• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam dokumen BUNTING TERHADAP SAMSURIA (Halaman 41-59)

Pengaruh Asap Rokok terhadap Tampilan Fisiologis Induk Kemampuan Reproduksi

Kemampuan reproduksi pada induk tikus diukur dari keberhasilan implantasi, berat ovarium dan berat UPA (Tabel 3). Keberhasilan implantasi adalah kemampuan induk dalam mempertahankan implantasi. Nilai keberhasilan implantasi didapatkan dari jumlah titik implantasi dibagi jumlah korpus luteum kali 100%.

Tabel 3 Rata-rata keberhasilan implantasi, berat ovarium dan berat UPA dari kelompok perlakuan.

Angka pada kolom yang sama dan diikuti huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05).

*UPA (Uterus, Anak dan Plasenta).

Tabel 3 menunjukkan bahwa pemaparan asap rokok dan injeksi nikotin dapat menurunkan keberhasilan implantasi bila dibandingkan dengan kelompok kontrol (P<0,05). Penurunan keberhasilan implantasi pada kelompok dipapar asap rokok terjadi sebesar 38.5% bila dibandingkan dengan kelompok kontrol. Sedangkan untuk kelompok injeksi nikotin, penurunan implantasi terjadi lebih besar dan mencapai 70,4%. Keberhasilan implantasi pada tikus juga dapat dilihat dengan banyaknya titik implantasi disepanjang uterus (Gambar 11). Implantasi normal terlihat pada kelompok kontrol dengan jumlah titik implantasi yang banyak. Titik implantasi yang tidak normal, terlihat pada induk tikus dari kelompok dipapar asap rokok sedangkan kegagalan implantasi terjadi pada induk tikus kelompok injeksi nikotin.

Perlakuan Keberhasilan Implantasi (%) Berat Ovarium (gr) Berat UPA* (gr) Kontrol (n=4) 99,11a±0,85 0,33a±0,08 1,64a±0,21 Asap Rokok (n=4) 61,50b±7,70 0,10b±0,04 0,28b±0,17 Nikotin (n=4) 29,61c±17,19 0,10b±0,02 0,57b±0,22

Dari Gambar 11 dapat diketahui bahwa keberhasilan implantasi ditandai dengan banyaknya jumlah titik implantasi yang terdapat disepanjang uterus bagian kanan dan kiri. Jumlah titik implantasi pada uterus kanan maupun kiri dapat mencapai 5-7 titik implantasi. Sedangkan pada implantasi yang tidak normal, banyaknya titik implantasi adalah kurang dari lima pada masing-masing uterus (kanan dan kiri). Implantasi tidak normal juga ditandai dengan adanya bintik hitam pada bagian titik implantasi. Bintik hitam pada titik implantasi menandakan adanya kelainan yang terjadi pada awal proses implantasi, dan ini sangat mempengaruhi perkembangan embrio. Kegagalan implantasi ditandai dengan tidak terdapatnya titik implantasi disepanjang uterus bagian kanan maupun kiri. Hal ini disebabkan karena belum terjadinya proses implantasi. Kegagalan implantasi dapat terjadi pada awal proses implantasi, dimana zigot yang telah dibuahi tidak dapat mencapai uterus.

Pemaparan asap rokok dan injeksi nikotin dapat mempengaruhi berat ovarium. Ovarium pada kelompok dipapar asap rokok maupun kelompok injeksi nikotin lebih ringan bila dibandingkan dengan berat ovarium pada kelompok kontrol (P<0,05). Sedangkan berat ovarium pada kelompok dipapar asap rokok dan kelompok injeksi nikotin tidak berbeda.

Pemaparan asap rokok dan injeksi nikotin juga dapat mempengaruhi berat UPA bila dibandingkan dengan kelompok kontrol (P<0,05). Berat UPA pada kelompok dipapar asap rokok maupun kelompok injeksi nikotin lebih kecil bila dibandingkan dengan kelompok kontrol. Sedangkan UPA pada kelompok dipapar asap rokok maupun kelompok injeksi nikotin tidak berbeda.

