• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil analisis kulititatif aktivitas enzim

Dalam dokumen LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA (Halaman 23-34)

No Gambar Keterangan

1. Larutan sampel jagung dan kedelai yang

sudah diinokulasi dengan Aspergillus sp. dan digojog overnight

2. Media amilum dan selulosa yang di

beri larutan sampel jagung + isolat Aspergillus sp.

3. Media amilum dan selulosa yang di beri

larutan sampel kedelai + Aspergillus sp.

4. Media amilum dan selulosa yang di

beri larutan sampel jagung + isolat Aspergillus sp.yang sudah diinkubasi4 hari pada suhu 37˚C

5. Media amilum dan selulosa yang di

beri larutan sampel kedelai + isolat Aspergillus sp.yang sudah diinkubasi4 hari pada suhu 37˚C

6.

Supernatan yang sudah ditambah dengan 1 % CMC

7.

Proses inkubasi pada suhu 500C selama 30 menit

8.

Setelah penamabhan larutan DNS pada larutan enzim

4.2 Pembahasan

4.2.1 Pengukuran Kadar Glukosa Sampel Jagung dan Kedelai

Metode dengan menggunakan DNS ini digunakan untuk mengukur gula pereduksi dengan teknik kolorimetri (Torres et al., 2011). Penentuankomposisi gula reduksi dalam sampel yang mengandung karbohidrat yang digunakan adalah menggunakan pereaksi asam dinitro salisilat (3-amino,5-nitrosalicylic acid). Metode ini adalah metode kimiawi. DNS merupakan senyawa aromatis yang akan bereaksi dengan gula reduksi maupun komponen pereduksi lainnya untuk membentuk 3-amino-5-nitrosalicylic acid, suatu senyawa yang mampu menyerap dengan kuat radiasi gelombang elektromagnetik pada 560 nm (Goncalves et al, 2010). Pemanasan pada suhu 90˚C bertujuan untuk mempercepat reaksi pengikatan gula reduksi oleh DNS sehingga membentuk senyawa 3,5-dinitrosalicylic acid. Semakin banyak komponen pereduksi yang terdapat dalam sampel, maka akan semakin banyak pula molekul 3-amino-5-nitrosalicylic acid yang terbentuk dan mengakibatkan serapan semakin tinggi dalam pembacaan nilai absorbansi (Wang et al., 2010).

Reaksi glukosa dengan DNS yang terjadi merupakan reaksi redoks pada gugus aldehid gula dan teroksidasi menjadi gugus karboksil. Sementara itu DNS sebagai oksidator akan tereduksi membentuk 3-amino-5-nitrosalicylic acid. Reaksi ini berjalan dalam suasana basa. Bila terdapat gula reduksi pada sampel, maka larutan DNS yang awalnya berwarna kuning akan bereaksi dengan gula reduksi sehingga menimbulkan warna jingga kemerahan (Teixeira et al. 2012).

Berdasarkan hasil pengukuran absorbansi sampel jagung dan sampel kedelai, diketahui bahwa sampel kedelai memiliki kadar glukosa lebih tinggi dibandingkan dengan jagung dengan nilai absorbansi 0,746 dengan konsentrasi 45,78 µg/µl. Nilai konsentrasi sampel tersebut dapat diketahui dengan menggunakan kurva standar glukosa. Nilai absorbansi yang diperoleh dari masing-masing sampel kemudian dimasukkan kedalam rumus regresi pembuatan kurva standar glukosa. Berbeda dengan pernyataan Merriman et al. (2016) yang menyatakan bahwa kadar glukosa jagung relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kedelai. Hal ini dimungkinkan karena proses homogenisasi sampel dengan jagung pada saat percobaan berlangsung kurang optimal sehingga kadar glukosa yang terlarut dalam larutan sampel tidak mewakili kadar glukosa yang terkandung dalam sampel.

