• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Paparan Campylobacter jejuni pada Konsumsi Ayam Panggang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Paparan Campylobacter jejuni pada Konsumsi Ayam Panggang"

Copied!
113
0
0

Teks penuh

(1)

EXPOSURE ASSESMENT OF

Campylobacter jejuni

IN ROASTED CHICKEN CONSUMPTION

Ashari Widhiasmoro1, Andriani2,and Harsi D Kusumaningrum1

1Departement of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java, Indonesia. 2

Veterinary Research Centers, Indonesian Ministry of Agriculture, Jln. R.E. Martadinata 30, Bogor, West Java, Indonesia

Phone 62 81283123901, e-mail: ashariwidhi@gmail.com

ABSTRACT

Campylobacter jejuni is a bacterial pathogen that can cause food borne disease in humans. Generally, Campylobacter jejuni are found in chicken carcasses and can cause infections in the gut (gastrointestinal) or outside the intestine (extraintestinal). Several cases of Campylobacter jejuni infection (Campylobacteriosis) has been reported in several countries. The purpose of this study was to determine risk of Campylobacter jejuni exposure in roasted chicken. This research included the determination of reduction rate of Campylobacter jejuni by roasting process and risk calculation of Campylobacter jejuni exposure in consumption of roasted chicken. Roasting process which used commercial setting of time and temperature resulted in 2 log reduction of campylobacter jejuni. Exposure assessment showed that 1.5 CFU of Campylobacter jejuni remained in each portion (100 gram) of roasted chicken. Probability of Campylobacter jejuni infection found in this study were

5.27x10-6 when usingeksponential model and 2.5x10-3 if using beta-Poisson model with Teunis and Havelaar α and β value or 5.17x10-3 with FAO/WHO α and β value.

(2)

I.

PENDAHULUAN

A.

LATAR BELAKANG

Campylobacter. spp adalah salah satu mikroba patogen yang dapat mengontaminasi makanan dan menyebabkan foodborne disease (penyakit akibat pangan). Umumnya manusia yang terinfeksi Campylobacter. spp menderita gejala seperti sakit perut, demam, diare mirip disentri, dan jika sudah akut dapat menyebabkan kematian. Menurut Sten et al. (1992), Campylobacter

sudah dapat menyebabkan penyakit pada manusia dalam jumlah kecil (kurang dari 500 sel) saja. Dan dari semua spesies Campylobacter, Campylobater jejuni merupakan penyebab utama diare diseluruh dunia (Rutherford dan Klein 2003).

Menurut Altekruse et al. (1999), angka kejadian keracunan akibat Campylobacter (campylobacteriosis) pada penderita diare lebih besar dibandingkan dengan angka kejadian salmonellosis dan shigellosis. Sedangkan di Indonesia, dari 2.812 bakteri patogen yang diisolasi dari penderita diare yang dirawat di rumah sakit di beberapa kota Indonesia, terdeteksi bahwa 3.6% nya disebabkan oleh Campylobater jejuni (Tjaniadi et al. 2003). Selain itu, beberapa kasus infeksi Campylobacter jejuni juga telah dilaporkan di beberapa negara, misalnya di Amerika Serikat dilaporkan sekitar 2.5 juta penderita campylobacteriosis dan 124 penderita meninggal setiap tahunnya (Hu dan Kopecko 2003). Sementara 69-96 kasus per 100.000 populasi dilaporkan di Swedia, dengan total 6.225 dan 8.578 kasus dilaporkan per tahunnya (anonim 2007 dalam Lindkvist dan Lindbland 2008).

Banyaknya kasus yang terjadi tentunya memerlukan penanganan. Akan tetapi, penanganan ini masih terhambat dengan sedikitnya data hasil pelaporan kejadian sehingga sulit untuk dilakukan identifikasi penyebab kasus-kasus ini. Kebanyakan kasus keracunan pangan tidak dilaporkan sehingga monitoring dan evaluasinya pun tidak terlaksana dengan baik. Heritage et al.

(1999), menjelaskan salah satu penyebabnya adalah bahwa kasus-kasus ini banyak terjadi pada kondisi terbatas pada selang waktu yang singkat sehingga tidak pernah dilaporkan pada petugas yang berwenang untuk dicatat. Lebih lanjut, Heritage et al. (1999) menambahkan bahwa kejadian keracunan pangan sebenarnya mungkin sepuluh sampai seratus kali lebih besar dari dugaan resmi yang ada.

Bakteri Campylobacter paling banyak diisolasi dari daging unggas khususnya ayam. Hal ini didasarkan pada data yang menyebutkan bahwa hampir 98% bakteri Campylobacter jejuni

ditemukan pada karkas ayam dengan jumlah bakteri melebihi 103 CFU per 100 gram sampel karkas (Altekruse et al. 1999). Pengonsumsian daging ayam yang kurang matang saat pemasakan diketahui dapat menjadi penyebab utama campylobacteriosis. Ayam panggang merupakan salah satu produk olahan daging ayam. Proses pemanggangan ayam yang tidak optimal dapat meningkatkan risiko infeksi akibat terpapar Campylobacter jejuni. Atas dasar itu, maka perlu dilakukan kajian tentang seberapa besar paparan Campylobacter jejuni pada konsumsi ayam panggang untuk mengetahui risiko dan peluang infeksi konsumsi produk olahan tersebut.

Dengan melakukan kajian paparan, dapat ditentukan kemungkinan pengonsumsian dan kemungkinan dosis patogen yang mungkin terpapar pada konsumen melalui pangan. Kajian paparan didasarkan pada potensi terkontaminasinya pangan oleh agen tersebut atau toksinnya, dan didasarkan juga pada informasi yang berhubungan dengan pangan. Jika memungkinkan, data prevalensi dan konsentrasi bahaya dapat digunakan (Summer 2002).

(3)

2 mengenai proses pengolahan daging ayam untuk menekan jumlah cemaran Campylobacter juga belum banyak tersedia. Mengingat besarnya risiko yang disebabkan oleh infeksi bakteri C. jejuni

maka topik penelitian tersebut penting untuk dilakukan. Informasi tentang risiko konsumsi ayam panggang dan cara pengolahan ayam panggang yang benar akan dapat meningkatkan kewaspadaan masyarakat, dalam membeli, mengolah, dan mengonsumsi produk karkas ayam.

B.

TUJUAN

1. Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan risiko paparan konsumsi ayam panggang. Selain itu penelitian ini juga bertujuan untuk memberikan rekomendasi pengolahan ayam panggang yang optimal untuk menekan jumlah cemaran Campylobacter jejuni.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui reduksi Campylobacter jejuni pada karkas ayam setelah proses pemanggangan

b. Mengkaji risiko paparan Campylobacter jejuni padakonsumsi ayam panggang.

C.

MANFAAT

(4)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A.

Campylobacter jejuni

Campylobacter jejuni termasuk kedalam genus Campylobacter, family

Campylobacteraceae. Pada awalnya, genus Campylobacter disebut vibrio karena bentuknya bergelombang. Namun di awal 1970, mikroba ini diklasifikasikan dalam genus Campylobacter

(Cappucino dan Sterman 1993). Hal ini didasarkan atas temuan fakta bahwa Campylobacter

tidak dapat memfermentasikan karbohidrat selayaknya bakteri vibrio lainnya dan Campylobacter

juga mengandung basa guanin dan sitosin pada DNA-nya (Veron dan Chatelain dalam Doyle 1989). Bentuk sel Campylobacter jejuni dapat dilihat di Gambar 1.

Gambar 1. Sel Campylobacter jejuni

Enam belas spesies dan enam subspesies yang telah dikenal dalam genus

Campylobacter, dua belas diantaranya merupakan penyebab penyakit pada manusia. Bakteri patogen ini dibagi ke dalam dua kelompok yaitu penyebab penyakit diare dan penyebab infeksi intestinal. Penyebab penyakit diare diantaranya C. jejuni, C. coni, C. upsaliensis, C. lari dan C. fetus, sedangkan penyebab infeksi ekstraintestinal, termasuk C. fetus dan lain-lain (Hu dan Kopecko 2003).