Gambar 11 Titik implantasi pada tikus perlakuan

A. kontrol B. dipapar asap rokok C. diinjeksi nikotin

Titik implantasi normal UPA

Titik implantasi tidak normal

Pemaparan asap rokok maupun injeksi nikotin pada tikus bunting selama 11 hari kebuntingan terbukti mempengaruhi tampilan reproduksi pada tikus betina bunting. Adapun akibat yang disebabkan oleh pemaparan asap rokok maupun injeksi nikotin terhadap tampilan reproduksi adalah: a) berkurangnya kemampuan implantasi, b) penurunan berat ovarium, dan c) penurunan berat uterus-plasenta-anak (UPA). Kegagalan dalam proses implantasi adalah salah satu penyebab kegagalan dalam proses reproduksi seperti apa yang diutarakan oleh Price dan Wilson (2005), yang menyatakan bahwa keberhasilan sistem reproduksi diawali dengan terjadinya proses implantasi.

Salah satu komponen asap rokok yang dapat mempengaruhi proses implantasi adalah nikotin. Pemberian nikotin secara langsung maupun tidak langsung dapat menghambat proses pembelahan sel, menghambat pembentukan blastosit, dan mengganggu masuknya embrio ke rongga rahim dan bahkan mencegah terjadinya implantasi (Card dan Mitchell 1979). Berdasarkan hasil penelitian ini, pengaruh nikotin yang berasal dari asap rokok lebih kecil, jika dibandingkan dengan nikotin yang diberikan secara injeksi. Hal ini disebabkan karena nikotin yang diberikan secara langsung merupakan nikotin murni yang mempunyai kadar nikotin lebih tinggi (99%), sehingga pengaruhnya lebih cepat terhadap kerusakan korpus luteum dan menggagalkan implantasi. Menurut Soeradi (1995), tikus betina yang dipapar asap rokok kretek selama 50 hari, setelah dikawinkan menunjukkan peningkatan kelainan dan gangguan pada janin secara bermakna, ini disebabkan karena tingginya kadar nikotin dan tar dalam asap rokok kretek. Komponen lain dari asap rokok yang mempengaruhi kegagalan implantasi menurut Zenzes (2000) adalah kadmiun. Menurut Soeradi (1995), kadmiun merupakan salah satu komponen karsinogenik utama dalam tar yang dapat menyebabkan kegagalan dalam proses implantasi.

Dalam penelitian ini, asap rokok dan injeksi nikotin juga menyebabkan penurunan berat ovarium. Menurut Nalbandov (1990), ovarium yang lebih fungsional sedikit lebih berat dan struktur didalamnya lebih besar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berat ovarium yang rendah ditemukan pada kelompok yang mendapat paparan asap rokok dan injeksi nikotin. Menurut Yoshinaga et al. (1979) dan Winarsi (1985),

nikotin dapat menyebabkan gangguan pematangan pada sel telur sehingga sulit terjadi kehamilan. Hal ini dapat terjadi karena hidrokarbon polisiklik yang terdapat dalam asap rokok bersifat toksik terhadap sel ovarium. Selain itu, komponen alkaloid dalam asap rokok yakni nikotin, ternyata menekan kadar estrogen yang berpengaruh terhadap penurunan fertilitas ovarium dan kejadian keguguran lebih tinggi. Talbot dan Riveles (2005) mengemukakan bahwa komponen lain dari asap rokok yang juga mempengaruhi fungsi ovarium adalah komponen tar yang terdiri dari piridin, pirazin dan phenol.

Paparan asap rokok dan injeksi nikotin juga terbukti mempengaruhi berat UPA. Menurut Xiao et al. (2007), hal ini disebabkan karena nikotin dalam rokok menyebabkan pembuluh darah pada tali pusat (plasenta) dan uterus menyempit, sehingga akan menurunkan jumlah oksigen yang diterima janin. Wanita yang merokok selama kehamilan memiliki resiko pecahnya membran secara prematur sebelum proses kelahiran dimulai. Ini dapat mengakibatkan kelahiran prematur dan kemungkinan kematian janin. Selain itu nikotin yang masuk kedalam darah akan menghambat proses pembelahan (Zenzes 2000). Pembelahan sel-sel yang tidak sempurna menurut Ganong (1995) dapat menyebabkan perkembangan janin yang tidak normal.

