• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Analisis Semiotik Film Air Mata Surga Teori John Fiske

John Fiske menjelaskan bahwa peristiwa film dikonstruksi dalam tiga level analisis, yaitu level realitas, level representasi, dan level ideologi. Hasil analisis yang penulis lakukan, menggunakan analisis Semiotik teori John Fiske, diantaranya:

1. Analisis pada Level Realitas

Kode-kode sosial pada level pertama ini meliputi appearance

(penampilan), dress (kostum), make up (riasan), environment

(lingkungan), behavior (perilaku), speech (cara berbicara), gesture

(gerakan), dan expression (ekspresi). a. Level Realitas kategori environment

Gambar 2. Becak melaju melewati rumah Fisha

Gambar 3. Suasana lingkungan sekitar rumah Fisha

Menurut John Fiske (2014:34), komunikasi terjadi melalui kode-kode berlandaskan budaya yang dikirim oleh medium. Sebuah tanda sendiri merupakan sesuatu yang bersifat fisik, dapat diterima indera manusia, mengacu pada sesuatu di luar dirinya, dan bergantung pada

pengenalan dari para pengguna bahwa itu adalah tanda. Rumah, mobil, perabot, pada awalnya didefinisikan melalui fungsi teknologis dan selanjutnya dapat melalui desain, atau fungsi komunikatif.

Gambar 1 memberikan suasana lingkungan rumah Fisha yang berada di wilayah desa. Hal ini digambarkan dengan adanya ibu penjual jamu yang sedang berjalan membawa bakul gendong. Selain itu juga terdapat beberapa tukang becak yang sedang mengantar maupun sedang menunggu penumpang (gambar 2 dan gambar 3). Ibu penjual jamu, bapak tukang becak, serta penggambaran lingkungan merupakan sebuah tanda bahwa objek lingkungan berada di desa. Potongan gambar tersebut merupakan berlakunya fungsi komunikatif dalam penyampaian gambar kepada khalayak.

b. Level Realitas kategori Perilaku (behavior)

Menurut John Fiske, kode-kode yang muncul atau yang digunakan dalam acara televisi saling berhubungan, sehingga terbentuk sebuah makna. Teori ini menjelaskan bahwa realitas tidak muncul begitu saja melalui kode-kode yang timbul, namun juga diolah melalui penginderaan manusia sesuai referensi .

Pada subjek ini, penulis menganalisis keterkaitan kode yang ingin dimunculkan. Selain diberikan suguhan, film ini mengajarkan kepada penonton untuk berlaku hormat. Bentuk teguran yang diberikan Fikri kepada asistennya, Astuti, merupakan sebuah kode yang bermakna berlaku sopan ketika bertemu tamu. Tokoh Astuti main game, dalam potongan film tersebut merupakan sebuah realitas yang sering ditemui di masyarakat. Pentingnya pemahaman untuk bersikap sosial dan individualisme diajarkan melalui film ini.

Barthes, dalam Budiman (2011:145) berkata bahwa sebuah tanda merupakan perpaduan yang tak dapat terpisahkan antara penanda dan petanda. Lapisan penanda dan penanda merupakan lapis ekspresinya, sedangkan petanda-petanda adalah lapis isinya. Ekpresi memberikan gambaran, menjelaskan emosional tokoh dalam menyampaikan pesan kepada khalayak. Hal ini pula yang ingin disampaikan oleh pemain film tersebut melalui ekspresi yang dimunculkan oleh tokoh Fisha.

Ekspresi wajah menurut John Fiske (2014:113), dapat dijabarkan ke dalam beberapa sub kode dari alis, bentuk mata, bentuk mulut, dan ukuran lubang hidung. Hal-hal tersebut di dalam berbagai kombinasi, menentukan ekspresi wajah, dan memungkinkan untuk menulis ‘tata bahasa’ dari kombinasi dan makna dari berbagai sub-kode tersebut.

Little John (2009:251) berpendapat bahwa Rupa mengacu pada gambar diri seseorang di hadapan orang lain. Hal ini melibatkan rasa hormat, kehormatan, status, koneksi, kesetiaan, dan nilai-nilai lainnya. Ekspresi Halimah, menunjukkan rupa wibawa di depan anak-anak dan ibunya. Dagu yang sedikit diangkat ke atas dan mimik wajah menggambarkan dirinya memiliki rasa hormat yang tinggi.

