• Tidak ada hasil yang ditemukan

Multiple Large Shareholders dan Asosiasinya dengan Kualitas Laba Perusahaan

ANIES LASTIATI  Universitas Indonesia

4. Hasil dan Analisis Penelitian 1. Statistik Deskriptif

Tabel 2 menunjukkan hasil statistik deskriptif untuk variabel-variabel yang dipergunakan dalam model regresi empiris dalam penelitian ini. Lebih dari separuh dari jumlah sampel memiliki pemegang saham terbesar kedua (pemegang saham kedua terbesar dengan kepemilikan lebih dari 5% dari total ekuitas perusahaan) setelah pemegang saham pengendali, yaitu sebesar 56,28% dari

keseluruhan sampel. Rata-rata kepemilikan saham terbesar kedua tersebut besarnya adalah 8,41% dari total ekuitas perusahaan, sementara total kepemilikan saham kedua, ketiga, dan keempat adalah 13,59% dari keseluruhan total modal ekuitas perusahaan.

Jika kepemilikan saham kedua dan total kedua, ketiga, dan keempat tersebut dibandingkan dengan total saham yang dipegang oleh pemegang saham pengendali, maka rasio untuk

masing-masing adalah 28,64% dan 50,31%. Sementara saham yang dipegang oleh investor asing secara rata-rata jumlahnya adalah 22.11% dari seluruh total ekuitas perusahaan.

4.2. Analisis Spearman

Tabel 3 di atas menunjukkan korelasi Spearman antar variabel yang diuji dalam penelitian ini. Secara umum koefisien korelasi antar variabel kontrol dan terutama dengan variabel yang diuji dalam penelitian ini dan variabel dependen discretionary accruals menunjukan korelasi yang lemah. Hal ini mengindikasikan rendahnya kemungkinan terjadinya multikolinearitas yang bisa mengganggu hasil regresi yang akan dilakukan.

4.3. Hasil dan Analisa Regresi

Tabel 4 menunjukkan hasil regresi multivariate dengan menggunakan model 1 hingga 7 seperti yang dijabarkan di bagian 3.2 sebelumnya. Hasil pada regresi Model 1 tidak menunjukan nilai yang signifikan di antara keberadaan pemegang saham kedua terbesar kedua setelah pemegang saham pengendali dengan tingkat discretionary accruals. Ini menunjukan bahwa hipotesa 1a yang menduga adanya asosiasi antara keberadaan pemegang saham kedua terbesar terhadap discretionary accruals tidak terbukti. Yang berarti bahwa, tingkat discretionary accruals di perusahaan sampel tidak bergantung pada ada atau tidaknya pemegang saham kedua setelah pemegang saham pengendali.

Hasil regresi model 2 hingga 5 menunjukan adanya asosiasi antara besarnya pemegang saham kedua (dan ketiga dan keempat) dan rasio jumlah saham yang dimiliki oleh pemegang saham besar tersebut dengan jumlah saham pemegang saham pengendali dengan tingkat discretionary accruals. Model 2 (3) secara khusus menguji adanya hubungan antara besarnya (rasio) jumlah saham yang dimiliki pemegang saham terbesar kedua dengan discretionary

accrual menunjukan adanya asosiasi yang cukup (sangat) signfikan positif di antara kedua variabel. Hasil positif ini menunjukan bahwa keberadaan pemegang saham kedua (dan besarnya rasio jumlah saham yang dipegangnya dibanding dengan pemegang saham pengendali) ternyata justru menaikan tingkat discretionary accruals perusahaan.

Hal yang serupa juga ditemukan pada model 4 (5). Kedua model yang menguji besarnya (rasio) jumlah saham pemegang saham kedua, ketiga dan keempat secara bersama-sama (dan dibandingkan dengan jumlah saham pemegang saham pengendali) juga menunjukan hubungan yang sangat (cukup) signifikan positif terhadap tingkat discretionary accruals. Inferensi yang serupa juga dapat ditarik bahwa semakin besar jumlah saham (rasio) yang dimiliki ketiga kelompok pemegang saham ini secara bersama-sama (dan dibandingkan dengan jumlah saham yang dipegang oleh pemegang saham pengendali) maka akan semakin besar tingkat discretionary accruals perusahaan.

