BAB IV PEMBAHASAN
4.2 Hasil Penelitian Alur, Karakter, dan Tema Naskah Drama “Padang Bulan”
4.2.1 Hasil Analisis Alur
Alur merupakan rangka dalam sebuah cerita yang berlangsung
dalam urutan waktu dan dalam hubungan sebab-akibat. Alur sebagai rangka
dalam tubuh manusia. Peristiwa yang diurutkan itu membangun tulang
punggung cerita. Demikian pula di sini bisa dikatakan bahwa alur
merupakan kerangka sebuah cerita. Alur adalah rekayasa pencerita yang
menandai sebuah fiksi, bukan peristiwa nyata. Selain itu, Alur adalah jalinan
peristiwa yang disusun berdasarkan hukum kausal sebab akibat. Hal-hal
yang terjadi di atas panggung memiliki hukuman sebab akibat agar persitiwa
di atas panggung memiliki kejelasan mendalam.
Berdasarkan tahapan alur pada naskah drama “Padang Bulan” akan
dibagi menjadi empat tahapan eksposisi, konflik, klimaks, dan penyelesaian.
Pembagian ini berdasarkan ide konstruksi Aristoteles (dalam buku
Dewojati, 2010:164) yang membagi alur drama terdiri atas exposition
(perkenalan), conflict (permasalahan), climax (puncak permasalah), dan
denouement (penyelesaian). 4.2.1.1 Eksposisi
Eksposisi ialah awal permainan yang memperkenalkan karakter
dengan situasi masa lalu dan masa kini. Situasi yang terdapat dalam
tokoh. Eksposisi memperkenalkan para tokoh beserta peristiwa yang dialami
dalam naskah. Selain memeperkenalkan peristiwa yang dialami para tokoh,
di dalam eksposisi juga diselip oleh butir-bitur yang membuat para pembaca
menjadi penasaran akan kelanjutan cerita yang dibaca. Pada awal cerita
biasanya peristiwa yang terjadi masih terlihat harmonis dan damai, namun
juga bisa menjadi pengantar menuju konflik yang akan dialami para tokoh.
Eksposisi bermula pada adegan pertama berlatar tempat pekarangan
depan rumah Aki dan Nini pada malam hari saat bulan purnama muncul.
Tokoh utama Bulan muncul pertama kali kemudian memanggil
teman-temannya untuk bermain di pekarangan depan rumah Aki dan Nini. Teman
Bulan yang pertama muncul ialah Padang kemudian Jembar dan terakhir
Kalangan yang muncul ingin mengagetkan mereka. Dapat dibuktikan
dengan kutipan dialog seperti berikut :
1. BULAN
“Hoooiii …Teman-temaaan …! Padaaang …! Jembaaar …! Kalangan…! Ayo kumpuuul … ! Malam bulan purnama betapa indahnya …! Jangan di rumah saja …! Mari kemari …! Bermain bersama di sini …!”
DARI BELAKANG PANGGUNG BERSAMA-SAMA.
2. KOOR
“Aduhaaai …Betapa …! Bulan purnama…Ooo indahnya …!” PADANG MASUK.
3. PADANG
“Mana yang lain ?”
4. BULAN, PADANG
5. BULAN
“Kamu tak bersama kalangan, Jembar ?”
6. JEMBAR
“Tidak.”
7. BULAN, PADANG, JEMBAR
“Kalangaaan …!”
KALANGAN MASUK DENGAN DIAM-DIAM LANTAS BERTERIAK MENGAGETKAN TEMAN-TEMAN.
8. KALANGAN
“HEI !!!”
9. BULAN, PADANG, JEMBAR
“Ora kageeet …Weee !” SEMUANYA TERTAWA.
10. PADANG
“Nah, main apa kita sekarang ? Kejar-kejaran? Betengan? Gaprakan ? Tebak-tebakan?”
11. JEMBAR
“Tebak-tebakan saja deh.”
12. KALANGAN
“Ya, setuju. Tebak-tebakan.”
13. PADANG
“Yang tak bisa menebak, apa hukumnya?”
14. BULAN
“Mmm … Di suruh menari saja.”
