• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

2. Uji Heterokedastisitas

5.1.5.3. Hasil Analisis Ilusi Fiskal

Deteksi ilusi fiskal dalam penelitian ini dimaktriks seperti terlihat pada kutiban output SPSS berikut ini.

Tabel 5.25. Hasil Deteksi Ilusi Fiskal Kinerja Keuangan Kabupaten/Kota se-Provinsi Sumatera Utara.

Hipotesis Variabel terikat Variabel Bebas t Sig t hitung Keputusan hitung Kesimpulan 5 Belanja Daerah PDRB t-1 .616 .540 Positif Tidak

signifikan Terjadi ilusi fiskal

Pajak Daerah t-1

3.709 .000 Positif Signifikan

Tidak terjadi ilusi fiskal

HCT t-1 2.615 .011 Positif Signifikan

Tidak terjadi ilusi fiskal

Dana Alokasi Umum t-1

10.479 .000 Positif Signifikan

Tidak terjadi ilusi fiskal

Dana Alokasi Khusus t-1

6.006 .000 Positif Signifikan

Tidak terjadi ilusi fiskal

Dana Bagi Hasil t-1

1.533 .130 Positif Tidak Signifikan

Terjadi ilusi fiskal

Lain-lain Pendapatan Yang Sah t-1

-1.458 .150 Negatif Tidak Signifikan

Terjadi ilusi fiskal

Sumber : Lampiran 8

Tabel di atas menginterpretasikan bahwa pajak daerah, HCT, dana alokasi umum dan dana alokasi khusus berpengaruh positif signifikan terhadap belanja daerah kabupaten/kota se-Sumatera Utara. Dana bagi hasil berpengaruh positif tidak signifikan terhadap belanja daerah dan lain – lain pendapatan daerah yang sah berpengaruh negatif tidak signifikan terhadap belanja daerah kabupaten/kota se-Sumatera Utara. Interpretasi ini mengindikasikan terjadinya ilusi fiskal setelah diberlakukannya otonomi daerah. Karena terdapat variabel pendapatan yang memberikan kontribusi positif tidak signifikan dan memiliki pengaruh negatif terhadap pengeluaran pemerintah (belanja daerah), yaitu PDRB, dana bagi hasil dan lain – lain pendapatan daerah yang sah. Dengan demikian hipotesis 5 yang menyatakan : Terjadi ilusi fiskal pada kinerja keuangan Kabupaten/Kota se-Sumatera Utara, diterima dan terbukti kebenarannya dengan taraf signifikansi 5%.

5.2. Pembahasan

Kinerja dan kemampuan keuangan daerah merupakan salah satu ukuran yang dapat digunakan untuk melihat kemampuan daerah dalam menjalankan otonomi daerah (Halim, 2004). Pada dasarnya pengelolaan keuangan daerah menyangkut tiga bidang analisis yang saling terikat satu sama lain. Ketiga aspek tersebut meliputi (Simanjuntak dalam Halim, 2001):

4. Analisis Penerimaan, yaitu analisis mengenai kemampuan pemerintah daerah dalam menggali sumber-sumber pendapatan yang potensial dan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk meningkatkan pendapatan tersebut.

5. Analisis Pengeluaran, yaitu analisis mengenai seberapa besar biaya-biaya dari suatu pelayanan publik dan faktor-faktor yang menyebabkan biaya tersebut meningkat.

6. Analisis Anggaran, yaitu analisis mengenai hubungan antara pendapatan dan pengeluaran serta kecenderungan yang diproyeksikan untuk masa depan.

Hasil analisis pendapatan dan pengeluaran merupakan komponen dalam menganalisis keuangan daerah. Jika pendapatan lebih besar daripada pengeluaran, akan terjadi surplus anggaran dan jika pengeluaran lebih besar daripada pendapatan akan terjadi defisit anggaran. Dalam hal ini perlu diperhatikan bagaimana kondisi keuangan yang ada pada tahun sekarang dan kecendurangannya pada tahun-tahun mendatang, sehingga pola surplus dan defisit anggaran dapat diprediksikan.

