4.2 Hasil Analisis Data
4.2.2 Hasil Belajar IPA
Jml. Siswa Persentase (%) Jml. Siswa Persentase (%) 6-11 Rendah 17 94 0 0 0 0 12-17 Sedang 1 6 5 28 4 22 ≥18 Tinggi 0 0 13 72 14 78 Jumlah 18 100 18 100 18 100
Berdasarkan tabel 4.19 mengenai perbandingan keaktifan belajar siswa pada mata pelajaran IPA prasiklus, siklus I dan siklus II mengalami peningkatan. Siswa yang memperoleh jumlah skor 6-11 dengan kategori keaktifan rendah pada prasiklus sebanyak 17 siswa dengan persentase 94%. Kemudian pada siklus I dan siklus II tidak ada siswa yang yang kategori keaktifan rendah. Pada prasiklus kategori keaktifan sedang dengan skor 12-17 ada 1 siswa saja yang kategori sedang, siklus I menurun menjadi tidak ada yang berada pada kategori keaktifan rendah, yang kategori keaktifan sedang sebanyak 5 siswa dengan persentase 28% . Pada siklus II mengalami peningkatan menjadi 14 siswa yang berada pada kategori keaktifan tinggi dengan persentase 78 % yaitu sudah sesuai kategori minimal yaitu 75%.
4.2.2 Hasil Belajar IPA.
Pada kondisi prasiklus, hasil belajar IPA siswa kelas IV SD Negeri Bugel 01, masih terdapat beberapa siswa yang memperoleh nilai dibawah Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM=75). Hanya ada 8 siswa yang memperoleh nilai diatas KKM atau dengan persentase 44% dan 56 % dengan 10 siswa yang belum mencapai KKM. Rata-rata hasil belajar yang diperoleh pada prasiklus adalah 71,16 dengan nilai tertinggi 86 dan nilai terendah 56. Setelah diterapkannya pembelajaran pendekatan Inquiry pada mata pelajaran IPA, hasil belajar IPA mengalami peningkatan, pada siklus I ada 12 siswa dengan peresentase 67% yang mencapai KKM dan 6 siswa dengan persentase 33% belum mencapai KKM. Rata-rata hasil belajar yang diperoleh pada siklus 1 meningkat menjadi 72,38% dengan
nilai tertinggi 83 dan nilai terendah 53. Pada siklus II hasil belajar mengalami peningkatan. Jumlah siswa yang mencapai KKM sebanyak 15 dengan persentase 83% dan masih terdapat 3 siswa dengan persentase 17% yang belum mencapai KKM. Rata-rata hasil belajar yang diperoleh pada siklus II meningkat menjadi 76,83 dengan nilai tertinggi 86 dan nilai terendah 63. Perbandingan ketuntasan hasil belajar siswa pada kondisi prasiklus, siklus I, siklus II.
Tabel 4.20
Distribusi Perbandingan Ketuntasan Hasil Belajar Siswa Prasiklus, Siklus I, dan Siklus II
Kategori Skor
Prasiklus Siklus I Siklus II
Jml. Siswa Persentase (%) Jml. Siswa Persentase (%) Jml. Siswa Persentase (%) Tidak tuntas <75 10 55 6 33 3 17 Tuntas ≥75 8 45 12 67 15 83 Jumlah 18 100 18 100 18 100 Rata-rata 71,16 72,38 76,83 Skor tertinggi 86 83 100 Nilai terendah 53 50 68
Berdasarkan tabel 4.20 mengenai perbandingan ketuntasan hasil belajar IPA prasiklus, siklus I, siklus II, jumlah siswa yang mencapai KKM mengalami peningkatan. Sebelum menggunakan tindakan atau sebelum menggunakan pendekatan Inquiry hanya ada 8 siswa yang mencapai KKM dengan persentase 45%. Setelah menggunakan pendekatan Inquiry pada siklus I, jumlah siswa yang mencapai KKM mengalami peningkatan menjadi 12 siswa dengan persentase 67%, dan pada siklus II jumlah siswa yang mencapai KKM meningkatan menjadi 15 siswa dengan persentase 83%.
Perolehan rata-rata hasil belajar tiap siklus juga mengalami peningkatan. Pada prasiklus, perolehan rata-rata hasil belajar adalah 71,16, setelah diaksanakan siklus I rata-rata hasil belajar meningkat menjadi 72,38. Setelah siklus II dilaksanakan rata-rata hasil belajar meningkat lagi menjadi 76,83.
