• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DA PEMBAHASA Rendemen Ekstrak Propolis

Halaman 1 Alur penelitian

HASIL DA PEMBAHASA Rendemen Ekstrak Propolis

Propolis Trigona spp yang dihasilkan berwarna coklat dengan rendemen sebesar 13,33% (Gambar 2). Ekstrak propolis yang didapatkan Fitriannur (2009) sebesar 17,76%, Saputra (2009) sebesar 8,81%, dan Suseno (2009) sebesar 10,62%. Ketiga penelitian yang telah dilakukan sebelumnya menggunakan teknik dan pelarut ekstraksi yang sama, yaitu teknik maserasi dengan pelarut etanol 70%. Perbedaan nilai rendemen yang diperoleh dipengaruhi vegetasi tempat lebah Trigona spp mendapatkan bahan baku propolis, musim, dan lokasi geografi tempat pengambilan propolis (Bankova & Popova 2007). Warna propolis bergantung pada senyawa fenol yang terdapat dalam ekstrak, yaitu senyawa flavonoid. Propolis yang berwarna lebih gelap mengandung flavonoid lebih banyak, sehingga memiliki rendemen yang lebih banyak dibandingkan dengan propolis berwarna lebih muda (Salomao et at. 2004).

Propolis mempunyai sifat keras, dan liat pada suhu 15oC dengan titik didih 60/69oC (Woo 2004). Propolis disimpan pada suhu kurang dari 25oC dan ditempatkan pada tempat gelap agar tidak terkena sinar matahari langsung karena akan merusak senyawa aktif dalam propolis (Krell 2004). Ekstrak lebah madu Trigona spp asal Pandeglang diperoleh menggunakan metode maserasi. Maserasi merupakan teknik ekstraksi yang dilakukan untuk bahan yang tidak tahan panas dengan cara perendaman di dalam pelarut tertentu selama waktu tertentu (Angraini 2006). Pemanasan pada suhu yang sangat tinggi dimungkinkan akan merusak senyawa aktif di dalam propolis.

Pelarut yang digunakan untuk maserasi adalah etanol 70%. Etanol 70% bersifat semipolar sehingga mampu mengekstrak senyawa aktif dengan kepolaran yang berbeda dalam propolis. Menurut Harborne (1987), etanol 70% merupakan pelarut yang baik untuk mengekstrak flavonoid. Etanol juga memiliki titik didih yang rendah dan mudah menguap, sehingga memperkecil jumlah yang terbawa dalam ekstrak. Penggunaan etanol 70% juga memperkecil terekstraksinya lilin lebah yang dianggap sebagai pengganggu dalam ekstraksi propolis (Cunha et al. 2004). Lilin lebah yang terdiri atas asam lemak dan alkohol dengan rantai karbon panjang tidak larut dalam etanol 70% (Fearnley 2005). Krell (2004) menyatakan bahwa etanol 70%

8

merupakan pelarut terbaik untuk propolis sebagai bahan antibakteri.

Gambar 2 Ektrak pekat propolis. anopropolis

Nanopropolis yang dihasilkan berbentuk serbuk yang sangat kering, namun masih sangat kasar dan bergerombol. Nanopropolis dihaluskan dan disamaratakan kembali dengan HEM (High Energy Milling). HEM akan menghaluskan dan meratakan suatu partikel dari 3 arah, yaitu vertikal, horisontal, dan rotasi. Nanopropolis dihaluskan menggunakan bola besi (ball mill) yang dimasukkan dalam tabung HEM. Perangakat HEM akan memutar tabung HEM secara vertikal, horisontal, dan berotasi. Serbuk nanopropolis yang dihasilkan berwarna putih agak kecoklatan dan sangat halus (Gambar 3).

Pembentukan nanopropolis diawali dengan pembuatan penyalut propolis menggunakan teknik mikroenkapsulasi. Komponen mikroenkapsulasi terdiri atas bahan inti dan bahan penyalut. Bahan inti adalah bahan yang diperangkap, sedangkan bahan penyalut merupakan bahan yang dapat melindungi bahan inti dalam proses mikroenkapsulasi.