15. JEMBAR
“Usul. Bagaimana kalau menirukan gerak binatang.”
16. KALANGAN
“Menirukan gerak binatang dengan tarian?”
17. PADANG, BULAN, JEMBAR
“Ya ya ya …”
18. KALANGAN
19. PADANG, BULAN, JEMBAR
“Setujuuu …”
MEREKA DUDUK MELINGKAR (SETENGAH LINGKARAN MENGHADAP PENONTON). CARA BERMAIN ANAK-ANAK MENGEJA HURUF BERGILIRAN DAN URUT SEIRING DENGAN MUSIK. SAAT MUSIK BERHENTI PADA ANAK TERTENTU, IA MENYEBUTKAN NAMA SESUATU YANG DIJADIKAN TEBAKAN SESUAI HURUF TERAKHIR YANG DIEJANYA.
MUSIK – LAGU TEMA PADANG BULAN.
20. BULAN
“Nama apa? Buah ya?”
21. PADANG, JEMBAR, KALANGAN
“Ya, buah …” Musik. 22. (URUT) “A, B, C, D, E, F …” 23. JEMBAR (Gelagapan) “G …” 24. BERSAMA (Bersahutan)
“Haa …Jembar berdiri Ayo …Ayo …” JEMBAR BERDIRI.
KOOR LAGU ‘ MENTHOG-MENTOG’ TAPI DENGAN KATA ‘MENTHOG’ DIGANTI NAMA BINATANG LAIN DAN GERAKANNYA HARUS DITIRUKAN YANG KENA HUKUMAN. LANTAS PERMAINAN MULAI LAGI SAMPAI BEBERAPA KALI (FLEKSIBEL) (Hal4)
Kemudian setelah mereka berkumpul untuk bermain bersama,
berlanjut ke adegan dua saat Aki dan Nini keluar rumah sambil membawa
klenyem untuk disantap bersama. Bulan, Padang, Jembar, dan Kalangan
kemudian menghampiri Aki dan Nini untuk mendapatkan klenyem anget
dengan salin berebutan. Aki dan Nini yang melihat kejadian tersebut
seperti berikut :
AKI-NINI KELUAR RUMAH (MASUK
PANGGUNG), BERDIRI DITERAS MEMANGGIL ANAK-ANAK.
25. NINI
“Hei cucu-cucuku! Istirahat dulu. Ini ada klenyem anget bikinan Simah. Ayo. Semua ke sini …”
26. AKI
“Iyo. Bulan, Padang, Jembar, Kalangan …Yo nganggo leren barang podho mreneo Nang bagus, Nok ayu …”
27. KOOR
“Haa … Klenyem … Woooow … keren …”
ANAK-ANAK BERENTENGAN KE TERAS, PADA DUDUK MENGGELESOT. NINI MELETAKKAN PIRING BERISI KLENYEM.
28. AKI
“Ingat … Tidak usah re …?”
29. KOOR
“Butaaan …”
30. AKI
“Yang ada dibagi me …?”
31. KOOR
“Rataaa …”
32. NINI
“Maka tak ada yang tak keba …?”
33. KOOR
“Giaaan …”
34. AKI
“Sebab tak ada kesera …?”
35. KOOR
36. BULAN
“Inilah saudara-saudara tercinta, para penonton sekalian, indahnya…”
37. KOOR
“Kebersamaaan ….”
38. AKI-NINI
“Wis … Wis …”
ANAK-ANAK MENIKMATI KLENYEM BERSAMA-SAMA.
(hal 5-hal 6)
Setelah adegan di atas terdapat kutipan dialog Padang yang menjadi
pengantar menuju konflik “Ayo Simbah … Seperti biasanya …” . kemudian
Aki mencritakan dongeng istimewa dalam rangka memperingati wetonnya
Nini. Aki mengisahkan tentang anak bernama Lugu yang penasaran akan
kota karena mendengar banyak cerita dari orang-orang mengenai kemajuan
dan berbagai macam hal lainnya.
