• Tidak ada hasil yang ditemukan

BUNTING TERHADAP SAMSURIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BUNTING TERHADAP SAMSURIA"

Copied!
95
0
0

Teks penuh

(1)

EFEK AS

TE

SAP ROK

ERHADAP

ANA

IN

KOK PADA

P TAMPIL

AKNYA S

S

SEKOLA

NSTITUT

A TIKUS

LAN FISI

ETELAH

SAMSURI

AH PASCA

PERTAN

BOGOR

2009

(Rattus no

IOLOGIS

H DILAHIR

IA

ASARJAN

NIAN BOG

R

orvegicus)

INDUK D

RKAN

NA

GOR

BUNTIN

DAN

G

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang berjudul, Efek Asap Rokok pada Tikus (Rattus norvegicus) Bunting terhadap Tampilan Fisiologis Induk dan Anaknya Setelah Dilahirkan adalah hasil karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir dari tesis ini.

Bogor, Agustus 2009

Samsuria G 352070261

(3)

ABSTRACT

SAMSURIA. Effect of cigarette smoke on pregnant rat (R. norvegicus) in terms of it’s physiologys performance and of its child after birth. Under Direction of DEDY DURYADI SOLIHIN and NASTITI KUSUMORINI.

Cigarette smoke consists of chemical substances such as acrolein, carbon monoxide, nicotine, ammoniac, formic acid, hydrogen cyanide, nitrogen oxide, cyanogens, phenol, acetone, methanol, tar, cadmium, naphthalene, butane, pyrene and benzopiren. Among these substances, the most dangerous are nicotine, tar and carbon monoxide. The bad effects of cigarette smoke on human health may take place from such phases as embryo until adulthood in form of respiratory problem, fertility, impotency, heart problem and embryo abnormality. The aim of this research was to find out the effects of cigarette smoke on a pregnant rat (Rattus norvegicus) in terms of it’s physiologys performance and the of its child after birth. The exposure to cigarette smoke was done in two stages. The first stage was 11 days, that was to observe the physiologys performance of it’s reproduction, and the second stage was 21 days to observe of the children. Cigarette smoke and nicotine injection were proved to influence the process of implantation, ovary weight and UPA weight (uterus, child and placenta). In the meantime, the effects on child development were in form of underweight, high mortality rate, a high number of hemoglobin and high a concentration of triiodothyronine.

Keywords: Rattus norvegicus, cigarette smoke, injection nicotine, triiodothyronine.

(4)

RINGKASAN

SAMSURIA. Efek Asap Rokok pada Tikus (Rattus norvegicus) Bunting terhadap Tampilan Fisiologis Induk dan Anaknya Setelah Dilahirkan. Dibimbing oleh DEDY DURYADI SOLIHIN dan NASTITI KUSUMORINI.

Kebiasaan merokok di Indonesia dan beberapa negara berkembang lainnya terus meningkat. Perokok di Indonesia berjumlah 75% yang terdiri atas 60% berasal dari populasi pria dan 15% dari populasi wanita (WHO 2005). Sementara di negara-negara maju kebiasaan merokok justru semakin menurun, hal ini disebabkan karena mereka telah sadar akan bahaya rokok pada kesehatan. Hasil Survei Global Youth Tobacco memperlihatkan bahwa 88% perokok di Indonesia lebih menyukai rokok kretek dan 12% menyukai rokok putih. Kadar tar dan nikotin pada rokok kretek lebih tinggi, dibanding rokok putih. Rokok kretek berpotensi menghasilkan asap yang lebih banyak baik asap arus utama dan arus samping dibandingkan dengan rokok putih.

Belakangan ini, bahaya asap rokok tidak hanya difokuskan pada perokok aktif tetapi juga pada perokok pasif. Perokok pasif mempunyai peluang yang sama bahkan lebih tinggi mendapatkan penyakit dibandingkan perokok aktif. Secara umum gangguan asap rokok terhadap kesehatan manusia dapat terjadi mulai pada fase janin, anak-anak sampai pada orang dewasa. Gangguan kesehatan itu antara lain gangguan pernafasan, fertilitas, impotensi, jantung dan kelainan pada janin. Wanita hamil yang sering terpapar asap rokok dapat menyebabkan gangguan kesehatan pada anaknya bahkan sebelum anak dilahirkan (fase janin). Beberapa kelainan atau gangguan asap rokok terhadap janin diantaranya adalah: a) terjadinya keguguran spontan, b) berat badan lahir rendah, c) komplikasi saat melahirkan, dan d) kelainan pada perkembangan saraf.

Melihat begitu besarnya konsumsi rokok kretek dibandingkan rokok putih di Indonesia, dan besarnya bahaya yang mungkin ditimbulkannya pada wanita hamil, serta minimnya penelitian mengenai bahaya asap rokok terhadap kesehatan, maka perlu penelitian lebih lanjut mengenai dampak rokok kretek terhadap tampilan fisiologis induk dan anaknya setelah dilahirkan dengan tikus sebagai hewan coba.

Sebelum percobaan dimulai semua tikus diadaptasikan di lingkungan kandang percobaan selama 10 hari. Perkawinan dilakukan dengan cara satu ekor tikus jantan ditempatkan satu kandang dengan dua ekor tikus betina. Pada keesokan harinya dilakukan pembuktian perkawinan dengan cara melakukan ulas vagina “papsmear”. Tikus-tikus percobaan yang dinyatakan bunting pada kebuntingan hari kesatu dikelompokkan kedalam tiga kelompok yaitu: 1) kelompok kontrol, 2) kelompok yang dipapar asap rokok, dan 3) kelompok yang diinjeksi nikotin (sebagai pembanding). Selanjutnya kelompok dipapar asap rokok dan injeksi nikotin dibagi dalam dua kelompok yaitu diberi perlakuan selama 11 hari, kemudian dikorbankan untuk mengetahui fisiologis induk, dan yang diberi perlakuan selama 21 hari, dibiarkan sampai melahirkan, selanjutnya anaknya dipelihara untuk melihat perkembangan anak.

(5)

Pemaparan dimulai dengan memasukkan 5 ekor tikus bunting ke dalam

smoking chamber kemudian rokok dipasang pada pipa yang dihubungkan dengan

pompa udara. Rokok kretek yang telah dipasang dibakar dan pompa udara dinyalakan, bersamaan dengan itu oksigen juga dialirkan kedalam smoking chamber dengan kecepatan 0.5 ppm. Pemaparan dilakukan dengan menggunakan 4 batang rokok selama 1 jam setiap hari dengan selang waktu 10-15 menit setiap batang selama 11 hari untuk kelompok pertama dan 21 hari untuk kelompok kedua. Sebagai pembanding (kontrol positif) dilakukan penyuntikan dengan menggunakan nikotin murni (99%) yang diinjeksi secara subcutan dengan dosis 0,5 mg/kg bb yang dilarutkan dalam larutan NaCl 0.9%.

Pada kelompok pertama, setelah 11 hari perlakuan, sebagian tikus percobaan dianestesi dengan cara memasukkan induk tikus kedalam stopless yang berisi eter, kemudian darahnya diambil untuk pemeriksaan hematologi, dan selanjutnya induk tikus dibedah. Pembedahan dilakukan untuk mengetahui jumlah titik implantasi, jumlah korpus luteum, berat ovarium dan berat UPA. Sedangkan untuk perlakuan 21 hari, setelah perlakuan, tikus dibiarkan dalam kandang dengan tetap diberi pakan sampai tikus melahirkan. Pengambilan data bobot badan dilakukan dengan menimbang anak tikus sesaat setelah lahir. Kemudian untuk mengetahui pertumbuhannya, anak tikus tetap dipelihara di kandang percobaan (tanpa perlakuan), disapih sampai berusia tiga minggu dan ditimbang satu kali tiap minggu selama delapan minggu.

Pengamatan terhadap aktivitas anak tikus dilakukan setelah anak tikus berusia delapan minggu. Aktivitas anak tikus yang diamati meliputi: a) jarak perpindahan anak tikus dari satu tempat ke tempat lain (distance traveled), b) waktu istirahat tikus (resting time), c) waktu yang dibutuhkan oleh tikus untuk memulai suatu gerakan (ambulatory time), dan d) waktu selama tikus melakukan gerakan stereotypic, seperti gerakan menggaruk, menjilat-jilat dan mencium (stereotypic time). Pengamatan aktivitas anak tikus dilakukan dengan cara anak tikus dimasukkan ke dalam

Opto-varimex Activity Monitor. Jarak perpindahan dan lamanya waktu bergerak anak tikus

dalam opto-varimex dihitung dengan menggunakan program Auto-Track System 4.31 selama 5 menit (waktu yang ditentukan). Setelah pengamatan aktivitas, anak tikus dianestesi untuk pengambilan darah. Darah diambil dari jantung sebanyak 1 ml, selanjutnya darah yang diambil dianalisa untuk mengetahui nilai hematologi, dan sebagian disentrifius untuk analisa hormon triiodotironin (T3). Analisa hormon T3

dilakukan dengan menggunakan metode radioimunoassay (RIA).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa efek asap rokok pada tikus bunting terhadap fisiologis induk adalah kegagalan implantasi, penurunan berat ovarium dan berat uterus-plasenta-anak (UPA). Salah satu komponen asap rokok yang mempengaruhi proses implantasi adalah nikotin. Pemberian nikotin secara langsung maupun tidak langsung dapat menghambat proses pembelahan sel, menghambat pembentukan blastosit, dan mengganggu masuknya embrio ke rongga rahim dan bahkan mencegah terjadinya implantasi. Efek asap rokok pada tikus bunting terhadap perkembangan anak setelah dilahirkan adalah rendahnya bobot anak setelah lepas

(6)

sapih, terjadinya mortalitas, peningkatan jumlah hemoglobin dan kadar hormon triiodotironin serta meningkatkan perilaku agresif.