Bahan penyalut yang digunakan adalah maltodekstrin (MDE). Penggunaan MDE dalam industri farmasi masih sangat terbatas atau tidak populer dibandingkan dalam industri makanan yang penggunaannya sudah sangat luas. Maltodekstrin merupakan salah satu produk turunan pati yang dihasilkan dari proses hidrolisis parsial oleh enzim α/amilase dengan nilai dextrose equivalent (DE) kurang dari 20. DE menjelaskan persentase hidrolisis ikatan glikosidik dan penurunan kekuatannya. Maltodekstrin (C6H10O5).nH2O merupakan

polimer dari D/glukosa yang berikatan dengan ikatan α/1,4 glikosidik. Ikatan yang terdapat dalam maltodekstrin ini sangat lemah dan mudah terputus (Moore et al 2005 dalam Sukamdiyah 2009). Alasan pemilihan maltodekstrin sebagai penyalut adalah larut dalam air, tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak toksik (Sukamdiyah 2009). Anwar (2004) menyatakan bahwa turunan pati seperti

maltodekstrin bersifat meningkatkan viskositas membentuk matriks hidrogel, dan memiliki daya rekat. Struktur MDE yang lebih pendek dibandingkan pati sehingga saat mikroenkapsulasi menghasilkan mikrokapsul yang kering, berukuran seragam, dan tidak lengket (Suseno 2009). Dalam mikroenkapsulasi, struktur MDE yang berongga akan diisi oleh propolis sebagai inti sehingga senyawa aktif dalam propolis dapat terlindungi oleh MDE.

Magnesium stearat (C36H70MgO4)

umumnya digunakan dalam dunia farmasi sebagai pelicin dengan konsentrasi 0,25/5,0% (Maziyyah 2010). Magnesium stearat memiliki kemampuan mengurangi gesekan antara tablet dengan dinding cetakan saat dikeluarkan dari mesin. Penggunaan magnesium stearat yang berlebih menyebabkan penurunan kekerasan tablet dan memperlambat waktu disintegrasi (Barra & Somma 1996).

Penambahan magnesium stearat 5% dalam penyalutan nanopropolis untuk mengurangi penempelan granul pada wadah pencampur dan vacuum dryer sehingga penyalutan lebih sempurna dan memperbaiki penampilan serbuk nanopropolis. Magnesium stearat mengurangi serbuk nanopropolis teragregasi. Pemilihan penggunaan magnesium stearat dalam nanopropolis dikarenakan magnesium stearat juga tidak berinteraksi dengan senyawa aktif pada nanopropolis. Penggunaan magnesium stearat dalam jumlah yang sedikit agar disintergrasi nanopropolis tidak terlalu lama sehingga disolusi senyawa aktifnya juga tidak terganggu.

Sutriyo et al. (2004) menyatakan kesempurnaan penyalutan dipengaruhi oleh kecepatan dan lama pengadukan. Kecepatan pengadukan yang sangat tinggi menghasilkan tetesan/tetesan partikel yang sangat kecil, begitu pula sebaliknya. Maltodektrin dan magnesium stearat dihomogenisasikan pada kecepatan 22.000 rpm selama 30 menit. Penyalut yang terbentuk kemudian dihomogenisasikan dengan EEP dengan kecepatan dan waktu pengadukan yang sama. Homogenisasi menjadi faktor penting agar komponen aktif dapat tersalut sempurna oleh bahan penyalut. Kecepatan tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian Sutriyo et al. (2004), yaitu 3.000 rpm yang menghasilkan distribusi ukuran partikel antara 425 sampai lebih besar dari 850 mikron.

Setelah bahan penyalut dan EEP dihomogenisasikan, tahap selanjutnya adalah pengeringan menggunakan vacuum drying.