4.2.2 Pengukuran Kadar Sukrosa Sampel Jagung dan Kedelai

Uji Seliwanoff adalah sebuah uji kimia yang membedakan gula aldosa dan ketosa (Gondim et al., 2015). Ketosa dibedakan dari aldosa via gugus fungsi keton/aldehida gula tersebut. Jika gula tersebut mempunyai gugus keton, ia adalah ketosa. Sebaliknya jika ia mengandung gugus aldehida, ia adalah aldosa. Uji ini didasarkan pada fakta bahwa ketika dipanaskan, ketosa lebih cepat terdehidrasi daripada aldosa (Verma et al., 2010). Reagen uji sukrosa ini terdiri dari resorcinol dan asam klorida pekat. Asam reagen ini menghidrolisis polisakarida dan oligosakarida menjadi gula sederhana.Ketosa yang terhidrasi kemudian bereaksi dengan resorcinol, menghasilkan zat berwarna merah tua (Olennikov and Thankaeva, 2008). Aldosa dapat sedikit bereaksi dan menghasilkan zat berwarna merah muda.Fruktosa dan sukrosa merupakan dua jenis gula yang memberikan uji positif. Sukrosa menghasilkan uji positif karena ia adalah disakarida yang terdiri

dari furktosa dan glukosa. Pemanasan yang dilakukan selama proses reaksi bertujuan untuk mempercepat reaksi (Datir and Snehal, 2016).

Berdasarkan hasil pengukuran absorbansi kedua sampel, diketahui bahwa kedelai memiliki nilai absorbansi yang lebih tinggi yaitu 0,037 dengan kisaran nilai konsentrasi 5,3 µg/µl, nilai absorbansi yang tinggi diasumsikan konsentrasinya sukrosa juga relatif lebih tinggi. Nilai konsentrasi sampel tersebut dapat diketahui dengan menggunakan kurva standar sukrosa. Nilai absorbansi yang diperoleh dari masing-masing sampel kemudian dimasukkan kedalam rumus regresi pembuatan kurva standar sukrosa. Hasil konsentrasi kedelai 5,3 µg/µl yang lebih tinggi dari konsentrasi jagung 3,84µg/µl berkebalikan dengan pernyataan Liu et al.(2016) yang menyebutkan bahwa kandungan sukrosa jangung lebih tinggi dibandingkan dengan kedelai.

4.2.3 Pengukuran Kadar Pati atau Starch Sampel Jagung dan Kedelai

Uji Iodine Colour bertujuan untuk mengidentifikasi polisakarida. Reagent yang digunakan adalah larutan iodine yang merupakan I2 terlarut dalam potassium iodide (Nakamura et al., 2016). Reaksi antara polisakarida dengan iodin membentuk rantai poliiodida. Polisakarida umumnya membentuk rantai heliks (melingkar), sehingga dapat berikatan dengan iodin, sedangkan karbohidrat berantai pendek seperti disakarida dan monosakarida tidak membentuk struktur heliks sehingga tidak dapat berikatan denganiodin (Nie et al., 2013). Pati atau starch dengan iodin dapat membentuk kompleks biru, amilopektin dengan iodin akan memberi warna merah ungu sedangkan dengan glikogen dan dekstrin akan membentuk warna merah coklat. Pati yang berikatan dengan iodin akan menghasilkan warna biru. Sifat ini dapat digunakan untuk menganalisis adanya pati dengan cara pembacaan nilai absorbansinya (Cole et al., 2016).

Pemanasan yang dilakukan pada homogenat sampel jagung dan kedelai berfungsi untuk mengekstraksi kandungan karbohidrat yang ada pada sampel. Setelah pemanasan dilakukan, dilakukan sentrifugasi untu memisahkan debris sampel dan juga komponen tidak terlarut seperti halnya lipid. Supernatan yang diambil berisi karbohidrat terlarut salah satunya adalah pati atau starch. Larutan

Iodine yang ditambahkan pada supernatan sampel jagung dan kedelai akan membentuk ikatan kompleks dengan pati dan sifatnya spesifik. Oleh karena itu, dengan adanya kompleks ikatan menyebabkan perubahan warna. Semakin banyak kadar pati yang ada pada sampel maka semakin banyak pula ikatan kompleks yang terbentuk (Madhu et al., 2016). Banyaknya ikatan kompleks iodine dan pati menyebabkan pembacaan nilai absorbansinya juga akan tinggi.