Pada usia satu hingga tiga minggu, anak tikus masih sangat bergantung pada air susu induknya. Hal ini menyebabkan bobot badan anak tikus hingga usia tiga minggu tidak berbeda dengan control, hal ini dapat diartikan bahwa tidak terjadi penurunan produksi susu induk akibat pemaparan asap rokok maupun injeksi nikotin. Lamanya waktu pemaparan dan jumlah rokok yang digunakan dalam penelitian ini tidak berpengaruh terhadap proses laktasi pada induk. Hal ini terlihat dari bobot badan anak hingga usia tiga minggu. Setelah usia tiga minggu, anak-anak tikus mulai mencari makanan lain selain air susu induk. Kondisi bobot badan anak yang lebih rendah pada kelompok pemaparan asap rokok dan injeksi nikotin diduga akibat kurangnya nafsu makan anak.

Injeksi nikotin mempunyai pengaruh yang cepat terhadap kejadian mortalitas anak-anak tikus dibandingkan dengan pemaparan asap rokok. Mortalitas yang terjadi pada anak-anak tikus kelompok dipapar asap rokok juga dipengaruhi oleh komponen lain dalam asap rokok, hal ini menyebabkan hingga usia delapan minggu pada kelompok ini masih terjadi mortalitas yang cukup tinggi dibandingkan dengan kelompok injeksi nikotin maupun kontrol. Faktor lain yang diduga sebagai penyebab mortalitas anak pada usia delapan minggu adalah rendahnya bobot badan. Rendahnya bobot badan anak-anak tikus akibat pemaparan asap rokok maupun injeksi nikotin diduga karena anak tikus mengalami anoreksi ringan (kurangnya nafsu makan). Selain itu penurunan bobot badan dapat disebabkan karena anak-anak tikus dalam kondisi stres. Kondisi stres pada anak tikus dapat dilihat dengan tingginya aktivitas yang dilakukan. Hal ini terkait dengan jumlah T3 yang tinggi didalam darah.

Keberadaan T3 lebih banyak digunakan untuk menghasilkan energi guna menunjang

aktivitas yang meningkat, sehingga sangat sedikit protein yang disimpan dalam tubuh. Berkurangnya protein yang tersimpan dalam tubuh menyebabkan terjadinya penurunan berat badan.

Pemaparan asap rokok dan injeksi nikotin juga terbukti menyebabkan tingginya jumlah Hb. Peningkatan jumlah Hb menunjukkan tingginya kadar karbonmonoksida (CO) dalam darah. Orang yang mempunyai kebiasaan merokok (pasif maupun aktif), cenderung mempunyai kadar Hb yang tinggi. Hal ini disebabkan karena Hb dalam darah mempunyai kecenderungan lebih kuat untuk berikatan dengan CO yang terdapat dalam darah dari pada dengan oksigen (O2).

Semakin banyak CO dalam darah, maka kadar Hb juga akan meningkat.

(7)

©Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

(8)

EFEK ASAP ROKOK PADA TIKUS (Rattus norvegicus) BUNTING

TERHADAP TAMPILAN FISIOLOGIS INDUK DAN

ANAKNYA SETELAH DILAHIRKAN

SAMSURIA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Mayor Biosains Hewan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009

(9)
(10)

Judul Tesis : Efek Asap Rokok pada Tikus (Rattus norvegicus) Bunting terhadap Tampilan Fisiologis Induk dan Anaknya Setelah Dilahirkan.

Nama : Samsuria NRP : G352070261

Disetujui Komisi Pembimbing

Mengetahui

Tanggal Ujian: 25 Agustus 2009 Tanggal lulus: 03 September 2009 Koordinator Mayor Biosains Hewan

   

Dr. Bambang Suryobroto 

Dekan Sekolah Pascasarjana  

     

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S   

Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA Ketua 

 

Dr. Nastiti Kusumorini Anggota 

(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2008 sampai Mei 2009 adalah Efek Asap Rokok pada Tikus (Rattus norvegicus) Bunting terhadap Tampilan Fisiologis Induk dan Anaknya Setelah Dilahirkan.

Penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya terutama kepada Pembimbing, yaitu Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA dan Dr. Nastiti Kusumorini yang telah banyak memberikan bimbingan dan saran selama penulis menempuh studi S2. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Dr. drh. Aryani S. Satyaningtijas, MSc, sebagai penguji luar ujian tesis, yang telah memberikan saran-sarannya atas perbaikan tesis ini.

Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Departemen Agama Republik Indonesia yang telah mengadakan program beasiswa pascasarjana dengan IPB, Yayasan Dana Beasiswa Maluku (YDBM) yang bekerjasama dengan Yayasan Tahija di Jakarta yang juga telah memberikan bantuan dalam penelitian ini. Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Kepala MAN 2 Ambon, Bapak Drs. Jusuf Pellu yang telah memberikan ijin penulis untuk tugas belajar di IPB, serta teman-teman guru MAN 2 Ambon atas dukungannya. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada suami, ibu, kakak, adik dan seluruh keluarga atas doa, kasih sayang dan keikhlasannya. Tidak lupa kepada pegawai laboratorium fisiologi FKH, bapak Edy Sukma, rekan-rekan yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, penulis mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan dan kebersamaannya.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran untuk perbaikan sangat diharapkan. Penulis berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pembaca.

Bogor, Agustus 2009

Samsuria

(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tomia pada tanggal 10 Desember 1974 dari bapak Ode Arsani (Almarhum) dan ibu Wa Buke (Almarhummah). Penulis adalah anak ketiga dari empat bersaudara.

Pendidikan Dasar penulis selesaikan di SD Negeri Sanahuni, Kecamatan Seram Barat, Maluku Tengah pada tahun 1988. Pendidikan Menengah diselesaikan di SMP Swasta Telaganipa, kecamatan Seram Barat, Maluku Tengah tahun 1991, dan Pendidikan Atas di SMA PGRI 2 Ambon tahun 1994. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan ke Perguruan Tinggi Universitas Pattimura Ambon, pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Program Studi Pendidikan Biologi dan lulus pada tahun 2000.

Pada tahun 2002, penulis diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Departemen Agama, dan ditugaskan sebagai guru pada MAN 2 Ambon sampai sekarang. Tahun 2007, penulis mendapat beasiswa dari Departemen Agama Republik Indonesia untuk melanjutkan studi pada Sekolah Pascasarjana IPB, Mayor Biosains Hewan.

Alamat rumah sekarang di komplek MAN 2 Ambon Jl. Raya Tulehu km. 23. Kecamatan Salahutu. Email: [email protected]. Alamat sekolah MAN 2 Ambon Jl. Raya Tulehu km. 23 Ambon telp. (0911) 3306850.

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL --- xiv

DAFTAR GAMBAR --- xv

DAFTAR LAMPIRAN --- xvi

PENDAHULUAN Latar Belakang --- 1 Tujuan Penelitian --- 3 Hipotesis --- 3 Manfaat Penelitian --- 4 Kerangka Pemikiran --- 5 TINJAUAN PUSTAKA Kandungan Asap Rokok --- 6

Efek Asap Rokok Pada Kesehatan --- 8

Biologi Umum Tikus --- 10

Perkembangan Anak --- 13

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian --- 16

Bahan dan Alat --- 16

Metode Penelitian --- 16

Tahap Persiapan Bahan --- 17

Tahap Persiapan Hewan Model --- 17

Tahap Perlakuan dan Pengamatan --- 19

Tahap Analisa Hormon Triiodotironin (T3) --- 22

Rancangan Percobaan --- 23

Analisis Data --- 23

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Asap Rokok terhadap Tampilan Fisiologis Induk --- 24

Kemampuan Reproduksi --- 24

Gambaran Hematologi --- 28

Pengaruh Asap Rokok Perkembangan Anak --- 29

Bobot Lahir dan Bobot badan Usia 8 Minggu --- 30

(14)

Mortalitas Anak --- 34

Kadar Hormon Triiodotironin (T3) --- 37

Gambaran Hematologi --- 38

Aktifitas Individu --- 40

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan --- 42

Saran --- 42

DAFTAR PUSTAKA --- 43

(15)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Jenis perlakuan dan jumlah tikus target --- 19 2 Parameter yang diukur pada tiap perlakuan --- 22 3 Rata-rata keberhasilan implantasi, berat ovarium dan UPA --- 24 4 Rata-rata jumlah Hb, hematokrit, butir darah merah, butir darah putih, dan

diferensiasi butir darah putih pada induk tikus --- 29 5 Rata-rata bobot lahir dan bobot badan anak tikus usia depalan minggu --- 30 6 Rata-rata jumlah Hb, hematokrit, butir darah merah, butir darah putih, dan

(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Alur kerangka pemikiran --- 5

2 Rumus bangun nikotin --- 6

3 Tahapan fase estrus pada tikus --- 12

4 Kondisi kandang percobaan --- 18

5 Cara Menentukan Kebuntingan Tikus --- 18

6 Pemaparan asap rokok dan injeksi nikotin --- 19

7 Tikus percobaan yang dikorbankan setelah perlakuan 11 hari --- 20

8 Alat opto-varimex activity monitor --- 21

9 Diagram penelitian --- 21

10 Alat Automatic Gamma Counter --- 23

11 Titik implantasi pada tikus perlakuan --- 25

12 Rata-rata bobot badan anak tikus setiap minggu --- 31

13 Rata-rata pertambahan bobot badan anak tikus setiap minggu --- 32

14 Rata-rata persentase mortalitas anak dari ketiga perlakuan --- 34

15 Rata-rata kadar hormon T3 pada anak tikus usia 8 minggu --- 37

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Jadwal penelitian --- 50

2 Cara pemeriksaan hematologi --- 51

3 Hasil uji ANOVA tampilan fisiologis reproduksi induk tikus --- 53

4 Hasil uji ANOVA gambaran hematologi induk tikus --- 55

5 Hasil uji ANOVA bobot lahir anak tikus --- 59

6 Hasil uji ANOVA pertumbuhan anak tikus setiap minggu --- 60

7 Hasil uji ANOVA pertambahan bobot badan anak tikus setiap minggu --- 64

8 Hasil uji ANOVA persentase mortalitas anak tikus --- 69

9 Hasil uji ANOVA gambaran hematologi anak tikus --- 71

10 Hasil uji ANOVA kadar hormon triiodotironin (T3) anak tikus --- 75

(18)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kebiasaan merokok di Indonesia dan beberapa negara berkembang lainnya terus meningkat. Pada tahun 1996, jumlah perokok berjumlah 68% dan meningkat menjadi 72% pada tahun 2001 (Yurekli dan Bayer 2002). Perokok di Indonesia berjumlah 75% yang terdiri atas 60% populasi pria dan 15% populasi wanita (WHO 2005). Berbeda dengan di Indonesia, di negara-negara maju kebiasaan merokok justru semakin berkurang dari tahun ke tahun, dari 32% pada tahun 1996 menurun menjadi 28% pada tahun 2001, hal ini disebabkan karena mereka telah sadar akan bahaya rokok pada kesehatan (Yurekli dan Bayer 2002).

