebut, sistem pendidikan harus dirancang dengan memperhitungkan perbedaan-perbedaan yang ada pada diri siswa. Bagi mereka yang memiliki ketidakmampuan khusus dan/atau memiliki kebutuhan belajar yang luar biasa harus mempunyai akses terhadap pendidikan yang bermutu tinggi dan tepat. Dengan demikian, jika dipakai pengertian di atas, dengan pendidikan inklusif, semua anak berkebutuhan pendidikan khusus harus belajar di kelas yang sama dengan teman – teman sebayanya (hlm. 75). Hal ini sejalan dengan Praptiningrum (2010) yang menyatakan bahwa pendidikan inklusi merupakan suatu system layanan pendidikan khusus yang mensyaratkan agar semua ABK dilayani di sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman – teman seusisanya.

Hallahan (2009) mengemukakan pengertian pendidikan inklusif sebagai pendidikan yang menempatkan semua peserta didik berkebutuhan khusus dalam sekolah reguler sepanjang hari. Dalam pendidikan seperti ini, guru memiliki

(35)

commit to user

tanggung jawab penuh terhadap peserta didik berkebutuhan khusus tersebut (hlm. 53). Pengertian ini memberikan pemahaman bahwa pendidikan inklusif menyamakan anak berkebutuhan khusus dengan anak normal lainnya. Untuk itulah, guru memiliki tanggung jawab penuh terhadap proses pelaksanaan pembelajaran di kelas. Dengan demikian guru harus memiliki kemampuan dalam menghadapi banyaknya perbedaan dan keragaman karakteristik peserta didik. Senada dengan pengertian yang disampaikan Hallahan, dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 70 Tahun 2009 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.

Pengertian pendidikan dalam Permendiknas di atas memberikan penjelasan secara lebih rinci mengenai siapa saja yang dapat dimasukkan dalam pendidikan inklusif. Perincian yang diberikan pemerintah ini dapat dipahami sebagai bentuk kebijakan yang sudah disesuaikan dengan kondisi Indonesia, sehingga pemerintah memandang perlu memberikan kesempatan yang sama kepada semua peserta didik dari yang normal, memilik kelainan, dan memiliki kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan. Dengan demikian pemerintah mulai mengubah model pendidikan yang selama ini memisah-misahkan peserta didik normal ke dalam sekolah reguler, peserta didik dengan kecerdasan luar biasa dan bakat istimewa ke dalam sekolah (baca: kelas) akselerasi, dan peserta didik dengan kelainan ke dalam Sekolah Luar Biasa (SLB). Rumusan mengenai pendidikan inklusif yang disusun oleh Direktorat Pendidikan Sekolah Luar Biasa (PSLB) Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Mandikdasmen) Kementrian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) mengenai pendidikan inklusif menyebutkan bahwa pendidikan inklusif adalah sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan anak berkebutuhan khusus belajar di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama-sama teman seusianya. Sekolah penyelenggara pendidikan inklusif adalah sekolah yang menampung

(36)

commit to user

semua murid di sekolah yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak dan menantang, tetapi disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan setiap murid maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru agar anak-anak berhasil (“ Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif ” hlm. 4).

b. Landasan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi

Landasan yang digunakan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif di Indonesia yaitu landasan filosofis, landasan yuridis, dan landasan empiris. Secara terperinci, landasan-landasan tersebut dijelaskan sebagai berikut:

1. Landasan Filosofis

Secara filosofis, penyelenggaraan pendidikan inklusif dapat dijelaskan sebagai berikut: Bangsa Indonesia adalah bangsa yang berbudaya dengan lambang negara Burung Garuda yang berarti Bhinneka Tunggal Ika. Keragaman dalam etnik, dialek, adat istiadat, keyakinan, tradisi dan budaya merupakan kekayaan bangsa yang tetap menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)

2. Landasan Yuridis

Secara yuridis, pendidikan inklusif dilaksanakan berdasarkan atas:

1) UUD 1945

2) UU Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat

3) UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

4) UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

5) UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional

6) Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan

7) Surat Edaran Dirjen Dikdasmen No. 380/C.C6/MN/2003 Tanggal 20

(37)

commit to user

mengembangkan di setiap Kabupaten/Kota sekurang-kurangnya 4 (empat) sekolah yang terdiri dari SD, SMP, SMA, dan SMK.

8) Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70 tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa 3. Landasan Empiris

1) Landasan empiris yang dipakai dalam pelaksanaan pendidikan inklusif yaitu:

1) Deklarasi Hak Asasi Manusia 1948 (Declaration of Human Rights) 2) Konvensi Hak Anak 1989 (Convention of The Rights of Children) 3) Konferensi Dunia Tentang Pendidikan untuk Semua 1990 (World

Conference on Education for All)

4) Resolusi PBB nomor 48/96 Tahun 1993 Tentang Persamaan

Kesempatan Bagi Orang Berkelainan (the standard rules on the equalization of opportunitites for person with dissabilities)

5) Pernyataan Salamanca Tentang Pendidikan Inklusi 1994

(Salamanca Statement on Inclusive Education)

6) Komitmen Dakar mengenai Pendidikan Untuk Semua 2000 (The Dakar Commitment on Education for All)

7) Deklarasi Bandung 2004 dengan komitmen “Indonesia Menuju Pendidikan Inklusif”

c. Sarana Prasarana dan Komponen Pendidikan Inklusi

Menurut direktorat manajemen pendidikan dasar dan menengah No. 9. Th.II/2008, terdapat berbagai perbedaan dalam konsep dan model pendididikan inklusi dengan pendidikan noninklusi, oleh karena itu komponen dan syarat yang harus dipenuhi suatu sekolah untuk menyelenggarakan pendidikan inklusi juga berbeda dengan sekolah regular noninklusi. Komponen pendidikan yang perlu dikelola dalam penyelenggaraan suatu sekolah inklusi, antara lain: manajemen kesiswaan, manajemen kurikulum, manajemen tenaga kependidikan, manajemen sarana dan prasarana, manajemen keuangan/dana, manajemen lingkungan (hubungan sekolah dan masyarakat), manajemen layanan Khusus (hlm. 6–9).

(38)

commit to user

Manajemen kesiswaan merupakan salah satu komponen pendidikan inklusi yang perlu mendapat perhatian dan pengelolaan lebih. Hal ini dikarenakan kondisi peserta didik pada pendidikan inklusi yang lebih majemuk daripada kondisi peserta didik pada pendidikan reguler. Tujuan dari manajemen kesiswaan ini tidak lain agar kegiatan belajar mengajar di sekolah dapat berjalan lancar, tertib, dan teratur, serta mencapai tujuan yang diinginkan.

Pendidikan inklusi masih menggunakan kurikulum standar nasional yang telah ditetapkan pemerintah. Namun dalam pelaksanaan di lapangan, kurikulum pada pendidikan inklusi disesuaikan dengan kemampuan dan karakteristik peserta didik. Berdasarkan Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 pasal 7, Pemerintah menyatakan bahwa kurikulum yang dipakai satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusi adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang mengakomodasi kebutuhan dan kemampuan peserta didik sesuai dengan bakat, minat dan potensinya. Menurut direktorat manajemen pendidikan dasar dan menengah No. 9. Th.II/2008, berikut ini adalah model kurikulum yang digunakan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi :

1. Model kurikulum reguler

2. Model kurikulum reguler dengan modifikasi

3. Model kurikulum Program Pembelajaran Individual (PPI) (hlm. 19).

Model kurikulum reguler, yaitu kurikulum yang mengikutsertakan peserta didik berkebutuhan khusus untuk mengikuti kurikulum reguler sama seperti kawan-kawan lainnya di dalam kelas yang sama. Model kurikulum reguler dengan modifikasi, yaitu kurikulum yang dimodifikasi oleh guru pada strategi pembelajaran, jenis penilaian, maupun pada program tambahan lainnya dengan tetap mengacu pada kebutuhan peserta didik berkebutuhan khusus. Di dalam model ini bisa terdapat siswa berkebutuhan khusus yang memiliki PPI. Model kurikulum PPI yaitu kurikulum yang dipersiapkan guru program PPI yang dikembangkan bersama tim pengembang yang melibatkan guru kelas, guru pendidikan khusus, kepala sekolah, orang tua, dan tenaga ahli lain yang terkait.

Kurikulum PPI atau dalam bahasa Inggris Individualized Education Program (IEP) merupakan karakteristik paling kentara dari pendidikan inklusi.