Hasil pembacaan nilai absorbansi kedua sampel menunjukkan jagung memiliki kandungan pati relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kedelai. Jagung memiliki nilai absorbansi sebesar 0,748 dengan konsentrasi sebesar 16,81 µg/µl sedangkan kedelai memiliki nilai absorbansi sebesar 0,460 dengan konsentrasi sebesar 10,16 µg/µl. Nilai konsentrasi sampel tersebut dapat diketahui dengan menggunakan kurva standar pati atau starch. Nilai absorbansi yang diperoleh dari masing-masing sampel kemudian dimasukkan kedalam rumus regresi pembuatan kurva standar pati atau starch. Berdasarkan literatur yang ada, menunjukkan bahwa kandungan karbohidrat termasuk pati dari jagung lebih tinggi dibandingkan dengan kedelai (Merriman et al., 2016).

4.2.4 Pengukuran Kadar Lipid Sampel Jagung dan Kedelai

Metode yang digunakan pada praktikum analisa kadar lipid pada sampel jagung dan kedelai adalah metode Bligh-Dyer. Prinsip kerja metode ini didasarkan pada adanya perbedaan kelarutan antara lipid dengan senyawa lain yang ada pada jaringan tanaman. Isolasi berbagai golongan lipid sangat mengandalkan perbedaan kelarutannya (Eggers and Dominik, 2016). Lipid merupakan senyawa nonpolar yang hanya dapat larut dalam cairan yang bersifat nonpolar, sedangkan senyawa lain yang ada pada tanaman bersifat polar sehingga hanya dapat terlarut dalam cairan yang bersifat polar. Berdasarkan fenomena tersebut dibuatlah sebuah metode isolasi lipid dengan cara melarutkan jaringan tanaman dalam larutan campuran metanol dan chloroform. Lipid keseluruhan dapat diekstraksi dari jaringan dengan campuran metanol-chloroform (Cheirslip and Salwa, 2012). Methanol berperan sebagai larutan polar yang dapat melarutkan senyawa lain selain lipid pada jaringan tanaman, sedangkan chloroform menjadi larutan

nonpolar yang hanya dapat melarutkan lipid. Dari hasil reaksi tersebut akan terbentuk dua lapisan yakni lapisan methanol (methanol layer) yang mengandung semua senyawa selain lipid pada jaringan tanaman dan lapisan chloroform (chloroform layer) yang mengandung senyawa lipid keseluruhan yang ada pada jaringan tanaman (Cruz et al., 2016).

Sampel jagung dan kedelai yang sudah dihaluskan kemudian dihomogenisasi dan dilakukan sentrifugasi selama 10 menit untuk memisahkan methanol layer dan chloroform layer. Chloroform layer diambil menggunakan pipet pasteur dan hasilnya dituangkan pada kertas saring yang telah dikeringkan dan ditimbang. Kertas sari yang belum dituangi dengan sampel chloroform layer, ditimbang dan dicatat datanya sebagai W0, sedangkan kertas saring yang telah dituangi chloroform layer dikeringkan dalam oven hingga kadar airnya menguap kemudian ditimbang sebagai W2. W3 yang diperoleh merupakan berat sampel yang digunakan.Dari hasil pengukuran dan perhitungan yang diperoleh, diketahui bahwa kedelai memiliki persentase kandungan lipid lebih tinggi yaitu 9,89 g/100g jika dibandingkan dengan jagung yang hanya 3,37 g/100g, seperti pada hasil pengukuran yang dilakukan oleh Evangelista and Regitano pada tahun 2009 yang menyatakan kedelai dengan persentase lebih tinggi pada kandungan lipid dibandingkan jagung.

4.2.5 Pengukuran Kadar Protein Sampel Jagung dan Kedelai

Metode Bradford didasarkan pada pengikatan zat warna Coomassie Brilliant Blue G-250 ke protein, dimana zat warna ini memiliki empat formasi ion berbeda dengan nilai pKa 1.15, 1.82 dan 12.4 (Cheng et al., 2016). Bentuk kationik zat warna ini berwarna merah dan hijau dengan panjang gelombang serapan (absorbansi) maksimum pada 470 dan 650 nm. Sedangkan bentuk anioniknya berwarna biru dengan absorbansi maksimum 590 nm. Pengukuran proteinnya sendiri dilakukan dengan menentukan jumlah zat warna dalam bentuk anionik (biru), dan biasanya hal ini dilakukan dengan mengukur absorbansi larutan pada 595 nm (Golunski et al., 2016). Tingginya nilai absorbansi mengindikasikan tingginya kadar protein sampel, karena semakin banyak molekul protein yang terikat pada CBB maka kepekatannya meningkat dan menyebabkan