9

Pengeringan dilakukan pada suhu 40oC. tujuan pengeringan ini adalah untuk menghilangkan pelarutnya. Penggunaan suhu 40oC untuk melindungi senyawa aktif pada propolis, seperti flavonoid sebagai bahan antimikrob agar tidak rusak karena flavonid tidak tahan panas.

Gambar 3 Serbuk nanopropolis. Karakterisasi SEM anopropolis

Karakterisasi dengan SEM (Scanning Electron Microscope) untuk mengetahui morfologi dan ukuran nanopropolis. Nanopropolis dikarakterisasi menggunakan alat JSM/6510LA Analytical Scanning Electron Microscope (Jeol) di BATAN, Puspiptek, Serpong.

Hasil observasi nanopropolis dengan SEM terlihat bahwa partikel nanopropolis memiliki bentuk yang tidak seragam dengan tepian yang tidak rata. Partikel nanopropolis terlihat jelas dengan persebaran cukup merata (tidak bergerombol). Observasi yang dilakukan Anwar et al. (2004) terhadap maltodekstrin menunjukkan bentuk partikel yang tidak seragam. Nanopropolis yang dibuat oleh Coneac et al. (2008) dengan bahan penyalut siklodekstrin yang berasal dari turunan pati juga menunjukkan bentuk partikel yang tidak seragam dan tepian yang tidak rata. Menurut Coneac et al. (2008), penggunaan pelarut ekstraksi etanol 96% akan menghasilkan nanopropolis dengan dimensi 100 kali lebih kecil dibandingkan dengan menggunakan etanol 20%.

Pengamatan terhadap nanopropolis dilakukan secara acak dengan perbesaran 3.000 kali. Ukuran terkecil yang masih dapat terukur sebesar 175 nm, 197 nm, dan 307 nm (Gambar 4). Sedangkan ukuran terbesar yang dapat terukur adalah 874 nm. Pada penelitian ini distribusi ukuran partikel tidak dianalisis secara khusus. Mikrokapsul propolis yang dibuat Suseno (2009) dengan teknik penguapan pelarut menghasilkan mikrokapsul propolis dengan ukuran 5/5000 µm.

Sutriyo et al. (2004) menyatakan perbedaan distribusi ukuran partikel

dipengaruhi oleh jumlah bahan penyalut yang digunakan sebagai pembentuk dinding. Ukuran nanopropolis yang dihasilkan pada penelitian ini sesuai dengan pernyataan Mohanraj dan Chen (2006), yaitu bahan organik dalam bentuk nanopartikel memiliki ukuran 10/1000 nm yang dilindungi oleh matriks pembawanya.

Gambar 4 Morfologi SEM nanopropolis. A = 175 nm, B = 197 nm, dan C = 307 nm.

Profil Spektrum FTIR anopropolis Nanopropolis dilihat profil spektrumnya untuk melihat keberadaan propolis dalam penyalut. Martos et al. (2008) menyatakan bahwa komponen pada propolis yang memiliki aktivitas antibakteri berupa senyawa fenolik dalam bentuk flavonoid (pinocembrin, naringin, dan hesperidin).

Hasil analisis profil FTIR menunjukkan bahwa propolis memiliki puncak serapan yang khas pada frekuensi 1611.57 cm/1, 2058.21 cm/1, dan 3374.79 cm/1 (Gambar 5). Penyalut nanopropolis memiliki puncak serapan yang khas pada frekuensi 2361.84 cm/1, 2918.67 cm/1 dan 3431.51 cm/1 (Gambar 5). Nanopropolis memiliki gugus C=C (alifatik) dengan puncak serapan 1542.43 cm/1, gugus – CH2/ dengan puncak serapan 2919.34 cm

