ALABIO (PA) DAN ALABIO PEKIN (AP) DENGAN TETUANYA
HASIL DAN PEMBAHASAN
Laju pertumbuhan
Setioko et al. (2004) dalam penelitiannya menjelaskan kemampuan dan keragaan produksi itik Pekin Alabio (PA) sangat ditentukan oleh keragaan pertumbuhan awal pada periode starter. Bobot badan saat menetas (DOD) itik AAP rata-rata sebesar 44,94 ± 4,48 g/ekor, sedangkan itik APA sebesar 44,01 ± 6,01 g/ekor dan itik PAP sebesar 45,55 ± 3,90 g/ekor. Bobot tetas ketiga jenis itik masih lebih besar bila dibandingkan dengan bobot tetas tetuanya yakni Alabio, sebesar 39,12 ± 1,94 g, dan masih lebih rendah bila dibandingkan dengan bobot tetas itik Pekin 57,08 ± 1,49 g (Setioko et al., 2002).
Hasil pengamatan pertumbuhan bobot badan itik hasil backcross pada masa
starter (1 hari - 8 minggu) tercantum pada Gambar 4. Berdasarkan gambar terlihat bahwa garis pertumbuhan berbentuk sigmoid (tidak linear), sehingga untuk mengetahui perbedaannya dilakukan uji regresi non linear geometrik. Itik AAP memiliki persamaan regresi Y= 30,060,9750 dengan koefisien determinasi (R2)sebesar 94,5%, itik APA Y = 30,830,9790 dengan R2 sebesar 95,4%, dan itik PAP Y = 30,131,074 dengan R2 sebesar 95,1%.
Gambar 4 menunjukkan kurva pertumbuhan itik AAP berhimpitan dengan itik APA. Persamaan regresi antara kedua jenis itik memiliki nilai koefisien regresi (b) yang hampir sama. Selain itu, berdasakan uji statistik pada saat itik DOD hingga minggu ke-8 tidak berbeda nyata (P>0,05). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa itik AAP dan APA pada fase starter memiliki pertumbuhan yang tidak berbeda.
Persamaan regresi dengan koefisien regresi (b) yang terbesar dimiliki oleh itik PAP. Menurut Supranto (2000), nilai b adalah kemiringan dari garis regresi yakni kenaikkan atau penurunan Y untuk setiap pengaruh X terhadap Y jika X naik satu unit. Berdasarkan hal tersebut maka setiap peningkatan satu-satuan umur akan menghasilkan peningkatan bobot badan itik PAP sebesar 1,074 gram. Selain itu, Gambar 4 menunjukkan bahwa grafik bobot badan itik PAP pada masa starter
cenderung lebih besar tiap minggunya dibandingkan AAP dan APA. Hal ini dapat diduga karena itik PAP merupakan hasil persilangan balik dengan tetua Pekin
sehingga proporsi darah Pekin lebih besar yakni sebesar 75%. Lasley (1978) menjelaskan, keturunan dari silang balik (backcross) yang pertama akan memiliki sekitar 75% gen dari salah satu tetua dan 25% dari tetuanya yang lain.
Gambar 4. Grafik Bobot Badan (BB) Itik AAP, APA dan Itik PAP Selama 16 Minggu
Keterangan : AAP [Alabio Alabio Pekin]; APA [Alabio Pekin Alabio]; PAP [Pekin Alabio Pekin].
Grafik bobot badan pada fase grower ketiga jenis itik dapat diamati pada Gambar 4. Soeparno (1992) menjelaskan pada persamaan Gompertz, logaritma kadar laju pertumbuhan spesifik terhadap waktu atau umur bisa menghasilkan slope linear negatif. Kadar laju pertumbuhan spesifik dapat dinyatakan sebagai perbandingan antara spesies konstan dengan umur (Swatland, 1984). Berdasarkan Gambar 4, dapat dilihat bahwa grafik itik AAP dan APA dan itik PAP berbentuk non linear yang dibuktikan pada diagram sebar yang dapat dilihat pada Lampiran 2, 4 dan Lampiran 6. Hal ini dikarenakan pada beberapa bangsa, slope pertumbuhan fase grower dapat menunjukkan tidak linear. Oleh karena itu pengujian regresi itik AAP dan APA dilakukan dengan regresi geometrik dan itik PAP dengan uji regresi parabola. Itik AAP pada fase grower memiliki persamaan regresi Y = 2535,13-0,02560 dengan R2 sebesar 93,6%, itik APA memiliki persamaan regresi Y = 2027,68X-0,05834 dengan R2 sebesar 84.8% dan itik PAP memiliki persamaan regresi Y = 1341 + 39,05X - 0,2047X2 dengan R2 sebesar 89,8%.
Persamaan regresi dan koefisien regresi (b) itik AAP dan APA menunjukkan perbedaan yang tidak nyata. Selain itu uji statistik menegaskan bahwa itik AAP dan APA pada masa grower tidak berbeda nyata (P>0,05). Sedangkan kurva pertumbuhan PAP pada fase grower jauh di atas itik AAP dan APA.