Masalah asap rokok sudah merupakan masalah kesehatan yang memerlukan perhatian besar. Hal ini terbukti dengan dipilihnya rokok sebagai tema hari kesehatan sedunia oleh WHO sejak tahun 1980. Perhatian ini sudah sepantasnya diberikan karena asap rokok disamping berbahaya bagi kesehatan si perokok, juga berbahaya bagi orang-orang yang berada disekitar perokok.

Data WHO (2000) menyebutkan bahwa sebagian besar rokok yang dikonsumsi di Indonesia adalah rokok kretek yang mengandung cengkeh sekitar seperempat bagian dan sisanya bumbu khusus yang menjadi ciri khas masing-masing merek rokok. Hasil survei dari Survei Global Youth Tobacco tahun 2000 memperlihatkan bahwa 88% perokok di Indonesia lebih menyukai rokok kretek dan 12% menyukai rokok putih. Kadar tar dan nikotin pada rokok kretek lebih tinggi dibandingkan dengan rokok putih (rokok tanpa cengkeh). Secara umum, rokok kretek yang dijual di Indonesia mengandung 1,9-2,76 mg nikotin dan 34-65 mg tar per batang (Widodo 2006), sedangkan rokok putih mengandung 0,05-1,4 mg nikotin dan 0,5-24 mg tar per batang (US 2000). Rokok kretek berpotensi menghasilkan asap yang lebih banyak dibandingkan dengan rokok putih (Susanna et al. 2003).

Beberapa tahun belakangan ini, bahaya asap rokok tidak hanya difokuskan pada orang yang merokok (perokok aktif) tetapi juga terhadap orang-orang yang tidak merokok (perokok pasif) tetapi menghisap asap rokok yang dihasilkan oleh perokok

(19)

aktif. Perokok pasif mempunyai peluang yang sama bahkan lebih tinggi mendapatkan penyakit dibandingkan perokok aktif (Dalager et al. 1986; Dias-Junior 2009). Hal ini disebabkan karena perokok pasif akan menghisap asap samping yang keluar dari ujung batang rokok yang terbakar dan juga menghisap bagian dari asap utama (Friedman et al. 1983). Asap arus samping lebih banyak dari asap arus utama (Rubenstein et al. 2004) dan mengandung lebih banyak bahan berbahaya karena tanpa melalui penyaringan atau filter (Susanna et al. 2003). Gangguan pernapasan atau perubahan pada epitel saluran napas akibat asap rokok dapat berupa: a) hilangnya silia, b) hipertrofi kelenjar lendir dan peningkatan jumlah sel goblet, c) penurunan lapisan epitel bronkiolus, dan d) penurunan kandungan glutation peroksidase (GSH) jaringan paru (Hanslavina 2003; Sartono 2005). Asap rokok juga dapat menyebabkan: a) peningkatan jumlah sel makrofag dan perubahan ketebalan jaringan kolagen pada alveolus, b) terjadi proliferasi sel fibroblast dan c) peningkatan kandungan malondialdehid pada paru (Kenconoviyati 2003).

Secara umum gangguan asap rokok terhadap kesehatan manusia dapat terjadi mulai pada fase janin, fase anak-anak sampai pada orang dewasa. Gangguan kesehatan itu antara lain berupa gangguan pernafasan, gangguan fertilitas, impotensi, kelainan pada jantung, sistem saraf dan kelainan pada janin (Gondodiputro 2007). Gangguan fertilitas pria akibat paparan asap rokok dapat menyebabkan terjadinya perubahan pada: a) sel-sel spermatogenik, b) frekuensi sebaran stadia epitel seminiferus, c) berat testis, d) diameter tubulus seminiferus, dan e) penurunan kadar hormon testosteron (Anita 2004). Pada wanita, asap rokok dapat menghambat fungsi saluran telur yang melaksanakan transpor telur/ovum yang telah matang masuk ke dalam rahim sehingga jika terjadi pembuahan, maka embrio yang terbentuk tidak dapat bersarang pada dinding endometrium rahim untuk berkembang secara normal. Keadaan ini menyebabkan frekuensi pembuahan di luar tuba atau perkembangan embrio/janin di luar rahim (Zenzes 2000; Talbot dan Riveles 2005).

Wanita hamil yang sering terpapar asap rokok dapat menyebabkan gangguan kesehatan pada anaknya bahkan sebelum anak dilahirkan (fase janin). Beberapa kelainan atau gangguan asap rokok terhadap janin diantaranya adalah: a) terjadinya

(20)

keguguran spontan (Ness et al. 1999), b) berat badan lahir rendah, c) komplikasi saat melahirkan (Eskenazi et al.1995; Amiruddin 2005), dan d) kelainan pada perkembangan saraf (Lieberman et al. 1994).

Berat badan lahir rendah (BBLR) merupakan salah satu faktor resiko yang mempunyai kontribusi terhadap kematian bayi khususnya pada masa perinatal. Selain itu bayi dengan berat badan lahir rendah dapat mengalami gangguan mental dan fisik pada usia tumbuh kembang (Schmidt et al. 2002).

Melihat begitu besarnya konsumsi rokok kretek dibandingkan rokok putih di Indonesia, dan besarnya bahaya yang mungkin ditimbulkannya pada wanita hamil, serta minimnya penelitian mengenai bahaya asap rokok terhadap kesehatan, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai dampak rokok kretek terhadap tampilan fisiologis induk dan anaknya setelah dilahirkan, dengan tikus sebagai hewan coba. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih akurat mengenai perubahan fisiologi pada induk maupun anak maka pada hewan model tersebut dilakukan pemeriksaan darah (hematologi) yang meliputi kadar hemoglobin (Hb), hematokrit, jumlah butir darah merah, jumlah butir darah putih dan diferensiasi butir darah putih.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh asap rokok pada tikus (Rattus norvegicus) bunting terhadap tampilan fisiologis induk dan anaknya setelah dilahirkan.

Hipotesis

Pemaparan asap rokok pada tikus (Rattus norvegicus) bunting akan mempengaruhi tampilan fisiologis induk dan anaknya setelah dilahirkan.

(21)

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pengaruh pemaparan asap rokok pada saat kebuntingan terhadap tampilan fisiologis induk dan anaknya, sehingga masyarakat dapat menyadari dampak asap rokok terhadap kesehatan. Data ini juga dapat digunakan untuk penerapan dan pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam pengembangan ilmu kesehatan.

(22)

Kerangka pemikiran

Gambar 1 Alur kerangka pemikiran • Pertumbuhan (bobot badan) • Gambaran hematologi • Mortalitas

• Hormon Triiodotironin (T3) • Aktivitas individu

Janin Metabolisme turun

Anak Tampilan Induk: a. Kinerja reproduksi; terdiri atas: • Keberhasilan implantasi • Berat ovarium

• Berat uterus, plasenta dan anak (UPA) b. Gambaran hematologi

Indikator pengaruh asap rokok terhadap kesehatan ibu dan anak Induk Tikus

Bunting Sistem Respirasi

Oksigen turun 21 hari

11 hari

Asap Rokok mengandung: • Nikotin

• Tar

(23)

TINJAUAN PUSTAKA

Kandungan Asap Rokok

Asap rokok merupakan aerosol heterogen dari pembakaran tembakau, komponen dalam rokok dan pembungkusnya. Komposisi kimia asap rokok tergantung pada jenis tembakau dan cara pembuatan rokok (ada tidaknya filter atau bahan tambahan). Setiap batang rokok mengandung berbagai bahan kimia diantaranya adalah akrolein, karbonmonoksida, nikotin, amoniak, asam formiat, hidrogen sianida, nitrogen oksida, sianogen, phenol, aseton, methanol dan tar (Soeradi 1995; Riveles et al. 2005). Menurut Stedman (1986) asap rokok juga terdiri dari kadmium, naftalen, butan, pirene dan benzopiren.

Secara umum bahan kimia pada rokok dapat dibagi menjadi dua golongan besar yaitu komponen padat (partikel) dan komponen gas. Komponen padat adalah bagian yang tertinggal dalam filter dan merupakan radikal semiquinon/quinon seperti nikotin, tar, logam (nikel, besi, kadmium, benzipiren dan dibensokarbasol). Sedangkan komponen gas adalah bagian yang dapat melewati filter antara lain karbonmonoksida, nitrogen oksida, amoniak, gas-gas nitrosamin, hidrogen sianida, sianogen, senyawa-senyawa belerang, aldehid, dan keton (Gondodiputro 2007). Diantara berbagai bahan kimia tersebut yang paling berbahaya adalah nikotin, tar dan karbonmonoksida (Soeradi 1995).

Nikotin adalah suatu senyawa alkaloid yang terdapat dalam tanaman tembakau. Zat ini berbentuk cairan tidak berwarna, merupakan basa yang mudah menguap dan berubah warna menjadi coklat dan berbau mirip tembakau setelah bersentuhan dengan udara (Gondodiputro 2007). Nikotin memiliki rumus molekul C6H10N2, dengan rumus bangun seperti pada Gambar 2.

(24)

Perbedaan kadar nikotin dalam berbagai merek rokok tergantung pada: a) jenis dan campuran tembakau yang digunakan, b) jumlah tembakau dalam tiap batang rokok, c) senyawa tambahan yang digunakan untuk meningkatkan aroma, dan d) ada tidaknya filter dalam tiap batang rokok (Susanna et al 2003). Berdasarkan kadar nikotin dalam satu batang rokok, rokok dapat dibagi menjadi empat kategori yaitu rokok dengan nikotin tinggi (> 1,2 mg), sedang (> 0,2–1,2 mg), rendah (>0,01-0,2 mg) dan tanpa nikotin (< 0,01 mg).