/1

, dan gugus O/H dengan puncak serapan 3397.80 cm/1 (Gambar 5). Gugus C=C diduga berasal dari propolis karena banyak senyawa yang terkandung dalam propolis berupa senyawa fenolik. Gugus –CH2/ diduga dari

maltodekstrin sebagai penyusun penyalut (carrier) yang merupakan turunan dari pati karena gugus fungsi utamanya terdiri atas gugus karbonil dan hidroksil. Gugus O/H diduga berasal dari maltodekstrin dan propolis. Propolis memiliki banyak senyawa dalam bentuk fenolik sedangkan maltodekstrin memiliki gugus hidroksialdehid dalam strukturnya. Profil spektrum nanopropolis tersebut menunjukkan bahwa propolis telah tersalut pada penyalutnya (carrier) dengan ditunjukkan adanya puncak serapan yang khas dari penyusun/ penyusunnya.

C

B A

Gambar 5 Profil spektrum FTIR propolis ( ), penyalut nanopropolis ( ), dan nanopropolis ( ). Tabel 1 Gugus fungsi penyusun nanopropolis

Sampel Vibrasi Ulur (cm/1) Puncak Serapan Gugus Fungsi Propolis 3750/3000 3374.79 O/H 2100/1650 2058.21 C=O 1675/1500 1611.57 C=C Penyalut Nano/ propolis 3750/3000 3431.51 O/H 3000/2700 2918.67 /CH2/ 2400/2100 2361.84 C≡C Nano/ Propolis 3750/3000 3390.22 O/H 3000/2700 2919.34 /CH2/ 1600/1500 1542.43 C=C Hasil Uji Antibakteri

Aktivitas antibakteri nanopropolis diuji dengan metode difusi sumur agar karena metode ini umum dan mudah digunakan untuk beberapa bakteri uji. Adanya zona bening di sekitar sumur menunjukkan nanopropolis memiliki potensi sebagai antibakteri. Pelczar dan Chan (1988) menyatakan bahwa suatu senyawa memiliki kemampuan sebagai bahan antibakteri dipengaruhi konsentrasi antibakteri, jumlah bakteri, dan jenis bakteri yang digunakan. Semakin besar konsentrasi antibakteri yang digunakan, maka daya hambatnya juga akan semakin besar.

Kontrol positif yang digunakan untuk evaluasi aktivitas antibakteri adalah ampisilin. Penggunaan ampisilin sebagai kontrol positif karena sebagai antiobiotik yang berspektrum luas, artinya dapat menghambat bakteri bakteri Gram positif dan Gram negatif (Siswandono & Soekarjo 1995). Konsentrasi ampisilin yang digunakan sebesar 10 mg/ml.

Nanopropolis mampu membentuk zona bening sebesar 12.64 mm, 15.55 mm, 13.43 mm, dan 12.09 mm untuk B. subtilis, E. coli, S. aureus, dan Salmonella sp. Sedangkan ekstrak propolis hanya mampu membentuk

zona bening sebesar 6.14 mm, 6.34 mm, 6.85 mm, dan 5.25 mm masing/masing terhadap B. subtilis, S. aureus, E. coli, dan Salmonella sp (Gambar 6). Ampisilin 10 mg/ml membentuk zona bening dengan diameter sebesar 28.81 mm, 27.34 mm, 36.72 mm, dan 32.17 masing/ masing terhadap B. subtilis, S. aureus, E. coli, dan Salmonella sp (Gambar 6). Dilihat dari diameter zona bening yang dihasilkan, nanopropolis memiliki daya penghambatan terhadap bakteri yang lebih baik dibandingkan dengan ekstrak propolis, namun lebih rendah dari amipisilin 10 mg/ml.

Nanopropolis mempunyai tingkat efektivitas yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan ekstrak propolis sebesar 205.86%, 211.83%, 227.01%, dan 230.29% masing/ masing terhadap B. subtilis, S. aureus, E. coli, dan Salmonella sp (Lampiran 3). Efektivitas nanopropolis terhadap ampisilin 10 mg/ml berturut/turut untuk B. subtilis, S. aureus, E. coli, dan Salmonella sp adalah 43.87%, 49.12%, 42.35%, dan 37.58% (Lampiran 3). Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa diameter zona hambat dari nanopropolis berbeda nyata terhadap ekstrak propolis maupun ampisilin untuk semua bakteri uji.

