• Tidak ada hasil yang ditemukan

c.1 Persiapan media

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A.

PREVALENSI DAN TINGKAT CEMARAN C. jejuni PADA KARKAS

MENTAH

Campylobacter adalah penyebab utama infeksi enteritis pada manusia di banyak negara- negara berkembang (Anonim 1999, 2001; WHO 2000). Kebanyakan kasus infeksi yang disebabkan oleh Campylobacter digolongkan sebagai kasus tunggal, jarang ditemukan kasus yang mewabah (Friedman 2000). Di Indonesia, dari 2.812 bakteri patogen yang diisolasi dari penderita diare yang dirawat di rumah sakit di beberapa kota Indonesia, terdeteksi bahwa 3,6 % nya disebabkan oleh Campylobater jejuni (Tjaniadi et al. 2003). Data tersebut berpotensi jauh lebih besar dari kondisi sebenarnya, karena kebanyakan kasus diare di Indonesia tidak dilaporkan dan tidak sampai pada tahap perawatan di rumah sakit.

Belum diketahui data yang menunjukkan jumlah kasus campylobacteriosis yang disebabkan oleh produk olahan ayam, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Namun, tingginya tingkat prevalensi Campylobacter dalam karkas ayam yang dijual secara eceran dan fakta bahwa penanganan unggas mentah dan konsumsi produk unggas adalah faktor risiko penting dalam kasus campylobacteriosis, menunjukkan bahwa ayam berperan penting dalam transfer

Campylobacter ke manusia (Neimann 2001). Selain itu, konsumsi pangan kurang matang, konsumsi produk daging-dagingan di restauran, konsumsi air mentah dan susu yang tidak dipasteurisasi juga dianggap sebagai sebagai faktor risiko penyebab campylobacteriosis pada manusia.

Pada penelitian ini, nilai prevalensi dan jumlah cemaran Campylobacter jejuni pada karkas ayam mentah didapatkan dari studi pustaka penelitian-penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya. Nilai prevalensi menunjukkan jumlah sampel positif tercemar Campylobacter jejuni

per total sampel yang dianalisis. Sedangkan nilai konsentrasi atau jumlah cemaran menunjukkan banyaknya jumlah koloni Campylobacter jejuni yang terdapat dalam satu karkas ayam mentah

.

1.

Prevalensi Campylobacter jejuni pada karkas ayam mentah

Menurut McClure dan Blackburn (2003), sejumlah survey tentang produk unggas mentah eceran dan produk unggas lainnya di beberapa negara dilaporkan terkontaminasi

Campylobacter dengan tingkat kontaminasi 3.7% sampai 93.6%. Poeloengan dan Noor (2003), mengevaluasi tingkat kontaminasi Campylobacter jejuni pada sampel ayam dari beberapa pasar tradisional dan supermarket yang ada di daerah Jakarta Selatan, Tangerang, Sukabumi, dan Bogor. Dari evaluasi tersebut, didapatkan sebanyak 26 sampel positif tercemar Campylobacter jejuni dari 115 sampel yang diteliti. Hal ini berarti prevalensi cemaran Campylobacter jejuni dari sampel yang dianalisis adalah 22.61% atau 0.23. Dari isolasi yang dilakukan diketahui bahwa tingkat cemaran Campylobacter jejuni lebih besar pada sampel yang berasal dari supermarket yaitu 16 sampel positif dari 58 sampel yang dianalisis atau sebesar 27.5%. Sementara, dari pasar tradisional teridentifikasi 10 sampel positif dari 57 sampel yang dianalisis atau sebesar 17.5%.

Kemudian, pada tahun 2007, Abdy melakukan isolasi Campylobacter jejuni di tingkat penjual eceran di pasar tradisional dan supermarket daerah bogor. Pada penelitiannya, didapat 16.36% sampel positif dari 55 sampel yang dianalisis dari sampel karkas dari pasar

19 tradisional dan 13.33 sampel positif dari 15 sampel yang dianalisis dari sampel yang diambil di supermarket. Sehingga dari total 70 sampel yang dianalisis, didapatkan 11 sampel positif tercemar Campylobacter jejuni. Dari hasil tersebut didapatkan tingkat isolasi Campylobacter jejuni sebesar 15,7% yang berarti nilai prevalensinya sebesar 0.16%.