Semua Campylobacter dapat tumbuh pada suhu 37 0C sedangkan spesies campylobacter termofilik seperti C. jejuni, C. lari, dan C. coli dapat tumbuh dengan baik pada 42 oC (Hu dan Kopecko 2003). Walaupun begitu, ada beberapa perbedaan karakter antara C. jejuni dan C. coli

yaitu C. jejuni tidak dapat tumbuh pada suhu 30.5 0C, dapat menghidrolisis hippurate, sensitif terhadap 2,3,5 triphenyltetrazolium chloride (TTC), sedangkan C. coli memiliki karakter yang berkebalikan. Pada media pertumbuhan, semua Campylobacter tumbuh dengan baik pada pH 5.5-8.0 dan keberadaan NaCl 1.75%. Nilai pH optimum untuk pertumbuhan C. jejuni yaitu pada kisaran 6.5-7.5 dan tidak tumbuh pada pH dibawah 4.9 (Stern et al. 1992).

(5)

4

Campylobacter termasuk ke dalam bakteri gram negatif, memiliki karakteristik mikroaerofilik, batang melengkung, dan sangat motil. Campylobacter sering ditemukan di air dan dari pangan hewani seperti unggas. Campylobacter awalnya dikenal sebagai bakteri yang menyebabkan infeksi pada sistem dan aborsi pada domba, sapi dan hewan ternak, dan kini telah diketahui bahwa bakteri ini adalah bakteri yang paling sering menyebabkan infeksi pada sistem pencernaan manusia. Dari berbagai macam spesies Campylobacter, satu spesies yang paling sering dihubungkan dengan penyakit pada manusia adalah Campylobacter jejuni (Banwart 1989).

Campylobacter jejuni merupakan bakteri komensal dalam saluran usus unggas.

Campylobacter pada usus ayam sekitar 107 koloni/gram sehingga organisme ini sering ditemukan pada karkas ayam (Stern dan line 2000). Campylobacter jejuni bersifat obligat mikroaerofilik (optimum pada 5% O2, 10% CO2, dan 85% N2). Bakteri ini bersifat oksidase positif, katalase positif dan nilai pH optimum pertumbuhan bakteri adalah 6.5-7.5. Adanya oksigen akan meningkatkan kematian spesies ini. Bakteri ini juga memiliki antigen O yang stabil panas, peka terhadap udara, pengeringan dan panas (Stern dan Line 2000).

Campylobacter jejuni mudah mengalami perubahan morfologi dari bentuk batang bergelombang menjadi bentuk kokus karena sifatnya yang sensitif. Perubahan bentuk morfologi ini mudah terjadi jika kondisi lingkungan tinggi kadar oksigennya dan saat Campylobacter jejuni

telah memasuki fase stasioner pertumbuhannya. Pada saat Campylobacter jejuni memasuki fase stasioner, maka bakteri ini sulit diisolasi karena sifatnya berubah menjadi non-culturable dan bentuknya menjadi kokus (Doyle 1989).

B.

CAMPYLOBACTERIOSIS

Campylobacteriosis merupakan infeksi yang disebabkan bakteri Campylobacter. Menurut Hu dan Kopecko (2003) Campylobacter dapat menyebabkan infeksi di dalam usus (Gastrointestinal) maupun diluar usus (ekstraintestinal). Gejala infeksi gastrointestinal adalah demam, keram perut, dan diare yang diikuti mual-mual selama 2-5 hari setelah mengonsumsi makanan yang terkontaminasi bakteri ini. Waktu menderita infeksi bisa antara 1 sampai 3 hari, tetapi kemungkinan berakhir selama 3 minggu (Banwart 1989).

Infeksi ekstraintestinal yaitu bakterimia (bakteri berada dalam darah). Kasus bakterimia akibat Campylobacter jejuni terjadi sekitar 1.5 dari 100 kasus infeksi gastrointestinal (Hu dan Kopecko 2003). Menurut McClure dan Blackburn (2003), kasus campylobacteriosis kronik ini mencapai 2 sampai 10% yang meliputi arthritis, meningitis, cholecystitis, erythremea nosodum, endocarditis, keguguran, dan neonatal sepsis. Selain itu, Campylobacter jejuni diketahui sebagai faktor penyebab GBS (Guillan-Barne Syndrome). GBS adalah penyakit akibat tidak berfungsinya system syaraf pusat sehingga menimbulkan kelumpuhan badan dari kaki ke atas. GBS terjadi sekitar 30 kasus dari 1000 kasus infeksi Campylobacter jejuni. Menurut Altekruse et al. (1999), diperkirakan 20% penderita GBS hidup dengan kelumpuhan dan diperkirakan 5% nya meninggal.

(6)

5 dengan infeksi pada manusia adalah Campylobacter jejuni dan Campylobacter coli yang disebarkan melalui makanan, air, dan susu yang terkontaminasi (Cliver 1990).

Campylobacter jejuni diduga sebagai penyebab utama infeksi yaitu sekitar 80-90% kasus campylobacteriosis. Bakteri ini merupakan bakteri sporadic penyebab foodborne disease.

Campylobacter coli bertanggung jawab sekitar 7% kasus campylobacteriosis pada manusia, tetapi di beberapa daerah (seperti Afrika Tengah dan Zagreb) kasus tersebut berkisar 35-40%. Sementara Campylobacter upsaliensis dan Campylobacter lari bertanggung jawab sekitar 1% kasus campylobacteriosis pada manusia (Mcclure dan Blackburn 2003).

Pada kebanyakan pasien yang menderita campylobacteriosis, kebanyakan sifatnya adalah sporadis dan jarang sekali akibat tertular dari manusia yang terinfeksi (Altekruse et al.

1998). Umumnya, manusia yang terinfeksi Campylobacter mendapatkan gejala seperti muntah, sakit perut, diare, demam, sakit kepala, dan sakit punggung, dan jika sudah akut dapat menyebabkan kematian. Menurut Skirrow dalam Doyle (1989), diketahui bahwa setengah dari pasien yang terinfeksi Campylobacter berumur 15-44 tahun, dan dari yang setengah itu didominasi oleh anak-anak muda.

Bakteri Campylobacter paling banyak diisolasi dari daging unggas khususnya ayam. Hal ini didasarkan pada data yang menyebutkan bahwa hampir 98% bakteri Campylobacter jejuni ditemukan pada karkas ayam dengan jumlah bakteri melebihi 103 CFU per jaringan (Altekrus et al. 1999). Penanganan unggas mentah dan konsumsi daging unggas yang belum matang sempurna menjadi faktor risiko utama penyebab campylobacteriosis (Kapperud et al.

1992). Selain itu, pengkonsumsian susu mentah, susu yang mengalami pasteurisasi tidak sempurna, pengkonsumsian air yang tidak terklorinasi, serta kontaminasi silang pada persiapan bahan pangan juga dapat menjadi penyebab lain infeksi bakteri ini.

Ayam merupakan salah satu sumber infeksi Campylobacter jejuni pada manusia karena ayam merupakan reservoir Campylobacter jejuni (Rosenthal 1999 dalam Andriani et al. 2006). Kejadian Campylobacteriosis pada ayam broiler berhubungan dengan penularan atau penyebaran

Campylobacter jejuni dalam karkas sebagai sumber infeksi pada manusia. Campylobacter jejuni

yang terdapat pada ayam hidup dapat menyebabkan kontaminasi pada karkasnya serta produk bahan pangan ayam yang terjadi selama proses pengolahan. Keberadaan Campylobacter jejuni

yang terdapat pada ayam hidup dapat menyebabkan koontaminasi pada karkasnya serta semua produk bahan pangan ayam yang terjadi selama proses pengolahan.

Keberadaan Campylobacter jejuni pada karkas ayam yang sangat tinggi merupakan indikasi tentang kondisi lingkungan disekitar karkas. Menurut Bailey (1993), pada peternakan ayam yang terinfeksi oleh Campylobacter jejuni, 50% dari ayam tersebut akan membawa

Campylobacter jejuni sampai ayam dipotong.

Campylobacter jejuni sering diisolasi dari penderita diare, dan lebih banyak tingkat isolasinya daripada Salmonella. Prevalensi infeksi Campylobacter jejuni pada beberapa kampus di Amerika Serikat adalah 10-46 kali lebih tinggi jumlahnya daripada infeksi Salmonella dan

(7)

6 disebabkan oleh Campylobacter dengan sumber infeksi dari konsumsi hewan ternak (Ono K dan Yamamoto K 1998) sedangkan di Indonesia, dari 2.812 penderita diare sekitar 3.6% nya disebabkan oleh C. jejuni (Tjaniadi et al. 2003).