Gangguan yang berarti pada periode awal ini mengakibatkan terjadinya resiko yang sangat besar terhadap proses perkembangan selanjutnya. Gangguan yang berulang-ulang selama tahap awal kehamilan bahkan sampai setengah periode kehamilan atau dari awal kehamilan sampai tahap akhir periode kehamilan, dapat menyebabkan terganggunya proses pembelahan sel, kegagalan implantasi embrio akibat kerusakan uterus, dan rusaknya sel akibat pemberian senyawa kimia. Kerusakan ini mungkin akibat koagulasi, denaturasi protein protoplasma sel atau menyebabkan sel mengalami lisis, yakni dengan mengubah struktur membran sel sehingga mengakibatkan kebocoran isi sel (Siswandono dan Bambang 1993).

Rugh (1971) mengemukakan pembelahan sel yang pertama pada tikus maupun mencit terjadi 24 jam (1 hari) setelah pembuahan. Pembelahan terjadi secara cepat di dalam oviduk dan berulang-ulang. Menjelang hari kedua setelah pembuahan

embrio sudah berbentuk morula 16 sel. Bersamaan dengan pembelahan, embrio bergulir menuju uterus. Menjelang hari ketiga kehamilan embrio telah masuk ke dalam uterus, tetapi masih berkelompok-kelompok. Pada akhirnya embrio akan menyebar di sepanjang uterus dengan jarak yang memadai untuk implantasi dengan ruang yang cukup selama masa pertumbuhan. Menurut Sperber (1991) diakhir tahap pembelahan akan terbentuk blastula. Blastula akan membentuk massa sel sebelah dalam (ICM) dan tropectoderm yang akan berkembang menjadi plasenta. ICM akan berkembang menjadi hipobals dan epiblas, dimana epibalas akan berkembang menjadi embrio sedangkan hipobalas akan berkembang menjadi selaput ekstra embrio. Selanjutnya menurut Rugh (1971) blastomer akan terimplantasi pada hari keempat kehamilan dan berakhir pada hari keenam kehamilan. Kemudian diikuti dengan proses gastrulasi, yakni adanya perpindahan sel dan diferensiasi untuk membentuk lapisan ektoderm, mesoderm dan endoderm. Akhir tahap perkembangan adalah proses pembentukan organ dari lapisan ektoderm, mesoderm, endoderm dan derivat-derivatnya. Dengan demikian, jika pemberian senyawa kimia dalam hal ini nikotin pada awal pembentukkan embrio, maka akan mengganggu perkembangan embrio maupun proses organogenesis.

 

Gambaran Hematologi

Indikator penting untuk mengetahui perubahan fisiologi dan patologi pada hewan adalah dengan pemeriksaan hematologi (analisa gambaran darah). Kelainan pada gambaran hematologi menandakan terjadinya perubahan fisiologi pada hewan tersebut. Gambaran hematologi untuk ketiga perlakuan disajikan pada Tabel 4. Gambaran hematologi induk pada ketiga perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05). Gambaran hematologi pada kelompok dipapar asap rokok maupun injeksi nikotin tidak berbeda dengan kelompok kontrol.

Tabel 4 Rata-rata jumlah Hb, hematokrit, butir darah merah, butir darah putih, dan diferensiasi butir darah putih pada induk tikus.

Angka pada kolom yang sama dan diikuti huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05).

Berdasarkan hasil uji statistik, paparan asap rokok maupun injeksi nikotin pada induk tikus selama 11 (sebelas) hari kebuntingan tidak berpengaruh terhadap gambaran hematologi induk. Hal ini menandakan bahwa induk tikus tidak mengalami perubahan patologis. Perubahan patologis yang tidak terjadi pada induk tikus dipengaruhi oleh singkatnya waktu pemaparan dan sedikitnya jumlah rokok yang digunakan. Susanna et al. 2003 mengemukakan bahwa efek yang dapat ditimbulkan oleh pemaparan asap rokok dipengaruhi oleh waktu pemaparan dan jumlah rokok yang digunakan.