Dilihat dari sisi pendapatan, keuangan daerah yang berhasil adalah keuangan daerah yang mampu meningkatkan penerimaan daerah secara berkesinambungan

seiring dengan perkembangan perekonomian tanpa memperburuk alokasi faktor-faktor produksi dan keadilan. Dilihat dari sisi pengeluaran, keuangan daerah yang berhasil adalah keuangan daerah yang mampu membelanjakan pendapatan yang diterima untuk selanjutnya memberikan timbal balik atas pengeluaran tersebut. Timbal balik dalam hal ini seperti pendapatan pajak dan retribusi. Analisis sisi pendapatan menggunakan pendapatan asli daerah sebagai titik sentral analisisnya, sedangkan analisis sisi pengeluaran menekankan pada belanja daerah sebagai titik setral analisisnya.

Hasil analisis deskriptif dalam penelitian ini menggambarkan pendapatan asli daerah (PAD) kabupaten/kota se-Sumatera Utara cenderung mengalami peningkatan dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2010. Sedangkan, belanja daerah kabupaten/kota se-Sumatera Utara dari tahun 2007 hingga tahun 2009 mengalami peningkatan, namun pada tahun 2010 belanja daerah kabupaten/kota se-Sumatera Utara mengalami penurunan. Sekalipun PAD kabupaten/kota se-Sumatera Utara menunjukkan tren yang meningkat, namun peningkatan tersebut tidak memiliki hubungan timbal balik dengan belanja daerah yang justeru mengalami penurunan pada tahun 2010. Penurunan belanja daerah ini pada akhirnya akan berdampak pada terbatasnya kemampuan daerah didalam menggali potensi pendapatan asli daerah dan tentunya akan memperbesar ketergantungan daerah terhadap transfer pemerintah pusat untuk menutup kekurangan belanja daerah. Amanah otonomi daerah untuk menciptakan kemandirian daerah juga akan sulit dicapai.

Halim (2001) mengatakan struktur keuangan daerah tercermin dalam 2 sisi, yaitu sisi penerimaan dan sisi pengeluaran. Sisi penerimaan adalah PAD, dana perimbangan, dan pendapatan lain-lain yang sah sedangkan sisi pengeluaran adalah belanja daerah. Berdasarkan teori di atas, secara logis dapat dikatakan bahwa besarnya PAD bergantung pada besaran transfer pemerintah pusat, dimana dua diantaranya adalah dana alokasi umum dan dana alokasi khusus yang dialokasikan untuk membiayai belanja daerah dalam rangka mengoptimalkan potensi PAD yang saat ini masih di dominasi oleh penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah (daya pajak), yang pada gilirannya akan digunakan juga untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan di daerah.

Berdasarkan analogi di atas dapat dikatakan bahwa kinerja keuangan daerah yang diproxy melalui PAD dipengaruhi oleh dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), daya pajak dan kemampuan belanja daerah didalam menghasilkan PAD itu sendiri. Demikian sebaliknya, belanja daerah dipengaruhi oleh seluruh komponen – komponen penerimaan daerah, yakni PAD, DAU, DAK, DBH dan lain – lain pendapatan daerah yang sah (LPDS).

Ndadari dan Adi (2007) dalam penelitiannya menemukan transfer pemerintah pusat berpengaruh terhadap besarnya pengeluaran yang dilakukan oleh pemerintah daerah kabupaten atau kota. Pada saat pemerintah daerah menerima transfer dari pemerintah pusat dana itu digunakan tanpa adanya upaya untuk meningkatkan PAD tiap-tiap daerah. Rusydi (2010) dalam penelitiannya menemukan bahwa secara simultan DAU, DAK dan PAD berpengaruh terhadap belanja daerah. Secara parsial

hanya DAU dan DAK yang berpengaruh terhadap belanja daerah, sedangkan PAD tidak berpengaruh terhadap belanja daerah Provinsi di Indonesia. Secara simultan belanja daerah, DAU dan daya pajak berpengaruh terhadap PAD. Secara parsial belanja daerah dan DAU berpengaruh terhadap PAD, sedangkan daya pajak tidak berpengaruh terhadap PAD Provinsi di Indonesia.