Tabel 1. Bakteri patogen yang diisolasi dari penderita diare yang dirawat di rumah sakit di

beberapa kota Indonesia (Tjaniadi et al. 2003).

Bakteri teridentifikasi Persentase kasus

Vibrio cholerae O1 37.1%

Shigella spp 27.3%

Salmonella spp 17.7%

V. parahaemolyticus 7.3%

Salmonella typhi 3.9%

Campylobacter jejuni 3.6%

V. cholera non-O1 2.4%

Salmonella paratyphi A 0.7%

Di negara berkembang seperti Bangladesh, Indonesia, Gambia dan Meksiko penderita infeksi Campylobacter jejuni terbesar terjadi pada anak-anak dibawah umur lima tahun (Hu dan Kopecko 2003).

C.

MIKROBIOLOGI DAGING AYAM

Daging dan produk-produk daging sangat mudah rusak. Kerusakan daging terutama disebabkan oleh aktivitas mikroba. Hal ini menandakan mikroba merupakan sumber kontaminan bagi daging. Pada dasarnya, jaringan hewan sehat umumnya bebas dari bakteri pada saat dipotong, tetapi ketika diperiksa, daging segar pada tingkat penjual retail selalu ditemukan berbagai jenis dan jumlah mikroorganisme (Jay 1997). Sumber kontaminasi mikroba pada daging segar berasal dari pisau pemotong, bagian yang tersembunyi dari daging, saluran pencernaan, tangan manusia, wadah penanganan, dan penyimpanan.

Sumber utama pencemaran karkas dalam industri daging adalah hewan itu sendiri (Gracey 1986 dalam Noor 2003). Mikroflora yang terdapat pada karkas ayam tidak terlepas dari mikroflora yang terdapat pada ayam tersebut ketika masih hidup dan terjadi berbagai perubahan pada berbagai tahapan proses pemotongan.

(8)

7 Tabel 2. Prevalensi (%) dari 6 bakteri patogen terhadap manusia dari karkas ayam

Bakteri patogen Prevalensi

Campylobacter sp. 0-100

Clostridium perfringens 63

Eschericia coli 0157:H7 1,5

Ssalmonella sp 0-100

Staphylococcus aureus 88

Listeria monocytogenenes 5 Sumber : ICGFI (1999)

Menurut Poeloengan dan Noor (2003), Campylobacter jejuni mengkontaminasi karkas ayam bagian punggung hingga tunggir lebih tinggi jika dibandingkan dengan bagian dada, paha, dan hati-ampela ayam. Hal ini terjadi dimungkinkan karena pada waktu memproses ayam mulai dari pengulitan bulu sampai eviserasi sangat mudah sekali terjadi kontaminasi dari saluran pencernaan. Batas maksimum cemaran mikroba pada produk daging telah ditetapkan di SNI No 01-6366-2000, dimana batas maksimum untuk Campylobacter jejuni adalah 0 koloni/gram (BSN 2000). Batas maksimum cemaran mikroba pada daging dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Batas maksimum cemaran mikroba pada produk daging

Jenis Cemaran

Batas maksimum cemaran mikroba

(Koloni /gram)

Daging segar/beku Daging tanpa tulang

Jumlah total mikroba 1 x 104 1 x 104

Koliform 1 x 102 1 x 102

Escherecia coli (*) 5 x 101 5 x 101

Enterococci 1 x 102 1 x 102

Staphylococcus aureus 1 x 102 1 x 102

Clostridium sp 0 0

Salmonella sp (**) Negatif Negatif

Campylobacter sp 0 0

Listeria sp 0 0

Sumber : BSN (2000)

Keterangan : (*) dalam satuan MPN/gram; (**) dalam satuan kualitatif

(9)

8

D.

KAJIAN RISIKO DAN KAJIAN PAPARAN

Risiko adalah fungsi dari kemungkinan terjadinya efek buruk terhadap kesehatan dan tingkat keparahan dari efek tersebut (Forshyte 2002). Analisis risiko merupakan perkembangan terbaru dalam sistem keamanan pangan. Analisis resiko terdiri dari tiga komponen, yaitu: 1) Kajian risiko untuk mengidentifikasi faktor yang mempengaruhinya, 2) manajemen risiko utuk mengetahui bagaimana risiko dikendalikan atau dicegah; dan 3) komunikasi risiko. Hubungan ketiga komponen tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.

Kajian risiko adalah suatu proses penentuan risiko berlandaskan pada data-data ilmiah. Kajian risiko dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kajian risiko secara kualitatif dan kajian risiko secara kuantitatif. Kajian risiko secara kualitatif adalah kajian deskripif atau merupakan penetapan kategori risiko berdasarkan informasi-informasi yang tersedia. Keluaran yang diperoleh biasanya dinyatakan dalam kategori risiko tinggi, sedang, rendah, atau risiko yang dapat diabaikan. Penetapan risiko kualitatif merupakan penetapan besarnya risiko atau sumber bahaya pada suatu jenis pangan berdasarkan kategori-kategori risiko.

Gambar 2. Komponen Analisis risiko (Forshyte 2002)

Kajian risiko kuantitatif adalah kajian yang didasarkan pada analisis data numerik. Kajian risiko harus memisahkan antara ketidakpastian (karena adanya kekurangan data, informasi atau pengetahuan) dari keragaman (karena faktor seperti variasi biologis), dan harus dideskripsikan dengan transparan (Kusumangingrum 2004). Kajian analisis secara kuantitatif meupakan analisis matematis terhadap data-data numerik. Analisis matematis ini terdiri atas metode-metode statistika yang dibangun atas adanya ketidakpastian dan adanya keragaman dari analisis yang dilakukan.

Keluaran yang dihasilkan dari suatu kajian risiko kuantitatif berupa perkiraan risiko yang meliputi peluang dan keparahan sakit yang disebabkan oleh mengkonsumsi pangan yang mengandung bahaya, yang dinyatakan misalnya dalam jumlah kejadian luar biasa per tahun, jumlah yang sakit per tahun atau per populasi tertentu, atau jumlah yang sakit per jumlah porsi tertentu. Kajian risiko kuantitatif dapat memberikan jawaban terhadap pertanyaan yang lebih detil daripada kajian risiko kualitatif.

Komunikasi Risiko

Pert ukaran Informasi dan opini

M anajemen risiko

(Kebijakan)

Kajian risiko

(10)

9 Ching (2009) menjelaskan bahwa secara umum ada dua pendekatan yang dapat digunakan dalam kajian risiko secara kuantitatif, yaitu pendekatan secara deterministic dan pendekatan secara probabilistic (stochastic). Pendekatan secara deterministic merupakan pendekatan untuk mengkuantifikasi risiko dalam suatu nilai tertentu, sedangkan pendekatan secara probabilistic merupakan pendekatan untuk mengkuantifikasi risiko dalam suatu interval tertentu.

Kajian risiko dimulai dengan penetapan tujuan dilanjutkan dengan identifikasi bahaya, kajian paparan, karakterisasi bahaya, karakterisasi risiko, dan diakhiri dengan penulisan laporan resmi. Suatu kajian risiko yang baik pada umumnya juga mendeskripsikan analisis skenario dan analisis sensitivitas. Kerangka langkah-langkah risiko dapat dilihat pada Gambar 3.

Kajian paparan adalah evaluasi secara kualitatif dan/atau kuantitatif terhadap kemungkinan asupan agen-agen biologi, kimia, dan fisik melalui pangan atau sumber lain yang relevan. Kajian paparan menentukan kemungkinan pengonsumsian dan kemungkinan dosis patogen yang mungkin terpapar pada konsumen melalui pangan. Kajian paparan terhadap agen mikrobial didasarkan pada potensi terkontaminasinya pangan oleh agen tersebut atau toksinnya, dan didasarkan juga pada informasi yang berhubungan dengan pangan. Jika memungkinkan, data prevalensi dan konsentrasi bahaya dapat digunakan (Summer 2002).