Tar adalah sejenis cairan kental berwarna coklat tua atau hitam yang merupakan substansi hidrokarbon yang bersifat lengket dan menempel pada paru – paru. Penempelan tar pada paru-paru menyebabkan oksigen tidak dapat beredar ke pembuluh darah. Kadar tar dalam tembakau antara 0,5-35 mg/ batang (Gondodiputro 2007). Negara-negara berkembang seperti Cina, Indonesia dan India memiliki kandungan tar pada rokok berkisar antara 19–33 mg sedangkan negara-negara industri hanya 0,5–20 mg (WHO 2002). Tar merupakan kumpulan berbagai senyawa kimia yang diantaranya bersifat karsinogenik dan bahkan mutagenik. Beberapa senyawa kimia yang terdapat dalam tar diantaranya adalah nitrosamin, SO2 dan

kadmium (Hoffmann et al. 1996). Menurut US (2000), rokok kretek di Indonesia termasuk rokok dengan kadar yang tinggi yaitu nikotin 5,07 – 5,51 mg/batang dan kadar tar yaitu 40,7 – 53,7 mg/batang, serta CO 18,2 – 23 mg/batang.

Karbonmonoksida merupakan suatu gas beracun yang tidak berwarna dan tidak berbau yang dihasilkan dari proses pembakaran yang tidak sempurna. Sekitar 3-5% asap rokok mengandung karbonmonoksida (Soeradi 1995). Karbonmonoksida memiliki kecenderungan yang kuat untuk berikatan dengan hemoglobin dalam sel-sel darah merah dibandingkan dengan oksigen. Hal ini disebabkan karena daya ikat karbonmonoksida dengan hemoglobin 200-250 kali lebih kuat dari daya ikat oksigen dengan hemoglobin. Ikatan antara karbonmonoksida dengan hemoglobin disebut karboksihemoglobin (COHb) (Gondodiputro 2007).

(25)

Efek Asap Rokok Pada Kesehatan

Sekitar tiga perempat dari nikotin yang dihasilkan oleh rokok yang dibakar ternyata keluar melalui asap sampingan ke udara bebas. Penelitian di Inggris menunjukkan bahwa pada sebagian besar penduduk perkotaan yang tidak pernah merokok, ternyata ditemukan nikotin dalam darahnya. Ini menunjukkan besarnya polusi udara yang disebabkan karena asap rokok (Russel et al. 1980; Aditama 1992). Asap rokok arus samping mengandung nikotin lebih banyak daripada dalam asap arus utama. Dengan demikian kadar nikotin yang dilepaskan ke lingkungan lebih banyak dari pada nikotin yang dihisap oleh perokok. Hal ini disebabkan karena asap rokok arus samping dihasilkan secara terus menerus selama rokok menyala walaupun tidak dihisap tanpa melalui penyaringan atau filter (Susanna et al. 2003).

Kebiasaan merokok yang cukup tinggi pada negara-negara berkembang mengakibatkan terjadinya kematian sekitar 80–90% akibat kanker paru, 75% bronkitis, 40% kanker kandung kencing dan 25% penyakit jantung (WHO 2002). Kebiasaan merokok juga dapat memberi akibat buruk pada berbagai organ tubuh kita, mulai dari kepala (serangan stroke atau gangguan pembuluh darah otak), gangguan di paru dan jantung, berbagai keluhan di perut, gangguan pada proses kehamilan sampai pada kelainan di kaki (gangguan pembuluh darah di kaki) (Aditama 1992). Namun demikian tidak hanya perokok saja yang berisiko mendapatkan penyakit-penyakit tersebut, tetapi juga orang yang tidak merokok tetapi sering terpapar oleh asap rokok (perokok pasif) (Gondodiputro 2007).

Menurut Widodo (2006), pengaruh asap rokok pada saluran pernapasan dapat menimbulkan: a) perubahan histopatologi dan ultrastruktur saluran napas, b) penyempitan saluran napas, c) turunnya tegangan permukaan alveolus, dan d) perubahan pada ultrastruktur pneumosit tipe I, tipe II dan sel clara yang mengarah pada kematian sel. Gangguan kesehatan lain yang disebabkan oleh kebiasaan merokok adalah gangguan reproduksi. Pada wanita gangguan reproduksi dapat bermacam-macam bentuknya mulai dari gangguan menstruasi, menopause lebih awal, sulit untuk hamil, kehamilan diluar kandungan, keguguran dan timbulnya kelainan pada janin (Zavos dan Zarmakoupis 1999)

(26)

Pada wanita perokok atau sering terpapar asap rokok, efek nikotin yang merugikan antara lain menghambat pembentukan hormon estrogen. Hormon estrogen ini sangat penting bagi wanita, misalnya pada proses pematangan telur/ovum dan perkembangan lapisan endometrium rahim (uterus). Meningkatnya pembentukkan folikel atresia, yaitu sel telur yang gagal berkembang, merupakan akibat lain yang perlu diperhatikan. Oleh karena itu, wanita perokok atau sering terpapar asap rokok memiliki resiko kemandulan lebih tinggi daripada wanita bukan perokok (Soeradi 1995). Nikotin pada wanita perokok (apalagi perokok berat) dapat menghambat fungsi saluran telur (tuba falopii/tuba uteri) yang melaksanakan transpor telur/ovum yang telah matang masuk ke dalam rahim. Dengan demikian, kalau terjadi pembuahan (fertilisasi), maka embrio yang terbentuk tidak bisa bersarang pada dinding endometrium rahim untuk berkembang secara normal. Keadaan ini menyebabkan frekuensi pembuahan di luar tuba atau perkembangan embrio/janin di luar rahim pada wanita perokok meningkat. Selain dari itu, hormon progesteron yang diperlukan untuk mempertahankan kehamilan menurun, sehingga merugikan perkembangan janin dalam rahim. Disamping itu pengaruh karbonmonoksida yang menimbulkan keadaan hipoksia (kekurangan oksigen) dalam jaringan janin, yang bisa menghambat pertumbuhan, kelahiran prematur, berat badan lahir rendah, bahkan risiko kematian janin (Zenzes 2000).

Paparan asap rokok juga berpengaruh pada fungsi dan volume kelenjar tiroid (Pontikides & Krassas 2002). Kelenjar tiroid adalah salah satu kelenjar endokrin yang tumbuh pada masa perkembangan suatu individu. Kelenjar tiroid menghasilkan hormon-hormon tiroid yang pada dasarnya berfungsi sebagai pengatur tumbuh. Hormon ini bekerja sebagai katalisator reaksi oksidatif dan mengatur kecepatan metabolisme di dalam tubuh. Adapun yang termasuk hormon tiroid adalah triiodotironin (T3), tiroksin (T4) dan kalsitonin (Turner dan Bagnara 1976). Kelainan

pada kelenjar tiroid akan menyebabkan pembentukan hormon tiroid yang berlebihan (hipertiroidisme) dan defisiensi produksi hormon tiroid (hipotiroidisme) (Price dan Wilson 2005).

(27)

Biologi Umum Tikus

Tikus (Rattus norvegicus) sebagai hewan uji digolongkan ke dalam kelas Mamalia, bangsa Rodentia, suku Muridae dan marga Rattus. Tikus merupakan salah satu hewan mamalia yang mempunyai peranan penting untuk tujuan ilmiah, karena memiliki daya adaptasi yang baik. Tikus memiliki beberapa galur yang merupakan hasil persilangan sesama jenis. Galur yang sering digunakan untuk penelitian adalah galur Wistar, Long-Evans dan Sprague-Dawley (Weihe 1989). Sprague-Dawley merupakan salah satu galur yang dikembangkan di Winconsin pada tahun 1925 oleh R.W. Dawley untuk pembibitan komersial. Galur Sprague-Dawley merupakan galur tikus albino yang memiliki panjang leher sedang, sementara panjang tubuhnya bisa sama panjang atau lebih pendek dari ekornya (Festing 1979)

Sebagai hewan laboratorium tikus banyak digunakan dalam penelitian dan percobaan antara lain untuk mempelajari pengaruh obat-obatan, toksisitas, metabolisme, embriologi, maupun dalam mempelajari tingkah laku. Hal ini disebabkan karena tikus tidak dapat muntah karena struktur anatomi yang tidak lazim di tempat esophagus bermuara ke dalam lambung dan tidak mempunyai kantung empedu (Smith dan Mangkoewidjojo 1988).

Umur dewasa tikus dicapai saat 3-4 bulan, dengan masa kebuntingan 21-22 hari. Kebanyakan tikus mulai kawin pada umur 8–9 minggu. Waktu kawin tikus dilakukan pada masa estrus. Siklus estrus adalah suatu kegiatan fisiologik hewan betina dengan ciri-ciri khusus yang ditandai dengan keinginan untuk kawin. Siklus estrus berlangsung sekitar 4–5 hari dan segera sesudah beranak (post-partum estrus). Untuk mengetahui tahapan pada siklus estrus, dilakukan ulas vagina atau papsmear. Berdasarkan histologi vagina, siklus estrus pada tikus dibagi menjadi empat fase (Gambar 3) yaitu: a) proestrus, b) estrus, c) metestrus, dan d) diestrus (Partodihardjo 1992).

Proestrus adalah fase menjelang estrus dimana gejala birahi mulai muncul akan tetapi hewan betina belum mau menerima pejantan untuk melakukan kawin. Pada fase ini folikel de graaf tumbuh dibawah pengaruh FSH dan estrogen. Peningkatan konsentrasi estrogen dan penurunan sekresi progesteron menyebabkan

(28)

corpus luteum (CL) mengecil dan atresia. Saluran reproduksi termasuk mukosa vagina mulai mendapatkan vaskularisasi yang lebih intensif sehingga sel-sel epitel saluran reproduksi mulai berproliferasi. Baker et al. (1980) mengemukakan bahwa fase proestrus dapat diketahui dengan adanya dominasi sel-sel epitel berinti yang muncul secara tunggal atau bertumpuk jika dilihat dengan menggunakan metode ulas vagina. Fase ini berlangsung selama kira-kira 12 jam (Smith dan Mangkoewidjojo 1988).