4.3 Pembahasan
Dari data yang dipaparkan oleh peneliti, pembelajaran pendekatan Inquiry dapat meningkatkan keaktifan dan hasil belajar IPA. Pada kondisi awal sebelum diterapkannya pembelajaran pendekatan Inquiry, tidak ada siswa yang berada pada kategori keaktifan tinggi . Hal tersebut menunjukkan bahwa pada kondisi awal sebagian besar siswa belum aktif selama kegiatan pembelajaran. Pada siklus I, jumlah siswa yang berada pada kategori keaktifan tinggi meningkatdengan persentase 72% atau sebanyak 13 siswa. Sedangkan untuk hasil belajar sebelum tindakan, siswa yang mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM=75) hanya ada 8 siswa atau dengan persentase 44%. Rata-rata yang diperoleh dari hasil belajar sebelum tindakan adalah 71,16. Kemudian setelah dilakukan pembelajaran siklus I, jumlah siswa yang mencapai KKM meningkat menjadi 12 siswa dengan persentase 67%. Rata-rata yang diperoleh dari hasil belajar siklus I adalah sebesar . Aktivitas guru dan aktivitas siswa pada siklus I pertemuan pertama sudah berkategori baik. Pada siklus I pertemuan ke dua aktivitas guru dan aktivitas siswa mengalami peningkatan, keduanya sudah berada pada kategori baik, skor keaktifan tertinggi menjadi 22.Hal ini berarti penerapan pembelajaran pendekatan Inquiry sudah dilaksanakan dengan baik oleh guru maupun siswa.
Hasil belajar pada siklus I sudah mencapai indikator kinerja yang ditetapkan oleh peneliti, yakni minimal 75% siswa sudah mencapai KKM tetapi, Keaktifan belajar pada siklus I belum mencapai indikator kinerja yang telah ditetapkan oleh peneliti, yakni minimal 75% siswa berada pada kategori keaktifan tinggi. Tetapi pada siklus I hanya ada 72% siswa yang mencapai indikator keaktifan tinggi. Untuk itu, penelitian dilanjutkan ke siklus II karena indikator kinerja belum tercapai seluruhnya.
Hasil observasi keaktifan siswa pada siklus II yaitu jumlah siswa yang berada pada kategori keaktifan tinggi meningkat lagi sebanyak 14 siswa atau dengan persentase 78%. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah siswa yang berada pada kategori keaktifan tinggi mengalami peningkatan. Pada pembelajaran siklus II, jumlah siswa yang mencapai KKM adalah sebesar 15 siswa dengan persentase 83%. Aktivitas guru dan siswa pada siklus II baik pertemuan I maupun pertemuan
ke II sudah berada pada kategori baik. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran dengan penerapan pendekatan Inquiry sudah dilaksanakan dengan baik. Penelitian yang dilakukan pada siklus II seluruhnya sudah mencapai indikator kinerja. Baik keaktifan siswa, hasil belajar, maupun aktivitas guru dan siswa sudah mencapai indikator kinerja yang telah ditetapkan oleh peneliti.
Hal ini menunjukkan bahwa penerapan pendekatan Inquiry dapat meningkatkan keaktifan dan hasil belajar siswa karena sudah mencapai indikator kinerja yang telah ditetapkan oleh peneliti. Untuk indikator kinerja keaktifan belajar, peneliti menetapkan bahwa pembelajaran dengan penerapan pembelajaran pendekatan Inquiry dikatakan berhasil jika jika minimal 75% siswa berada pada kategori keaktifan tinggi. Sedangkan indikator kinerja dari hasil belajar, peneliti menetapkan bahwa penerapan dengan pembelajaran Inquiry dikatakan berhasil jika minimal 75% siswa mencapai KKM.
Pada siklus I aktivitas guru dan siswa sudah berada pada kategori baik dan keaktifannya mengalami peningakatan dengan skor tertinggi 22. Hal ini berarti penerapan pembelajaran pendekatan Inquiry sudah dilaksanakan dengan baik oleh guru dan siswa. Hasil belajar dan pada siklus I sudah mencapai indikator kinerja yang ditetapkan oleh peneliti, yakni minimal 75% siswa sudah mencapai KKM, tetapi keaktifan pada siklus I belum mencapai indikator kinerja keaktifan tinggi. Untuk itu penelitian dilanjutkan ke siklus II karena indikator belum tercapai seluruhnya.