Forshyte (2002) menjelaskan bahwa kajian paparan adalah bagian paling kompleks dari kajian risiko. Pada kajian paparan, evaluasi dilakukan tehadap bahaya mikrobiologis yang terdapat dalam produk pangan pada waktu dikonsumsi. Kajian paparan menyediakan pandangan ilmiah terhadap keberadaan bahaya pada produk yang dikonsumsi. Proses ini menggabungkan informasi ketersediaan dan konsentrasi mikroba dalam suplai pangan konsumen dan lingkungan, dan kemungkinan jumlah bervariasi dalam pangan. Pada kajian paparan, Faktor-faktor yang terlibat pada tahap ini antara lain meliputi ekologi mikroba pada pangan, tingkat kontaminasi awal bahan mentah, prevalensi infeksi, variabilitas proses dan kontrol proses, serta metode dan kondisi pengemasan, distribusi dan penyimpanan pangan.

Respon dari sebuah populasi manusia terhadap paparan penyakit sangat bervariasi, mencerminkan fakta bahwa kejadian penyakit tergantung pada berbagai faktor seperti karakteristik virulensi patogen, jumlah sel tertelan, dosis kesehatan umum dan kekebalan tubuh status inang, dan atribut dari makanan yang mengubah mikroba. Dengan demikian, kemungkinan bahwa setiap individu akan menjadi sakit akibat paparan patogen dari makanan tergantung pada integrasi dari host, patogen, dan efek makanan matriks. Interaksi ini sering disebut sebagai segitiga penyakit menular.

Untuk menentukan hubungan antara tingkat paparan (dosis) terhadap patogen dengan keparahan dan/atau frekuensi pengaruh buruk terhadap kesehatan (respon) dilakukan kajian dosis-respon. Dari kajian ini juga dapat dihitung peluang infeksi akibat konsumsi suatu produk pangan. Data yang digunakan dalam kajian dosis respon dapat berasal dari studi pada manusia secara sukarela, statistik kesehatan masyarakat, dan data kejadian luar biasa dan hewan percobaan (Kusumaningrum 2004).

(11)

10 Gambar 3. Kerangka kajian risiko

Persamaan model eksponensial adalah Pi = 1- exp (-r x N). Dengan Pi adalah peluang terjadinya infeksi, r adalah peluang interaksi dengan inang, dan N adalah jumlah mikroba yang tertelan. Sementara model beta-poisson memiliki persamaan PI = [1-(1+N/β)]

. Dengan Pi

adalah peluang terjadinya infeksi, N adalah jumlah mikroba yang tertelan, serta α dan β adalah

parameter spesifik untuk patogen. Parameter r, α, dan β bervariasi untuk setiap patogen. Untuk

Campylobacter jejuni nilai r yang diusulkan oleh Medema et al. (1996) adalah 3.52x10-6 dan nilai α dan β yang disusulkan oleh Teunis dan Havelaar (2000) berturut-turut adalah 0.145 dan 7.589. FAO/WHO (2001) juga telah menetapkan nilai α dan β untuk Campylobacter jejuni yaitu

α=0.21 dan β=59.95.

Penet apan Tujuan

Identifikasi bahaya

 Karakteristik mikroba

 Masalah akhir : Infeksi/keracunan makanan, mortalitas

 Epidemiologi  Kejadian luar biasa

Kajian Paparan

Data Modelling

-Pola konsumsi pangan - Tingkat pencemaran -Tingkat pencemaran pangan di pengecer Pangan - Pertumbuhan antara -laju Pertumbuhan pembelian &konsumsi -Waktu Simpan - Inaktivasi panas -Suhu simpan - Tingkat cemaran pada

saat konsumsi pangan

Karakterisasi Bahaya

Data Modelling

-Virulensi patogen - Dosis-respon pada -Kerentanan populasi tikus

-Jejaring surveilan - Faktor penyesuai pangan - Kurva dosis respon

untuk 3 subpopulasi

Karakterisasi resiko -Resiko per penyajian

-Resiko per tahun -Ranking resiko -Grafik ketidak pastian

Skenario intervensi

(12)

11 Pada persamaan beta-Poisson, nilai α dan β adalah parameter dosis dan respon yang

ditetapkan oleh tingkat infektivitas organisme, nilai β lebih besar dari α (Furumoto dan Mickey 1967 dalam Medema 1996). Nilai α dan β ditetapkan berdasarkan kurva relasi dosis-respon antara dosis rata-rata yang diberikan dan peluang terjadinya infeksi. Nilai α menunjukkan

parameter slope dari kurva sedangkan nilai β adalah parameter skala. Perubahan nilai

β menyebabkan hubungan dosis-respons pada model Beta Poisson akan bergeser sepanjang sumbu dosis (sumbu x), tanpa merubah bentuk kurva (Teunis dan Havelaar 2000).

Model beta-Poisson memberikan hasil yang tepat dengan data dosis-respon dari sejumlah bakteri enteropatogenik dan virus, sementara model eksponensial biasa digunakan dalam mengkaji protozoa enteroparasitik pada manusia. Model beta-Poisson didasarkan pada asumsi bahwa mikroorganisme dalam inokulum atau bahan pangan terdistribusi secara acak sesuai pola distribusi Poisson dan kemungkinan organisme masuk ke dalam saluran intestinal dan menyebabkan infeksi diasumsikan dengan distribusi beta (Haas 1993).

Karakterisasi bahaya adalah evaluasi secara kualitatif dan/atau kuntitatif terhadap efek merugikan yang diasosiasikan dengan agen biologi, kimia dan fisik yang mungkin ada pada pangan (Forshyte 2002). Summer (2002) menjelaskan bahwa karakterisasi bahaya diperoleh dengan mengumpulkan informasi perilaku bahaya dan asupan bahaya yang kemungkinan menyebabkan sakit.

Karakterisasi risiko adalah integrasi dari tiga langkah sebelumnya (identifikasi bahaya, kajian pemaparan, karakterisasi bahaya) untuk memperoleh dugaan risiko yang mungkin terjadi dan tingkat keparahan dari efek buruknya terhadap suatu populasi, yang disertai adanya ketidakpastian (Forshyte 2002). Umumnya pada karakterisasi risiko akan diperoleh suatu perkiraan risiko (risk estimate) tentang kemungkinan dan keparahan pengaruh buruk pada suattu populasi termasuk adanya ketidakpastian, berdasarkan hasil dari identifikasi bahaya, karakterisasi bahaya dan kajian pemaparan. Hasil kajian risiko harus secara jelas mengidentifikasi gap data yang penting, asumsi dan ketidakpastian utnuk menolong manajer risiko menilai kedekatan karakterisasi risiko yang dideskripsikan denan kenyataan yang terjadi (Kusumaningrum 2004). Pada perkiraan kuantitatif peluang kejadian dan pengaruh buruk terhadap kesehatan dalam suatu populasi, umumnya diperkirakan dengan menggunakan model matematik.

Pada model kajian risiko deterministik, pada umumnya digunakan perkiraan tungggal sebagai data input, sedangkan pada model stokhastik (probabilistik) umumnya menggunakan sebaran distribusi dari nilai-nilai data. Pada pendekatan probabilistik, data sebaran distribusi kemudian dianalisis lebih lanjut dengan simulasi Monte Carlo, yang merupakann proses berulang sampai dengan ribuan simulasi (umumnya 10.000 simulasi). Pada setiap ulangan, suatu nilai diambil untuk setiap parameter dari sebaran yang telah ditentukan, sehingga hasil simulasi juga merupakan suatu sebaran. Analisis distribusi probabilitas tersebut akan menghasilkan suatu disribusi risiko dalam suatu populasi.

Selanjutnya pada kajian risiko sering dilakukan analisis skenario terhadap beberapa skenario yang mungkin terjadi. Salah satu analisis yang sering digunakan adalah ‘apa yang terjadi jika’ (What if scenario). Beberapa skenario ditentukan, kemudian dikaji dengan simulasi Monte Carlo, untuk mendapatkan satu skenario yang paling baik yang digunakan untuk memenuhi jawaban yang telah disusun oleh manajemen risiko ( Kusumaningrum 2004).

(13)

12 tertentu, seperti risiko Bacillus cereus pada susu pasteurisasi, Salmonella pada produk daging ayam, Escherechia Coli 0157:H7 pada daging cincang, dan Salmonella enteridis pada produk telur.

E.