4.2.1.2 Konflik
Konflik merupakan masalah-masalah yang muncul dalam
pementasan yang dialami oleh tokoh. Permasalah tersebut yang kemudian
membawa penonton menuju pemahaman cerita yang dialami oleh tokoh.
Seperti yang sudah dijelaskan bahwa konflik diawali dengan permintaan
Padang yang tertera pada kutipan dialognya “Ayo Simbah … Seperti biasanya …”, kemudian Aki menceritakan sebuah kisah mengenai seorang anak bernama Lugu. Lugu adalah seorang anak desa yang mendengar cerita
mengenai kota dan penasaran terhadap kota yang diceritakan banyak orang
besar hingga akhirnya lugu memutuskan untuk pergi ke kota. Namun
sesampainya di kota, Lugu malah dianggap gembel karena penampilannya
yang lusuh. Dengan bukti kutipan dialog sebagai berikut:
39. PADANG
“Ayo Simbah … Seperti biasanya …”
40. JEMBAR
“Iya … Cerita.”
41. KALANGAN
“Biar tambah nikmat klenyemnya.”
NINI MASUK RUMAH (KELUAR PANGGUNG).
42. AKI
“Ya ya ya … Untuk purnama kali ini Simbah sudah menyiapkan sebuah dongeng istimewa. Sebab apa ? Sebab hari ini tepat weton-nya Nini.”
43. KOOR
“Ooo …”
AKI MASUK RUMAH (KELUAR PANGGUNG) DAN KELUAR LAGI MEMBAWA SEBUAH BUKU
TEBAL, DUDUK DI KURSI / LINCAK,
MEMBERSIHKAN DEBU PADA BUKU DAN MEMBUKANYA. 44. AKI “Nah, dengarkan ya … Dulu cucu-cucuku …” MUSIK LATAR. 45. AKI
“Di sebuah desa tersebutlah seorang pemuda bernama Lugu …” LAMPU MATI.
AKI DAN ANAK-ANAK KELUAR PANGGUNG.
PERGANTIAN ‘ SETTING’. LAMPU HIDUP.
LUGU MASUK PANGGUNG. NARASI AKI DARI
LUAR PANGGUNG. LUGU
MEMPERAGAKAN CERITA AKI.
46. AKI
“Syahdan di sebuah desa, tersebutlah seorang anak bernama Lugu. Ia mendengar cerita-cerita bahwa di kota alangkah majunya. Apa-apa ada, tak seperti desanya. Maka di suatu siang yang sunyi, nyeyet, tak ada orang, diiringi lagu dari suara keresek daun bambu digoyang sepoi angin lalu, berangkatlah ia ke kota. Ternyata nun di sana, memang benar apa yang ia dengar. Kota, ruaaarrr biasaaa … Gedung-gedung bagus tinggi menjulang-laaang … bagai menjolok awan. Mobil-motor war-wer-war-wer berseliweran, bagai tak berkesudahan. Supermarket bertaburan menggoda, seolah semua keinginan kita tersedia di sana. Tempat hiburan sungguh aneka ragam, seolah tak ada kesedihan everything just for fun. Dan pabrik-pabrik di pinggir-pinggirnya, laksana benteng gagah perkasa. Di tengah kota.