(39)

commit to user

Konsep pendidikan inklusi yang berprinsip adanya persamaan mensyaratkan adanya penyesuaian model pembelajaran yang tanggap terhadap perbedaan individu. Maka PPI atau IEP menjadi hal yang perlu mendapat penekanan lebih. Stephens (1982) menyatakan bahwa “IEP merupakan pengelolaan yang melayani kebutuhan unik peserta didik dan merupakan layanan yang disediakan dalam rangka pencapaian tujuan yang diinginkan serta bagaimana efektivitas program tersebut akan ditentukan” (hlm. 27).

Manajemen sarana dan prasarana sekolah bertugas merencanakan,

mengorganisasikan, mengarahkan, mengkordinasikan, mengawasi, dan

mengevaluasi kebutuhan dan penggunaan sarana dan prasarana agar dapat memberikan sumbangan secara optimal pada kegiatan belajar mengajar khususnya bagi anak berkebutuhan khusus. Adapun sarana dan prasarana yang wajib dipenuhi oleh suatu sekolah inklusi antara lain :

1. Kepala Sekolah

Kepala sekolah bertugas sebagai manajer, administrator, edukator, dan supervisor.

2. Wakil Kepala Sekolah

Tugas Wakil Kepala sekolah adalah membantu tugas kepala sekolah, dan dalam hal tertentu mewakili kepala sekolah baik di dalam maupun ke luar, bila kepala sekolah berhalangan.

3. Tata Usaha

Ruang lingkup tugas Tata Usaha adalah membantu kepala sekolah dalam menangani pengaturan: administrasi kepesertadidikan administrasi kurikulum administrasi ketenagaan administrasi sarana-prasarana administrasi keuangan

administrasi hubungan dengan masyarakat administrasi kegiatan pembelajaran

(40)

commit to user 4. Guru Pembimbing Khusus (GPK)

Guru Pembimbing Khusus adalah guru yang berkualifikasi sarjana (S1) pendidikan luar biasa (ortopedagog) yang memiliki tugas dan fungsi sebagai pendamping, dan bekerja sama dengan guru kelas atau guru bidang studi dalam memberikan assesment, menyusun program pengajaran individual. Disamping itu, GPK bertugas memberikan layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus pada sekolah inklusif.

5. Guru Kelas

Guru kelas adalah guru yang mengikuti kelas pada satuan pendidikan sekolah dasar atau yang sederajat, yang bertugas melaksanakan pembelajaran seluruh mata pelajaran pada satuan pendidikan tersebut, kecuali pendidikan agama dan olahraga.

6. Guru Mata Pelajaran

Guru mata pelajaran adalah guru yang bertanggung jawab melaksanakan pembelajaran untuk mata pelajaran tertentu pada satuan pendidikan sekolah dasar dan yang sederajat.

7. Tenaga Ahli

Tenaga ahli pada sekolah inklusif adalah tenaga professional pada disiplin ilmu tertentu yang relevan dengan kebutuhan pembelajaran pada sekolah inklusif. Tenaga ahli tersebut antara lain pedagog, psikolog, psikiater, dokter spesial, serta rohaniwan.

Pihak sekolah hendaknya menyesuaikan sekolah mereka dengan kebutuhan dari anak berkebutuhan khusus yang berada di sekolah seperti tulisan braile pada pegangan pintu bagi siswa tunanetra untuk mengetahui ruang apa yang hendak dimasukinya tersebut, untuk siswa tunarungu dapat berupa running text yang dipampang di sekolah untuk memudahkan siswa tunarungu untuk mengetahui informasi yang ada. Bagi siswa tunagrahita dapat diwujudkan dengan menghindari adanya sudut lancip pada sudut banguna agar tidak membahayahkan siswa.