Fase estrus merupakan fase setelah proestrus ditandai dengan keinginan untuk kawin dan penerimaan pejantan oleh hewan betina untuk kopulasi. Fase estrus dapat diketahui dengan adanya sel-sel kornifikasi yaitu sel epitel yang mengalami penandukan dan seringkali tanpa inti (Baker et al. 1980). Fase ini berlangsung kira-kira 12 jam dan biasanya lebih sering terjadi pada malam hari daripada siang hari. . Fase metestrus merupakan kelanjutan dari fase estrus dan berlangsung selama 6-15 jam. Fase ini ditandai dengan tumbuhnya CL dan sel-sel granulosa folikel dengan cepat yang dipengaruhi oleh luteinizing hormone (LH) dari adenohyphofisa. Fase metestrus dapat diketahui dengan adanya dominasi sel-sel tanduk dan sel-sel leukosit jika dilihat dengan menggunakan metode ulas vagina (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Sedangka fase diestrus merupakan fase terpanjang diantara fase-fase siklus estrus lainnya. Fase diestrus berlangsung selama 60 – 70 jam (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Pada fase ini kontraksi uterus menurun, endometrium menebal dan kelenjar-kelenjar mengalami hipertropi, serta mukosa vagina menipis, warna lebih pucat dan leukosit yang bermigrasi semakin banyak. Gambaran ulas vagina pada fase ini menunjukkan leukosit dalam jumlah yang banyak (Turner dan Bagnara 1976).

(29)

Gambar 3 Tahapan fase estrus pada tikus (Safrida 2008)

Tikus bersifat poliestrus yaitu hewan yang memiliki siklus birahi lebih dari dua kali dalam satu tahun. Perkawinan yang terjadi dalam jangka waktu 24 jam dapat diketahui dengan mengamati sumbat vagina yang merupakan penggumpalan air mani dan berasal dari sekresi kelenjar khusus betina atau memeriksa adanya spermatozoa dalam sediaan apusan vagina (Malole dan Pramono 1989).

Sifat reproduksi tikus menyerupai mamalia besar, memiliki interval generasi yang pendek dan berukuran kecil sehingga memudahkan dalam pemeliharaan serta efisien dalam konsumsi pakan (10 gram/100 gram berat badan). Berat badan tikus jantan dewasa sekitar 450–520 gram, dan tikus betina dewasa sekitar 250 – 300 gram. Tikus memiliki jumlah anak yang banyak per kelahiran (6-12 ekor), dengan berat lahir antara 5–6 gram, dan memiliki kecepatan tumbuh 5 gram/hari (Smith dan Mangkoewidjojo 1988).

Menurut Malole dan Pramono (1989), tikus betina menjilat vulvanya sebelum anaknya lahir. Selanjutnya betina menarik anak keluar dari vulva dengan mulutnya. Setelah itu betina akan memakan plasenta sebelum menjilat anaknya sampai kering dan akan mengumpulkan semua anaknya sesudah yang terakhir lahir, kemudian anak-anaknya dapat disapih sampai berumur 21 hari.

Proestrus Estrus

(30)

Perkembangan Anak

Perkembangan (development) adalah proses atau tahapan pertumbuhan ke arah yang lebih maju. Pertumbuhan (growth) berarti tahapan peningkatan sesuatu dalam hal perubahan besar, jumlah, ukuran/dimensi sel, organ maupun individu yang diukur dengan ukuran berat, ukuran panjang, umur tulang dan keseimbangan metabolik (Soetjiningsih 1995). Pertumbuhan juga dapat berarti sebuah tahapan. Dalam ilmu kesehatan anak istilah pertumbuhan dan perkembangan menyangkut semua aspek kemajuan yang dicapai dari konsepsi sampai dewasa. Secara umum seluruh proses perkembangan individu menjadi invidu yang sempurna (dirinya sendiri) berlangsung dalam tiga tahap yaitu: 1) tahap proses konsepsi, 2) tahap proses kelahiran, dan 3) tahap proses perkembangan individu bayi tersebut menjadi seorang pribadi yang khas. Indikator pertumbuhan yang banyak digunakan adalah berat badan dan pertambahan berat (Rogol et al. 2000).

Secara umum dua faktor yang berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik merupakan dasar dalam mencapai hasil akhir proses tumbuh kembang anak. Melalui intruksi-instruksi genetik yang terkandung di dalam sel telur yang telah dibuahi, dapat ditentukan kualitas dan kuantitas pertumbuhan, dan ditandai dengan intensitas dan kecepatan pembelahan, derajat sensitivitas jaringan terhadap rangsangan, umur pubertas dan berhentinya pertumbuhan tulang. Yang termasuk faktor genetik antara lain adalah berbagai faktor bawaan yang normal dan patologik, jenis kelamin, dan suku bangsa (Rona 1981). Sedangkan faktor lingkungan adalah faktor yang sangat menentukan tercapai atau tidaknya potensi bawaan. Secara umum faktor lingkungan dibagi menjadi dua bagian yaitu: 1) faktor lingkungan pada waktu masih di dalam kandungan (faktor prenatal), dan 2) faktor lingkungan setelah lahir (faktor postnatal). Pertumbuhan linear untuk bayi dan anak lebih banyak ditentukan oleh faktor lingkungan sebelum lahir daripada setelah lahir (Soetjiningsih 1995).

Lingkungan prenatal yang berpengaruh terhadap tumbuh kembang janin mulai dari konsepsi sampai lahir, antara lain adalah: gizi ibu pada waktu hamil, mekanis (posisi fetus yang tidak normal), toksin/zat kimia, endokrin, radiasi, infeksi, stres,

(31)

imunitas, dan anoksia embrio ( (Lay dan Wilson 2002). Lingkungan postnatal adalah masa dimana bayi yang baru lahir harus melewati masa transisi, dari suatu sistem yang teratur yang sebagian besar tergantung pada organ-organ ibunya, ke suatu sistem yang tergantung pada kemampuan genetik dan mekanisme homeostatik bayi itu sendiri. Adapun faktor lingkungan postnatal yang mempengaruhi tumbuh kembang anak secara umum dapat digolongkan menjadi: a) faktor biologis, b) faktor fisik, c) faktor psikososial (kemandirian dan perilaku), dan d) faktor keluarga dan adat istiadat (Soetjiningsih 1995).

Menurut Schmidt et al. (2002), faktor lingkungan yang juga mempengaruhi perkembangan anak baik masa prenatal maupun postnatal adalah gizi dan pola asuh.

Anak yang mengalami kurang gizi pada tingkat tertentu dapat menyebabkan berat otak, jumlah sel, ukuran besar sel, dan zat-zat biokimia lainnya lebih rendah daripada anak yang normal. Akibat kurang gizi akan menjadi lebih berat, apabila kurang gizi dimulai sejak dalam kandungan. Kemunduran mental yang diakibatkan oleh keadaan kurang gizi yang berat, dapat bersifat permanen. Tetapi pada keadaan kurang gizi yang ringan maupun sedang, kemunduran mental dapat dipulihkan sejalan dengan bertambah baiknya keadaan gizi dan lingkungan tempat anak dibesarkan.

Menurut Halfon dan Inkelas (2003), perkembangan fisik merupakan awal dari perkembangan pribadi seseorang yang bersifat biologis. Perkembangan fisik ini mencakup aspek-aspek anatomis dan fisiologis. Aspek anatomis ditunjukkan dengan adanya perubahan kuantitatif pada struktur tulang. Indeks tinggi dan berat badan, proporsi tinggi kepala dengan tinggi garis badan secara keseluruhan. Sedangkan aspek fisiologis ditandai dengan adanya perubahan secara kuantitatif, kualitatif, dan fungsional dari sistem-sistem kerja hayati seperti otot, peredaran darah, pernapasan, syaraf, sekresi kelenjar dan pencernaan.

Pengaturan fisiologis pada sel-sel tubuh dilakukan oleh suatu hormon/zat kimia yang disekresi dalam cairan tubuh oleh suatu sel/kelompok sel. Salah satu hormon yang berpengaruh pada proses pertumbuhan dan perkembangan adalah hormon somatotrof dan hormon-hormon yang dihasilkan oleh kelenjar tiroid. Hormon yang paling banyak disekresi oleh kelenjar tiroid adalah tiroksin, akan tetapi juga

(32)

disekresikan triiodotironin dalam jumlah yang sedang. Fungsi kedua hormon ini secara kualitatif sama, tetapi berbeda dalam kecepatan dan intensitas kerja. Triiodotironin memiliki kecepatan empat kali lebih cepat dari tiroksin, tetapi terdapat jauh lebih sedikit dalam darah (Guyton 1990).

                                         

(33)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2008 sampai bulan Mei 2009 yang bertempat di kandang hewan percobaan dan Laboratorium Fisiologi dan Farmakologi Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) kampus Darmaga Institut Pertanian Bogor (IPB) serta di di Laboratorium Klinik Prodia Bogor untuk analisa hormon.

Bahan dan Alat

Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah tikus putih (Rattus

norvegicus) jantan dan betina galur Sprague-Dawley sebanyak 45 ekor yang terdiri

atas 15 ekor jantan dan 30 ekor betina dan telah berumur 14 minggu dengan bobot badan ± 250-300 gram. Hewan-hewan ini berasal dari bagian hewan percobaan Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Bahan-bahan lain yang diperlukan adalah rokok kretek, nicotine pure for synthesis (C10H14N2), pelet, air, kit triiodotironin, kapas,

cotton buds, giemsa, larutan Hayem, larutan Turk, larutan NaCl fisiologis 0.9%, éter, buffer normal formalin (BNF) 10%, aquadest, tissu penyerap dan sekam.

Alat yang diperlukan dalam penelitian ini adalah perangkat kandang tikus,

smoking chamber, pompa udara, tabung oksigen, Automatic Gamma Counter,

sentrifius, timbangan dial-0-gram 1600 series, timbangan digital, seperangkat alat bedah, mikroskop, tabung reaksi, stopless, spuit, mikropipet, pipet pengencer,

hematocrit reader, hemositometer (kamar hitung), alat bantú hitung (counter), cawan,

spektrofotometer, Opto-varimex Activity Monitor, kaca preparat dan gelas objek.

Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap yaitu: a) tahap persiapan alat dan bahan, b) tahap perlakuan yaitu pemaparan dengan asap rokok dan injeksi nikotin, c) tahap pemeliharaan dan pengamatan, dan e) tahap analisa yaitu analisa darah (pemeriksaan hematologi) pada anak tikus dan induk, dan analisa kadar hormon triiodotironin (T3) pada anak tikus.

(34)

Parameter yang diamati terbagi menjadi dua yaitu pada induk tikus yang terpapar dan pada anak-anak tikus yang dilahirkan. Parameter pada induk dititikberatkan pada tampilan kemampuan reproduksinya yang meliputi keberhasilan implantasi, berat ovarium, berat uterus-plasenta-anak (UPA) serta gambaran hematologi (hemoglobin, hematokrit, butir darah merah, butir darah putih dan diferensiasi butir darah putih). Sedangkan parameter yang diamati pada anak tikus adalah bobot badan, pertambahan bobot badan, mortalitas, kadar hormon T3,

gambaran hematologi (hemoglobin, hematokrit, butir darah merah, butir darah putih dan diferensiasi butir darah putih) serta aktivitas individu.

Tahap Persiapan Bahan

Bahan utama yang diperlukan dalam penelitian ini adalah rokok kretek yang menurut survei adalah rokok kretek yang paling banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia dengan kandungan nikotin 2,76 mg/batang, tar 45,77 mg/batang, eugenol 14,70 mg/batang, CO 2,70% atau 16,66 mg/batang berdasarkan hasil uji dari Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional Jakarta (Widodo 2006). Nikotin yang digunakan adalah nicotine pure for synthesis (C10H14N2) 99% produksi Honenbrunn

German dengan merek dagang Schuchardt OHG 85662.

Persiapan Hewan Model

Sebelum percobaan dimulai semua tikus diadaptasikan di lingkungan kandang percobaan (Gambar 4) selama 10 hari. Tikus jantan dan tikus betina ditempatkan pada kandang (bak) plastik secara individual dengan tutup terbuat dari kawat ram dan dialasi sekam. Pakan berupa pellet dan air minum diberikan ad libitum. Lingkungan kandang dibuat agar tidak lembab, ventilasi dan penyinaran yang cukup.

(35)

Gambar 4 Kondisi kandang percobaan

Perkawinan dilakukan dengan cara satu mencampurkan satu ekor tikus jantan dengan dua ekor tikus betina dalam satu kandang. Pada keesokan harinya dilakukan pembuktian perkawinan dengan cara melakukan ulas vagina “papsmear” yaitu metode yang dipakai untuk melihat adanya sperma pada preparat apusan vagina tikus (Gambar 5). Jika pada preparat apusan vagina tikus ditemukan sperma maka pada hari tersebut ditetapkan sebagai kebuntingan hari pertama.

Gambar 5 Cara menentukan kebuntingan tikus

Tikus-tikus percobaan yang dinyatakan bunting pada kebuntingan hari kesatu dikelompokkan kedalam tiga kelompok (Tabel 1) yaitu: 1) kelompok kontrol, 2) kelompok yang dipapar asap rokok, dan 3) kelompok yang diinjeksi nikotin (sebagai pembanding). Tikus kelompok perlakuan dibagi dalam dua kelompok yaitu: 1) tikus yang dikorbankan pada hari kebuntingan ke-11, untuk mendapatkan data fisiologis induk, dan 2) tikus yang dibiarkan sampai melahirkan, selanjutnya anaknya dipelihara untuk mendapatkan data perkembangan anak.

A. adaptasi tikus B. kandang (bak) pemeliharaan C. tikus jantan dan betina

(36)

Tabel 1 Jenis perlakuan dan jumlah tikus betina target

Tahap Perlakuan dan Pengamatan

Tikus-tikus yang telah dinyatakan bunting (pada kebuntingan hari kesatu) selanjutnya diberi perlakuan dengan pemaparan asap rokok. Pemaparan dimulai dengan memasukkan 5 ekor tikus bunting ke dalam smoking chamber kemudian rokok dipasang pada pipa yang dihubungkan dengan pompa udara (Gambar 6). Rokok kretek yang telah dipasang dibakar dan pompa udara dinyalakan, bersamaan dengan itu oksigen juga dialirkan kedalam smoking chamber dengan kecepatan 0,5 ppm. Perlakuan pemaparan dilakukan dengan menggunakan 4 batang rokok selama 1 jam setiap hari dengan selang waktu 10-15 menit setiap batang selama 11 hari untuk kelompok pertama dan 21 hari untuk kelompok kedua. Pemaparan dilakukan di Laboratorium Fisiologi dan Farmakologi FKH IPB. Sebagai pembanding (kontrol positif) dilakukan penyuntikan (injeksi) dengan menggunakan nikotin murni (99%) secara subcutan dengan dosis 3 mg/kg bb yang dilarutkan dalam larutan NaCl 0,9% (Hudson dan Timiras 1972). Dosis ini diujicobakan beberapa kali, hingga mendapatkan dosis yang tepat yaitu 0.5 mg/kg bb.

Gambar 6 Pemaparan asap rokok dan injeksi nikotin

Kelompok Kontrol Dipapar asap rokok Injeksi nikotin murni Total

1 5 ekor 5 ekor 5 ekor 15 ekor

2 5 ekor 5 ekor 5 ekor 15 ekor

Jumlah 10 ekor 10 ekor 10 ekor 30 ekor

(37)

Pada kelompok pertama, setelah 11 hari perlakuan, sebagian tikus percobaan dianestesi dengan cara memasukkan induk tikus kedalam stopless yang berisi eter, kemudian darahnya diambil untuk pemeriksaan hematologi, dan selanjutnya induk tikus dibedah (Gambar 7). Pembedahan dilakukan untuk mengetahui jumlah titik implantasi, jumlah korpus luteum, berat ovarium dan berat uterus, plasenta, anak (UPA). Perlakuan ini dilakukan sebanyak empat kali ulangan (n=4). Sedangkan untuk perlakuan 21 hari, setelah perlakuan, tikus dibiarkan dalam kandang dengan tetap diberi pakan sampai tikus melahirkan. Pengambilan data bobot badan dilakukan dengan menimbang anak tikus sesaat setelah lahir (bobot lahir). Kemudian untuk mengetahui pertumbuhannya, anak tikus tetap dipelihara di kandang percobaan (tanpa perlakuan), disapih sampai berusia tiga minggu dan ditimbang satu kali tiap minggu selama delapan minggu. Pengamatan ini dilakukan sebanyak lima kali ulangan (n=5) untuk masing-masing kelompok perlakuan.

Gambar 7 Tikus percobaan yang dikorbankan setelah perlakuan 11 hari

Pengamatan terhadap aktivitas anak tikus dilakukan setelah anak tikus berusia delapan minggu. Aktivitas anak tikus yang diamati meliputi: a) jarak perpindahan anak tikus dari satu tempat ke tempat lain (distance traveled), b) waktu istirahat tikus (resting time), c) waktu yang dibutuhkan oleh tikus untuk memulai suatu gerakan (ambulatory time), dan d) waktu selama tikus melakukan gerakan stereotypic, seperti gerakan menggaruk, menjilat-jilat dan mencium (stereotypic time). Pengamatan aktivitas anak tikus dilakukan dengan cara anak tikus dimasukkan ke dalam

Opto-varimex Activity Monitor (Gambar 8). Jarak perpindahan dan lamanya waktu

(38)

bergerak anak tikus dalam opto-varimex dihitung dengan menggunakan program

Auto-Track System 4.31 selama 5 menit (waktu yang ditentukan).

Setelah pengamatan aktivitas, anak tikus dianestesi untuk pengambilan darah. Darah diambil dari jantung sebanyak 1 ml, selanjutnya darah yang diambil dianalisa untuk mengetahui gambaran hematologi, dan sebagian disentrifius untuk mendapatkan serum dan disimpan untuk analisa hormon T3. Pemeriksaan hematologi

(Lampiran 2) dilakukan sebanyak lima kali ulangan (n=5) pada masing-masing kelompok perlakuan. Sedangkan analisa hormon T3 dilakukan dengan menggunakan

metode radioimunoassay (RIA) sebanyak tiga kali ulangan (n=3) pada masing-masing kelompok perlakuan. Diagram penelitian dan parameter dari tiap perlakuan yang diamati dalam penelitian ini ditampilkan pada Gambar 9 dan Tabel 2.

Gambar 9 Diagram Penelitian

Gambar 8 Alat Opto-varimex Activity Monitor

Dikorbankan pada 11 hari kebuntingan untuk data fisiologis induk, dan dibiarkan sampai melahirkan dan anaknya dipelihara untuk melihat perkembangan anak

Tikus Bunting

Kontrol Dipapar Asap Rokok Diinjeksi Nikotin

Selama 11 hari dan 21 hari Tikus Jantan + Tikus Betina

(39)

Tabel 2 Parameter yang diukur pada tiap perlakuan

Keterangan: * Induk, **Anak

Tahap Analisis Hormon Triiodotironin

Analisis hormon T3 dilakukan dengan cara sampel darah diambil dari jantung

sebanyak 1 ml kemudian disentrifusi dengan kecepatan 2.000 rpm selama 30 menit guna mendapatkan serum dari darah. Teknik fase-padat dengan menggunakan kit triiodotironin coat-a-count yang berisi triiodotironin berlabel 125I, seri larutan standar A, B, C, D, E dan F berturut-turut berisi T3 dengan konsentrasi 0, 20, 50, 100, 200,

dan 600 pg/ml yang diperoleh dari diagnostic product corporation (Los Angeles, CA). Volume sampel yang direkomendasikan adalah 100 µl. Supaya konsentrasi sampel dapat masuk dalam kisaran standar yang direkomendasikan pembuat kit, maka sampel dipekatkan sampai 3 kali. Untuk melihat adanya variasi hasil dengan pengenceran sampel terhadap konsentrasi hormon, maka dilakukan pengujian dengan menggunakan volume sampel 100, 200, 300 µl.