 

Pengaruh Asap Rokok terhadap Perkembangan Anak

Perkembangan dapat diartikan sebagai perubahan yang sistematis (perubahan yang bersifat saling mempengaruhi antara satu bagian dengan bagian lainnya, baik fisik maupun psikis dan merupakan satu kesatuan yang harmonis), progresif (perubahan yang terjadi bersifat maju, meningkat dan meluas, baik secara kuantitatif/fisik mapun kualitatif/psikis), dan berkesinambungan (perubahan pada bagian atau fungsi organisme itu berlangsung secara beraturan atau berurutan) dalam diri individu sejak lahir hingga akhir hayatnya. Perkembangan terjadi bersamaan dengan pertumbuhan. Perkembangan anak pada tahap awal menentukan perkembangan anak selanjutnya. Secara umum perkembangan dapat dilihat dari

Perlakuan Hematologi Hb (g %) Hematokrit (%) BDM (jt/mm3) BDP (rb/mm3)

Diff. Butir Darah Putih (%)

L N M E Kontrol (n=4) 11,05 ±0,64 35,06 ±2,95 7,82 ±1,56 8,46 ±1,75 72,25 ±7,04 25,25 ±4,99 2,25 ±1,50 2,79 ±1,19 Asap Rokok (n=5) 12,90 ±0,58 40,31 ±2,85 8,93 ±0,72 6,50 ±2,77 59,50 ±10,60 35,00 ±9,83 3,25 ±2,63 2,25 ±0,50 Nikotin (n=5) 9,70 ±3,33 31,56 ±12,98 6,05 ±2,33 9,01 ±3,64 56,25 ±10,44 40,00 ±9,49 2,25 ±1,60 2,75 ±0,50

beberapa indikator seperti pertumbuhan (pertambahan bobot badan), persentase mortalitas, ketersediaan hormon dan gambaran darah serta aktivitas individu.

Bobot lahir dan bobot badan saat usia 8 minggu

Rata-rata bobot lahir dan bobot badan anak tikus saat usia delapan minggu pada semua perlakuan disajikan pada Tabel 5. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bobot lahir anak tidak dipengaruhi baik oleh pemaparan asap rokok maupun injeksi nikotin. Sedangkan bobot badan saat berusia delapan minggu, terbukti dipengaruhi oleh pemaparan asap rokok maupun injeksi nikotin.

Tabel 5 Rata-rata bobot lahir dan bobot badan anak tikus usia 8 minggu (gr) dari ketiga perlakuan

Angka pada kolom yang sama dan diikuti huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05).

Tabel 5 menunjukkan bahwa rata-rata bobot lahir anak tikus pada ketiga kelompok perlakuan tidak berbeda nyata (P>0,05). Bobot lahir dari kedua kelompok perlakuan (dipapar asap rokok maupun injeksi nikotin) sama dengan kelompok kontrol. Sedangkan bobot badan anak tikus saat usia delapan minggu pada ketiga perlakuan berbeda nyata (P<0,05). Bobot badan anak tikus pada kelompok dipapar asap rokok dan kelompok injeksi nikotin lebih kecil bila dibandingkan dengan kelompok kontrol. Sedangkan antara kedua kelompok perlakuan (dipapar asap rokok dan injeksi nikotin) tidak berbeda.

Bobot lahir yang tidak berbeda antara ketiga perlakuan, menandakan bahwa paparan asap rokok dan injeksi nikotin tidak mempengaruhi plasenta, sehingga asupan nutrisi dari induk ke anak tidak mengalami gangguan. Menurut Dockery et al. 2000, plasenta berfungsi sebagai pertukaran oksigen, karbon dioksida dan zat

Kelompok Perlakuan Bobot lahir (gr) Bobot badan usia 8 minggu (gr) Kontrol (n=5 induk)

Asap rokok (n=5 induk) Nikotin (n=5 induk) 5,44±0,13 5,28±0,15 5,34±0,00 102,12a±5,11 74,12b±4,34 77,10b±1,98