Lebih lanjut, Nanang (2008) melakukan penentuan prevalensi cemaran

Campylobacter jejuni pada sampel potongan karkas ayam di wilayah Bogor dan Jakarta. Hasilnya, didapatkan tingkat prevalensi cemaran Campylobacter jejuni di pasar tradisional wilayah Bogor sebesar 16.7% dan pasar modern mencapai 41.7% dari total 48 sampel karkas ayam. Sementara untuk wilayah Jakarta, tingkat prevalensi cemaran Campylobacter jejuni di pasar tradisional adalah sebesar 33.3%, sedangkan pada pasar modern (supermarket) sebesar 55.6%. Dari hasil tersebut didapat rata-rata tingkat prevalensi cemaran Campylobacter jejuni

dari total 84 sampel karkas ayam yang diambil dari wilayah Bogor dan Jakarta adalah sebesar 35.7% atau 0.36.

Poeloengan dan Noor (2003) menjelaskan bahwa hasil isolasi Campylobacter jejuni

yang lebih besar ditemukan pada sampel yang berasal dari supermarket dimungkinkan karena tingginya tingkat cemaran coliform pada sampel asal pasar tradisional sehingga menghambat pertumbuhan Campylobacter jejuni. Tingginya cemaran coliform ini disebabkan karena tempat penjualan karkas ayam di pasar tradisional pada umumnya tidak menggunakan pendingin seperti di supermarket, sehingga memudahkan pertumbuhan bakteri-bakteri pembusuk. Kemungkinan lain adalah bakteri Campylobacter jejuni di sampel asal pasar tradisional telah mati karena bakteri ini sangan sensitif terhadap panas dan juga tidak mengalami multiplikasi pada suhu ruang (Shane 2000). Selain itu, beberapa penjual ayam di pasar tradisional ada yang menambahkan formalin dalm konsentrasi tingkat kecil waktu pencucian karkas dengan maksud agar karkas tidak mudah rusak sehingga diduga bakteri telah mati pada waktu pencucuian tersebut.

Ketiga data prevalensi cemaran Campylobacter jejuni pada karkas ayam mentah dapat dilihat di Tabel 4.

Tabel 4. Data prevalensi cemaran Campylobacter jejuni pada karkas ayam mentah

Jumlah Sampel Jumlah sampel positif

C jejuni

Prevalensi Sumber

84 30 0.36 Nanang 2008

70 11 0.16 Abdy 2007

115 26 0.23 Poeloengan 2003

Total sampel = 269 Total positif = 67 Prevalensi = 0.25

2.

Tingkat cemaran Campylobacter jejuni pada karkas ayam mentah

Data konsentrasi jumlah cemaran Campylobacter jejuni yang digunakan dalam penentuan risiko Campylobacter jejuni kali ini didapatkan dari beberapa sumber studi yang dilakukan sebelumnya. Metode yang sama juga dilakukan oleh Rosenquist et al. (2002), dimana apabila data tidak didapatkan dari hasil penelitian di dalam negeri, maka dapat digunakan data dari hasil penelitian di negara lain.

Penelitian yang dilakuan oleh Altekruse et al. (1999) menemukan bahwa terdapat lebih dari 103 koloni Campylobacter jejuni dapat dihitung dari 100 gram sampel, dan

20 diketahui bahwa kulit dan jeroan memiliki tingkat kontaminasi yang sangat tinggi. Jørgensen

et al. (2002), menghitung jumlah cemaran Campylobacter jejuni dari 181 sampel yang diambil di wilayah Preston dan Exeter, Inggris. Dari penelitian yang dilakukan didapatkan rata-rata 5.500 CFU Campylobacter jejuni per karkas ayam yang dianalisis. Dengan asumsi bahwa tiap karkas memiliki bobot 1000 gram, berarti total terdapat 5.5 x 103 koloni

Campylobacter jejuni terkandung tiap 100 gram sampel. Hasil penghitungan yang dilakukan oleh Jørgensen (2002) dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Jumlah cemaran Campylobacter jejuni di ayam mentah (Jørgensen et al.