Berdasarkan kurva pertumbuhan ketiga jenis itik sejak DOD hingga umur 16 minggu (Gambar 4), terlihat bahwa kurva pertumbuhan berbentuk sigmoid. Kurva pertumbuhan sigmoidal terbentuk karena umur tidak menyebabkan peningkatan berat tubuh, tapi memberi kesempatan kepada ternak untuk tumbuh, mencapai dewasa dan berinteraksi dengan lingkungan (Williams, 1982). Berdasarkan uji regresi geometrik, itik AAP memiliki persamaan regresi Y= 34,75X0,9061 dengan koefisien determinasi (R2) sebesar 94,5%, itik APA memiliki persamaan regresi Y= 36,31X0,9008 dengan koefisien determinasi (R2) sebesar 94,8% dan itik PAP memiliki persamaan regresi Y= 33,37X1,029 dengan koefisien determinasi (R2) sebesar 95,8%.
Kurva pertumbuhan itik AAP dan APA berdasarkan Gambar 4 saling berhimpitan. Koefisien regresi (b) yang dimiliki itik AAP dan itik APA tidak terlalu berbeda, selain itu, uji statistik menunjukkan sejak DOD hingga berumur 16 minggu kedua itik tidak berbeda nyata (P>0,05). Berdasarkan hal ini dapat disimpulkan bahwa, efek maternal tidak mempengaruhi bobot badan itik. Chapman (1985) mendefinisikan efek maternal sebagai pengaruh, kontribusi atau dampak pada fenotipe dari suatu individu yang disebabkan langsung oleh fenotipe induknya. Efek maternal pada fenotipe keturunan dapat disebabkan oleh perbedaan genetik atau perbedaan lingkungan antar induk, atau dapat juga disebabkan oleh interaksi antara genetik dan lingkungan. Namun pada kedua jenis itik hasil backcross ini tidak ditemukan efek maternal. Hal ini menunjukkan bahwa induk AP dan PA adalah sama, yakni tidak memberikan pengaruh atau kontribusi terhadap bobot badan keturunannya.
Itik PAP memiliki kurva pertumbuhan tertinggi hingga umur 16 minggu. Hal ini menunjukkan bahwa proporsi darah tetua Pekin yakni sebesar 75% yang terdapat pada itik PAP mempengaruhi tingginya bobot badan PAP tiap minggu. Davies (1982) menjelaskan, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan komposisi tubuh ternak yakni nutrisi, genotipe, jenis kelamin, hormon dan kastrasi. Berdasarkan genotipe, ternak bangsa besar akan memiliki bobot lahir lebih besar,
tumbuh lebih cepat setiap umur berapapun, dan akan mencapai dewasa kelamin pada umur yang lebih tua. Itik Pekin merupakan itik dari bangsa besar dibandingkan dengan itik Alabio. Hal inilah yang menjelaskan mengapa bobot badan itik PAP masih terus meningkat dibandingkan itik AAP dan APA.
Masa hidup hewan dapat dibagi menjadi masa percepatan dan perlambatan pertumbuhan. Lasley (1978) menjelaskan titik kurva pertumbuhan, sebagai tempat bertemunya percepatan pertumbuhan dengan perlambatan dinamakan titik infleksi. Selama pertumbuhan dan perkembangan, bagian-bagian dan komponen tubuh mengalami perubahan. Jaringan-jaringan tubuh mengalami pertumbuhan yang berbeda dan mencapai pertumbuhan maksimal dengan kecepatan yang berbeda pula (Soeparno, 1992). Gambar 5 menunjukkan bahwa, ketiga jenis itik memiliki titik infleksi yang sama yakni pada minggu ke-5. Kurva PBB itik AAP, APA dan PAP mengalami akselerasi (meningkat) pada saat baru menetas hingga minggu ke-5, sesudahnya terjadi deselerasi (menurun). Hal ini sesuai menurut Susanti (2003), yang menyatakan umumnya masa percepatan terjadi sebelum ternak mengalami pubertas (dewasa kelamin) yang kemudian setelahnya terjadi perlambatan.
Gambar 5. Grafik Pertambahan Bobot Badan (PBB) Itik AAP, APA dan Itik PAP.