Rata‐rata pertumbuhan anak tikus 0 20 40 60 80 100 120 0 1 2 3 4 5 6 7 8 Minggu Bo b o ba d an  (g r) Kontrol As a p Rokok Ni koti n

makanan dari embrio ke induk. Sedangkan perbedaan bobot badan anak tikus pada usia delapan minggu kemungkinan dipengaruhi oleh pola makan dan aktivitas. Pola makan yang terganggu akibat kurangnya nafsu makan, akan berakibat pada kenaikan bobot badan. Selanjutnya aktivitas yang tinggi pada anak tikus menyebabkan energi lebih banyak digunakan untuk aktivitas, sehingga penyimpanan protein dalam tubuh akan berkurang. Berkurangnya cadangan protein dalam tubuh akan berpengaruh terhadap kenaikan bobot badan (Guyton 1990).

 

Pertumbuhan

Pertumbuhan merupakan pertambahan ukuran (misalnya bobot badan) yang dinyatakan dengan angka. Bobot badan dapat digunakan sebagai salah satu tolak ukur untuk menentukan tingkat kesehatan anak. Rata-rata pertumbuhan dan pertambahan bobot badan anak tikus disajikan pada Gambar 12 dan Gambar 13. Dari data yang didapat, hingga minggu ketiga baik bobot badan maupun pertambahan bobot badan pada ketiga perlakuan tidak berbeda nyata (P>0,05). Rata-rata bobot badan anak tikus pada minggu pertama hingga minggu ketiga dari kedua kelompok perlakuan (dipapar asap rokok maupun injeksi nikotin) tidak berbeda dengan kelompok kontrol. Sedangkan pertumbuhan anak tikus pada minggu keempat hingga minggu kedelapan dari ketiga perlakuan berbeda (P<0,05).

0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00 B obo t ba da n ( g r) M1 M2 M3 M4 M5 M6 M7 M8 Minggu

Pertambahan Bobot Badan

Kontrol Asap Rokok Nikotin

Gambar 13 Rata-rata pertambahan bobot badan anak tikus setiap minggu

Gambar 12 dan 13 menunjukkan bahwa rata-rata bobot badan dan pertambahan bobot badan anak tikus dari minggu pertama hingga minggu ketiga dari kelompok perlakuan (dipapar asap maupun injeksi nikotin) sama dengan kelompok kontrol. Hal ini berarti bahwa, pemaparan asap rokok dan injeksi nikotin pada induk tikus selama kebuntingan tidak menunjukkan adanya pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan dan pertambahan bobot badan anak tikus. Hal ini disebabkan karena, hingga usia tiga minggu, anak tikus masih sangat bergantung pada air susu induknya. Jadi boleh dengan tidak ada perbedaan bobot badan dan penambahan bobot badan hingga usia tiga minggu, dapat diartikan tidak terjadi penurunan produksi susu induk akibat pemaparan asap rokok maupun injeksi nikotin. Lamanya waktu pemaparan dan jumlah rokok yang digunakan dalam penelitian ini tidak berpengaruh terhadap proses laktasi pada induk. Hal ini terlihat dari rata-rata bobot badan dan penambahan bobot badan anak hingga usia tiga minggu yang tidak berbeda. Menurut Susanna et al. (2003), efek yang disebabkan oleh asap rokok dipengaruhi oleh jumlah rokok yang digunakan dan lamanya waktu terpapar. Bobot badan tikus dewasa yang diberi paparan asap rokok kretek sebanyak 8 batang setiap hari selama enam minggu cenderung lebih rendah dibanding tikus kontrol (Widodo 2006).

Sedangkan pada minggu keempat hingga minggu kedelapan, bobot badan dan pertambahan bobot badan anak tikus dipengaruhi oleh pemaparan asap rokok dan injeksi nikotin. Rata-rata bobot badan dan pertambahan bobot badan anak tikus kelompok dipapar asap rokok dan injeksi nikotin pada minggu keempat hingga

minggu kedelapan lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol. Sedangkan bobot badan dan pertambahan bobot badan antara kelompok dipapar asap rokok dan kelompok injeksi nikotin tidak berbeda. Perbedaan bobot badan dan pertambahan bobot badan anak tikus akibat pemaparan asap rokok maupun injeksi nikotin pada kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol menyebabkan terganggu pertumbuhan anak tikus.