2002)

Data selanjutnya didapat dari EFSA (2008), Sebanyak 10.132 sampel daging ayam diambil dari 561 rumah pemotongan hewan di 26 negara anggota Uni Eropa dan dua negara yang tidak termasuk ke Uni Eropa. Kemudian dipilih secara acak masing masing 10 ayam broiler, dikumpulkan dan dianalisis keberadaan dan jumlah cemaran Campylobacter jejuni. Dari hasil penelitian yang dilakukan diketahui Campylobacter jejuni terdeteksi di karkas yang dianalisis dengan jumlah rata-rata 2.8 x 103 CFU per 100 gram. Data jumlah cemaran

Campylobacter jejuni per 100 gram sampel dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Data jumlah cemaran Campylobacter per 100 gram sampel

Konsentrasi C jejuni (CFU/100 gram) Sumber 5.5 x 102 Jorgensen et al. 2002 1 x 103 Altekruse et al. 1999 2.8 x 103 EFSA 2008 Rata-rata = 1.5 x 103

21 Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk mengisolasi dan menghitung sel

Campylobacter jejuni dari sampel. Metode-metode ini dirancang dengan memperhatikan kondisi dan prasyarat tumbuhnya koloni Campylobacter jejuni. Hal ini dikarenakan bakteri ini sulit untuk diisolasi berkaitan dengan sifatnya yang dapat menjadi sel viable but non culturable (VNBC). Menurut McClure dan Blackburn (2003), Campylobacter jejuni

dianggap mampu membentuk sel VNBC, walaupun sel tersebut aktif secara metabolik dan menunjukkan tanda-tanda aktif berespirasi, tetapi sel tersebut tidak dapat diperoleh kembali melalui teknik pertumbuhan (culturing) biasa.

Pembentukan sel VNBC terjadi karena terekspos oleh kondisi lingkungan yang merugikan bagi Campylobacter jejuni. Kondisi yang dimaksud seperti terekspos dengan udara, pengeringan, pH rendah, pemanasan, pembekuan, dan waktu simpan yang terlalu lama (BAM, 2001). Sel VNBC Campylobacter jejuni dapat bersifat kokus maupun tidak kokus. Jika sel Campylobacter jejuni ingin dikembalikan ke bentuk awal maka lebih efektif jika sel ini masuk ke dalam usus inangnya yaitu hewan berdarah panas seperti unggas ataupun mamalia. Oleh karena itu dibutuhkan metode yang tepat untuk mengkultur Campylobacter jejuni.

Metode yang digunakan untuk mendapatkan data-data prevalensi dan konsentrasi

Campylobacter jejuni diatas rata-rata menggunakan metode BAM. Dua puluh lima gram sampel diambil secara acak dari bagian karkas kemudian di bilas dalam 225 ml BPW, Setelah itu dilakukan proses pembilasan (rinsing) dengan cara digosok-gosok atau dengan bantuan alat stomacher selama 2-3 menit. Selanjutnya, untuk mengisolasi Campylobacter jejuni

ditambahkan darah kuda lisis sebanyak 5%. Setelah itu dilakukan tahap pre enrichment

dengan menginkubasi pada suhu 30 oC selama 3 jam dan 37 oC selama 4 Jam di kondisi mikroaerofilik. Kemudian dilakukan tahap enrichment dengan menginkubasi sampel selama 20-44 jam pada suhu 42 oC. Setelah inkubasi, dilakukan plating ke cawan petri yang telah berisi media agar isolasi. Inkubasi kemudian dilakukan pada suhu 42 oC selama 24-48 jam dan setelah itu diamati jumlah koloni yang tumbuh pada cawan.

B.

PENGARUH PEMANGGANGAN TERHADAP REDUKSI KOLONI

Campylobacter jejuni

Pada penelitian ini, isolat Campylobacter jejuni diinokulasikan pada karkas ayam yang telah dipasteurisasi, kemudian dipanggang dan dihitung jumlah penurunan (reduksi) koloni

Campylobacter jejuni antara sebelum dan sesudah pemanggangan. Isolat Campylobacter jejuni

didapat dengan menumbuhkan kultur pada media brain heart infusion (BHI) broth selam 48 jam.