Secara umum, berdasrakan hasil penelitian menunjukkan zona bening yang terbentuk semakin besar mengikuti konsentrasi propolis yang meningkat. Mekanisme propolis menghambat pertumbuhan bakteri belum sepenuhnya diketahui. Fatoni (2008) menyatakan bahwa senyawa aktif yang berperan sebagai antibakteri adalah flavonoid. Gugus hidroksil flavonoid menyebabkan perubahan komponen organik dan transport nutrisi yang akhirnya mengakibatkan efek toksik bagi bakteri (Cushnie & Lamb 2005). Flavonoid juga menghambat aktivitas DNA

11

girase yang berperan dalam proses replikasi DNA prokariot. Pertumbuhan prokariot juga akan terhambat karena laju pertumbuhan prokariot sejalan dengan replikasi DNA (Cushnie & Lamb 2005).

Martos et al. (2008) menyatakan bahwa propolis berperan dalam mekanisme penghambatan kerja enzim polimerase DNA bakteri untuk melekat pada DNA sehingga replikasi DNA bakteri tidak terjadi. Selain itu, komponen tersebut juga mampu menghambat kerja enzim endonuklease restriksi sehingga transkripsi tidak terjadi pada DNA yang berakibat pembelahan sel terganggu.

Mohanraj dan Chen (2006) menyatakan bahwa nanopartikel memiliki ukuran yang sangat kecil sehingga luas permukaannya semakin besar. Kim et al. (2008) juga menyatakan bahwa nanopropolis lebih efektif dibandingkan propolis biasa karena bentuk nanopropolis lebih larut dan memiliki permeabilitas yang lebih tinggi dibandingkan propolis biasa. Oleh karena itu, proses pelepasan senyawa aktif dari bahan pelindungnya semakin cepat.

Ampisilin merupakan antibiotik β/laktam dan termasuk ke dalam golongan penisilin semisintetik. Aktivitas ampisilin menggangu proses transpeptidasi. Ampisilin menyerang nukleofil dari gugus hidroksil serin enzim transpeptidase pada karbonil karbon cincin β/ laktam yang bermuatan positif sehingga biosintesis peptidoglikan menjadi terganggu akibatnya dinding sel menjadi lemah. Dinding sel yang lemah tidak akan mampu menahan tekanan turgor dari dalam sehingga sel akan pecah dan berujung pada kematian bakteri (Siswandono & Soekarjo 1995). Mekanisme kerja ampisilin menyebabkan ampisilin memiliki daya antibakteri yang besar dan bersifat bakteriosidal.

Gambar 6 Diameter zona bening hasil uji antibakteri. Nanopropolis ( ), ekstrak propolis ( ), dan ampisilin ( ).

Konsentrasi Hambat Tumbuh Minimum (KHTM)

Penentuan konsentrasi hambat tumbuh minimun dilakukan untuk mengetahui konsentrasi terendah dari nanopropolis yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri uji. Variasi konsentrasi nanopropolis yang digunakan adalah 0.009% sampai 5%. Pemilihan konsentrasi tersebut diharapkan memberikan nilai KHTM lebih rendah dari penelitian Angraini (2006) yang hanya menggunakan ekstrak propolis dengan konsentrasi 0.2% sampai 100%. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa KHTM nanopropolis terhadap bakteri Gram positif sebesar 0.15% dan 0.075% untuk B. subtilis dan S. aureus. Sedangkan KHTM nanopropolis untuk bakteri Gram negatif sebesar 0.15% dan 0.313% untuk E. coli dan Salmonella sp (Gambar 7). Hasil tersebut juga sejalan dengan pernyataan Silici dan Kaftanoglu (2003) yang menyatakan bahwa senyawa aktif pada propolis memberikan KHTM yang lebih rendah untuk bakteri Gram positif dibandingkan bakteri Gram negatif.