Menurut Widyastuti dan Widyani (2002), bobot badan dapat digunakan sebagai tolak ukur untuk menentukan tingkat kesehatan anak. Bobot badan yang rendah sejak lahir menunjukkan kondisi bayi yang kurang sehat. Sebaliknya, jika berat badan bayi masih dalam kisaran pola standar, maka dapat dipastikan bayi dalam keadaan sehat. Pada tikus, bobot badan normal saat lahir adalah 5-6 gram, dan akan mencapai bobot badan 30-40 gram saat berusia empat minggu (Smith dan Mangkoewidjojo 1988).

Walaupun asap rokok dan injeksi nikotin tidak berpengaruh terhadap bobot lahir hingga usia tiga minggu, tetapi pada minggu keempat hingga minggu kedelapan bobot badan anak-anak tikus mulai terlihat lebih rendah bila dibandingkan dengan bobot badan anak-anak tikus pada kelompok kontrol. Hal ini disebabkan karena setelah usia tiga minggu, anak-anak tikus mulai mencari makanan lain selain air susu induk. Kondisi bobot badan anak yang lebih rendah pada kelompok pemaparan asap rokok dan injeksi nikotin diduga akibat kurangnya nafsu makan anak. Walaupun jumlah pakan secara langsung tidak dihitung dalam penelitian ini, namun menurut Chen et al. (2006), paparan asap rokok selama empat minggu dapat menyebabkan kelainan psikis berupa kekurangan nafsu makan (anoreksia) ringan yang berpengaruh pada bobot badan. Ini karena paparan asap rokok menyebabkan penurunan enzim neuropeptida Y axis (enzim yang berfungsi mengatur rasa lapar) pada hipotalamus yang secara umum mengganggu sistem fisiologis tubuh dalam metabolisme.

Kelainan psikis yang terjadi pada anak tikus adalah akibat dari pemaparan asap rokok dan injeksi nikotin pada induk selama kebuntingan. Kelainan bawaan seperti kelainan morfologi umumnya mudah dideteksi pada saat kelahiran atau sesaat setelah kelahiran, tetapi kelainan fungsi, seperti gangguan sistem saraf pusat tidak

dapat didiagnosis segera setelah lahir. Hal ini disebabkan karena sampai batas tertentu, sawar plasenta masih dapat melindungi janin (Lu 1995). Ini dapat dilihat dari kondisi anak tikus kelompok dipapar asap rokok maupun injeksi nikotin hingga usia tiga minggu tidak menunjukkan adanya kelainan.

Selain itu, bobot badan yang rendah pada anak-anak tikus juga disebabkan karena anak tikus dalam kondisi stres. Kondisi stres yang terjadi pada anak tikus dapat menyebabkan tingginya hormon T3, yang merupakan salah satu hormon yang dapat merangsang metabolisme tubuh. T3 yang tinggi menyebabkan aktivitas anak tikus lebih meningkat, hal ini disebabkan karena sebagian besar energi digunakan untuk melakukan aktivitas, sehingga simpanan protein dalam tubuh menjadi berkurang. Berkurangnya simpanan protein dalam tubuh menyebabkan rendahnya bobot badan, yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap lambatnya proses pertumbuhan (Guyton 1990).

Mortalitas anak

Mortalitas adalah ukuran jumlah kematian pada suatu populasi. Mortalitas umumnya dinyatakan sebagai suatu persentase. Persentase mortalitas didapat dari jumlah individu yang mati per individu jumlah yang lahir dikali 100%. Rata-rata persentase mortalitas anak tikus pada usia empat minggu dan delapan minggu dari ketiga perlakuan disajikan pada Gambar 14.