Hasil observasi keaktifan siswa pada siklus II yaitu jumlah 14 siswa atau dengan persentase 78%. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah siswa yang berada pada kategori keaktifan tinggi peningkatan. Pada pembelajaran siklus II, jumlah siswa yang mencapai KKM adalah 15 siswa dengan persentase 76,83%. Aktifitas guru dan siswa pada siklus II baik pertemuan I maupun pertemuan ke II sudah berada pada kategori baik dengan mengalami peningkatan . Peneitian yang dilakukan pada siklus II seluruhnya sudah mencapai indikator kinerja. Baik keaktifan siswa, keaktifan guru dan hasil belajar siswa sudah mencapai indictor kinerja yang telah ditetapkan oleh peneliti. Hal ini menunjukan penerapan pembelajaran pendekatan Inquiry dapat meningkatkan keaktifan dan hasil belajar
siswa karena sudah mencapai indikator kinerja yang telah ditetapkan oleh peneliti. Untuk indikator kinerja, keaktifan belajar peneliti menetapkan bahwa pembelajaran dengan menerapkan pendekatan Inquirydikatakan berhasil jika minima 75% siswa berada pada kategori keaktifan tinggi. Sedangkan indikator kinerja dari hasil belajar, peneliti menetapkan bahwa penerapan pembelajaran pendekatan Inquiry dikatakan berhasil jika minimal 75% mencapai KKM.
Hasil dari penelitian ini sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Johnson dan Johnson (dalam Anita Lie, 2002:7) bahwa suasana belajar cooperative learning menghasilkan prestasi yang lebih tinggi, hubungan yang lebih positif, dan penyesuaian psikologis yang lebih baik daripada suasana belajar yang penuh persaingan dan memisah-misahkan siswa. Dengan suasana kelas yang dibangun sedemikian rupa, maka siswa mendapatkan kesempatan untuk berinteraksi satu sama lain sehingga terbentuk hubungan yang positif dan menambah semangat siswa dalam belajar. Suasana seperti ini akan memperlancar pembentukan pengetahuan secara aktif sehingga hasil belajar akan meningkat. Pembelajara pendekatan Inquiry merupakan salah satu tipe dari pembelajaran kooperatif. Dengan pembelajaran pendekatanInquiry, siswa lebih aktif untuk mengembangkan kemampuan berpikirnya. Disamping itu, pendekatan Inquiry juga memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya dan mengeluarkan pendapat serta berinteraksi dengan siswa yang menjadikan aktif dalam kelas. Pendekatan inkuriAmien (Suryanti,2009:142) memiliki kelebihan diantaranya: (1) Mendorong siswa berfikir dan bekerja atas inisiatifnya sendiri, (2) Menciptakan suasana akademik yang mendukung berlangsungnya pembelajaran yang berpusat pada siswa. (3) Membantu siswa mengembangkan konsep diri yang positif. (4) Meningkatkan penghargaan sehingga siswa mengembangkan ide untuk menyelesaikan tugas dengan caranya sendiri. (5) Mengembangkan bakat individual secara optimal. (6) Menghindarkan siswa dari cara belajar menghafal. Untuk dapat memproses dan mengolah perolehan belajarnya secara efektif, pebelajar dituntut untuk aktif. Belajar hanya mungkin terjadi apabila anak aktif mengalami sendiri (Dimyati dan Mudjiono, 2009:44). Mc Keachie (Dimyati dan Mudjiono, 2009:45) mengemukakan bahwa individu merupakan manusia belajar
yang aktif selalu ingin tahu, sosial. Guru yang memberikan kesempatan belajar pada siswa berarti mengubah peran guru dari bersifat didaktis menjadi lebih menjamin bahwa setiap siswa memperoleh pengetahuan dan ketrampilan di dalam kondisi setiap siswa memperoleh pengetahuan dan ketrampilan di dalam kondisi yang ada. Hal ini berarti kesempatan belajar yang diberikan oleh guru kepada siswa, akan menuntut siswa selalu aktif mencari, memperoleh, dan mengolah perolehan belajarnya (Dimyati dan Mudjiono, 2009:62).