Media ini merupakan media pertumbuhan yang bagus untuk mikroorganisme fastidious seperti

Campylobacter jejuni. Media ini memiliki kandungan nutrisi lebih banyak dan pH media mencapai 7.4± 0.2 merupakan pH yang baik bagi pertumbuhan Campylobacter. Broth enrichment

untuk Campylobacter jejuni umumnya adalah media yang bersifat basa (Banwart 1989). Waktu inkubasi 48 jam diambil karena pada kondisi bakteri pada waktu ini sudah memasuki tahap stasioner (Abdy 2007). Kondisi bakteri relatif lebih tahan terhadap lingkungan dan bakteri tidak bertumbuh lagi secara eksponensial maupun berkurang secara drastis (Buckle et al. 1987)

Suhu dan waktu yang digunakan didasarkan pada suhu dan waktu yang digunakan oleh pedagang ayam panggang komersial yaitu suhu 150 0C selama 70 menit. Sampel dianalisis pada menit ke 30 dan menit ke 70. Konsentrasi Campylobacter jejuni di karkas ayam sebelum pemanggangan adalah rata-rata 2.44 log CFU/gram. Hasil penurunan jumlah koloni

22 Tabel 6. Hasil penurunan jumlah koloni Campylobacter jejuni akibat pemanggangan

Ulangan Perlakuan Jumlah C. Jejuni (Log10 CFU) Jumlah C. Jejuni Tereduksi 30 menit 70 menit 1 Awal 2.34 >1.34 >1.34 Pemanggangan 30 menit <1.0 Pemanggangan 70 menit <1.0 2 Awal 2.38 >1.38 >1.38 Pemanggangan 30 menit <1.0 Pemanggangan 70 menit <1.0 3 Awal 2.59 >1.59 >1.59 Pemanggangan 30 menit <1.0 Pemanggangan 70 menit <1.0 4 Awal 2.68 >1.68 >1.68 Pemanggangan 30 menit <1.0 Pemanggangan 70 menit <1.0 5 Awal 2.14 >1.14 >1.14 Pemanggangan 30 menit <1.0 Pemanggangan 70 menit <1.0 6 Awal 2.47 >1.47 >1.47 Pemanggangan 30 menit <1.0 Pemanggangan 70 menit <1.0 7 Awal 2.50 >1.50 >1.50 Pemanggangan 30 menit <1.0 Pemanggangan70 menit <1.0

Dari hasil yang didapat, diketahui bahwa pada menit ke 30 sudah tidak ditemukan lagi adanya koloni Campylobacter jejuni. Sehingga reduksi Campylobacter jejuni akibat pemanggangan pada suhu 150 0C berdasarkan penelitian yang dilakukan adalah sekitar 2 log CFU/gram. Campylobacter jejuni memang peka terhadap panas, tidak tahan terhadap suhu pemasakan atau pasteurisasi.

Pemanasan yang tidak cukup sehingga produk menjadi kurang matang (undercooked)

dianggap sebagai penyebab kasus Campylobacteriosis (EFSA 2008). Namun, berdasarkan hasil yang didapat, ternyata pemanasan 30 menit sudah cukup untuk mengeliminasi jumlah

23 Pada dasarnya, setiap produk pangan memiliki tingkah laku yang berbeda oleh pengaruh pemanasan sehingga akan sangat berguna apabila mengetahui kinetika penurunan mutu oleh panas. Secara umum, kinetika penurunan mutu lebih lambat dibandingkan dengan kinetika pembunuhan mikroba. Artinya, inaktivasi mikroba oleh pemanasan lebih cepat dibandingkan laju penurunan mutu. Temperatur tinggi melebihi temperatur maksimum akan menyebabkan denaturasi protein dan enzim. Hal ini akan menyebabkan terhentinya metabolisme. Dengan nilai temperatur yang melebihi maksimum, mikroba akan mengalami kematian. Mikroba memiliki ketahanan panas yang berbeda-beda. Ketahanan panas mikroba tergantung pada sejumlah faktor yang harus dipertimbangkan dengan matang. Ada tiga kategori yang berhubungan dengan faktor-faktor ini, yaitu karakteristik pertumbuhan mikroba, sifat makanan dimana mikroba ini dipanaskan, dan jenis makanan dimana mikroba yang telah dipanaskan ini

Ketahanan panas diantara spesies mikroorganismedipengaruhi oleh suatu suhu optimum untuk pertumbuhannya. Mikroorganisme yang bersifat psikrofilik merupakan organisme yang paling sensitif terhadap pemanasan, diikuti oleh mikroorganisme mesofilik, dan paling tahan panas adalah mikroorganisme thermofilik. Bakteri pembentuk spora pada umumnya lebih tahan panas dibandingkan dengan bakteri yang tidak membentuk spora, dan bakteri pembentuk spora yang bersifat thermofilik lebih tahan panas daripada bakteri pembentuk spora yang bersifat mesofilik. Jika dilihat dari sifat pewarnaan gramnya, bakteri gram negatif, dan bakteri berbentuk bulat (kokus) lebih tahan panas dari pada bakteri berbentuk batang yang tidak membentuk spora.