Istana raja diraja walikota, kokoh megah
mencerminkan kekuasaan berwibawa. Di
sebelahnya. Istana satria-satria diraja dewan kota,
elok anggun mencerminkan kebijaksanaan
penghuninya. Di sana-sini, istana saudagar-saudagar, mewah kencar-kencar mencerminkan kesuksesan bisnisnya. Alun-alunnya? Ada tugu
tertinggi sedunia, entah habis berapa
membangunnya, yang penting jadilah lambang ; kemakmuran kota. Kota, ruaaarrr biasaaa …. . Lugu terus berjalan-jalan dengan takjub, terpesona buaian kota. Sampai akhirnya ia pun merasa lapar. Lugu bingung jadinya. Bangaimana bisa mendapatkan makanan ya? Kerja? Kerja apa ya? Minta? Minta siapa ya? Mem-bedhol ketela? Tegalnya mana ya? Lugu tambah dan tambah dan tambah bingung …
Keringat dingin mengalir … Lemas sekujur badan … Kelaparan … Jatuhlah ia ndeprok. Dan tanpa disadarinya tangannya telah terangkat pelan-pelan … Makin terangkat … Menadah … Lugu ndeprok di pinggir jalan dekat restoran kondang ; menadahkan tangan!” (Hal 6-7)
Peneliti melihat adegan di atas merupakan adegan pengantar menuju
konflik sebelum sampai puncak konflik. Seperti yang tertera pada kutipan
Monolog Aki, hal yang terjadi Lugu mulai kelaparan dan kesulitan mencari
makanan. Lugu terpaksa meminta-minta layaknya pengemis di pinggir
jalan. Orang-orang yang berseliweran melewati Lugu tidak
memedulikannya. Kemudian selanjutnya Boss, Politikus, dan Pejabat
Pemerintah Kota masuk sambil membicarakan kesepakatan untuk
pembangunan kota. Boss berusaha menyuap Politikus dan Pejabat
Pemerintah kota dengan alasan untuk mempererat hubungan dalam bekerja
agar semua lancar dan bisa merauk keuntungan. Dibuktikan dengan kutipan
dialog sebagai berikut :
47. LUGU
“Kasihanilah Tuan … Kasihanilah Nyonya … Seikhlasnya Tuan … Seikhlasnya Nyonya … Kasihanilah Tuan … Kasihanilah Nyonya … Seikhlasnya Tuan … Seikhlasnya Nyonya …”
PEJABAT, POLITIKUS DAN BOSS (MASUK PANGGUNG) KELUAR DARI RESTORAN HABIS ‘MEETING’,
BERJALAN HANYA MELEWATI LUGU SAJA SAMBIL BERCAKAP- CAKAP.
48. BOSS
“Sekali lagi ini bukan suap Pak / Bu … Yah, sekedar silaturahmi untuk mempererat hubungan antara kita,
kalangan investor, pemerintah kota dan dewan kota.”
49. PEJABAT, POLITIKUS
“Harmonis. Ya ya ya …”
50. BOSS
“Dengan demikian akan terciptalah kerjasama
propesional yang kompak lagi saling
menguntungkan.”
51. PEJABAT, POLITIKUS
“Harmonis. Ya ya ya …”
52. BOSS
“Dengan demikian kota akan terus membangun, kita-kita untung, dus segenap warga terse ...”
53. SEMUA
“Nyuuummm!”
54. PEJABAT, POLITIKUS
“Harmonis. Ya ya ya …” (hal 7)
Setelah Boss, Politikus, dan Pejabat Pemerintah keluar panggung,
selanjutnya seorang Kamtib masuk ke dalam panggung. Kemudian, Kamtib
menghampiri Lugu yang duduk di pinggir jalan karena mengira Lugu adalah
gelandangan yang mengemis. Kamtib melaksanakan tugasnya dengan
berusaha mengusir Lugu dari kota karena dirasa merusak pemandangan.
Lugu memberontak untuk dibawa oleh Kamtib, lalu kemudian masuklah Ibu
Lugu yang diperankan oleh Nini untuk menyelamatkan Lugu. Dibuktikan
dengan dialog berikut :
55. KAMTIB
“He! Dilarang Ngemis tahu? Dlarang
menggelandang tahu?! Kamu ini mengganggu pemandangan! Kota ini tak boleh (Sambil menengok penonton kelihatan) ada gelandangannya! Kota ini tak boleh (Sambil menengok penonton kelihatan) ada
pengangguranya! Kota ini tak boleh (Sambil menengok penonton kelihatan) ada kemiskinannya Tahu ?! Tahu ?! Tahu?!”
56. LUGU
“Saya bukan gelandangan! Saya Lugu!”
57. KAMTIB
“Lha iya ! Wong Lugu tur gelandangan! Ayo ikut aku!”
58. LUGU
“Tidak mau!”
59. KAMTIB
“Heh … Ngelawan kamu, ha?! Tak seret sisan kowe!”
60. LUGU
“Tidak mau! Saya bukan gelandangan! Saya Lugu ! Saya manusia! Saya bukan binatang!”