tingginya nilai absorbansi sampel (Sigismund and Simona, 2016). Zat warna Coomassie Blue G-250 bereaksi cepat dengan residu arginil dan lysil dari protein, sehingga hal ini menyebabkan adanya variasi hasil pengukuran untuk jenis protein yang berbeda-beda. Protein dengan residu arginil dan lysil yang lebih banyak tentu akan menghasilkan warna biru yang lebih intens dibanding protein yang residu arginil dan lysilnya lebih sedikit meskipun jumlah proteinnya sama (Caunt et al., 2016). Namun secara umum metode Bradford masih merupakan metode yang paling sesuai dan paling umum digunakan.

Dari hasil pembacaan nilai absorbansi dengan menggunakan spektrofotometri diketahui bahwa kedelai memiliki nilai absorbansi yang tinggi yaitu 0,845 setelah dilakukan pengenceran 50X dibandingkan dengan jagung sebesar 0,073 tanpa dilakukan pengenceran. Pengenceran dilakukan karena tingkat kepekatan protein sampel kedelai lebih tinggi dari jagung. Nilai absorbansi yang tinggi diasumsikan sebagai kadar protein yang tinggi pula. Nilai konsentrasi sampel dapat diketahui dengan menggunakan kurva standar protein. Nilai absorbansi yang diperoleh dari masing-masing sampel kemudian dimasukkan kedalam rumus regresi pembuatan kurva standar protein. konsentrasi protein yang tinggi ditunjukkan pada sampel kedelai walaupun sampel tersebut sudah dilakukan pengenceran 50X. Konsentrasi kedelai mencapai 75,12 µg/µl lebih tinggi dibandingkan dengan jagung yang hanya 5,88µg/µl. kedelai merupakan biji-bijian dengan kandungan protein yang tinggi (Liu et al., 2016).

4.2.6 Elektroforesis SDS-PAGE Protein dari Sampel Jagung dan Kedelai

Pada SDS-PAGE dilakukan pembuatan dua jenis gel berbeda, yaitu separating gel dan stacking gel.Separating gel berfungsi untuk memisahkan atau menseparasi protein berdasarkan berat molekulnya, bahan yang digunakan dalam praktikum yaitu akrilamid 30% sebagai bahan untuk membentuk pori-pori dalam gel agar protein dapat terpisah berdasarkan ukurannya, 1M Tris pH 8,8 untuk menstabilkan pH buffer agar muatan dari protein tidak berubah, aquadestdigunakan sebagai pelarut polar dan sebagai media polar untuk aliran listrik dalam gel, SDS digunakan untuk memutuskan ikatan disulfida dari protein

agar menjadi unfolding dan menyelubungi protein dengan muatan negatif, APS digunakan sebagai katalisator dalam polimerasi gel poliakrilamid, dan TEMED digunakan sebagai katalisator pembentukan radikal bebas dari ammonium persulfat dan sebagai pemadat sehingga pencampurannya dilakukan terakhir agar larutan tidak menjadi padat terlebih dahulu sebelum seluruh bahan tercampur. pH yang digunakan dalam separating gel yaitu 8,8 untuk mendapatkan pori-pori yang lebih kecil sehingga protein akan terseparasi dengan baik saat running (Wang et al., 2016).

Larutan gel yang telah dibuat dimasukkan dalam plate untuk mencetak gel, lalu pemberian aquadest diatas separating gel yang setengah padat bertujuan untuk membuat permukaan separating gel datar. Setelah padat aquadest diserap agar dapat dilakukan proses selanjutnya yaitu penambahan stacking gel diatas separating gel. Gel kedua yaitu stacking gel yang berfungsi untuk tempat diletakkannya sampel protein sebelum proses running dimulai. Bahan yang digunakan dalam pembuatan stacking gel ini yaitu akrilamid-bis sebagai pembentuk pori-pori untuk memisahkan protein berdasarkan ukuran yang dimilikinya, Tris pH 6,8 untuk mempertahankan pH protein agar tidak berubah, aquadest, SDS, APS, dan TEMED. Setelah seluruh bahan dicampur kemudian dituang diatas separating gel yang telah memadat untuk membuat satu rangkaian gel poliakrilamid yang dapat digunakan untuk SDS PAGE. Sisir dipasang untuk mencetak sumuran tempat sampel dimasukkan dalam gel. pH yang digunakan dalam separating gel yaitu 8,8 agar didapatkan protein tetap dalam keadaan muatan negatif (Gupta and Sheperd, 2000). pH stacking gel yang dibuat yaitu 6,8 agar kondisi pH dari stacking gel berada di bawah isoelektrik protein (pH 8) sehingga protein akan tersusun secara berjajar pada bagian bawah dari stacking gel (Wang et al., 2016)