2. Analisis pada Level Representasi

John Fiske, analisis level representasi dalam bahasa tulis terbagi menjadi kata, kalimat, proposisi, foto, grafik, dan sebagainya. elemen-elemen tersebut ditransmisikan ke dalam kode representasional yang dapat mengaktualisasikan, antara lain karakter, narasi, action, dialog, setting, dan sebagainya.

Sebagai refleksi dari realitas, film sekedar “memindah” realitas ke layar tanpa mengubah realitas itu. Sementara itu, sebagai representasi dari realitas, film membentuk dan “menghadirkan kembali” realitas berdasarkan kode-kode, konvensi-konvensi, dan ideologi dari kebudayaannya.

Kode-kode yang termasuk dalam level ini berkaitan dengan kode-kode teknik, seperti kamera, pencahayaan, penyutingan, musik, dan suara yang mentransmisikan kode-kode representasi konvensional, yang membentuk: naratif, konflik, karakter, aksi, dialog, setting, dan casting.

Gambar 7. Ruang kerja Fikri setelah menikah dengan Fisha

Gambar 10

Menurut Sobur (2016:128), film dibangun dengan tanda. Tanda-tanda itu termasuk berbagai sistem Tanda-tanda yang bekerja sama dengan baik untuk mencapai efek yang diharapkan. Sistem penting semiotik dalam film adalah digunakannya tanda-tanda ikonis, yakni tanda-tanda yang menggambarkan sesuatu.

Gambar di atas, telah menjelaskan bahwa Fisha menjadi seorang yang memberikan inspirasi bagi Fikri, setelah meninggal, inspirasi Fikri mulai hilang. Hal tersebut dijelaskan melalui tanda-tanda ikonis dalam film. Barang-barang di dalam ruang kerja Fikri, setelah Fisha meninggal, juga ikut menghilang.

Fisha, dalam film tersebut merupakan seseorang yang menginspirasi Fikri. Gambar 10, merupakan kondisi awal ruang kerja Fikri sebelum bertemu Fisha. Fisha yang merupakan mahasiswa bimbingan tesisnya, membuatnya jatuh hati hingga memberanikan diri menikahi Fisha.

Perjalanan liku-liku kehidupan tersebut berakhir dengan meninggalnya Fisha karena sakit kanker. Kode simbolik rasa kehilangan Fikri yang mendalam digambarkan melalui ruang kerja yang kembali pada awal saat-saat fikri tak punya inspirasi.

Gambar 11. Fisha mendapat pesan dari Fikri Pesan pendek dari Fikri untuk Fisha: “rantingku. Kapan pulang?”

Kata rantingku menunjuk kepada Fisha. Ranting sendiri merupakan panggilan lain dari pasangan yang saling memiliki.

Representasi yang ditunjukan di film tersebut merupakan perwakilan perasaan Fikri. Adanya kata rantingku menguatkan pesan bahwa ikatan mereka berdua sebagai pasangan. Rantingku merupakan sebuah simbol yang disampaikan kepada penonton.

3. Analisis pada Level Ideologi

Ilmu sosial mengenal dua jenis ideologi, yaitu Ideologi secara fungsional dan secara struktural. Ideologi secara fungsional diartikan seperangkat gagasan tentang kebaikan bersama atau tentang masyarakat dan negara yang dianggap paling baik. Sedangkan ideologi struktural diartikan sebagai sistem kebenaran, seperti gagasan dan formula politik atas setiap kebijakan dan tindakan yang diambil oleh penguasa (Sobur, 2016:216).

Dalam level ini, penulis berfokus pada kode matrealisme yang digambarkan dalam film dengan menyertakan bukti berupa potongan gambar dalam Film.

Gambar 13

Gambar 14. Pertemuan keluarga Riri dan Keluarga Fikri

Sobur (2016:168), individu berusaha membuat seluruh aspek hidupnya berhubungan dalam suatu pola tertentu, dan mengatur strategi bagaimana ia ingin dipersepsi oleh orang lain. Status sosial tinggi tokoh-tokoh tersebut digambarkan melalui style yang mereka pakai, seperti kalung, gelang, pakaian bermerek, meja makan, serta bagaimana cara

aspek lahiriah dari gaya hidup mewah menggunakan simbol-simbol, dan memberikan nilai simbolik pada objek di sekitarnya.