KAMTIB DAN LUGU BERGELUT. LUGU DISERET-SERET. LUGU MERONTA-RONTA. TIBA-TIBA
BERTERIAKLAH SESEORANG. NINI MASUK PANGGUNG.
61. NINI
“Paaak … Paaak … Anakku diapakan?! Anakku mau dibawa kemana?!”
LUGU BINGUNG, IA MERASA TIDAK KENAL DENGAN PEREMPUAN INI.
62. KAMTIB
“Ini anak Ibu?”
63. NINI “Iya.” 64. KAMTIB “Bukan gelandangan?” 65. NINI “Bukan.”
66. KAMTIB
“Benar?”
67. NINI
“Benar.”
68. KAMTIB
“Kamu benar anaknya Ibu ini?”
69. LUGU
“Bb, bb, bukan, eh … Benar! Bb, benar Pak …”
70. KAMTIB
“Kenapa ngemis? Kenapa menggelandang?”
71. LUGU
“Saya ini bukan ngemis! Saya bukan gelandangan?”
72. KAMTIB
“Yo wis sekarepmu. Ya sudah Bu … Saya percaya pada Ibu. Sekarang, anak ini dibawa pulang saja. Nongkrong di pinggir jalan seperti itu merusak pemandangan. Mengganggu ketertiban. Sudah … Permisi. Selamat siang. (Hal 8- hal 9)”
Adegan selanjutnya terjadi percakapan dialog antara Lugu dan Ibu Lugu. Dalam percakapannya,
Lugu tidak mengakui bahwa orang yang
menolongnya adalah Ibunya dan tidak percaya dengan semua hal yang dikatakan kepadanya. Kota yang baru saja didatangi oleh Lugu ternyata adalah kampung halamannya sendiri. dapat dibuktikan melalui dialog sebagai berikut :
73. NINI
“Ini makanlah … Kamu lapar kan?”
74. LUGU
“Ibu siapa sebenarnya?”
75. NINI
“Lho … Aku ini ya ibumu tho le …”
76. LUGU
kampung sana!”
77. NINI
“Kamu pikir sekarang ini kita dimana?”
78. LUGU
“Di kota.”
79. NINI
“Benar di kota? Bukannya dikampung kita?”
80. LUGU
“Benar! Eh … Mmm … Ah, bukan! Ini bukan kampungku! Eh, tapi … Nggg …”
81. NINI
“Naaa … Kamu ragu kan?”
82. LUGU
“Tidak …Tapiiii … Ah, tidak! Aku yakin. Ini bukan kampungku! Dan kamu, bukan ibuku! Sudah … Pergi sana! Kamu itu Cuma orang gila!”
83. NINI
“Wis? Tetep ngeyel? Jadi aku, ibumu ini kamu suruh pergi saja? Yo wis. Itu nasi bungkusnya dimakan … Aku pergi sekarang.”
84. LUGU
“Eh … Tapi … Tunggu dulu!” NINI BERHENTI DAN BERBALIK.
85. LUGU
“Kalau ini memang kampungku, lantas mana rumahku hayooo?!”
86. NINI
“Rumah kita dan rumah-rumah tetangga sudah jadi gedung-gedung megah itu anakku.”
87. LUGU
“Lha pasar? Pasar Wage?”
“Kamu lihat supermarket itu? Itulah pasar kita.”
89. LUGU
“Lha tegal, sawah …?”
90. NINI
“Yah … Sebutlah itu sekarang jalan tol.”
91. LUGU
“Lha yang hilir-mudik di jalan ini? Pasa ngebut ini …?”
92. NINI
“Ya, itu pedati kita, gerobak kit, gledheganmu …”
93. LUGU
“Kampungku jadi macam ini?! O ya, o ya … Bagaimana dengan lapangan? Jadi apa tempat bocah-bocah berkumpul kalau malam padhang mbulan?”
94. NINI
“Jadi … Jadi ‘ dufan’ Le …”
95. LUGU
“Haaa … Tapi … Tapi kan ini semua … Milik kita? Kan kampung kita?”