Campylobacter jejuni adalah mikroorganisme yang rentan terhadap tekanan lingkungan seperti pemanasan, pengasaman pembekuan, dan tekanan hidrostatik tinggi (Martínez-Rodríguez & Mackey 2005). Sagarzazu et al. (2010) membuktikan bahwa Campylobacter jejuni sensitif terhadap panas dengan nilai D pada 55 0C dan pH 7.2 adalah 2 menit dan nilai z nya adalah 4.40 0

C. Ketika terjadi peningkatan keasaman media, kepekaan bakteri ini terhadap panas juga semakin bertambah. Lebih lanjut, Sagarzagu et al. (2010) menyatakan bahwa Campylobacter jejuni tidak meningkatkan resistensi mereka terhadap panas ketika bakteri tersebut masuk ke fase stasioner.

Dilihat dari sifatnya, Campylobacter jejuni merupakan spesies termofilik yang tidak bermutiplikasi dibawah suhu 320C. Namun pemanggangan pada suhu 150 0C selama 70 menit sudah cukup untuk membunuh Campylobacter jejuni. Menurut Stern (2000) pemasakan daging gilingyang mengandung 106 Campylobacter jejuni per gram sampel dengan suhu internal 60 0C selama 10 menit, menyebabkan bakteri sudah tidak terdeteksi. Nilai D pada suhu 60 0C pada daging adalah kurang dari 1 menit. Sementara nilai D nya dalam susu skim pada suhu 48 oC adalah 7.2 -12.8 menit, pada suhu 55 oC adalah 0.2-2.3 menit.

Pemanggangan pada 150 oC selama 70 menit yang dilakukan oleh pedagang dimaksudkan selain untuk membunuh mikroorganisme adalah untuk memperbaiki kualitas sensori dari daging ayam. Seperti yang telah dijelaskan diatas, bahwa ternyata pemanasan selama 30 menit saja sudah cukup untuk mengeliminasi jumlah Campylobacter jejuni hingga tidak dapat terdeteksi. Namun untuk mematangkan daging sehingga muncul flavor, mengempukkan jaringan, dan memperbaiki warna, dilakukan pemanasan hingga 70 menit. Data reduksi Campylobacter jejuni dapat dilihat pada Tabel 7.

24 Tabel 7. Data reduksi Campylobacter jejuni pada proses pemanggangan

Ulangan Reduksi 1 10/2340 2 10/2380 3 10/2590 4 10/2680 5 10/2140 6 10/2470 7 10/2500 Rata-rata 10/2431.5 = 0.004113

Pada perhitungan reduksi jumlah koloni Campylobacter jejuni digunakan asumsi bahwa koloni yang tersisa setelah pemanggangan adalah 10 koloni per gram. Hal ini digunakan karena tidak ditemukan koloni Campylobacter jejuni yang tumbuh setelah dilakukan plating. Oleh karena itu dianggap jumlah akhir Campylobacter jejuni setelah pemanggangan diasumsikan sesuai dengan limit deteksi yaitu ada 10 koloni tersisa. Kemudian reduksi koloni Campylobacter jejuni dihitung dengan membandingkannya dengan jumlah koloni awal sebelum pemanggangan. Perhitungan yang dilakukan pada penelitian ini didasarkan pada jumlah awal mikroba sekitar 2 log CFU. Maka jika dibandingkan dengan jumlah akhir koloni pada taraf limit deteksinya, didapat nilai penurunan jumlah koloni Campylobacter jejuni akibat pemanggangan adalah 2 log CFU. Oleh karena itu, nilai perhitungan penurunan jumlah koloni ini bisa jadi lebih besar jika data koloni awal yang didapat juga lebih besar.

C.

