• Tidak ada hasil yang ditemukan

Multiple Large Shareholders dan Asosiasinya dengan Kualitas Laba Perusahaan

ANIES LASTIATI  Universitas Indonesia

2. Kajian Literatur dan Pengembangan Hipotesa

2.1.Discretionary accruals (DA)

Penelitian tentang accruals, terutama discretionary accruals telah banyak dilakukan dalam riset-riset akuntansi. Hal ini tidak mengherankan mengingat betapa pentingnya peranan accruals dalam mencerminkan kinerja keuangan perusahaan. Laba accruals dianggap memiliki keunggulan dibandingkan cash flow sebagai alat ukur kinerja perusahaan karena dapat memitigasi perbedaan waktu dan masalah tidak matchnya antara pengakuan dan perolehan yang terkandung di balik angka cash flow (Dechow, Sloan, & Sweeney, 1995). Selain itu, fleksibilitas yang dibolehkan oleh aturan (seperti GAAP) bagi manajer untuk menentukan besarnya accruals juga memungkinkan manajer untuk dapat menggambarkan informasi yang memiliki value relevance, yang sejatinya tidak dapat tergambarkan pada komponen non-discretionary (Subramanyam, 1996).

Karena sarat dengan diskresi manajemen, accruals dapat menjadi alat yang bermanfaat untuk dapat meningkatkan informativeness laba, lewat pengkomunikasian informasi yang bersifat

privat (Watts & Zimmerman, 1986 dan Healy & Palepu, 1993). Pada pasar yang bersifat efisien, pasar modal cenderung memberi penilaian dan merefleksikan discretionary accrual pada harga saham. Selain itu discretionary accrual juga dapat memrediksi profitabilitas di masa yang akan datang, dan juga memperkirakan pergerakan dividen (Subramanyam, 1996).

Watts & Zimmerman (1986) dan Healy & Palepu (1993) lebih lanjut menyatakan bahwa accruals dapat menjadi alat yang dimanfaatkan oleh manajemen dengan motivasi oportunistik, yang karenanya menyebabkan distorsi terhadap kualitas laba yang dilaporkan. Sifat oportunistik ini berlandaskan pada masalah-masalah keagenan yang muncul pada kondisi saat tersedia insentif dan peluang untuk melakukan sesuatu yang sesuai dengan kepentingan pribadi seseorang. Masalah keagenan ini bisa terjadi baik antara perusahaan dengan pemegang saham, maupun dengan pemberi pinjaman. Contohnya, perusahaan dapat saja menggembungkan labanya di tahun-tahun sebelum perusahaan melakukan pelanggaran terhadap perjanjian kontrak pinjam-meminjamnya (covenant) dengan pemberi pinjamannya (DeFond & Jiambalvo, 1994).

Di lain pihak, Subramanyam (1996) menyatakan bahwa discretionary accruals merupakan indikator yang baik untuk memprediksi perilaku manajemen yang efisien, pada saat angka ini dapat memrediksi profitabilitas perusahaan di masa yang akan datang. Di Indonesia, Siregar dan Utama (2008) mendapatkan bahwa tipe discretionary accruals yang ditemukan pada perusahaan-perusahaan Indonesia cenderung bermotifkan efisiensi manajemen alih-alih dilandasi perilaku oportunistik.

2.2.Hubungan Discretionary accruals (DA) dengan Struktur Kepemilikan yang Memiliki Banyak Pemegang Saham Besar (Multiple Large Shareholders (MLS)) setelah Pemegang Saham Pengendali

Berbagai penelitian di masa lalu telah memusatkan perhatian pada peranan Good Corporate Governance (CG) untuk mengatasi masalah keagenan terutama dalam pelaporan keuangan. Penelitian-penelitian itu mencoba mengaitkan berbagai aspek CG dalam memengaruhi kualitas laba yang berhubungan dengan discretionary accrual. Ditemukan bahwa abnormal accruals tidak saja berhubungan secara negatif dengan keberadaan komite audit dan independensi Board (Klein, 2002), namun berhubungan negatif juga dengan keberadaan pemegang saham institusional (Velury & Jenkins, 2006). Dalam hal Corporate governance dari penelitian ini, penulis akan memfokuskan kepada keberadaan pemegang saham terbesar kedua, ketiga, dan keempat sebagai alternatif monitoring atas pemilik pengendali atas pengelolaan keuangannya.