Itik PAP mencapai titik infleksi pada minggu yang sama, namun dengan bobot badan yang jauh lebih tinggi dibandingkan itik AAP dan itik APA. Hal ini
menunjukkan bahwa tetua jantan Pekin menghasilkan keturunan backcross dengan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan tetua Alabio. Christiandrianto (1991) menemukan titik infleksi itik Alabio baik jantan dan betina pada minggu ke-4 dengan dengan bobot badan 514 gram dan betina 344 gram. Bila dibandingkan dengan tetua jantan Alabio, hasil silang balik menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik karena walaupun titik infleksi yang dicapai lebih lama seminggu, namun bobot badan yang dimiliki itik AAP dan APA jauh lebih besar. Selain itu, bila dibandingkan dengan penelitian Indradjaja (1986) yang menemukan itik tegal mencapai titik infleksi pada minggu minggu ke-5, itik AAP dan APA dan PAP menunjukkan hasil yang lebih baik. Hal ini dilihat dari titik infleksi yang dicapai itik AAP, APA dan PAP pada minggu ke-5 dengan rataan bobot badan yang lebih tinggi yakni masing-masing 1102,27 gram, 1121 gram dan 1533,40 gram dibandingkan dengan bobot badan itik Tegal dalam penelitian Indradjaja yakni sekitar 700-750 gram. Hal ini menunjukkan bahwa hasil backcross itik AP dan PA dengan tetuanya bila dibandingkan dengan itik bangsa lain menghasilkan pertumbuhan yang lebih optimal. Brody (1964) menjelaskan bahwa fungsi dari titik infleksi selama ini dijadikan dasar untuk mengukur optimalisasi pertumbuhan juga merupakan ukuran tingkat efisiensi usaha yang dicapai.
Konversi ransum
Total konsumsi ransum dan konversi ransum disajikan pada Tabel 4. Total konsumsi ransum adalah banyaknya ransum yang dikonsumsi tiap ekor itik selama pemeliharaan. Tabel 4 menunjukkan itik PAP pada saat berumur 8 minggu memiliki nilai FCR sebesar 2,77, yang artinya untuk memperoleh bobot badan sebesar 1 kg, dibutuhkan pakan sebanyak 2,77 kg. Trisna et al. (2008) menemukan nilai FCR itik Pekin berkisar 2,67 – 2,88, sedangkan Pingel (2011) menyatakan bahwa besarnya konversi ransum itik Pekin berumur 4-7 minggu sebesar 2,88. Hal ini membuktikan bahwa itik PAP memiliki kemampuan mengkonversi pakan seefisien tetua murninya yakni itik Pekin. Sedangkan nilai FCR paling tinggi saat berumur 8 minggu dimiliki oleh itik APA (4,22), yang artinya bila dibandingkan dengan kedua jenis itik lain, itik ini diduga paling tidak efisien dalam mengubah pakan menjadi daging.
Tabel 4 menjelaskan bahwa konsumsi ransum total itik AAP hingga berumur 16 minggu adalah 13.908,7 g dan itik APA 18.731,05 g. Disamping itu, konversi
ransum kedua jenis itik berbeda yakni pada itik AAP sebesar 8,01 dan itik APA sebesar 10,12. .Berdasarkan hal tersebut, dapat diduga induk AP dan PA memberikan pengaruh maternal terhadap konversi ransum keturunannya yakni itik AAP dan APA. Induk AP diduga menurunkan sifat yang diinginkan yakni menurunkan besarnya nilai konversi ransum atau dengan kata lain meningkatkan efisiensi pakan. Hal ini dikarenakan, besarnya konversi ransum itik AAP pada fase starter masih lebih rendah yakni 3,35 bila dibandingkan dengan penelitian Subhan et al. (2010), yang menemukan nilai FCR itik Alabio umur 8 minggu sebesar 3,75.
Tabel 4. Total Konsumsi Ransum dan Konversi Ransum Selama 16 Minggu Itik AAP, APA dan Itik PAP
Peubah Jenis itik1
AAP APA PAP
Konsumsi ransum total 8
minggu (gram/ekor) 5.712,88 7.318,3 7.607,21
Konversi ransum (FCR) 8 minggu
Konsumsi ransum total 16 minggu (gram/ekor) Konversi ransum (FCR) 16 minggu 3,35 13.908,37 8,01 4,22 18731,05 10,12 2,77 19.339,13 6,28 1
Jenis itik AAP [A♂ x AP♀]; APA [A♂ x PA♂]; PAP [P♂ x AP♀]
Selama fase pemeliharaan Itik PAP mengkonsumsi pakan lebih banyak dibandingkan kedua jenis itik lain, namun bobot badan serta PBB yang dihasilkan lebih tinggi. Selain itu, itik PAP memiliki nilai FCR paling rendah Bila dilihat pada saat itik berumur 16 minggu atau mencapai fase grower itik PAP memiliki nilai FCR yang lebih rendah dibandingkan itik AAP dan APA. Hal ini menunjukkan bahwa itik PAP diduga lebih efisien dalam mengkonversi pakan dibandingkan kedua jenis itik lain. Konversi ransum selama selama 16 minggu memiliki nilai yang sangat tinggi yang dimana dalam hal ini terjadi penurunan efisiensi pakan. Hal ini dikarenakan, ketika itik mencapai fase deselerasi, pakan yang dikonsumsi tidak lagi seefisien seperti pada saat fase starter, karena pada saat fase deselerasi, pembentukkan tulang, daging serta organ tubuh telah maksimal dan konsumsi energi sebagian diakumulasikan atau disimpan dalam bentuk lemak. Setelah terjadi deselerasi atau
penurunan kecepatan pertumbuhan (seperti yang ditunjukkan pada kurva sigmoidal), kenaikkan berat tubuh akan didominasi oleh peningkatan deposisi lemak yang terjadi kira-kira sepertiga dari berat akhir (Prescott, 1976).