Fikri dijodohkan dengan Riri yang memiliki status sosial sama dengan keluarga Fikri. Namun Fikri menolak, karena Fikri sudah memiliki calon sendiri yakni Fisha. Status sosial yang sama menjadi salah satu latarbelakang terjadinya sebuah hubungan sosial. Halimah, menginginkan anaknya menikah dengan Riri yang memiliki status sosial sama. Gaya hidup dihubungkan dengan kelas ekonomi dan menunjukkan citra seseorang. Hal tersebut disampaikan melalui perkataan Halimah:

“Mau kamu itu apa sih Fik?. Riri itu, bibit, bebet, bobotnya udah jelas”.

Gambar 16. Ibu Fisha dan Ibu Fikri (Halimah)

Halimah : “Seneng ya, akhirnya dapat anak orang kaya, jadi ngga harus kerja keraskan”

Ibu Fisha: “Maksud bu Halimah?” Halimah : “Kita realistis aja”

Gambar di atas menunjukkan salah satu perbedaan kelas sosial. Halimah, yang memiliki status sosial lebih tinggi berargumen dengan Ibu Fisha. Halimah yang berkata: “seneng ya, akhirnya dapat anak orang kaya, jadi ngga harus kerja keraskan”.

Kode matrealisme dijelaskan secara langsung melalui bahasa yang disampaikan Halimah dalam percakapannya dengan ibu Fisha.

B. Nilai-nilai Islam dalam Film Air Mata Surga

Penelitian ini menjelaskan mengenai nilai-nilai Islam menggunakan analisis Semiotik teori John Fiske. Hasil analisis penulis di antaranya:

1. Tahap Realitas

a. Level realitas kategori Penampilan

Gambar 17. Penampilan Hamzah dan Fisha

Menurut Argyle dalam Fiske (2014: 112), membedakan penampilan menjadi dua. Pertama, aspek yang terkontrol dengan mudah, seperti rambut, pakaian, kulit, cat, dan aksesoris tubuh. Kedua, aspek yang lebih sukar dikendalikan, seperti tinggi badan, berat badan, dan sebagainya.

Menurut Fiske, penampilan digunakan untuk mengirimkan pesan mengenai kepribadian, status sosial, dan, khususnya, penerimaan. Hal tersebut dijelaskan seperti dalam film Air Mata Surga, mengenai penampilan yang memberikan penggambaran latarbelakang suatu agama.

Pada gambar 17, pakaian Hamzah dan Fisha merupakan suatu gambaran penampilan yang menjadi khas seorang yang disebut muslim dan muslimah. Hamzam dengan penutup kepala berwarna putih yang disebut

kopiah, dan Fisha menggunakan pakaian panjang dan berilbab.

Menutup aurat. Dewi Sandra sebagai pemain Fisha dalam film tersebut, menggunakan daleman kerudung. Meski menggunakan baju tidur, Fisha tetap menggunakan penutup kepala. Dalam realitasnya, Dewi Sandra tetap menutup aurat di dalam film yang berlatar kamar tidur.

Busana yang dipakai oleh oleh tokoh tersebut dalam agama Islam sesuai dengan Al-Qur’an Surat (Qs) Al-Ahzab [33]ayat 59:

“Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal,karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pegampun lagi Maha Penyayang”

Rasulullah SAW bersabda:

“sesungguhnya wanita jika sudah baligh maka tidak boleh nampak dari anggota badannya kecuali ini dan ini (beliau mengisyaratkan ke muka dan telapak tangan)” (HR. Abu Dawud dan Al-Baihaqi).

Sajadah berkaitan dengan kode simbolik salah satu alat ibadah agama Islam. Hal ini diperkuat dengan dialog Fikri dengan Fisha: “mau sholat?”. Sholat adalah beribadah kepada Allah dengan bacaan tertentu, perbuatan tertentu yang telah maklum diketahui dengan niat dan syarat-syarat tertentu (Sillaturohmah, 2014:106).