PEMANGGANGAN

Pemanggangan adalah metode pemasakan dengan menggunakan udara panas, api terbuka, oven, atau sumber panas lainnya. Pemanggangan umumnya menyebabkan karamelisasi atau reaksi maillard pada permukaan bahan yang dipanggang sehingga menimbulkan flavor yang khas. Pemanggangan adalah metode memasak yang lama. butuh waktu setengah sampai tiga jam untuk mematangkan daging tergantung dari jenis dan jumlah daging yang dipanggang. Proses pemanggangan lebih banyak menggunakan panas tidak langsung, panas terdifusi (seperti pada oven), dan cocok untuk memasak daging dalam bentuk besar dan utuh (Blaisdell 2002).

Produk biasa ditempatkan pada rak, loyang pemanggang, atau pada sebuah alat pemanggang yang dapat memutar untuk memastikan aplikasi panas terpapar pada permukaan produk secara merata. Pada oven, udara panas mengalir secara merata di sekitar permukaan daging dan mematangkannya.

Tujuan umum dari pemanggangan adalah mempertahankan kadar air sebanyak mungkin agar mendapatkan tekstur dan aroma yang diinginkan, sehingga pada saat proses pemanggangan seringkali produk ditambahkan mentega untuk mengurangi kehilangan air akibat penguapan. Sehingga dibutuhkan pula kombinasi waktu dan suhu yang tepat untuk membunuh mikroba yang terdapat pada produk. Alat yang biasa digunakan untuk memanggang adalah oven, oven didefinisikan sebagai ruang termal terisolasi yang digunakan untuk memanaskan, memanggang atau mengeringkan suatu zat. Beberapa jenis oven yang dikenal antara lain oven bakar dengan api dibawahnya yang bisa berasal dari kayu atau kompor, oven gas dengan sumber panas dari pembajaran gas, oven listrik dengan elemen pemanas dengan sumber listrik, dan oven gelombang mikro (microwave oven).

Beberapa faktor yang mempengaruhi proses pemanggangan terhadap mutu mikrobiologi dan sensori produk antara lain jenis bahan, suhu pemanggangan, lama waktu pemanggangan, jenis alat pemanggang, dan metode pemanggangan. USDA telah mengeluarkan rekomendasi suhu dan waktu proses pemanggangan untuk mereduksi jumlah mikroba dalam produk daging, misalnya suhu internal pemanggangan daging setidaknya adalah 71 0C (Whittington dan Waldron 2010). Rekomendasi serupa juga dikeluarkan oleh FDA untuk menginaktivasi virus dan bakteri patogen selama proses pengolahan.

Pada suhu yang sama, maka waktu pemanasan lebih besar pengaruhnya terhadap kematian sel mikroorganisme. Tetapi yang lebih besar pengaruhnya sebenarnya adalah suhu pemanasan, dimana suhu pemanasan yang semakin tinggi lebih besar pengaruhnya terhadap kematian sel. Pada suhu yang lebih tinggi, waktu pemanasan yang diperlukan untuk membunuh sejumlah sel semakin singkat.

F.

AYAM PANGGANG

(14)

13 konsumsi daging sapi sebesar 1.7 Kg per kapita per tahun. Walaupun konsumsi daging ayam masyarakat Indonesia masih sangat rendah dibanding beberapa negara berkembang lainnya yaitu 23 Kg per kapita per tahun, akan tetapi tingkat permintaan nasional terhadap daging ayam terus meningkat 7% per tahun.

Karkas ayam merupakan produk yang rentan oleh kontaminasi mikroorganisme seperti

Staphylocooccus eperimidis, Pseudomonas nigrificans, Salmonella, Clostridium perfringens, Staphylococcus aureus, dan Campylobacter jejuni. Keberadaan mikroorganisme ini dapat menurunkan mutu kelayakan daging dan berpengaruh terhadap nilai ekonomis. Bahkan beberapa dapat menyebabkan foodborne disease yang bisa berakibat fatal.

Untuk menurunkan jumlah kontaminasi mikroba di produk ayam, dan menaikkan kualitas sensori daging ayam, masyarakat biasa mengolah daging ayam dengan berbagai metode menjadi produk matang seperti ayam bakar, ayam goreng, ayam panggang, dan ayam bumbu. Preferensi terbesar masyarakat masih terhadap ayam goreng yaitu sebesar 72%, sementara ayam bakar dan ayam panggang berturut turut adalah 6.2% dan 1.5% (Basuki 2011).

Pengolahan ayam bakar berbeda dengan ayam panggang. Ayam bakar (grill) menggunakan api langsung dengan bantuan alat pegangan seperti jeruji sementara ayam panggang (roasted) menggunakan api/panas tidak langsung yang biasanya di lakukan dalam oven, diatas wajan tanpa minyak/sedikit minyak. Pada proses pembakaran, panas/suhu lebih sulit dikontrol karena berkaitan dengan api langsung, sementara dengan pemanggangan suhu relatif lebih mudah di atur karena menggunakan termokopel di oven.

Suhu standar yang biasa digunakan untuk memanggang adalah 170 0C, namun suhu yang ideal (set point) dapat bervariasi plus atau minus 25 0C tergantung pada bagian daging yang dipanggang. Pada suhu yang lebih rendah, waktu matang akan semakin lama, tetapi menghasilkan flavor yang lebih terasa, mempertahankan lebih banyak air, dan lebih sedikit mengalami penyusutan (Pepin 1979).

Pada proses pemanggangan daging terjadi perubahan kimia yang memmpengaruhi penampilan, rasa, tekstur, penyusutan, kematangan, dan kemunculan flavor. Efek pertama yang terjadi saat pemanggangan adalah protein otot menyusut dan kehilangan kandungan airnya. Ketika daging dipanaskan, protein otot akan terkoagulasi dan menyusut. Mekanisme ini kemudian menekan air keluar dari jaringan. Semakin lama daging dipanaskan, semakin banyak pula air yang tertekan ke luar. Ini pula yang menyebabkan matang dan kering menjadi identik.

Kehilangan air selama proses pemanggangan lewat penguapan ataupun hilang bersama dengan lemak intramuskular, menentukan kadar juiciness daging tersebut, jumlah penyusutan dan porsi rendemen berat dapat dimakan dari produk. Oleh karena itu, sebuah termometer biasa digunakan untuk mengukur suhu internal daging yang dimasak. Oleh karena itu keadaan

overcooking, yang dapat menyebabkan produk akhir terlalu kering dan keras, dapat dihindari namun keamanan dari kontaminasi mikroba tetap terjaga.

(15)

III.

METODOLOGI PENELITIAN

A.

BAHAN DAN ALAT

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu karkas ayam, isolat

Campylobacter jejuni (Balitvet Bogor), alkohol 70%, akuades, media agar Columbia Broth Preston Agar (CBPA), darah kuda lisis, dan media Brain Heart Infusion (BHI) Broth. Sedangkan alat yang digunakan adalah oven listrik, tabung reaksi bertututup, alat anoxomat, cawan petri, erlenmeyer, pipet steril, gelas piala, vorteks, bunsen, laminar air flow, plastik tahan panas, autoklaf dan inkubator 420 C.

B.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini meliputi penelusuran data sekunder mengenai prevalensi dan tingkat cemaran Campylobacter jejuni pada karkas ayam serta penentuan tingkat laju penurunan cemaran

Campylobacter jejuni pada proses pemanggangan ayam untuk menentukan risiko paparan

Campylobacter jejuni dan menentukan peluang infeksi Campylobacter jejuni akibat konsumsi ayam panggang. Garis besar penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Garis besar penelitian

Inokulasi C. Jejuni pada karkas ayam steril

Simulasi pemanggangan pada suhu dan waktu komersial

Kuantifikasi C. jejuni

Pengumpulan data sekunder -Prevalensi (p)

-Tingkat cemaran (c) Penentuan tingkat penurunan

cemaran

Penentuan risiko paparan C. jejuni pada konsumsi ayam panggang

(16)

15

1.

Prevalensi dan Tingkat Cemaran

C. jejuni

Data prevalensi dan tingkat cemaran Campylobacter jejuni yang digunakan untuk menghitung risiko konsumsi ayam panggang kali ini didapat dengan penelusuran data sekunder dari studi beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya.

2.