Tabung untuk Non Spesific Binding (NSB) dan Total Count (T) diberi label dan masing-masing dibuat duplo. Sebanyak 12 tabung diberi label masing-masing A (MB), B, C, D, E, dan F (duplo). Dengan menggunakan mikropipet 100 µl larutan standar konsentrasi 0, 20, 50, 100, 200, dan 600 pg/ml dipipet hingga ke dasar tabung. Pada tabung NSB dimasukkan juga 100 µl larutan standar A. Tabung-tabung lainnya diisi sampel masing-masing sebanyak 300 µl. Ke dalam tiap tabung ditambahkan 1 ml T3 berlabel kemudian divorteks. Keseluruhan campuran itu

diinkubasikan selama 3 jam dalam keadaan temperatur kamar. Sisa cairan yang ada dalam tiap tabung dituang dan tabung dibiarkan kering selama 3 menit. Radioaktivitas yang terikat pada tabung dicacah dengan menggunakan Automatic

Perlakuan 11 hari* 21 hari**

Reproduksi Hematologi Bobot badan Hematologi Hormon T3 Aktivitas

Kontrol 9 9 9 9 9 9

Asap Rokok 9 9 9 9 9 9

(40)

Gamma Counter (Gambar 10) selama 1 menit. Persen radioaktifitas yang terikat dihitung dengan membagi CPM sampel maupun standar dengan CPM standar A (MB). Persamaan kurva standar dihitung dengan persamaan regresi linier persen radioaktivitas yang terikat sebagai Y dan log konsentrasi standar sebagai X. Konsentrasi T3 sampel dihitung dengan memasukkan nilai persen radioaktivitas

terikat sampel ke persamaan kurva standar.

Rancangan Percobaan

Penelitian ini menggunakan pola rancangan acak lengkap (RAL) dengan 3 (tiga) kelompok perlakuan dan 5 (lima) kali ulangan yang terbagi atas: 1) tikus bunting tanpa perlakuan (kontrol), 2) tikus bunting yang dipapar asap rokok dan 3) tikus bunting yang diinjeksi nikotin (sebagai pembanding).

Analisis Data

Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan Analysis of Variance (ANOVA) dan dilanjutkan dengan Uji Duncan pada selang kepercayaan 95% (α = 0.05) dengan menggunakan perangkat lunak SPSS 16 (Santoso 2008).

       

(41)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Asap Rokok terhadap Tampilan Fisiologis Induk Kemampuan Reproduksi

Kemampuan reproduksi pada induk tikus diukur dari keberhasilan implantasi, berat ovarium dan berat UPA (Tabel 3). Keberhasilan implantasi adalah kemampuan induk dalam mempertahankan implantasi. Nilai keberhasilan implantasi didapatkan dari jumlah titik implantasi dibagi jumlah korpus luteum kali 100%.

Tabel 3 Rata-rata keberhasilan implantasi, berat ovarium dan berat UPA dari kelompok perlakuan.

Angka pada kolom yang sama dan diikuti huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05).

*UPA (Uterus, Anak dan Plasenta).

Tabel 3 menunjukkan bahwa pemaparan asap rokok dan injeksi nikotin dapat menurunkan keberhasilan implantasi bila dibandingkan dengan kelompok kontrol (P<0,05). Penurunan keberhasilan implantasi pada kelompok dipapar asap rokok terjadi sebesar 38.5% bila dibandingkan dengan kelompok kontrol. Sedangkan untuk kelompok injeksi nikotin, penurunan implantasi terjadi lebih besar dan mencapai 70,4%. Keberhasilan implantasi pada tikus juga dapat dilihat dengan banyaknya titik implantasi disepanjang uterus (Gambar 11). Implantasi normal terlihat pada kelompok kontrol dengan jumlah titik implantasi yang banyak. Titik implantasi yang tidak normal, terlihat pada induk tikus dari kelompok dipapar asap rokok sedangkan kegagalan implantasi terjadi pada induk tikus kelompok injeksi nikotin.

Perlakuan Keberhasilan Implantasi (%) Berat Ovarium (gr) Berat UPA* (gr) Kontrol (n=4) 99,11a±0,85 0,33a±0,08 1,64a±0,21 Asap Rokok (n=4) 61,50b±7,70 0,10b±0,04 0,28b±0,17 Nikotin (n=4) 29,61c±17,19 0,10b±0,02 0,57b±0,22

(42)

Dari Gambar 11 dapat diketahui bahwa keberhasilan implantasi ditandai dengan banyaknya jumlah titik implantasi yang terdapat disepanjang uterus bagian kanan dan kiri. Jumlah titik implantasi pada uterus kanan maupun kiri dapat mencapai 5-7 titik implantasi. Sedangkan pada implantasi yang tidak normal, banyaknya titik implantasi adalah kurang dari lima pada masing-masing uterus (kanan dan kiri). Implantasi tidak normal juga ditandai dengan adanya bintik hitam pada bagian titik implantasi. Bintik hitam pada titik implantasi menandakan adanya kelainan yang terjadi pada awal proses implantasi, dan ini sangat mempengaruhi perkembangan embrio. Kegagalan implantasi ditandai dengan tidak terdapatnya titik implantasi disepanjang uterus bagian kanan maupun kiri. Hal ini disebabkan karena belum terjadinya proses implantasi. Kegagalan implantasi dapat terjadi pada awal proses implantasi, dimana zigot yang telah dibuahi tidak dapat mencapai uterus.

Pemaparan asap rokok dan injeksi nikotin dapat mempengaruhi berat ovarium. Ovarium pada kelompok dipapar asap rokok maupun kelompok injeksi nikotin lebih ringan bila dibandingkan dengan berat ovarium pada kelompok kontrol (P<0,05). Sedangkan berat ovarium pada kelompok dipapar asap rokok dan kelompok injeksi nikotin tidak berbeda.

Pemaparan asap rokok dan injeksi nikotin juga dapat mempengaruhi berat UPA bila dibandingkan dengan kelompok kontrol (P<0,05). Berat UPA pada kelompok dipapar asap rokok maupun kelompok injeksi nikotin lebih kecil bila dibandingkan dengan kelompok kontrol. Sedangkan UPA pada kelompok dipapar asap rokok maupun kelompok injeksi nikotin tidak berbeda.

Gambar 11 Titik implantasi pada tikus perlakuan

A. kontrol B. dipapar asap rokok C. diinjeksi nikotin

Titik implantasi normal UPA

Titik implantasi tidak normal

(43)

Pemaparan asap rokok maupun injeksi nikotin pada tikus bunting selama 11 hari kebuntingan terbukti mempengaruhi tampilan reproduksi pada tikus betina bunting. Adapun akibat yang disebabkan oleh pemaparan asap rokok maupun injeksi nikotin terhadap tampilan reproduksi adalah: a) berkurangnya kemampuan implantasi, b) penurunan berat ovarium, dan c) penurunan berat uterus-plasenta-anak (UPA). Kegagalan dalam proses implantasi adalah salah satu penyebab kegagalan dalam proses reproduksi seperti apa yang diutarakan oleh Price dan Wilson (2005), yang menyatakan bahwa keberhasilan sistem reproduksi diawali dengan terjadinya proses implantasi.

Salah satu komponen asap rokok yang dapat mempengaruhi proses implantasi adalah nikotin. Pemberian nikotin secara langsung maupun tidak langsung dapat menghambat proses pembelahan sel, menghambat pembentukan blastosit, dan mengganggu masuknya embrio ke rongga rahim dan bahkan mencegah terjadinya implantasi (Card dan Mitchell 1979). Berdasarkan hasil penelitian ini, pengaruh nikotin yang berasal dari asap rokok lebih kecil, jika dibandingkan dengan nikotin yang diberikan secara injeksi. Hal ini disebabkan karena nikotin yang diberikan secara langsung merupakan nikotin murni yang mempunyai kadar nikotin lebih tinggi (99%), sehingga pengaruhnya lebih cepat terhadap kerusakan korpus luteum dan menggagalkan implantasi. Menurut Soeradi (1995), tikus betina yang dipapar asap rokok kretek selama 50 hari, setelah dikawinkan menunjukkan peningkatan kelainan dan gangguan pada janin secara bermakna, ini disebabkan karena tingginya kadar nikotin dan tar dalam asap rokok kretek. Komponen lain dari asap rokok yang mempengaruhi kegagalan implantasi menurut Zenzes (2000) adalah kadmiun. Menurut Soeradi (1995), kadmiun merupakan salah satu komponen karsinogenik utama dalam tar yang dapat menyebabkan kegagalan dalam proses implantasi.

Dalam penelitian ini, asap rokok dan injeksi nikotin juga menyebabkan penurunan berat ovarium. Menurut Nalbandov (1990), ovarium yang lebih fungsional sedikit lebih berat dan struktur didalamnya lebih besar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berat ovarium yang rendah ditemukan pada kelompok yang mendapat paparan asap rokok dan injeksi nikotin. Menurut Yoshinaga et al. (1979) dan Winarsi (1985),

(44)

nikotin dapat menyebabkan gangguan pematangan pada sel telur sehingga sulit terjadi kehamilan. Hal ini dapat terjadi karena hidrokarbon polisiklik yang terdapat dalam asap rokok bersifat toksik terhadap sel ovarium. Selain itu, komponen alkaloid dalam asap rokok yakni nikotin, ternyata menekan kadar estrogen yang berpengaruh terhadap penurunan fertilitas ovarium dan kejadian keguguran lebih tinggi. Talbot dan Riveles (2005) mengemukakan bahwa komponen lain dari asap rokok yang juga mempengaruhi fungsi ovarium adalah komponen tar yang terdiri dari piridin, pirazin dan phenol.

Paparan asap rokok dan injeksi nikotin juga terbukti mempengaruhi berat UPA. Menurut Xiao et al. (2007), hal ini disebabkan karena nikotin dalam rokok menyebabkan pembuluh darah pada tali pusat (plasenta) dan uterus menyempit, sehingga akan menurunkan jumlah oksigen yang diterima janin. Wanita yang merokok selama kehamilan memiliki resiko pecahnya membran secara prematur sebelum proses kelahiran dimulai. Ini dapat mengakibatkan kelahiran prematur dan kemungkinan kematian janin. Selain itu nikotin yang masuk kedalam darah akan menghambat proses pembelahan (Zenzes 2000). Pembelahan sel-sel yang tidak sempurna menurut Ganong (1995) dapat menyebabkan perkembangan janin yang tidak normal.