Hasil analisis statistik infrensial dalam penelitian ini menemukan bahwa secara simultan dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dana bagi hasil, lain – lain pendapatan daerah yang sah dan pendapatan asli daerah berpengaruh terhadap belanja daerah kabupaten/kota se-Sumatera Utara. Dana alokasi umum, dana alokasi khusus, daya pajak dan belanja daerah berpengaruh terhadap pendapatan asli daerah kabupaten/kota se-Sumatera Utara. Secara parsial hanya dana alokasi umum, dana alokasi khusus yang berpengaruh positif signifikan terhadap belanja daerah kabupaten/kota se-Sumatera Utara, sedangkan lain – lain pendapatan yang sah berpengaruh negatif tidak signifikan terhadap belanja daerah, dan dana bagi basil berpengaruh positif tidak signifikan terhadap belanja daerah.

Disatu sisi temuan penelitian sejalan dengan penelitian terdahulu, disisi lain temuan ini tidak sejalan dengan temuan penelitian terdahulu. Perbedaan hasil penelitian ini lebih disebabkan perbedaan besaran tingkat ketergantungan daerah atas trasnfer pemerintah. Alderete (dalam Priyo, 2006) menegaskan bahwa ketika pemerintah pusat memberikan bantuan melalui transfer (dalam bentuk dana perimbangan) kepada daerah untuk meningkatkan belanja daerah, muncul spekulasi bahwa pengeluaran pemerintah daerah merespon perubahan transfer itu secara

asimetris. Perilaku asimetris ini dapat dilihat dengan adanya pengeluaran yang berasal dari bantuan (grants) yang memberikan keuntungan pada pemerintah daerah, sedangkan di lain pihak anggaran juga berkurang. Maimunah (2006) membuktikan adanya perilaku asimetris yang ditunjukkan oleh pengaruh DAU terhadap belanja daerah dan PAD (dalam Priyo, 2006). Besarnya proporsi DAU berpengaruh positif terhadap belanja daerah, tetapi besarnya proporsi PAD tidak berpengaruh secara signifikan terhadap belanja daerah. Hal ini menunjukkan bahwa transfer pemerintah khususnya DAU begitu dominan dalam membiayai belanja daerah.

Fenomena semacam ini oleh Dollery dan Worthington (1999) dan Priyo (2009) diindikasikan sebagai ilusi fiskal (fiscal illusion). Logikanya, setiap penerimaan pemerintah harus berdampak terhadap besaran pengeluaran dan pada gilirannya semakin besar pengeluaran pemerintah maka pemerintah seharusnya mendapat manfaat dengan meningkatnya penerimaan pemerintah di masa mendatang. Artinya terdapat hubungan yang simetris antara sisi penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Apabila kenyataan yang terjadi sebaliknya (terjadi hubungan yang asimetris) maka dapat dikatakan terjadi ilusi fiskal, dikarenakan pemerintah pusat ataupun masyarakat tidak menyadari bahwa mereka memberikan kontribusi (baik dana transfer maupun pajak/retribusi daerah) yang lebih besar dari yang sebenarnya dibutuhkan oleh pemerintah daerah. Kecenderungan pemerintah daerah dalam memanfaatkan hibah pemerintah pusat secara asimetris, memberikan dampak negatif terhadap upaya peningkatan potensi daerah.

Hasil analisis dalam penelitian ini membuktikan pajak daerah, HCT, dana alokasi umum dan dana alokasi khusus berpengaruh positif signifikan terhadap belanja daerah kabupaten/kota se-Sumatera Utara. Dana bagi hasil berpengaruh positif tidak signifikan terhadap belanja daerah dan lain – lain pendapatan daerah yang sah berpengaruh negatif tidak signifikan terhadap belanja daerah kabupaten/kota se-Sumatera Utara. Interpretasi ini mengindikasikan terjadinya ilusi fiskal setelah diberlakukannya otonomi daerah. Karena terdapat variabel pendapatan yang memberikan kontribusi positif tidak signifikan dan negatif terhadap pengeluaran pemerintah (belanja daerah), yaitu PDRB, dana bagi hasil dan lain – lain pendapatan daerah yang sah.

BAB VI

Dokumen terkait