HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian
7. Hasil analisis tambahan
Pada penelitian ini, peneliti ingin mengetahui apakah terdapat perbedaan rata-rata regulasi emosi antara subjek laki-laki dan perempuan secara statistik. Teknik yang digunakan adalah Independent
sample t-test dengan menggunakan SPSS 21 for Windows. Teknik ini dipilih karena peneliti ingin melihat perbedaan rata-rata regulasi emosi pada 2 kelompok subjek yang berbeda. Rata-rata regulasi emosi dikatakan berbeda antara dua kelompok apabila nilai signifikansi dibawah 0,05 (Sig 2 tailed <0,05). Hasil analisis tambahan dapat dilihat pada tabel 17.
Tabel 17.
Hasil Analisis Tambahan
T-test for Equality of means (Sig 2 tailed) Regulasi Emosi 0,417
Berdasarkan hasil analisis, dapat dilihat bahwa tidak terdapat perbedaan rata-rata regulasi emosi pada subjek laki-laki dan perempuan (0,417>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata regulasi emosi pada subjek laki-laki dan perempuan cenderung sama. B. Pembahasan
Berdasarkan hasil uji hipotesis, terdapat hubungan yang signifikan antara kelekatan aman anak dan orangtua dengan kemampuan regulasi emosi. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat kelekatan aman
yang dimiliki anak, maka semakin tinggi pula kemampuan regulasi emosi anak. Sebaliknya, semakin rendah tingkat kelekatan aman anak-orangtua maka regulasi anak juga semakin rendah.
Temuan dalam penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Kerns dkk (2007) yang menyatakan bahwa anak dengan kelekatan aman memiliki regulasi emosi yang tinggi. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian Gresham dan Gulone (2012) yang menyatakan bahwa anak dengan kelekatan aman mampu melakukan regulasi emosi perubahan kognitif dan modulasi respon.
Waters dkk (2010) mengungkapkan bahwa anak dengan kelekatan aman memiliki komunikasi yang terbuka dengan orangtua. Salah satu bentuk komunikasi yang terbuka adalah anak menceritakan permasalahan kepada orangtua. Anak dengan kelekatan aman cenderung tidak menghindari pembicaraan mengenai hal yang tidak menyenangkan dengan orangtua mereka (Waters dkk,2010). Mereka tetap terbuka dan menceritakan permasalahan mereka meskipun awalnya masih merasa malu atau segan. Komunikasi yang lancar dan terbuka akan memudahkan orangtua dalam membantu anak memahami dan mengevaluasi emosi baik itu emosi yang baik maupun yang buruk (Parrigon dkk, 2015). Keterbukaan dalam komunikasi akan memudahkan orangtua dalam berdiskusi bersama anak ketika membahas mengenai masalah yang dihadapi dan bagaimana cara meregulasinya dengan tepat (Bukatko & Daehler ,2004; Cassidy, 1994). Orangtua dapat mengajari anak untuk
menginterpretasikan emosi baik verbal maupun non verbal dan kepekaan terhadap emosi orang lain. Hal inilah yang membuat anak dengan kelekatan aman dapat memahami dan melabeli emosi dengan baik, mampu membedakan ekspresi emosi dan memiliki pengetahuan mengenai regulasi emosi dan strategi coping yang tepat (Parrigon dkk, 2015).