Pengaruh Suhu dan Waktu Pemanggangan Terhadap Sel

C. jejuni

a.

Persiapan kultur

C. jejuni

Persiapan kultur dilakukan dengan mengambil sebanyak 1 ose awetan kultur

Campylobacter ke dalam 10 ml media BHI broth. Selanjutnya diinkubasi selama 48 jam pada suhu 42 0C. Setelah inkubasi, dilakukan penghitungan kuantitas sel

Campylobacter jejuni sebelum diinokulasikan ke sampel

.

b.

Persiapan Sampel ayam panggang

Karkas ayam dicuci dengan air keran hingga bersih. Setelah itu karkas ayam di pasteurisasi pada suhu 80 0C selama 15 menit. Sebelum kultur Campylobacter

diinokulasikan, ayam didinginkan hingga mencapai suhu ruang.

c.

Penentuan faktor reduksi koloni

Campylobacter jejuni

dengan

pemanggangan

Pada tahap ini ingin diketahui jumlah penurunan sel Campylobacter jejuni

yang terjadi selama proses pemanggangan dengan suhu dan waktu yang digunakan oleh pedagang ayam panggang oven komersial. Setelah dilakukan beberapa survei ke pedagang ayam panggang komersial di didapat bahwa suhu dan waktu rata-rata yang mereka gunakan untuk memanggang ayam adalah 150 0C selama 70 menit.

Reduksi Campylobacter jejuni didapat dengan membandingkan jumlah koloni awal setelah karkas diinokulasi dengan jumlah koloni setelah pemanggangan. Inokulasi campylobacter dilakukan dengan membilas karkas dengan 250 ml larutan yang mengandung 106 CFU/ml Campylobacter jejuni. Setelah diinokulasi, Jumlah dilakukan sampling karkas untuk menghitung jumlah Campylobacter jejuni awal. Sampel kemudian dipanggang dengan suhu dan waktu yang digunakan oleh pedagang ayam panggang komersial (150 0C selama 70 menit). Setelah itu ayam didinginkan dan kemudian dihitung jumlah C. jejuni yang tersisa setelah pemanggangan dengan metode BAM

.

c.1. Persiapan media

Media untuk menghitung jumlah Campylobacter jejuni dibuat dengan melarutkan 18.5 gram CAB ( Columbia Agar Base) ke dalam 500 ml air suling.

Untuk membantu proses pelarutan media, dilakukan pemanasan diatas hot plate

sambil dilakukan pengadukan. Setelah media larut dalam aquades, kemudian

(17)

16 5 % defibrinated blood dan suplemen preston. Setelah itu media dipindahkan ke cawan petri steril dan ditunggu hingga membeku.

c.2. Penghitungan

Campylobacter jejuni

Sebanyak 25 gram sampel daging ayam diambil secara acak dekat bagian tunggir, paha, dada, dan dekat bagian leher dari karkas ayam. Daging ayam yang telah ditimbang tersebut kemudian dimasukkan ke dalam kantong plastik steril dan ditambahkan 225 larutan pengencer secara aseptis. Selanjutnya sampel dihancurkan dengan stomacher selama 2 menit dengan kecepatan 260 rpm sehingga diperoleh pengenceran 101. Dari pengenceran tersebut kemudian dibuat beberapa tingkat pengenceran lagi yang menghasilkan jumlah koloni 25-250 dan dilakukan pemupukan secara duplo.

Pemupukan dilakukan dengan memindahkan 0.1 ml larutan sampel ke cawan yangtelah berisi media selektif Campylobacter jejuni. Sampel diratakan dengan

hockey stick. Setelah itu cawaan diinkubasi secara terbalik selama 48 jam dengan suhu 42 0C dalam kondisi mikroaerofilik (6% O2) yang diatur dengan menggunakan alat anoxomat. Setelah inkubasi, jumlah koloni yang terbentuk pada cawan dihitung berdasarkan metode BAM.

Gambar 5. Diagram alir penentuan reduksi Campylobacter jejuni selamapemanggangan

3.

Risiko Paparan

Campylobacter jejuni

Pada Ayam Panggang

Kajian paparan adalah evaluasi mengenai kemungkinan asupan bahaya melalui pangan atau sumber lain yang relevan. Pada kajian paparan, evaluasi dilakukan tehadap bahaya mikrobiologis yang terdapat dalam produk pangan pada waktu dikonsumsi. Proses ini menggabungkan informasi ketersediaan dan konsentrasi mikroba dalam suplai pangan konsumen dan lingkungan, dan kemungkinan jumlah bervariasi dalam pangan. Informasi atas ketersediaan dan konsentrasi bahaya meliputi jumlah patogen dan porsi penyajian pangan.

Suspensi C. jejuni dalam BHI broth

Inokulasi C .jejuni pada karkas ayam ( 106 CFU/ml)

Karkas ayam yang terinokulasi C. jejuni

Pemanggangan ayam ( 150 0C selama 70 menit)

(18)

17 Risiko paparan Campylobacter jejuni pada ayam panggang dapat diketahui dari rumus :

Risiko paparan=[c] x p x T x f

Dimana [c] = konsentrasi C. jejuni pada ayam panggang p = prevalensi C. jejuni

T = laju penurunan sel C. jejuni setelah pemanggangan f = jumlah konsumsi ayam panggang per porsi

Data-data pendukung untuk menghitung risiko paparan Campylobacter jejuni pada konsumsi ayam panggang didapatkan dari tahap penelitian sebelumnya. Dari penghitungan ini nantinya akan didapat jumlah Campylobacter jejuni yang terdapat pada satu porsi produk ayam panggang yang berpotensi untuk terpapar ketika dikonsumsi. Pada penelitian ini bentuk kajian yang dilakukan adalah model deterministik yang menggunakan perkiraan tunggal sebagai data input.

4. Peluang infeksi

Hubungan antara tertelannya (ingestion) sejumlah tertentu mikroba dan kemungkinan terjadi akibatnya dapat dideskripsikan dengan model dosis-respon. Model matematis digunakan untuk mengekstrapolasi data yang berasal dari data dosis tinggi ke respon dengan dosis rendah atau sebaliknya. Model dosis respon yang digunakan adalah

eksponensial dan beta-poisson. Peluang terjadinya infeksi dapat dihitung dengan: Model eksponensial : Pi = 1- exp (-r x N)

Dengan Pi adalah peluang terjadinya infeksi, r adalah peluang interaksi dengan inang, dan N adalah jumlah mikroba yang tertelan

Model beta-poisson : PI = [1-(1+N/β)] -α

Dengan Pi adalah peluang terjadinya infeksi, N adalah jumlah mikroba yang tertelan,

serta α dan β adalah parameter spesifik untuk patogen.

Nilai parameter r yang digunakan dalam perhitungan pada penelitian ini adalah 3.52x10-6 (Medema et al. 1996) sedangkan nilai α dan β yang digunakan adalah α=0.145 dan

β=7.589 (Teunis dan Havelaar 2000) serta α=0.21 dan β=59.95 (FAO/WHO 2001).

5.

Simulasi

worst case

Pada tahap ini dilakukan metode penghitungan yang sama dengan metode penghitungan risiko paparan dan peluang infeksi. Namun, data yang digunakan adalah estimasi bahwa terjadi keadaan terburuk, yaitu data yang diambil diasumsikan bahwa prevalensi dan kontaminisasi berada pada level tertinggi. Dan reduksi Campylobacter jejuni

(19)

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A.

PREVALENSI DAN TINGKAT CEMARAN

C. jejuni

PADA KARKAS

MENTAH

Campylobacter adalah penyebab utama infeksi enteritis pada manusia di banyak negara-negara berkembang (Anonim 1999, 2001; WHO 2000). Kebanyakan kasus infeksi yang disebabkan oleh Campylobacter digolongkan sebagai kasus tunggal, jarang ditemukan kasus yang mewabah (Friedman 2000). Di Indonesia, dari 2.812 bakteri patogen yang diisolasi dari penderita diare yang dirawat di rumah sakit di beberapa kota Indonesia, terdeteksi bahwa 3,6 % nya disebabkan oleh Campylobater jejuni (Tjaniadi et al. 2003). Data tersebut berpotensi jauh lebih besar dari kondisi sebenarnya, karena kebanyakan kasus diare di Indonesia tidak dilaporkan dan tidak sampai pada tahap perawatan di rumah sakit.