Resistensi bakteri Gram positif dan Gram negatif dipengaruhi penyusun dan struktur dinding selnya. Bakteri Gram negatif memiliki struktur yang lebih kompleks sehingga lebih resisten terhadap senyawa antibakteri. Membran luar bakteri Gram positif memiliki kandungan peptidoglikan yang tebal serta tidak mempunyai lapisan polisakarida. Oleh karena itu, bakteri Gram positif lebih kuat menahan tekanan osmotik dari dalam (Greenwood et al. 1995). Membran luar bakteri Gram negatif kaya akan lipid dan membentuk lipopolisakarida (LPS). Lapisan LPS bersifat semipermeabel dan hanya dapat dilewati molekul/molekul kecil seperti nukleosida, oligosakarida, dan asam amino.

Gambar 7 Konsentrasi hambat tumbuh minimum B. subtilis ( ), S. aureus ( ), E. coli ( ), Salmonella sp ( ).

12

KHTM Bakteri Gram Positif

Konsentrasi nanopropolis terendah yang masih dapat menghambat pertumbuhan B. subtilis adalah 0.15% sedangkan S. aureus masih dapat dihambat pada konsentrasi yang lebih rendah sebesar 0.075% dengan diameter zona bening 5.24 mm dan 5.93 mm.

Penelitian Angraini (2006) menggunakan ekstrak propolis lebah Trigona spp asal Pandeglang dapat menghambat pertumbuhan B. subtilis dan S. aureus pada konsentrasi 0.78% dan 0.39% dengan diameter zona bening 6.450 mm dan 6.142 mm.

Angraini (2006) menduga senyawa aktif dari propolis menghambat pertumbuhan S. aureus dengan cara menempel pada asam teikoat penyusun membran sitoplasma karena asam teikoat bermuatan negatif. Permukaan membran sitoplasma dapat menarik senyawa aktibakteri yang bersifat polar seperti tanin dan flavonoid (Lay & Hastowo 1992).

Penyusun utama dinding sel S. aureus adalah peptidoglikan, ribotol, asam teikoat, dan protein A. Protein A berperan sebagai antifagosit yang akan mencegah antibakteri masuk ke dalam sel (Lay & Hastowo 1992). KHTM Bakteri Gram egatif

Nanopropolis memiliki KHTM 0.15% terhadap Escherichia coli dengan diameter zona bening 7.25 mm. KHTM nanopropolis terhadap Salmonella sp sebesar 0.313% dengan diameter zona bening 2.66 mm. KHTM Escherichia coli yang diperoleh Angraini (2006) menggunakan ekstrak propolis Trigona spp asal Pandeglang sebesar 0.7812% dengan diameter zona bening 6.042 mm. KHTM ekstrak propolis Trigona spp asal Pandeglang terhadap Salmonella sp sebesar 1.04% dengan diameter zona bening 1.62 mm (Tukan 2008). Khismatullina (2005) dalam Angraini (2006) menyatakan bahwa penambahan ekstrak propolis dapat menambah efek antibiotik E. coli. Propolis bersifat bakteriostatik secara in vitro pada kultur Eschericia coli (Woo 2005).

Tukan (2008) menduga bahwa propolis berperan seperti polimiksin atau streptomiksin. Polimiksin mampu menghancurkan dinding bakteri Gram negatif pada khususnya. Polimiksin berinteraksi kuat dengan fosfolipid membran sel, mengakibatkan kehilangan kontrol osmotik, sehingga terjadi kebocoran ion K+ dan komponen vital bakteri lainnya. Penetrasinya ke dalam menjadi mudah dan merusak struktur membran sel. Kerja antibiotik jenis ini adalah merusak membran sel setelah

bereaksi dengan fosfat pada fosfolipid membran sel (Simanjuntak2005 dalam Tukan 2008).

SIMPULA DA SARA

Dokumen terkait