Attig, Guedhami, & Mishra (2008) menyatakan bahwa pemegang saham minoritas kemungkinan besar dapat menjadi korban akibat motivasi oportunistik yang dimiliki oleh pemegang saham pengendali, saat kelompok pemegang saham ini memiliki akses yang besar dalam memengaruhi pengelolaan keuangan perusahaan melalui manajemennya. Dengan demikian, adanya pemegang saham terbesar kedua, ketiga, dan keempat akan lebih merepresentasikan aspirasi pemegang saham lainnya selain pemegang saham pengendali dalam hal keterlibatan mereka dalam aktifitas monitoring terhadap manajemen perusahaan. Dalam studinya, Attig, Guedhami, & Mishra (2008) lebih lanjut menemukan bahwa keberadaan pemegang saham terbesar kedua, ketiga dan keempat akan meningkatkan aktifitas monitoring dan akhirnya mengurangi terjadinya asimetri informasi pada para pemegang saham. Hal ini akan meningkatkan kepercayaan pemberi pinjaman atas kualitas pelaporan keuangan sehingga bunga modal pada akhirnya dapat ditekan akibat berkurangnya akibat asimetri informasi.

Jiambalvo, Rajgopal, & Venkatachalam, (2002) juga mendukung argumen ini dengan menyebutkan bahwa perusahaan yang memiliki kepemilikan institusional yang tinggi

cenderung memiliki harga saham yang lebih tinggi dibandingkan dengan labanya, dan perusahaan yang memiliki struktur kepemilikan asing dan didanai lewat obligasi cenderung memiliki valuasi atas discretionary accrual yang tinggi (Chung, Ho, & Kim, 2004). Hal ini karena market akan mengapresiasi adanya pemegang saham lainnya yang membantu melakukan aktifitas monitoring sehingga kualitas pelaporan akan menjadi lebih baik.

Pemegang saham terbesar kedua, ketiga, dan keempat (selanjutnya disebut MLS) pada penelitian ini secara khusus menyorot pada jumlah saham kepemilikan yang dimiliki para pemegang saham MLS tersebut. Berbeda dari penelitian (Attig, Guedhami, & Mishra, 2008) yang melakukan studinya berdasarkan hak suara (voting rights) dari pemegang saham MLS, fokus penelitian ini adalah pada peranan pemegang saham MLS berdasarkan pada jumlah lembar sahamnya yang dipegang MLS dibandingkan dengan total ekuitas perusahaan. Banyak studi yang menyatakan bahwa hak suara (voting rights) bagi para pemegang saham sulit teridentifikasi (Claessens & Lang, 2000) dan (Claessens, Djankov, Fan, & Lang, 2002). Karena data atas voting rights yang kurang tersedia di Indonesia, maka penelitian ini menggunakan jumlah lembar saham sebagai dasar penetapan MLS.

Hubungan antara kepemilikan pemegang saham yang besar sudah banyak juga diteliti. Kepemilikan yang besar ini dipandang memiliki dampak positif maupun negatif bagi tata kelola perusahaan, terutama bagi pemegang saham minoritas. Pemegang saham yang besar memiliki keuntungan karena memiliki kekuasaan memonitor operasi dan manajemen perusahaan secara efektif (Kim, Kitsabunnarat-Chatjuthamard, & Nofsinger, 2007), yang terkadang dimanfaatkan oleh para pemegang saham minoritas. Pada kondisi seperti ini, maka MLS yang memegang fungsi monitoring diharapkan dapat menekan terjadinya discretionary accruals, terutama yang dilandasi oleh motivasi oportunistik, yang ditunjukan dengan asosiasi yang negatif antara MLS dengan besarnya discretionary accruals.