Terdapat beberapa kemungkinan penjelasan atas inferensi ini. Yang pertama, pemegang saham kedua (dan ketiga dan keempat) di perusahaan-perusahaan sampel memiliki kepentingan yang sejalan dengan kepentingan manajemen, yang mungkin berbeda dengan kepentingan umum pemegang saham minoritas (Kim, Kitsabunnarat-Chatjuthamard, & Nofsinger, 2007) atau MLS memiliki agenda lain tersendiri selain dari tujuan untuk meningkatkan shareholder value (Thomsen, Pedersen, & Kvist, 2006).

Alasan kedua untuk menjelaskan hubungan positif signifikan di atas adalah fakta bahwa banyak di antara pemegang saham yang termasuk dalam MLS di dalam sampel yang termasuk dalam penelitian ini merupakan afiliasi atau perusahaan dengan kepemilikan yang serupa dengan pemegang saham pengendali, atau merupakan anggota keluarga dari, atau termasuk dalam kelompok bisnis yang sama dengan pemegang saham pengendali (Claessens & Lang, 2000). Contohnya: salah satu sampel perusahaan PT BW Plantation yang dimiliki

39% sahamnya oleh BW Investindo, dan pemegang saham keduanya adalah Fendalton Investments sebesar 23%. Meskipun jumlah maupun rasio pemegang saham kedua terhadap saham pertama cukup besar, namun kepentingan yang diusung oleh pemegang saham kedua belum tentu tidak beraliansi dengan kepentingan pemegang saham pengendali. Dibutuhkan analisa lebih mendalam mengenai identitas dan hubungan afiliasi/keluarga di antara para pemegang saham suatu perusahaan untuk mengkonfirmasi penjelasan ini.

Di luar alasan pertama dan kedua di atas, terdapat kemungkinan ketiga yang sedikit berbeda dengan kedua penjelasan di atas. Hubungan yang positif antara struktur kepemilikan MLS dengan discretionary accruals dapat saja disebabkan oleh sifat dasar atau jenis discretionary accruals yang dikeluarkan perusahaan. Discretionary accruals yang dibuat dengan tujuan efisiensi, untuk menjamin profitabilitas perusahaan di masa yang akan datang, alih-alih bermotifkan oportunistik dan menguntungkan kepentingan manajemen, tentu akan mendapat dukungan dari para pemegang saham, baik pemegang saham pengendali maupun pemegang saham dalam kelompok MLS. Kemungkinan ini tidak dapat diabaikan mengingat jenis discretionary accruals yang banyak ditemukan di perusahaan-perusahaan di Indonesia bersifat efisien (Siregar & Utama, 2008). Tentu saja argumen ini masih perlu dilakukan pengujian lebih lanjut atas keakurasiannya.

Hasil regresi model 6 menunjukan nilai yang positif dan cukup signifikan. Tingginya dispersi jumlah saham antara satu pemegang saham dengan pemegang saham berikutnya (antara yang pertama dengan yang kedua, ketiga, dan keempat), menyebabkan pemegang saham pertama memiliki kekuasaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pemegang saham lainnya (Attig, Guedhami, & Mishra, 2008).

Secara umum hipotesa pertama terbukti dalam penelitian ini. Perkecualian ditemukan pada sub- hipotesa 1a, yang menyebutkan bahwa keberadaan pemegang saham kedua akan berasosiasi dengan tingkat discretionary accruals yang tidak terbukti.

Konsisten dengan Chung, Ho, & Kim (2004), model 7 membuktikan bahwa perusahaan yang sahamnya dimiliki oleh investor asing memiliki kualitas pelaporan yang lebih baik, ditunjukan dengan hubungan yang negatif antara jumlah pemegang saham asing dengan tingkat discretionary accruals. Hal ini sekaligus membuktikan hipotesa kedua.

Untuk variabel kontrol, hanya variabel PRESDIR yang mewakili dimilikinya saham perusahaan oleh Presiden Direktur perusahaan tersebut yang menunjukan hasil yang signifikan positif terhadap tingkat discretionary accruals secara konsisten. Asosiasi positif ini menunjukan bahwa Presiden Direktur di perusahaan sampel memiliki insentif untuk memengaruhi kualitas laba perusahaan saat nilai kompensasinya terpengaruh oleh besarnya laba perusahaan (Klein, 2002).

Meski tidak terlalu konsisten, namun nilai absolut delta laba bersih perusahaan juga menunjukan angka yang signifikan negatif (yang sesuai dengan prediksi) kecuali pada model-model 3 dan 5. Sementara natural log total aset perusahaan tidak memiliki asosiasi dengan tingkat discretionary accruals perusahaan.