RISIKO PAPARAN

Paparan Campylobacter jejuni sebagai akibat dari konsumsi ayam panggang dengan suhu pemanggangan 150 0C selama 70 menit didasarkan pada data prevalensi dan jumlah cemaran Campylobacter jejuni yang telah diuraikan sebelumnya. Maka, jumlah paparan

Campylobacter jejuni yang mungkin dikonsumsi per porsinya dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Hasil perhitungan dosis Campylobacter jejuni setelah pemanggangan

Variabel/proses Satuan/rumus Rerata

P Prevalensi daging ayam tercemar positif C jejuni

- 0.25

N Tingkat cemaran C jejuni pada daging ayam mentah

CFU/100 gram 1.5 x 103

R Faktor reduksi pemanggangan - 10/2431.5

Cv Tingkatan Cemaran pada ayam panggang

P x N x R (CFU/100 gram)

1.5

Ce Dosis patogen per porsi ayam panggang

Cv x Ukuran penyajian (CFU)

1.5

25 Berdasarkan perhitungan yang dilakukan, diketahui bahwa satu porsi ayam panggang mengandung 1.5 koloni Campylobacter jejuni per porsi yang dikonsumsi.Hasil ini relatif sangat kecil bila dibandingkan dengan jumlah sel awal yang berpotensi dapat menyebabkan infeksi dan penyakit lebih lanjut . Dari sini dapat dilihat bahwa pemanggangan sebenarnya cukup efektif dalam menekan jumlah cemaran Campylobacter jejuni. Kontaminasi selanjutnya dapat terjadi akibat dari kontaminasi silang akibat penanganan pasca pemasakan, seperti penyajian yang berdekatan dengan karkas ayam yang masih mentah atau penggunaan alat masak atau alat makan yang terkontaminasi.

Sejumlah metode dekontaminasi secara kimia dan fisik telah diteliti untuk mengendalikan tingkat Campylobacter dan patogen manusia lain pada ayam karkas ayam antara lain pembekuan, ozonisasi, super klorinasi, penambahan asam organik dan pasteurisasi uap (Whyte et al. 2003). Hanninen (1981 dalam Rosenquist 2003) menyatakan bahwa pembekuan dapat menurunkan konsentrasi Campylobacter jejuni hingga sekitar 2 log. Klorinasi juga dapat digunakan untuk meminimalisasi jumlah Campylobacter jejuni (Stern dan Line 2000). Abdy (2007) menjelaskan bahwa asam asetat 3% juga dapat dengan efektif mereduksi Campylobacter jejuni hingga 2 log CFU/ml pada waktu kontak 5 menit.

Pemberian bumbu rempah pada karkas saat proses pemasakan juga dapat mengurangi jumlah cemaran Campylobacter jejuni. Studi yang dilakukan oleh González dan

Hänninen(2011) menunjukkan bahwa kombinasi bumbu dapat mereduksi C. jejuni di kisaran 1.09-1.66 log CFU selama tujuh hari penyimpanan pada suhu 4 0C. Diketahui juga bahwa reduksi paling terjadi paling cepat pada fase awal (inisiasi) dari jangka waktu penyimpanan.

Walaupun Campylobacter jejuni adalah bakteri yang sangat rentan pada perlakuan antimikroba, pengolahan dan faktor lingkungan seperti yang dijelaskan diatas, tetapi bakteri ini masih terus menyebabkan peningkatan kasus foodborne disease pada manusia (Mc Clure dan Blackburne 2003). Oleh karena itu perlu dilakukan manajemen pengendalian risiko yang tepat untuk menekan kasus ini dengan dukungan data-data kajian risiko.

D.

PELUANG INFEKSI

Hubungan positif antara paparan patogen sel Campylobacter jejuni dan kemungkinan infeksi campylobacteriosis telah dikemukakan oleh Black et al. (1988). Hubungan ini menunjukkan bahwa penurunan jumlah Campylobacter jejuni dalam produk unggas komersial dapat mengakibatkan pengurangan kejadian campylobacteriosis dan sebaliknya.

Stern et al. (1992) menyatakan bahwa Campylobacter jejuni dapat menyebabkan penyakit pada manusia dengan jumlah sedikitnya 500 sel . Pada kasus keracunan pangan di restoran, jumlah sel Campylobacter jejuni yang terkandung dalam ayam penyebab keracunan diperkirakan berkisar antara 54 sampai 750 Campylobacter jejuni per gram (Rosenfield et al. 1985). Hasil ini menunjukkan bahwa dosis infektif Campylobacter jejuni relatif rendah.