Meski demikian, keuntungan peran monitoring yang dipegang MLS ini bisa saja menjadi merugikan bagi pemegang saham minoritas manakala kepentingan MLS ini berbeda atau tidak sejalan dengan kepentingan pemegang saham minoritas (Kim, Kitsabunnarat-Chatjuthamard, & Nofsinger, 2007) atau saat MLS memiliki tujuan lain selain meningkatkan shareholder value (Thomsen, Pedersen, & Kvist, 2006). Pada keadaan seperti ini keberadaan MLS justru akan dapat mendorong terbentuknya discretionary accruals, terutama saat kepentingan MLS sejalan dengan kepentingan manajemen dan saat MLS memiliki akses terhadap informasi privat perusahaan dibandingkan dengan pemegang saham lainnya (Velury & Jenkins, 2006). Dengan kata lain, keberadaan dan besarnya MLS akan memiliki asosiasi yang positif dengan tingkat discretionary accrual yang dimiliki perusahaan.

Penelitian ini mempelajari apakah pemegang saham yang kedua terbesar (dan pemegang saham besar lain) setelah pemegang saham pengendali memegang peran monitor terhadap pemegang saham pengendali dalam hal mengendalikan tingkat discretionary accruals. Mengikuti pola model yang digunakan oleh (Attig, Guedhami, & Mishra, 2008), dan berdasarkan diskusi di atas, maka disusun hipotesa pertama, yang terbagi dalam enam sub-hipotesis sebagai berikut:

H1a: Keberadaan pemegang saham besar kedua akan berasosiasi dengan tingkat discretionary accruals perusahaan

H1b: Besarnya jumlah saham yang dipegang pemegang saham besar kedua akan berasosiasi dengan tingkat discretionary accruals perusahaan

H1c: Rasio besarnya jumlah saham yang dipegang pemegang saham besar kedua dengan jumlah saham yang dipegang oleh pemegang saham pengendali akan berasosiasi dengan tingkat discretionary accruals perusahaan.

Dengan mempertimbangkan kemungkinan bahwa terjadi koalisi antara pemegang saham terbesar kedua, ketiga dan keempat kemudian secara bersama-sama memegang peran monitoring terhadap pemegang saham pengendali, disusun sub-sub hipotesa berikut ini:

H1d: Besarnya jumlah saham yang dipegang pemegang saham besar kedua, ketiga, dan keempat secara total akan berasosiasi dengan tingkat discretionary accruals perusahaan.

H1e: Rasio besarnya jumlah saham yang dipegang pemegang saham besar kedua, ketiga, dan keempat secara total dibanding dengan jumlah saham yang dipegang pemegang saham pengendali akan berasosiasi dengan tingkat discretionary accruals perusahaan.

Yang terakhir, diuji variabel yang merepresentasikan dispersi pengendalian dari pemegang saham di antara keempat pemegang saham terbesar di suatu perusahaan dengan cara menjumlahkan kuadrat selisih jumlah saham yang dimiliki di antara pemegang saham pertama, kedua, ketiga, dan keempat. Semakin besar dispersi ini maka akan semakin tinggi jumlah lembar saham yang dimiliki pemegang saham yang lebih banyak memiliki saham dibanding yang sesudahnya, sehingga semakin rendah kekuasaan pemegang saham yang lebih sedikit kepemilikannya untuk memonitor atau memengaruhi pemegang saham yang lebih tinggi jumlahnya, dengan hipotesa sebagai berikut:

H1f: Dispersi pengendalian dari pemegang saham di antara keempat pemegang saham terberak di suatu perusahaan akan berasosiasi dengan tingkat discretionary accruals perusahaan.

Karena alasan yang telah disebutkan di atas, maka arah asosiasi dari keenam sub-hipotesa dari hipotesa pertama ini belum dapat ditentukan.

Selanjutnya, dalam penelitian ini juga akan diuji struktur kepemilikan perusahaan yang dikuasai (dimiliki sebagian) oleh pemegang saham asing atau yang berasal dari luar negara Indonesia. Chung, Ho, & Kim (2004) menemukan bahwa perusahaan yang dimiliki oleh pemodal asing akan memiliki kecenderungan untuk mengeluarkan laporan dengan kualitas yang lebih baik dan memiliki tingkat asimetri informasi yang rendah. Sebagai konsekuensinya, asosiasi antara jumlah investor asing dalam perusahaan dengan discretionary accruals yang terdapat dalam laporan keuangan perusahaan tersebut akan memiliki hubungan yang negatif, yaitu semakin besar proporsi jumlah pemegang saham asing, semakin rendah tingkat discretionary accruals.

H2: Keberadaan pemegang saham asing akan berhubungan secara negatif dengan tingkat discretionary accruals perusahaan.