Gangguan yang berarti pada periode awal ini mengakibatkan terjadinya resiko yang sangat besar terhadap proses perkembangan selanjutnya. Gangguan yang berulang-ulang selama tahap awal kehamilan bahkan sampai setengah periode kehamilan atau dari awal kehamilan sampai tahap akhir periode kehamilan, dapat menyebabkan terganggunya proses pembelahan sel, kegagalan implantasi embrio akibat kerusakan uterus, dan rusaknya sel akibat pemberian senyawa kimia. Kerusakan ini mungkin akibat koagulasi, denaturasi protein protoplasma sel atau menyebabkan sel mengalami lisis, yakni dengan mengubah struktur membran sel sehingga mengakibatkan kebocoran isi sel (Siswandono dan Bambang 1993).

Rugh (1971) mengemukakan pembelahan sel yang pertama pada tikus maupun mencit terjadi 24 jam (1 hari) setelah pembuahan. Pembelahan terjadi secara cepat di dalam oviduk dan berulang-ulang. Menjelang hari kedua setelah pembuahan

(45)

embrio sudah berbentuk morula 16 sel. Bersamaan dengan pembelahan, embrio bergulir menuju uterus. Menjelang hari ketiga kehamilan embrio telah masuk ke dalam uterus, tetapi masih berkelompok-kelompok. Pada akhirnya embrio akan menyebar di sepanjang uterus dengan jarak yang memadai untuk implantasi dengan ruang yang cukup selama masa pertumbuhan. Menurut Sperber (1991) diakhir tahap pembelahan akan terbentuk blastula. Blastula akan membentuk massa sel sebelah dalam (ICM) dan tropectoderm yang akan berkembang menjadi plasenta. ICM akan berkembang menjadi hipobals dan epiblas, dimana epibalas akan berkembang menjadi embrio sedangkan hipobalas akan berkembang menjadi selaput ekstra embrio. Selanjutnya menurut Rugh (1971) blastomer akan terimplantasi pada hari keempat kehamilan dan berakhir pada hari keenam kehamilan. Kemudian diikuti dengan proses gastrulasi, yakni adanya perpindahan sel dan diferensiasi untuk membentuk lapisan ektoderm, mesoderm dan endoderm. Akhir tahap perkembangan adalah proses pembentukan organ dari lapisan ektoderm, mesoderm, endoderm dan derivat-derivatnya. Dengan demikian, jika pemberian senyawa kimia dalam hal ini nikotin pada awal pembentukkan embrio, maka akan mengganggu perkembangan embrio maupun proses organogenesis.

 

Gambaran Hematologi

Indikator penting untuk mengetahui perubahan fisiologi dan patologi pada hewan adalah dengan pemeriksaan hematologi (analisa gambaran darah). Kelainan pada gambaran hematologi menandakan terjadinya perubahan fisiologi pada hewan tersebut. Gambaran hematologi untuk ketiga perlakuan disajikan pada Tabel 4. Gambaran hematologi induk pada ketiga perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05). Gambaran hematologi pada kelompok dipapar asap rokok maupun injeksi nikotin tidak berbeda dengan kelompok kontrol.

(46)

Tabel 4 Rata-rata jumlah Hb, hematokrit, butir darah merah, butir darah putih, dan diferensiasi butir darah putih pada induk tikus.

Angka pada kolom yang sama dan diikuti huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05).

Berdasarkan hasil uji statistik, paparan asap rokok maupun injeksi nikotin pada induk tikus selama 11 (sebelas) hari kebuntingan tidak berpengaruh terhadap gambaran hematologi induk. Hal ini menandakan bahwa induk tikus tidak mengalami perubahan patologis. Perubahan patologis yang tidak terjadi pada induk tikus dipengaruhi oleh singkatnya waktu pemaparan dan sedikitnya jumlah rokok yang digunakan. Susanna et al. 2003 mengemukakan bahwa efek yang dapat ditimbulkan oleh pemaparan asap rokok dipengaruhi oleh waktu pemaparan dan jumlah rokok yang digunakan.

 

Pengaruh Asap Rokok terhadap Perkembangan Anak

Perkembangan dapat diartikan sebagai perubahan yang sistematis (perubahan yang bersifat saling mempengaruhi antara satu bagian dengan bagian lainnya, baik fisik maupun psikis dan merupakan satu kesatuan yang harmonis), progresif (perubahan yang terjadi bersifat maju, meningkat dan meluas, baik secara kuantitatif/fisik mapun kualitatif/psikis), dan berkesinambungan (perubahan pada bagian atau fungsi organisme itu berlangsung secara beraturan atau berurutan) dalam diri individu sejak lahir hingga akhir hayatnya. Perkembangan terjadi bersamaan dengan pertumbuhan. Perkembangan anak pada tahap awal menentukan perkembangan anak selanjutnya. Secara umum perkembangan dapat dilihat dari

Perlakuan Hematologi Hb (g %) Hematokrit (%) BDM (jt/mm3) BDP (rb/mm3)

Diff. Butir Darah Putih (%)

L N M E Kontrol (n=4) 11,05 ±0,64 35,06 ±2,95 7,82 ±1,56 8,46 ±1,75 72,25 ±7,04 25,25 ±4,99 2,25 ±1,50 2,79 ±1,19 Asap Rokok (n=5) 12,90 ±0,58 40,31 ±2,85 8,93 ±0,72 6,50 ±2,77 59,50 ±10,60 35,00 ±9,83 3,25 ±2,63 2,25 ±0,50 Nikotin (n=5) 9,70 ±3,33 31,56 ±12,98 6,05 ±2,33 9,01 ±3,64 56,25 ±10,44 40,00 ±9,49 2,25 ±1,60 2,75 ±0,50

(47)

beberapa indikator seperti pertumbuhan (pertambahan bobot badan), persentase mortalitas, ketersediaan hormon dan gambaran darah serta aktivitas individu.

Bobot lahir dan bobot badan saat usia 8 minggu

Rata-rata bobot lahir dan bobot badan anak tikus saat usia delapan minggu pada semua perlakuan disajikan pada Tabel 5. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bobot lahir anak tidak dipengaruhi baik oleh pemaparan asap rokok maupun injeksi nikotin. Sedangkan bobot badan saat berusia delapan minggu, terbukti dipengaruhi oleh pemaparan asap rokok maupun injeksi nikotin.

Tabel 5 Rata-rata bobot lahir dan bobot badan anak tikus usia 8 minggu (gr) dari ketiga perlakuan

Angka pada kolom yang sama dan diikuti huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05).

Tabel 5 menunjukkan bahwa rata-rata bobot lahir anak tikus pada ketiga kelompok perlakuan tidak berbeda nyata (P>0,05). Bobot lahir dari kedua kelompok perlakuan (dipapar asap rokok maupun injeksi nikotin) sama dengan kelompok kontrol. Sedangkan bobot badan anak tikus saat usia delapan minggu pada ketiga perlakuan berbeda nyata (P<0,05). Bobot badan anak tikus pada kelompok dipapar asap rokok dan kelompok injeksi nikotin lebih kecil bila dibandingkan dengan kelompok kontrol. Sedangkan antara kedua kelompok perlakuan (dipapar asap rokok dan injeksi nikotin) tidak berbeda.

Bobot lahir yang tidak berbeda antara ketiga perlakuan, menandakan bahwa paparan asap rokok dan injeksi nikotin tidak mempengaruhi plasenta, sehingga asupan nutrisi dari induk ke anak tidak mengalami gangguan. Menurut Dockery et al. 2000, plasenta berfungsi sebagai pertukaran oksigen, karbon dioksida dan zat

Kelompok Perlakuan Bobot lahir (gr) Bobot badan usia 8 minggu (gr) Kontrol (n=5 induk)

Asap rokok (n=5 induk) Nikotin (n=5 induk) 5,44±0,13 5,28±0,15 5,34±0,00 102,12a±5,11 74,12b±4,34 77,10b±1,98

Gambar

Gambar 1  Alur kerangka pemikiran
Gambar 3  Tahapan fase estrus pada tikus (Safrida 2008)
Gambar 4  Kondisi kandang percobaan
Tabel 1  Jenis perlakuan dan jumlah tikus betina target
+7

Referensi

Dokumen terkait

 Kelainan Kelainan yg yg tjd tjd pd pd bayi bayi/ /janin janin akibat akibat infeksi infeksi toksoplasma.. toksoplasma pd pd ibu ibu

Mexico Kriteria inklusi : Wanita hamil dengan peningkatan resiko preeklampsia Kriteria eksklusi : kehamilan multifetus, terdapat kelainan bawaan mayor pada janin,

Menurut Katzung (2009), sebagian besar obat yang digunakan oleh wanita hamil dapat menembus plasenta, sehingga embrio dan janin dalam masa perkembangan terpapar terhadap

Indonesia menjadi negara terbesar ketiga pengguna rokok, WHO menyatakan anak terpapar asap rokok dan menanggung resiko terkena berbagi penyakit akibat asap rokok, tingkat

Hubungan Lingkungan Perokok dengan Ibu Hamil Terpapar Asap Rokok terhadap Kejadian Bayi Berat Lahir Rendah di Surakarta.. The Correlation between Smoking Environment to Pregnant

Masalah status gizi ibu hamil sangat mempengaruhi keadaan kesehatan dan perkembangan janin yang menyebabkan gangguan pertumbuhan dalam kandungan dapat menyebabkan berat

Teratogen adalah obat, zat kimia, infeksi, penyakit ibu, yang berpengaruh pada janin sehingga menyebabkan kelainan bentuk atau fungsi pada bayi yang dilahirkan (Effendi, 2006

Anemia yang terjadi pada wanita hamil dapat meningkatkan resiko kematian maternal, gangguan pertumbuhan janin, abortus, kematian janin di dalam rahim, persalinan prematuritas, berat