Dalam preparasi sampel digunakan penambahan Reducing Sample Buffer atau RSB dengan perbandingan 1:1 karena RSB ini mampu memutus ikatan disulfida protein sehingga didapatkan protein dalam bentuk linier yang nantinya akan memudahkan separasi protein tersebut dalam gel saat running. Didalam RSB terdapat kandungan 1M Tris-Cl pH 6,8 untuk menjaga kondisi pH dari sampel

protein, gliserol 50% berfungsi untuk menambah berat sampel sehingga mudah turun, SDS 10% berfungsi sebagai agen pereduksi yang memutuskan ikatan disulfida sehingga protein berbentuk linier dan member muatan negatif pada protein, fungsi pembentukan muatan negatif ini untuk memudahkan separasi menuju kutub positif saat dilewatkan arus (Zhu et al., 2015). Kandungan yang lain yaitu terdapat 2-merkaptoethanol yang berfungsi untuk membantu reaksi SDS dalam memecah ikatan disulfida dari protein, dan bromophenol Blue 1% sebagai penanda atau sebagai tracking dye yang memudahkan dalam mengamati pergerakan protein saat running (Wang et al., 2016).

RSB yang digunakan dalam sampel tanaman sedikit berbeda dari sampel non tanaman, yaitu pada RSB untuk tanaman perlu ditambahkan DTT dan EDTA. Penambahan DTT ini untuk memecah ikatan disulfide dengan mendegradasi ikatan alifatik disulfide menjadi rantai polipeptida tunggal. Pada tanaman banyak terdapat jenis metabolit sekunder, sehingga untuk memaksimalkan pemecahan disulfida yang dilakukan oleh SDS dan 2-merkaptoethanol (Gupta and Sheperd, 2000). Setelah penambahan RSB, sampel protein dipanaskan pada suhu 100˚C bertujuan untuk mengoptimalkan pendenaturasian protein.

Running yang dilakukan menggunakan arus 30 mA selama 3-4 jam untuk mendapatkan hasil yang baik karena digunakan arus yang lebih kecil sehingga protein dapat terseparasi dengan baik (Wang et al., 2016). Running dilakukan untuk menseparasi protein berdasarkan berat molekul yang dimilikinya. Running buffer dengan pH 8,3 untuk menjaga kondisi fisiologis dari protein dan gel agar tetap bermuatan negatif karena berada diatas titik isoelektrik. Bagian atas dan bawah gel harus terendam running buffer karena system yang digunakan dalam elektroforesis yaitu wetsystem dan digunakan arus listrik, jika salah satu bagian tidak terendam maka arus listrik tidak dapat mengalir. Setelah running selesai, yang digunakan untuk analisis hanya separating gelsaja sedangkan stacking gel dibuang karena band-band protein hanya terdapat pada separating gel.

Langkah ahir dari SDS-PAGE yaitu staining atau pewarnaan dan destaining atau penghilangan warna. Pewarnaan ini perlu untuk dilakukan untuk membantu dalam pengamatan band protein yang terseparasi. Larutan staining yang

digunakan yaitu CBB R-250 (Coomasie Brilliant Blue), CBB ini sensitif terhadap protein yang memiliki ukuran yang beriksar antara 0,5 hingga 20 mikrogram (Wang et al.,2016). Penggoyangan perlu dilakukan untuk megoptimalkan reaksi staining yang dilakukan oleh CBB. Pencucian dengan aquadest berfungsi untuk membilas dan menghilangkan CBB yang mungkin masih tersisa pada gel. Selanjutnya dilakukan perendaman pada larutan destaining untuk menghilangkan CBB yang tersisa dan memperjelas band protein yang terbentuk serta untuk menghilangkan CBB yang tidak berada pada band protein (Zhu et al.,2015). Band protein yang ada pada gel SDS dapat dilihat setelah proses destaining.