Gambar 21. Fisha berdoa seusai sholat

Sholat merupakan sarana penguatan jiwa, bahwa manusia diciptakan oleh Allah dalam keadaan yang lemah dan terbatas. Film ini mengajarkan kepada khalayak untuk menyerahkan semuanya kepada Allah melalui berbagai jalan kebaikan, salahsatunya dengan ibadah sholat. Sebagaimana Allah berfirman: “tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan (agar) mereka menyembah-Ku” (Q.S. Adz-Dzariyat: 56).

Q.S Al-An’am, ayat 162-164:

dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).’ Katakanlah: ‘apakah aku akan mencari Rabb selain Allah, padahal Dia adalah Eabb bagi segala sesuatu. Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian dia kepada Rabb-mu-lah kamu kembali, dan akan dibertakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihlan.’”

b. Level realitas kategori Perilaku

Gambar 22. Fisha bersalaman dangan Hamzah

Hamzah mengucapkan selamat kepada Fisha. Di gambar tersebut, merupakan sebuah objek cara bersalaman dalam Islam. Tidak menyentuh yang bukan mahramnya. Yang dilakukan oleh Hamzah dan Fisha merupakan level kode realitas kategori behaviour (perilaku).

Gambar 23

Melalui gambar ini, dapat diketahui bahwa perilaku umat Islam, yaitu beribadah kepada Allah. Ibadah, menurut Sillaturohmah (2014:36), mencakup rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, khasyyatullah (takut kepada Allah), inabah (kembali) kepada-Nya, ikhlas kepada-Nya, sabar terhadap hukum-nya, ridha terhadap qadha-Nya, tawakal, mengharap nikmat-Nya, dan takut dari siksa-Nya.

Tergambar Fisha menggunakan mukena dan Fikri berbaju koko dan berkopyah.Sequence ini menjelaskan kode keislaman yang dilakukan Fisha dan Fikri melalui sholat. Penulis menganalisis bahwa pada gambar 23 merupakan analisis teori John Fiske Level realitas dengan kategori perilaku.

Gambar 24

Gambar 25, Halimah mengobrol dengan Ibu Fisha

Dalam gambar ini, penulis menganalisa tentang budaya menggunakan tangan kanan ketika makan menurut orang Islam. Dalam film ini, tidak memberikan cerminan contoh pada penonton. Adik Fisha, dalam Film tersebut sebanyak 2 kali menggunakan tangan kiri.

C. Level Realitas kategori Ekspresi

Gambar 26, Weni membaca surat cinta Fisha

Weni mengucapkan Subhanallah setelah membaca surat cinta Hamzah untuk Fisha. Dalam film ini, dijelaskan realitas tokoh yang ditampakan dalam elemen berupa dialog antar tokoh Fisha dan Weni. Subhanallah memiliki arti maha suci Allah, yang diucapkan karena dalam keadaan heran terhadap isi surat yang diberikan Hamzah kepada Fisha.

Gambar 26 merupakan sebuah kode semiotik pada level realitas yakni peristiwa yang ditandakan sebagai realitas berupa perilaku, percakapan ekspresi yang menghasilkan makna kekaguman terhadap isi surat tersebut.

2. Analisis pada Level Representasi

Gambar 27. Fisha mengajar

Simbol merupakan acuan wawasan, memberi “petunjuk” bagaimana warga budaya tertentu menjalani hidup, media sekaligus pesan komunikasi, dan representasi realitas sosial.

Papan tulis dengan tulisan Arab, penyampaian simbol semiotik dengan tahap representasi. Gambar tersebut menampakan bahasa tulis berupa tulisan huruf Arab yang dalam agama Islam merupakan pembelajaran pemula sebagai tahap awal membaca dan memahami Al-Qur’an yang merupakan kitab suci agama Islam.

Selain itu, nilai islam dalam sequence tersebut juga diperkuat oleh ucapan “Assalamualaikum”, sebagai pembuka pertemuan Fisha pada hari itu.

Gambar 28 Dialog:

Fikri : “Aku tak ingin jarak memisahkan kita, seperti urat dan nadi, seperti nafas dan jantung. Karena Allah, aku ingin mempersunting kamu”

“seperti urat dan nadi”, “seperti nafas dan jantung”, merupakan sebuah simbol keseriusan Fikri pada Fisha. Hubungan yang dijelaskan melalui dialog tersebut menjelaskan bahwa Fikri menginginkan Fisha menjadi pasangan hidupnya. Menjadikan mereka dekat seperti urat dan nadi, dan seperti nafas dan jantung.