Untuk menentukan peluang infeksi digunakan model matematis untuk mengekstrapolasi data percobaan laboratorium yang biasanya menggunakan dosis tinggi ke data riil yang relatif memiliki dosis lebih rendah. Selain itu, hanya ada sedikit penelitian yang dapat menjelaskan respon manusia terhadap dosis Campylobacter yang diberikan, sehingga hubungan dosis-respon umumnya menggunakan model matematis. Pada penelitian yang dilakukan Robinson (1981 dalam Rosenquist), dosis 500 sel Campylobacter dalam susu menyebabkan penyakit pada satu sukarelawan. Pada percobaan lainnya yang melibatkan 111 remaja sehat dari Baltimore, Inggris,

26 dosis antara 800 sampai 20.000.000 organisme sel meyebabkan penyakit diare (Black et al. 1988).

Model dosis respon yang biasa digunakan untuk menghitung peluang infeksi adalah model eksponensial dan model beta poisson. Hasil perhitungan peluang infeksi dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Peluang terjadinya infeksi Campylobacter jejuni setelah mengonsumsi ayam panggang tercemar per porsi

Variabel/proses Satuan/rumus Rerata

Ce Dosis pathogen per porsi ayam

panggang (CFU/100 gram)

1.5

Pdr

Peluang Infeksi per porsi ayam panggang (model eksponensial) r= 3.52 x10-6

1-e-(r x Ce) 5.27x10-6

Peluang Infeksi per porsi ayam panggang (model beta-poisson)

α= 0.145, β =7.589 (Teunis dan Havelaar 2000)

1-(1+ )-α 2.5x10-3

Peluang Infeksi per porsi ayam panggang (model beta-poisson)

α= 0.21, β=59.95 (FAO/WHO 2001)

1-(1+ )- α 5.17x10 -3

Model peluang infeksi ini diartikan sebagai jumlah organisme yang terpapar yang memungkingkan seseorang mengalami kemungkinan infeksi Campylobacter jejuni. Pada perhitungan ini, dua model coba digunakan yaitu model eksponensial dan model beta-poisson. Nilai alfa dan beta yang digunakan didapat dari estimasi model Teunis dan Havelaar (2000) yang

memberikan nilai α= 0.145 dan β =7.589 serta model yang telah dilakukan oleh FAO/WHO (2001) yang memberikan nilai α= 0.21 dan β=59.95. Kedua model tersebut digunakan dan

kemudian dibandingkan hasilnya. Nampak hasil yang lebih besar didapat pada perhitungan dengan model beta poisson, namun perbedaan nilai alfa dan beta pada model beta poisson antara FAO/WHO(2001) dan Teunis dan Havelar (2000) menghasilkan perbedaan data yang tidak terlalu besar.

Data pada tabel 9 dihitung berdasarkan faktor reduksi dengan jumlah akhir

Campylobacter jejuni berada pada limit deteksinya, yaitu pada cawan tidak ditemukan koloni yang tumbuh. Nilai peluang infeksi bisa jadi lebih kecil dari perhitungan karena nilai reduksi akibat pemanggangan kemungkinan lebih besar dari yang didapat.

Nilai peluang infeksi dapat diartikan sebagai berapa banyak kemungkinan orang terinfeksi per suatu populasi. Sebagai contoh, dari hasil perhitungan peluang infeksi dengan model beta poisson didapat nilai peluang sebesar 5.17 x 10-3. Hasil ini berarti 5 dari 1000 orang berpeluang terinfeksi Campylobacter jejuni akibat mengonsumsi ayam panggang.

Namun, nilai estimasi dari model ini bisa bervariasi dari keadaan sebenarnya, tergantung pada faktor virulensi dan potensi kolonisasi bakteri yang tertelan serta faktor kerentanan individu seperti status daya tahan tubuh dan usia (Coleman dan Marks 1998).

27 Sebagai contoh, Rosenquist et al. (2003) menyatakan bahwa di denmark, usia 18-29 tahun ternyata memiliki risiko infeksi Campylobacter yang lebih besar dibanding kelompok usia lainnya. Hasil perhitungan model dosis-respon juga dipengaruhi oleh faktor mikrobiologis, faktor inang, faktor matriks makanan, sumber data yang dipakai, dan model empiris yang

Dokumen terkait