Berdasarkan hasil SDS-PAGE yang sudah dilakukan, terlihat bahwa pada jagung terbentuk pola band protein yang sama antara ulangan J2 dan J2, J2 merupakan sampel yang diambil hasil ekstraksi jagung pada kelompok 2. Sampel J1 yang pertama, terlihat band-band proteinnya namun tipis, hal ini dimungkinkan kurang optimalnya ekstraksi protein yang dilakukan sehingga band yang terbentuk tipis. Band protein yang terbentuk tidak dapat dilihat ukurannya, karena marker yang ikut dirunning hasilnya tidak terlihat. Sampel kedelai yang muncul band proteinnya adalah sampel K1 dan K2. Sama halnya dengan sampel jagung, ukuran band protein yang terbentuk tidak dapat diketahui ukurannya. Pola band protein yang terbentuk antara jagung dan kedelai memiliki perbedaan.

4.2.7 Analisis Aktivitas Enzim Secara Kualitatif dan Kuantitatif

Biasanya enzim selulase secara komersial diproduksi dari fungi Aspergillus niger atau Trichoderma reesei (selanjutnya disebut A. niger dan T. reesei) karena dikenal memiliki produktivitas yang tinggi karena aktivitas di setiap komponen selulasenya juga tinggi. Dalam percobaan kali ini, mikroba yang dipilih sebagai isolat yang akan memproduksi sellulase dan amilase adalah Aspergilus sp.

Degradasi selulosa merupakan kerja sinergis antara endo-β-glukanase, cellobiohydrolase dan β-glukosidase. Umumnya, beberapa mikroorganisme penghasil selulase menghasilkan sedikit cellobiohydrolase dan β-glukosidase sehingga pemutasian perlu dilakukan untuk produktivitasnya.β-glukosidase adalah enzim glukosidase yang memutuskan ikatan β(1->4) glikosida antara 2 glukosa

atau molekul pengganti glukosa yang lain seperti selobiosa. Enzim ini bertindak sebagai katalis dalam proses hidrolisis residu ujung non pereduksi pada β-D-Glukosa, dengan melepaskan unit glukosa. Selulosa adalah komponen utama yang memiliki polimer ikatan β antara molekul glukosa didalamnya, dan enzim ini dibutuhkan oleh organisme tertentu seperti jamur, bakteri, dan rayap untuk bisa mengkonsumsi selulosa.

Berdasarkan hasil kualitatif uji aktivitas enzim diketahui bahwa dengan adanya penambahan Iodine akan terlihat warna ungu sebagai indikasi bahwa didalam media banyak terdapat molekul pati atau starch. Sampel jagung terbukti memiliki kandungan pati atau starch yang tinggi dengan adanya perubahan warna menjadi biru setelah dilakukan penambahan iodine. Pada kedelai belum dapat diketahui adanya aktifitas enzim sellulase maupun amilase karena tidak terjadi perubahan warna ketika ditambahkan dengan iodine.

Analisis kuantitatif menunjukkan bahwa aktivitas enzimatik paling tinggi ditunjukkan dari sampel jagung dengan tingkat aktivitas enzim mencapai 0,361. Pengukuran secara kuantitatif ini dilakukan berdasarkan nilai absorbansi sampel yang sebelumnya telah diberi DNS sebagai reagen pengikat molekul glukosa hasil pemecahan substrat yang diperoleh dari reaksi enzimatik atau aktivitas enzimnya. Baik secara kualitatif maupun kuantitatif, biakan Aspergilus sp. yang ditumbuhkan pada sampel jagung dapat dikatakan memiliki aktivitas enzim yang tinggi yaitu amilase. Tingginya aktivitas pada isolat yang dibiakkan dimedia dengan komponen sampel jagung diasumsikan bahwa jagung memiliki kadar amilum atau pati dan selulosanya juga lebih tinggi dari sampel kedelai.

BAB 5 PENUTUP

Dalam dokumen LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA (Halaman 23-34)

Dokumen terkait