Gambar 14 Rata-rata persentase mortalitas anak dari ketiga perlakuan ƒ a berbeda nyata dengan b dan c

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Pe r se n ta se (% )

Kontrol Asap Rokok Nikotin

Perlakuan Mortalitas 4 minggu 8 minggu a a b c a b

Gambar 14 menunjukkan bahwa rata-rata persentase mortalitas anak tikus dari ketiga perlakuan hingga usia empat minggu dan delapan minggu terlihat berbeda nyata (P<0,05). Kelompok injeksi nikotin memiliki persentase mortalitas tertinggi (82,22%) dibandingkan kelompok dipapar asap rokok (50,49%) dan kelompok kontrol (26,40%). Sedangkan mortalitas pada kelompok dipapar asap rokok tampak lebih besar dari control (P<0,05). Selanjutnya hingga minggu kedelapan, rata-rata persentase mortalitas anak tikus dari kelompok dipapar asap rokok lebih tinggi (35,01%) dari kelompok injeksi nikotin (9,72%) dan kelompok kontrol (6,40%). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa paparan asap rokok dan injeksi nikotin pada induk tikus selama kebuntingan berpengaruh terhadap mortalitas anak.

Mortalitas yang tinggi pada anak-anak tikus kelompok perlakuan, menunjukkan adanya pengaruh paparan asap rokok dan injeksi nikotin yang diberikan pada induk selama kebuntingan. Persentase mortalitas yang tinggi (82.22%) pada anak tikus kelompok injeksi nikotin hingga usia empat minggu, disebabkan karena nikotin yang digunakan adalah nikotin murni dengan kadar nikotin 99%, sehingga kemungkinan pengaruh yang diberikan cukup besar dan cepat. Hal ini terlihat dari rata-rata mortalitas anak terjadi pada hari pertama setelah lahir. Sedangkan persentase mortalitas anak tikus yang rendah pada kelompok dipapar asap rokok dibandingkan kelompok injeksi nikotin, kemungkinan disebabkan karena efek yang dihasilkan dari pemaparan asap rokok membutuhkan waktu untuk terakumulasinya komponen-komponen dalam asap rokok, sehingga efek yang diberikan lebih lambat dari pada injeksi nikotin.

Mortalitas yang terjadi pada anak tikus kelompok dipapar asap rokok juga diduga disebabkan karena sifat agresif dari induk tikus. Walaupun persentase mortalitas anak tikus akibat sifat agresif dari induk tidak dihitung secara langsung, namun berdasarkan pengamatan pada jumlah anak-anak tikus yang mati, diduga juga karena dimakan oleh induknya lebih banyak dari yang mati karena faktor lain. Ini dibuktikan dengan berkurangnya anak-anak tikus setiap hari tanpa ditemukan bangkainya. Menurut Gatzke-Kopp dan Beauchaine (2007), perokok pasif maupun aktif cenderung memiliki perilaku mengacau, agresif, sering terlibat masalah, dan

melanggar aturan dibandingkan dengan yang tidak merokok atau terpapar asap rokok. Hal ini disebabkan karena perilaku itu dikontrol oleh sistem dopamin otak.

Dopamin menurut Salokangas et al. (2000) adalah zat di dalam otak yang terpacu keluar akibat paparan asap rokok. Komponen asap rokok yang mempengaruhi dopamin adalah nikotin. Pada keadaan normal, dopamin berfungsi untuk mengatur fungsi-fungsi motorik dan mengatur status emosional. Peningkatan dopamin akan memacu timbulnya gerakan yang agresif. Perilaku agresif yang berlebihan pada hewan dapat menyebabkan perilaku liar (buas), bahkan kanibal (Schwartz 1994).

Hingga usia delapan minggu, rata-rata persentase mortalitas anak tikus pada kelompok dipapar asap rokok masih terlihat cukup tinggi dibandingkan dengan kelompok injeksi nikotin maupun kelompok kontrol. Hal ini disebabkan karena disamping nikotin, ada komponen lain dalam asap rokok yang terakumulasi dan akan menimbulkan efek jika kondisi dan ketahanan fisik anak tikus terlihati menurun. Rendahnya bobot badan anak tikus hingga usia delapan minggu, menyebabkan mortalitas anak tikus pada kelompok ini terlihat cukup tinggi. Hal ini menurut

Dalam dokumen BUNTING TERHADAP SAMSURIA (Halaman 41-59)

Dokumen terkait