Penelitian ini sejalan dengn penelitian Armi Maulani. 2013.dalam skripsinya yang berjudul “Penggunaan Model Pembelajaran CTL untuk meningkatkan Keaktifan dan Hasil Belajar IPA Siswa Kelas 4 SDN Regunung 01 Kecamatan Tengaran Kabupaten Semarang Semester II Tahun Pelajaran 2012/2013”.Hasil Penelitiannya adalah Peningkatan keaktifan dapat dilihat dari peningkatan presentase skor angka keaktifan belajar siswa terhadap IPA sebesar 75.Pra siklus menunjukkan hanya sisanya sebanyak 20 siswa atau 83,33% kurang aktif terhadap IPA.Pada siklus I siswa yang aktif terhadap IPA yaitu sebanyak 13 siswa atau 54,17% sedangkan yang kurang aktif terhadap IPA sebanyak 11 siswa atau 45,83%. Pada siklus II siswa yang aktif terhadap IPA sebanyak 23 siswa atau 95,83%.Sedangkan siswa yang kurang aktif terhadap IPA sebanyak 1 siswa atau 4,17%. Peningkatan hasil belajar siswa ditunjukkan sebagai berikut : pra siklus siswa yang mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal ( KKM =70 )sebanyak 6 siswa atau 25,00% sedangkan yang belum mencapai KKM sebanya 18 siswa atau 75,00%.Pada siklus I siswa yang mencapai KKM 14 siswa atau 58,33% sedangkan yang belum dapat mencapai KKM 10 siswa atau 41,67%. Pada pembelajaran siklus II siswa yang mencapai KKM sebanyak 22 siswa atau 91,67% sedangkan yang belum dapat mencapai KKM sebanyak 2 siswa atau 8,33%.Berdasarkan data hasil penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa jika dalam proses pembelajaran guru menggunakan model pembelajaran CTL, maka dapat meningkatkan keaktifan dan hasil belajar IPA siswa kelas 4 SDN Regunung 01 Kecamatan Tengaran Kabupaten Semarang.
Menurut Piaget (Sliman, 2007:4) menjelaskan tentang pendekatan inkuiri sebagai pembelajaran ialah pembelajaran yang mempersiapkan situasi bagi anak untuk melakukan eksperimen sendiri, dalam arti luas ingin melihat apa yang terjadi, ingin melakukan sesuatu, ingin menggunakan simbol mencari jawaban atas pertanyaan sendiri, menghubungkan penemuan satu dengan yang lain, membandingkan apa yang mereka temukan dengan yang orang lain temukan. Pendekatan Inquiry merupakan suatu rangkaian kegiatan belajar yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan menyelidiki secara sistematis, kritis, logis, analitis, sehingga mereka dapat merumuskan sendiri penemuannya dengan sepenuh hati.
Pada pendekatan Inquiry diperoleh beberapa temuan bahwa Inquiry dapat memberikan pengalaman siswa dan memupuk kerja sama siswa dalam menjawab pertanyaan, proses pembelajaran lebih menarik dan nampak sebagian besar siswa lebih antusias mengikuti proses pembelajaran, dan keaktifan siswa tampak sekali pada saat siswa mencari jawabannya dengan bantuan alat peraga yang konkret atau nyata. Pendekatan Inquiry, menugaskan siswa untuk menemukan jawabannyabersama kelompoknya sehingga saling membantu. Hal ini menimbulkan rasa ingin tahu siswa tentang penyelesaian dari permasalahan yang diberikan oleh guru. Adanya rasa ingin tahu merupakan daya untuk meningkatkan keaktifan belajar siswa sehingga mampu berbagi pengetahuan belajar dengan yang lain. Penerapan pendekatan Inquiry dapat membangkitkan keingintahuan dan kerjasama di antara siswa serta mampu menciptakan kondisi yang menyenangkan sehingga keaktifan dan hasil belajar siswa khususnya pada mata pelajaran IPA juga meningkat.Melalui pendekatan inkuiri dalam mata pelajaran IPA kelas IV khususnya disini materi perubahan lingkungan fisik, membantu guru mengembangkan keterampilan dan sikap percaya diri dalam memecahkan masalah yang dihadapinya. Jika model ini sering digunakan secara teratur berarti berguna untuk membelajarkan siswa dalam menemukan masalahnya sendiri dan sekaligus memecahkannya.Pendekatan inkuiri merupakan proses pembelajaran yang menekankan pada pengembangan kemampuan siswa untuk memecahkan satu masalah yang dibatasi oleh satu disiplin ilmu.
b. Implikasi Praktis.
Dalam pendekatan Inquiry seluruh aktivitas yang dilakukan siswa diarahkan untuk mencari dan menemukan jawaban sendiri dari sesuatu yang dipertanyakan, sehingga diharapkan dapat menumbuhkan sikap percaya diri (self belief). Dengan demikian, pendekatan Inquiry menempatkan guru bukan sebagai sumber belajar akan tetapi sebagai fasilitator dan motivator belajar siswa. Tujuan dari penggunaan pendekatan Inquiry dalam pembelajaran adalah mengembangkan kemampuan berpikir secara sistematis, logis dan kritis atau mngembangkan kemampuan intelektual sebagai bagian dari proses mental. Dengan demkian, dalam metode inkuiri siswa tidak hanya dituntut agar menguasai materi pelajaran, akan tetapi bagaimana mereka dapat menggunakan kemampuan yang dimilikinya secara optimal.