Belum diketahui data yang menunjukkan jumlah kasus campylobacteriosis yang disebabkan oleh produk olahan ayam, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Namun, tingginya tingkat prevalensi Campylobacter dalam karkas ayam yang dijual secara eceran dan fakta bahwa penanganan unggas mentah dan konsumsi produk unggas adalah faktor risiko penting dalam kasus campylobacteriosis, menunjukkan bahwa ayam berperan penting dalam transfer

Campylobacter ke manusia (Neimann 2001). Selain itu, konsumsi pangan kurang matang, konsumsi produk daging-dagingan di restauran, konsumsi air mentah dan susu yang tidak dipasteurisasi juga dianggap sebagai sebagai faktor risiko penyebab campylobacteriosis pada manusia.

Pada penelitian ini, nilai prevalensi dan jumlah cemaran Campylobacter jejuni pada karkas ayam mentah didapatkan dari studi pustaka penelitian-penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya. Nilai prevalensi menunjukkan jumlah sampel positif tercemar Campylobacter jejuni

per total sampel yang dianalisis. Sedangkan nilai konsentrasi atau jumlah cemaran menunjukkan

banyaknya jumlah koloni Campylobacter jejuni yang terdapat dalam satu karkas ayam mentah

.

1.

Prevalensi

Campylobacter jejuni

pada karkas ayam mentah

Menurut McClure dan Blackburn (2003), sejumlah survey tentang produk unggas mentah eceran dan produk unggas lainnya di beberapa negara dilaporkan terkontaminasi

Campylobacter dengan tingkat kontaminasi 3.7% sampai 93.6%. Poeloengan dan Noor (2003), mengevaluasi tingkat kontaminasi Campylobacter jejuni pada sampel ayam dari beberapa pasar tradisional dan supermarket yang ada di daerah Jakarta Selatan, Tangerang, Sukabumi, dan Bogor. Dari evaluasi tersebut, didapatkan sebanyak 26 sampel positif tercemar Campylobacter jejuni dari 115 sampel yang diteliti. Hal ini berarti prevalensi cemaran Campylobacter jejuni dari sampel yang dianalisis adalah 22.61% atau 0.23. Dari isolasi yang dilakukan diketahui bahwa tingkat cemaran Campylobacter jejuni lebih besar pada sampel yang berasal dari supermarket yaitu 16 sampel positif dari 58 sampel yang dianalisis atau sebesar 27.5%. Sementara, dari pasar tradisional teridentifikasi 10 sampel positif dari 57 sampel yang dianalisis atau sebesar 17.5%.

(20)

19 tradisional dan 13.33 sampel positif dari 15 sampel yang dianalisis dari sampel yang diambil di supermarket. Sehingga dari total 70 sampel yang dianalisis, didapatkan 11 sampel positif tercemar Campylobacter jejuni. Dari hasil tersebut didapatkan tingkat isolasi Campylobacter jejuni sebesar 15,7% yang berarti nilai prevalensinya sebesar 0.16%.

Lebih lanjut, Nanang (2008) melakukan penentuan prevalensi cemaran

Campylobacter jejuni pada sampel potongan karkas ayam di wilayah Bogor dan Jakarta. Hasilnya, didapatkan tingkat prevalensi cemaran Campylobacter jejuni di pasar tradisional wilayah Bogor sebesar 16.7% dan pasar modern mencapai 41.7% dari total 48 sampel karkas ayam. Sementara untuk wilayah Jakarta, tingkat prevalensi cemaran Campylobacter jejuni di pasar tradisional adalah sebesar 33.3%, sedangkan pada pasar modern (supermarket) sebesar 55.6%. Dari hasil tersebut didapat rata-rata tingkat prevalensi cemaran Campylobacter jejuni

dari total 84 sampel karkas ayam yang diambil dari wilayah Bogor dan Jakarta adalah sebesar 35.7% atau 0.36.

Poeloengan dan Noor (2003) menjelaskan bahwa hasil isolasi Campylobacter jejuni

yang lebih besar ditemukan pada sampel yang berasal dari supermarket dimungkinkan karena tingginya tingkat cemaran coliform pada sampel asal pasar tradisional sehingga menghambat pertumbuhan Campylobacter jejuni. Tingginya cemaran coliform ini disebabkan karena tempat penjualan karkas ayam di pasar tradisional pada umumnya tidak menggunakan pendingin seperti di supermarket, sehingga memudahkan pertumbuhan bakteri-bakteri pembusuk. Kemungkinan lain adalah bakteri Campylobacter jejuni di sampel asal pasar tradisional telah mati karena bakteri ini sangan sensitif terhadap panas dan juga tidak mengalami multiplikasi pada suhu ruang (Shane 2000). Selain itu, beberapa penjual ayam di pasar tradisional ada yang menambahkan formalin dalm konsentrasi tingkat kecil waktu pencucian karkas dengan maksud agar karkas tidak mudah rusak sehingga diduga bakteri telah mati pada waktu pencucuian tersebut.

Ketiga data prevalensi cemaran Campylobacter jejuni pada karkas ayam mentah dapat dilihat di Tabel 4.

Tabel 4. Data prevalensi cemaran Campylobacter jejuni pada karkas ayam mentah

Jumlah Sampel Jumlah sampel positif

C jejuni

Prevalensi Sumber

84 30 0.36 Nanang 2008

70 11 0.16 Abdy 2007

115 26 0.23 Poeloengan 2003

Total sampel = 269 Total positif = 67 Prevalensi = 0.25

2.

Tingkat cemaran

Campylobacter jejuni

pada karkas ayam mentah

Data konsentrasi jumlah cemaran Campylobacter jejuni yang digunakan dalam penentuan risiko Campylobacter jejuni kali ini didapatkan dari beberapa sumber studi yang dilakukan sebelumnya. Metode yang sama juga dilakukan oleh Rosenquist et al. (2002), dimana apabila data tidak didapatkan dari hasil penelitian di dalam negeri, maka dapat digunakan data dari hasil penelitian di negara lain.

(21)

20 diketahui bahwa kulit dan jeroan memiliki tingkat kontaminasi yang sangat tinggi. Jørgensen

et al. (2002), menghitung jumlah cemaran Campylobacter jejuni dari 181 sampel yang diambil di wilayah Preston dan Exeter, Inggris. Dari penelitian yang dilakukan didapatkan rata-rata 5.500 CFU Campylobacter jejuni per karkas ayam yang dianalisis. Dengan asumsi bahwa tiap karkas memiliki bobot 1000 gram, berarti total terdapat 5.5 x 103 koloni

Campylobacter jejuni terkandung tiap 100 gram sampel. Hasil penghitungan yang dilakukan oleh Jørgensen (2002) dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Jumlah cemaran Campylobacter jejuni di ayam mentah (Jørgensen et al.

2002)

Data selanjutnya didapat dari EFSA (2008), Sebanyak 10.132 sampel daging ayam diambil dari 561 rumah pemotongan hewan di 26 negara anggota Uni Eropa dan dua negara yang tidak termasuk ke Uni Eropa. Kemudian dipilih secara acak masing masing 10 ayam broiler, dikumpulkan dan dianalisis keberadaan dan jumlah cemaran Campylobacter jejuni. Dari hasil penelitian yang dilakukan diketahui Campylobacter jejuni terdeteksi di karkas yang dianalisis dengan jumlah rata-rata 2.8 x 103 CFU per 100 gram. Data jumlah cemaran

Campylobacter jejuni per 100 gram sampel dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Data jumlah cemaran Campylobacter per 100 gram sampel

Konsentrasi C jejuni (CFU/100 gram)

Sumber 5.5 x 102 Jorgensen et al. 2002

1 x 103 Altekruse et al. 1999

2.8 x 103 EFSA 2008

(22)

21 Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk mengisolasi dan menghitung sel

Campylobacter jejuni dari sampel. Metode-metode ini dirancang dengan memperhatikan kondisi dan prasyarat tumbuhnya koloni Campylobacter jejuni. Hal ini dikarenakan bakteri ini sulit untuk diisolasi berkaitan dengan sifatnya yang dapat menjadi sel viable but non culturable (VNBC). Menurut McClure dan Blackburn (2003), Campylobacter jejuni

dianggap mampu membentuk sel VNBC, walaupun sel tersebut aktif secara metabolik dan menunjukkan tanda-tanda aktif berespirasi, tetapi sel tersebut tidak dapat diperoleh kembali melalui teknik pertumbuhan (culturing) biasa.