Gambar 29. Berjabat tangan dan mengucapkan salam

Sobur (2016:177), “semua makna budaya diciptakan dengan menggunakan simbol-simbol”. Simbol merupakan suatu objek atau peristiwa apa pun yang menunjuk pada sesuatu yang dapat kita rasakan dan alami.

Gambar tersebut merupakan kebudayaan yang mengandung simbol. Bersalaman merupakan budaya masyarakat di Indonesia. Budaya tersebut secara tidak langsung merupakan sebuah simbol, bahwa bentuk persaudaraan, keakraban, kedekatan bisa terwakili melalui salaman.

3. Analisis pada Level Ideologi

Gambar 30. Pertemuan keluarga Fikri dengan keluarga Riri

Sequence ini, menjelaskan tahap ke tiga pengkajian oleh John Fiske yaitu tahap ideologi. Potongan gambar tersebut menjelaskan mengenai keluarga Fikri yang berasal dari latarbelakan keluarga kaya. Terlihat dari model pakaian, tempat mereka bekerja, dan dialog yang dilakukan dalam film. Tahap ideologi ini tercerminkan pada cara pandang ibu Fikri yang melihat segala sesuatu dalam bentuk materi.

Islam mengajarkan bahwa apa yang ada di langit dan di bumi adalah milik Allah semata,sehingga seorang hamba tidak perlu khawatir bahkan berlaku sombong terhadap apa yang dimilikiNya. Allah SWT berfirman:

ﺎَﻟ ْﻢُھَﺮَﺜْﻛَأ ﱠﻦِﻜَٰﻟَو ﱞﻖَﺣ ِﮫﱠﻠﻟٱ َﺪْﻋَو ﱠنِإ ٓﺎَﻟَأ ِضْرَﺄْﻟٱَو ِتَٰﻮَٰﻤﱠﺴﻟٱ ﻰِﻓ ﺎَﻣ ِﮫﱠﻠِﻟ ﱠنِإ ٓﺎَﻟَأ

َنﻮُﻤَﻠْﻌَﯾ

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan serta hasil yang diperoleh dan dideskripsikan pada bab-bab sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

a. Level realitas, pada level ini peneliti dapat menarik kesimpulan bahwa nilai-nilai dakwah Islam disampaikan melalui kode-kode sosial yang terdapat dalam film Air Mata Surga diantaranya:

1. Kategori penampilan berupa pakaian yang digunakan Hamzah dan Fisha berupa kopiah dan jilbab yang merupakan kode sosial seorang muslim dan muslimah.

2. Kategori Perilaku, nilai dakwah Islam disampaikan melalui kode sosial dalam gambar 22. Hamzah bersalaman dengan Fisha tanpa saling bersentuhan.

b. Level Representasi, dalam level ini nilai-nilai Dakwah Islam disampaikan melalui kode-kode sosial menggunakan teori John Fiske berupa simbol bahasa tulis pada gambar 23.

c. Level ideologi, pada level ini penulis menyimpulkan adanya kode ideologis berupa matrealisme yang disampaikan melalui tokoh

Halimah. Nilai dakwah Islam yang terdapat dalam film ini yaitu mengajak kepada manusia untuk hidup sesuai dengan syariat, karena apa yang ada di muka bumi merupakan ketetapan dari Allah SWT. B. Saran-saran

Setelah menyusun kesimpulan tersebut, peneliti mengajukan beberapa saran yang sekiranya dapat dijadikan sebagai bahan acuan, diantaranya:

a. Saran kepada akademisi berikutnya yang akan melakukan penelitian di bidang film, agar dapat berkontribusi dan mengembangkan penelitian ini dengan lebih mendalam mengenai analisis menggunakan teori John Fiske yang ada di dalam film Air Mata Surga.

b. untuk masyarakat umum, diharapkan dapat memahami pesan-pesan yang terkandung dalam film. Bahwa film bukan hanya pemindahan realitas yang begitu saja dipindahkan ke layar, namun ada nilai-nilai yang ingin dimunculkan oleh pembuat film.

Dokumen terkait