(41)

commit to user

Dalam pendidikan inklusi terdapat komponen manajemen layanan khusus. Manajemen layanan khusus ini mencakup manajemen kesiswaan, kurikulum, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pendanaan dan lingkungan. Kepala sekolah dapat menunjuk stafnya, terutama yang memiliki dasar pendidikan PLB, untuk melaksanakan manajemen layanan khusus ini.

d.Model Pendidikan Inklusi

Pendidikan inklusi atau juga sering disebut pendidikan inklusif merupakan perkembangan baru dari pendidikan terpadu. Pada sekolah inklusi setiap anak sesuai dengan kebutuhan khususnya, semua diusahakan dapat dilayani secara optimal dengan melakukan berbagai modifikasi dan atau penyesuaian, mulai dari kurikulum, sarana-prasarana, tenaga pendidik dan kependidikan, sistem pembelajaran sampai pada sistem penilaiannya. Pendidikan inklusi mensyaratkan pihak sekolah yang harus menyesuaikan dengan tuntutan kebutuhan individu peserta didik, bukan peserta didik yang menyesuaikan dengan sistem persekolahan. Menurut Lindgren (1967) Pandangan mengenai pendidikan yang harus menyesuaikan dengan kondisi peserta didik ini sangat terkait dengan adanya perbedaan yang terdapat dalam diri peserta didik. Pandangan lama yang menyatakan bahwa peserta didiklah yang harus menyesuaikan dengan pendidikan dan proses pembelajaran di kelas lambat laun harus berubah (hlm. 503-504).

Menurut Reid (2005) istilah inklusif berimplikasi pada adanya kebutuhan yang harus dipenuhi bagi semua anak dalam sekolah. Hal ini menyebabkan adanya penyesuaian –penyesuaian yang harus dilakukan oleh guru dalam proses pembelajaran. Penyesuaian pendidikan (adaptive education) dilaksanakan dengan menyediakan pengalaman-pengalaman belajar guna membantu masing-masing peserta didik dalam meraih tujuan-tujuan pendidikan yang dikehendakinya (hlm. 85). Sedangkan menurut Morisson (2009) Penyesuaian pendidikan dapat berlangsung tatkala lingkungan pembelajaran sekolah dimodifikasi untuk merespon perbedaan-perbedaan peserta didik secara efektif dan mengembangkan kemampuan peserta didik agar dapat bertahan dalam lingkungan tersebut (hlm. 462).

(42)

commit to user

Dengan melihat adanya penyesuaian terhadap kebutuhan peserta didik yang berbeda-beda, maka dalam setting pendidikan inklusif model pendidikan yang dilaksanakan memiliki model yang berbeda dengan model pendidikan yang lazim dilaksanakan di sekolah-sekolah reguler.

Pendidikan inklusi pada dasarnya memiliki dua model. Pertama yaitu model inklusi penuh (full inclusion). Model ini menyertakan peserta didik berkebutuhan khusus untuk menerima pembelajaran individual dalam kelas reguler. Kedua yaitu model inklusif parsial (partial inclusion). Model parsial ini

mengikutsertakan peserta didik berkebutuhan khusus dalam sebagian

pembelajaran yang berlangsung di kelas reguler dan sebagian lagi dalam kelas-kelas pull out dengan bantuan guru pendamping khusus. Model lain misalnya dikemukakan oleh Brent dan Maria (2004) model pendidikan inklusif yang mereka sebut inklusif terbalik (reverse inclusive). Dalam model ini, peserta didik normal dimasukkan ke dalam kelas yang berisi peserta didik berkebutuhan khusus. Model ini berkebalikan dengan model yang pada umumnya memasukkan peserta didik berkebutuhan khusus ke dalam kelas yang berisi peserta didik normal (hlm. 46-48). Dengan pengandaian demikian seolah sekolah untuk anak berkebutuhan khusus secara kuantitas lebih banyak dari sekolah untuk peserta didik normal, atau bisa juga tidak. Model pendidikan inklusif seperti apapun tampaknya tidak menjadi persoalan berarti sepanjang mengacu kepada konsep dasar pendidikan inklusif.

Berdasarkan Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif, Model pendidikan inklusif yang diselenggarakan pemerintah Indonesia yaitu model pendidikan inklusif moderat. Pendidikan inklusif moderat yang dimaksud yaitu:

1. Pendidikan inklusif yang memadukan antara terpadu dan inklusi penuh 2. Model moderat ini dikenal dengan model mainstreaming (hlm. 6-9).

Menurut Schulz (1991), model pendidikan mainstreaming merupakan model yang memadukan antara pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus (Sekolah Luar Biasa) dengan pendidikan reguler. Peserta didik berkebutuhan khusus digabungkan ke dalam kelas reguler hanya untuk beberapa waktu saja (hlm. 20-21). Filosofinya tetap pendidikan inklusif, tetapi dalam praktiknya anak

(43)

commit to user

berkebutuhan khusus disediakan berbagai alternatif layanan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya. Dalam pelayanannya menurut Agustyawati dan Solicha (2009) Anak berkebutuhan khusus dapat berpindah dari satu bentuk layanan ke bentuk layanan yang lain, seperti:

1) Bentuk kelas reguler penuh

Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) sepanjang hari di kelas reguler dengan menggunakan kurikulum yang sama.