96. NINI
“Sayangnya … Ini semua bukan milik kita.”
97. LUGU
“Lantas orang-orang kampung pada dimana?”
98. NINI
“Mereka di gedung-gedung itu … Tapi bukan pemiliknya … Klining serpis-nya. Mereka di
supermarket-supermarket itu … Tapi bukan
pemiliknya … Kuli gudangnya. Mereka di rumah-rumah mewah itu … Tapi bukan pemiliknya … Babu-nya. Mereka di jalan-jalan itu … Tapi bukan pemiliknya … Kakilimanya. Mereka di pabrik-parik itu … Tapi bukan pemiliknya …Buruhnya. Mereka dimana-mana … Tapi tak punya apa-apa … Tak ada tempatnya … Merana …”
“Cukup! Cukuuup ! Cukuuuuuuup! Ini gila … Ini gila … Gila! Aku mau kampungku … Kembalikan kampungku! Kembalikan kampungku! Kampungku !!!”
100. NINI
“He! Bangun Lugu! Ayo bangun! Kerjanya molor saja ! Bangun!” (Hal 10- hal 11)
Kamtib yang melihat Lugu berusaha untuk mengusirnya dari kota
karena dianggap sebagai gelandangan dan merusak pemandangan kota.
Kemudian Nini sebagai Ibu Lugu datang melindungi Lugu dari Kamtib agar
tidak dianggap sebagai geandangan. Peneliti dapat menyimpulkan bahwa konflik yang terjadi dalam naskah drama “Padang Bulan” ialah saat Lugu
bertemu dengan Ibunya yang kemudian menceritakan kenyataan tentang
kota. Lugu marah karena tidak percaya dengan apa yang ia dengar.
Kampung tempat tinggalnya berubah menjadi tempat yang tidak dikenali
lagi. Lugu terus berteriak “kembalikan kampungku” berulang kali hingga
terdengar suara Ibu Lugu yang berkata “He! Bangun Lugu! Ayo bangun!
Kerjanya molor saja ! Bangun!”. 4.2.1.3 Klimaks
Klimaks (puncak permasalah) merupakan puncak dari permasalah
yang muncul dari awal, kemudian mengerucut sebelum denouement
(penyelesaian). Rentetan peristiwa yang perlahan mengerucut menjadi
puncak dari permasalahan dalam cerita. Peneliti melihat sebelum menuju
klimaks pada awal adegan empat Bulan, Padang, Jembar, dan Kalangan
kembali berkumpul di pekarangan depan rumah Aki dan Nini. Bulan,
kepergian Aki dan Nini yang tidak meninggalkan siapapun untuk menemani
mereka bermain. Kemudian berlanjut ke adegan Bulan, Padang, Jembar, dan
Kalangan bermain petak umpet dengan Bulan yang menjadi pencarinya.
Bulan kesulitan mencari teman-temannya yang bersembunyi karena sedari
awal teman-temannya sudah meninggalkan Bulan keluar dari area
permainan. Bulan terus mencari hingga akhirnya bisa menemukan mereka,
namun teman-temannya telah berubah menjadi peralatan modern seperti
handphone, playstation, dan buldoser. Dapat dibuktikan dengan dialog sebagai berikut :
101. BULAN
“Heiii … Teman-temaaan …! Padaaang …! Jembaaar …! Kalangan …! Ayo kumpuuul …! Malam bulan purnama betapa indahnya …! Jangan di rumah saja …! Mari kemari …! Bermain bersama di sini …”
DARI BELAKANG PANGGUNG BERSAMA-SAMA.
102. KOOR
“Aduhaaai …! Bulan purnama ooo indahnya … Padang masuk.”
103. PADANG
“Mana yang lain?”
104. BULAN, PADANG
“Jembaaar …! Kalangaaan!” Jembar masuk.
105. BULAN
“Kamu tak bersama Kalangan, Jembar?”
106. JEMBAR
107. BULAN, PADANG, JEMBAR
“Kalangaaan …!”
KALANGAN MASUK DEGAN DIAM-DIAM LANTAS BERTERIAK MENGAGETKAN TEMAN-TEMAN.