Anak yang memiliki kelekatan aman menganggap orangtuanya sebagai sosok yang peka dan tersedia ketika anak membutuhkan bantuan. Kepekaan orangtua dalam merespon kebutuhan anak akan menumbuhkan kepercayaan pada anak. Kepercayaan yang dimiliki anak akan mengarahkan anak kepada keterbukaan anak mengenai perasaan yang dialaminya (Waters dkk, 2010). Kepekaan yang dimiliki orangtua akan memunculkan kepercayaan pada diri anak sehingga anak lebih bebas dan lebih mudah mengeskpresikan emosinya dalam kehidupan sehari-hari sehingga proses komunikasi bisa berjalan dengan lancar (Cassidy, 1994). Selain itu, anak yang merasa orangtuanya peka dan mengerti kebutuhannya akan merasa nyaman berada dekat dengan orangtua. Perasaan nyaman dan kepercayaan yang dirasakan anak akan membuat anak senang ketika berinteraksi dengan orangtua sehingga memunculkan keinginan untuk membangun hubungan yang baik secara terus menerus (Cassidy, 1994). Kepercayaan yang tinggi tidak sama dengan perilaku anak yang terlalu bergantung dengan orangtua ketika menghadapi masalah. Anak dengan kelekatan aman sudah mampu meregulasi emosinya sendiri, namun terkadang masih membutuhkan bantuan orangtua
dalam mengevaluasi bentuk-bentuk strategi regulasi emosi yang digunakan. Orangtua dapat memberikan pendampingan yang secukupnya dan memberi dukungan penuh bagi anak agar anak mampu menumbuhkan keyakinan dan kepercayaan diri dalam meregulasi emosinya sendiri (Cassidy, 1994). Kepercayaan diri ini muncul dalam kemampuan anak yang mampu meregulasi emosinya secara adaptif meskipun tidak berada di dekat orangtuanya.
Anak yang memiliki kelekatan aman yang tinggi cenderung memiliki tingkat alienasi yang rendah. Hal ini sesuai dengan penelitian Waters dkk (2010) yang menunjukkan bahwa anak dengan kelekatannya tidak aman cenderung tidak mengkomunikasikan permasalahnnya kepada orangtua. Selain itu, anak juga cenderung menghindar dari topik yang membuatnya tidak nyaman, bahkan menunjukkan kemarahannya ketika orangtua bertanya kepada anak mengenai permasalahannya. Alienasi yang tinggi disebabkan oleh penolakan yang dilakukan orangtua pada anak (Barrocas, 2008). Penolakan yang dilakukan orangtua mengurangi kesempatan anak untuk mempelajari regulasi emosi yang adaptif dan membuat pengetahuan anak mengenai emosi menjadi buruk ( Bukatko& Dahler, 2004). Hal ini ditunjukkan dengan penelitian Von Salisch (2001) yang menunjukkan bahwa penolakan orangtua membuat anak tidak mampu berkomunikasi secara terbuka sehingga anak cenderung meminimalkan atau memaksimalkan emosi yang dialami agar mendapatkan respon dari orangtua (Von Salisch, 2001). Kurangnya
pengetahuan anak mengenai emosi dan cara penyampaiannya yang tepat tampak dalam cara anak meminimalkan atau memaksimalkan emosi, muncul dalam bentuk regulasi emosi yang tidak adaptif seperti berteriak atau menangis secara berlebihan (Cassidy, 1994; Von Salisch, 2001). Sikap anak yang meminimalkan atau memaksimalkan emosi secara berlebihan dan tidak tepat akan menyebabkan regulasi emosi yang rendah (Roberton,2008).
Pada analisis tambahan, tidak ada perbedaan rata-rata regulasi emosi antara laki-laki dan perempuan. Temuan ini menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki rata-rata tingkat kemampuan regulasi emosi yang sama. Temuan ini sesuai dengan penelitian Kerns dkk (2007) yang menyatakan bahwa tidak ada perbedaan rata-rata regulasi emosi antara anak laki-laki dan perempuan. Penelitian Gullone dan Taffe (2011) juga menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang spesifik antara anak laki-laki dan perempuan dalam penggunaan strategi regulasi emosi perubahan kognitif. Meskipun demikian, beberapa penelitian menunjukkan bahwa perempuan lebih sering menggunakan strategi regulasi emosi perubahan kognitif dibandingkan dengan laki-laki (Gullone & Taffe, 2011; Gullone et al, 2010). Anak laki-laki cenderung lebih sering menggunakan strategi regulasi emosi modulasi respon dibandingkan dengan anak perempuan (Nolen-Hoeksema, 2011).
BAB V