2) Bentuk kelas reguler dengan cluster

Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler dalam kelompok khusus.

3) Bentuk kelas reguler dengan pull out

Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler namun dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar dengan guru pembimbing khusus.

4) Bentuk kelas reguler dengan cluster dan pull out

Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler dalam kelompok khusus, dan dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar bersama dengan guru pembimbing khusus.

5) Bentuk kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian

Anak berkelainan belajar di kelas khusus pada sekolah reguler, namun dalam bidang-bidang tertentu dapat belajar bersama anak lain (normal) di kelas regular

6) Bentuk kelas khusus penuh di sekolah regular

Anak berkelainan belajar di dalam kelas khusus pada sekolah regular (hlm. 100).

Dengan demikian, pendidikan inklusif seperti pada model di atas tidak mengharuskan semua anak berkelainan berada di kelas reguler setiap saat dengan semua mata pelajarannya (inklusi penuh). Hal ini dikarenakan sebagian anak berkelainan dapat berada di kelas khusus atau ruang terapi dengan gradasi kelainannya yang cukup berat. Bahkan bagi anak berkelainan yang gradasi kelainannya berat, mungkin akan lebih banyak waktunya berada di kelas khusus pada sekolah reguler (inklusi lokasi). Kemudian, bagi yang gradasi kelainannya sangat berat, dan tidak memungkinkan di sekolah reguler (sekolah biasa), dapat disalurkan ke sekolah luar biasa (SLB) atau tempat khusus (rumah sakit).

(44)

commit to user

B. Kerangka Berpikir

Kerangka pemikiran merupakan alur penalaran yang didasarkan oleh tema dan masalah dalam penelitian. Kerangka pemikiran dari penelitian ini adalah:

Bagan 2.1 Kerangka berpikir

C. Hipotesis

Berdasarkan permasalahan dan kerangka pemikiran di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis yang merupakan jawaban sementara dari permasalahan itu. Hipotesis yang dapat penulis kemukakan yaitu: terdapat banyak faktor – faktor penghambat dan pendukung yang mempengaruhi penyelenggaraan pendidikan inklusi khususnya dalam aksesibilitas bagi anak berkebutuhan khusus di sekolah dasar inklusi di Kabupaten Sragen Tahun 2012.

Sekolah Dasar Inklusi Aksesibilitas

Bagi ABK

Faktor Penghambat

Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi

Indikator Output: 1. Kemudahan 2. Kegunaan 3. Keselamatan 4. kemandirian Faktor Pendukung Penyelenggaraan

Pendidikan Inklusi

Gambar

Tabel 3.2 Koefisien reliabilitas dari Strand, B.N dan Wuilson R (hlm. 11)
Tabel 4.3 Daftar nama responden guru
Tabel 4.5 Skor skala penilaian

Referensi

Dokumen terkait

Menunjuk nama yang tersebut dalam lampiran surat keputusan ini sebagai dosen pengasuh mata kuliah pada Program Sarjanq Magister, dan Doktor di Fakultas Teknik

Sebagai contoh di desa Campa, meskipun dari hasil wawancara diketahui bahwa saat ini masyarakat desa sudah tidak melakukan perluasan areal kerja (perambahan)

Non Aplicable PT Sateri Viscose International belum melakukan kegiatan penerimaan bahan baku, kegiatan produksi termasuk penjualan (lokal maupun ekspor)1. Bill of

[r]

Akan tetapi, jika terdapat iga yang mengalami patah tulang pada dua tempat atau lebih, suatu segmen dinding dada akan terlepas dari kesatuannya yang sering

Seluruh data dari hasil pengamatan yang dikaitkan dengan Cobit khususnya pada 4 proses DS, maka usulan perbaikan TI dapat diberikan sesuai model standar Cobit.. Hasil

[r]

Kemahiran generik adalah juga sangat berguna untuk graduan universiti yang berpadanan dengan set kemahiran generik yang diperlukan dalam dunia pekerjaan (Kwok