108. KALANGAN
“HEI!!!”
109. BULAN, PADANG, JEMBAR
“Ora kageeet …Weee!” SEMUA TERTAWA.
110. BULAN
“Aduuuh … Sedih ya … Aki-Nini sudah setahun ini tiada … Tiba-tiba aku terkenang-kenang mereka …”
111.PADANG
“Iya. Lagi mereka tak meninggalkan siapa-siapa …”
112.JEMBAR
“Dulu saja mereka sudah sepi … Cuma berdua saban hari … Tak ada anak, cucu apalagi …”
113.KALANGAN
“Tapi tetap ada kita semua … Kita kan sudah jadi cucu-cucu mereka? Seperti mereka pun sudah jadi kakek-nenek kita …”
114.BULAN
“Benar. Pokoknya semoga semoga Aki-Nini bahagia selamanya. Pokoknya kita semua janji tak akan sekali-kali melupakan mereka. Setuju?”
115.PADANG, JEMBAR, KALANGAN
“Setujuuu!”
116.KOOR
“Oh Aki … Oh Nini … Sekali kami janji, pantang Nyulayani. Swer!”
117.JEMBAR
118.KALANGAN
“Iya. Belum lama.”
119.BULAN
“Baik hati juga enggak ya? Seperti Aki-Nini enggak ya?”
120.PADANG
“Katanya, pemilik baru itu orangnya sombong. Tak kenal tetangga.”
121.JEMBAR
“Dan tak bakal menunggui kita bermain ya …”
122.KALANGAN
“Tak bakal juga mendongengi kita …”
123.JEMBAR
“Apalagi berharap keluarnya klenyem manis-gurih-anget ya …”
124.BULAN,
“Padang, Kalangan Huuuuu!”
125.PADANG
“Sudah sudah … Ayuk, bermain apa kita sekarang? Kejar-kejaran? Betengan? Gaprakan? Tebak-tebakan?”
126.JEMBAR
“Jilumpet saja. Sembunyi-sembunyian.”
127.BULAN, PADANG, KALANGAN
“Setuju … Setuju …”
128.KALANGAN
“Sekarang kita hompimpah …”
129.BULAN
“Lainnya deh, jangan hompimpah terus …”
130.PADANG
131.JEMBAR
“Pingsut? Itu kalo dua orang …”
132.BULAN
“Gini … Dengar! Gini …”
Bulan memperagakan ‘gerak-lagu’ dengan iringan musik ‘Padhang mbulan’.
(Siapa yang giliran bergerak saat musik berhenti, dia yang ‘jadi’)
133.BULAN
“Jelas enggak?”
134.PADANG, JEMBAR, KALANGAN
“Jelas … Jelas …”
135.PADANG
“Yuk atur posisi. Baris.”
Anak-anak berbaris menyamping menghadap ke kanan dan menghitung bersama.
136.KOOR
“Tu Wa Ga Pat!” MUSIK.
TERNYATA YANG ‘JADI’ BULAN.
137.PADANG, JEMBAR, KALANGAN
“Bulan ‘ jadi’! Bulan ‘jadi’!”
138.JEMBAR
“Ayo, tutup mata!”
139.BULAN
“Kuhitung sampai 20 ya? Satu! Dua …” BULAN MENGHITUNG.
LAINNYA BERLARIAN MENCARI TEMPAT SEMBUNYI (KELUAR PANGGUNG).
“Sepuluh!”
BULAN MENCARI-CARI TEMAN-TEMANNYA. TERUS MENCARI … MENCARI … MENCARI … SAMPAI LAMA TAK KETEMU-KETEMU
… MENCARI … MENCARI … LAMA SEKALI … (KELUAR MASUK PANGGUNG). SAMPAI MENCARI DIANTARA PENONTON.
141.BULAN
“Padang! Jembar! Kalangan! Jangan jauh-jauh kalian sembunyi! Oooiii! Kalian tu dimana?” BULAN MENCARI-CARI LAGI.
142.BULAN
“Oooiii! Kalian mengerjai aku yaaa ?!”
PERLAHAN-LAHAN EKSPRESI BULAN MULAI BERUBAH. IA DIJALARI SEMACAM CAMPURAN ANTARA RASA CEMAS, GELISAH, TAKUT …
143.BULAN
“Padang … Jembar … Kalangan … Kalian mbook jangan keterlaluan… Aku agak-agak merinding ini … Padaaang … Jembaaar … Kalangaaan … Kalian mbok nongol … Padaaang … Jembaaar … Kalangaaan …”
DIPUNCAK RASA TERCEKAMNYA, BULAN LARI KELUAR PANGGUNG. LAMPU MATI.
LAMPU HIDUP.
PADANG MASUK PANGGUNG, MENGAMBIL ‘BLOCKING’ DAN ‘POSE’ TERTENTU. DISUSUL JEMBAR. DISUSUL KALANGAN.
KOMPOSISI DIAM. SEJURUS KEMUDIAN BULAN
MASUK PANGGUNG, BERJALAN DENGAN
LANGKAH TERTAHAN-TAHAN.
144.BULAN
“He! Padang! Jembar … Kalangan …” Mereka tetap diam.
145.BULAN
“Kalian dari mana saja tadi? Kalian sembunyi dimana sih? Kalian sudah rencana ngerjai aku ya? Awas ya?”
Mereka tetap diam.
146.BULAN
“He! Kok pada diam?! Padang! Padang …(Suara melunak).”
147.PADANG
“Aku bukan Padang. Aku PLEIII … STESIEEEN …”
Bulan terlonjak mundur.
148.BULAN
“Play station?!”
Bulan mendekati Jembar.
149.BULAN
“Jembar … Heh! Jembar! Jembar …”
150.JEMBAR
“Aku bukan Jembar. Aku HENPOOON …” Bulan tambah terlonjak.
151.BULAN
“Handpone?!”
Bulan mendekati Kalangan.
152.BULAN
“Kalangan … Kamu apa lagi? Kalangan …”
153.KALANGAN
“Aku bukan Kalangan. Aku BULDOZERRR …” Bulan bahkan terjengkang.
154.BULAN
“Buldoser?!”
TERTAWA MENGIKIK, LAMA-LAMA MAKIN KERAS DAN MAKIN KERAS SAMBIL BERKATA-KATA SECARA MENYAYAT-PARAU. (Hal 15-16)
Peneliti dapat menyimpulkan bahwa klimaks mulai terjadi saat
Bulan, Padang, Jembar, dan Kalangan bermain jilumpet. Karena Bulan yang
menjadi pencarinya maka Padang, Jembar, dan Kalangan bersembunyi agar
tidak mudah ditemukan. Bulan selesai menghitung lalu kemudian mencari
teman-temannya yang bersembunyi, akan tetapi Bulan tidak bisa
menemukan mereka. Setelah berjalan agak jauh akhirnya Bulan menemukan
Padang, Jembar, dan Kalangan namun dia merasakan ada yang janggal. Dua
dari mereka berubah menjadi peralatan modern sedangkan salah satunya
berubah menjadi kendaraan penghancur. Bulan merasa ketakutan karena
mereka berulang-ulang memanggil namanya dengan nada pelan kemudian
perlahan-lahan menjadi semakin keras.
4.2.1.4 Penyelesian
Denouement (penyelesaian) merupakan kesimpulan yang dibangun dari awal pementasan. Cohen (2010:36) mengatakan “denouement bisa
ditunjukan dengan pidato atau bahkan satu kata atau gerakan menunjukan bahwa gairah yang timbul dari aksi permainan sekarang diam dan harmoni baru”. Peneliti melihat penyelesaian naskah “Padang Bulan” terlihat pada saat Bulan menjerit secara histeris sambil memanggil nama
teman-temannya yang terus mengerumuninya. Dapat dibuktikan dengan dialog
sebagai berikut :
Dimana Padang, Bulan? Dimana Jembar, Bulan?! Dimana Kalangan Bulan?!
Mereka mulai merengsek, mengerubut Bulan, menarik-nariknya kesana-kemari.
Bulaaan … Bulaaan … Bulaaan … BULAAAN!