Pembentukan sel VNBC terjadi karena terekspos oleh kondisi lingkungan yang merugikan bagi Campylobacter jejuni. Kondisi yang dimaksud seperti terekspos dengan udara, pengeringan, pH rendah, pemanasan, pembekuan, dan waktu simpan yang terlalu lama (BAM, 2001). Sel VNBC Campylobacter jejuni dapat bersifat kokus maupun tidak kokus. Jika sel Campylobacter jejuni ingin dikembalikan ke bentuk awal maka lebih efektif jika sel ini masuk ke dalam usus inangnya yaitu hewan berdarah panas seperti unggas ataupun mamalia. Oleh karena itu dibutuhkan metode yang tepat untuk mengkultur Campylobacter jejuni.

Metode yang digunakan untuk mendapatkan data-data prevalensi dan konsentrasi

Campylobacter jejuni diatas rata-rata menggunakan metode BAM. Dua puluh lima gram sampel diambil secara acak dari bagian karkas kemudian di bilas dalam 225 ml BPW, Setelah itu dilakukan proses pembilasan (rinsing) dengan cara digosok-gosok atau dengan bantuan alat stomacher selama 2-3 menit. Selanjutnya, untuk mengisolasi Campylobacter jejuni

ditambahkan darah kuda lisis sebanyak 5%. Setelah itu dilakukan tahap pre enrichment

dengan menginkubasi pada suhu 30 oC selama 3 jam dan 37 oC selama 4 Jam di kondisi mikroaerofilik. Kemudian dilakukan tahap enrichment dengan menginkubasi sampel selama 20-44 jam pada suhu 42 oC. Setelah inkubasi, dilakukan plating ke cawan petri yang telah berisi media agar isolasi. Inkubasi kemudian dilakukan pada suhu 42 oC selama 24-48 jam dan setelah itu diamati jumlah koloni yang tumbuh pada cawan.

B.

PENGARUH PEMANGGANGAN TERHADAP REDUKSI KOLONI

Campylobacter jejuni

Pada penelitian ini, isolat Campylobacter jejuni diinokulasikan pada karkas ayam yang telah dipasteurisasi, kemudian dipanggang dan dihitung jumlah penurunan (reduksi) koloni

Campylobacter jejuni antara sebelum dan sesudah pemanggangan. Isolat Campylobacter jejuni

didapat dengan menumbuhkan kultur pada media brain heart infusion (BHI) broth selam 48 jam.

Media ini merupakan media pertumbuhan yang bagus untuk mikroorganisme fastidious seperti

Campylobacter jejuni. Media ini memiliki kandungan nutrisi lebih banyak dan pH media mencapai 7.4± 0.2 merupakan pH yang baik bagi pertumbuhan Campylobacter. Broth enrichment

untuk Campylobacter jejuni umumnya adalah media yang bersifat basa (Banwart 1989). Waktu inkubasi 48 jam diambil karena pada kondisi bakteri pada waktu ini sudah memasuki tahap stasioner (Abdy 2007). Kondisi bakteri relatif lebih tahan terhadap lingkungan dan bakteri tidak bertumbuh lagi secara eksponensial maupun berkurang secara drastis (Buckle et al. 1987)

Suhu dan waktu yang digunakan didasarkan pada suhu dan waktu yang digunakan oleh pedagang ayam panggang komersial yaitu suhu 150 0C selama 70 menit. Sampel dianalisis pada menit ke 30 dan menit ke 70. Konsentrasi Campylobacter jejuni di karkas ayam sebelum pemanggangan adalah rata-rata 2.44 log CFU/gram. Hasil penurunan jumlah koloni

(23)

22 Tabel 6. Hasil penurunan jumlah koloni Campylobacter jejuni akibat pemanggangan

Ulangan Perlakuan

Jumlah C. Jejuni

(Log10 CFU)

Jumlah C. Jejuni Tereduksi

30 menit

70 menit

1 Awal 2.34 >1.34 >1.34

Pemanggangan 30 menit <1.0

Pemanggangan 70 menit <1.0

2 Awal 2.38 >1.38 >1.38

Pemanggangan 30 menit <1.0

Pemanggangan 70 menit <1.0

3 Awal 2.59 >1.59 >1.59

Pemanggangan 30 menit <1.0

Pemanggangan 70 menit <1.0

4 Awal 2.68 >1.68 >1.68

Pemanggangan 30 menit <1.0

Pemanggangan 70 menit <1.0

5 Awal 2.14 >1.14 >1.14

Pemanggangan 30 menit <1.0

Pemanggangan 70 menit <1.0

6 Awal 2.47 >1.47 >1.47

Pemanggangan 30 menit <1.0

Pemanggangan 70 menit <1.0

7

Awal 2.50 >1.50 >1.50

Pemanggangan 30 menit <1.0

Pemanggangan70 menit <1.0

Dari hasil yang didapat, diketahui bahwa pada menit ke 30 sudah tidak ditemukan lagi adanya koloni Campylobacter jejuni. Sehingga reduksi Campylobacter jejuni akibat pemanggangan pada suhu 150 0C berdasarkan penelitian yang dilakukan adalah sekitar 2 log CFU/gram. Campylobacter jejuni memang peka terhadap panas, tidak tahan terhadap suhu pemasakan atau pasteurisasi.

Pemanasan yang tidak cukup sehingga produk menjadi kurang matang (undercooked)

dianggap sebagai penyebab kasus Campylobacteriosis (EFSA 2008). Namun, berdasarkan hasil yang didapat, ternyata pemanasan 30 menit sudah cukup untuk mengeliminasi jumlah

(24)

23 Pada dasarnya, setiap produk pangan memiliki tingkah laku yang berbeda oleh pengaruh pemanasan sehingga akan sangat berguna apabila mengetahui kinetika penurunan mutu oleh panas. Secara umum, kinetika penurunan mutu lebih lambat dibandingkan dengan kinetika pembunuhan mikroba. Artinya, inaktivasi mikroba oleh pemanasan lebih cepat dibandingkan laju penurunan mutu. Temperatur tinggi melebihi temperatur maksimum akan menyebabkan denaturasi protein dan enzim. Hal ini akan menyebabkan terhentinya metabolisme. Dengan nilai temperatur yang melebihi maksimum, mikroba akan mengalami kematian. Mikroba memiliki ketahanan panas yang berbeda-beda. Ketahanan panas mikroba tergantung pada sejumlah faktor yang harus dipertimbangkan dengan matang. Ada tiga kategori yang berhubungan dengan faktor-faktor ini, yaitu karakteristik pertumbuhan mikroba, sifat makanan dimana mikroba ini dipanaskan, dan jenis makanan dimana mikroba yang telah dipanaskan ini

Ketahanan panas diantara spesies mikroorganismedipengaruhi oleh suatu suhu optimum untuk pertumbuhannya. Mikroorganisme yang bersifat psikrofilik merupakan organisme yang paling sensitif terhadap pemanasan, diikuti oleh mikroorganisme mesofilik, dan paling tahan panas adalah mikroorganisme thermofilik. Bakteri pembentuk spora pada umumnya lebih tahan panas dibandingkan dengan bakteri yang tidak membentuk spora, dan bakteri pembentuk spora yang bersifat thermofilik lebih tahan panas daripada bakteri pembentuk spora yang bersifat mesofilik. Jika dilihat dari sifat pewarnaan gramnya, bakteri gram negatif, dan bakteri berbentuk bulat (kokus) lebih tahan panas dari pada bakteri berbentuk batang yang tidak membentuk spora.

Campylobacter jejuni adalah mikroorganisme yang rentan terhadap tekanan lingkungan seperti pemanasan, pengasaman pembekuan, dan tekanan hidrostatik tinggi (Martínez-Rodríguez & Mackey 2005). Sagarzazu et al. (2010) membuktikan bahwa Campylobacter jejuni sensitif terhadap panas dengan nilai D pada 55 0C dan pH 7.2 adalah 2 menit dan nilai z nya adalah 4.40 0

C. Ketika terjadi peningkatan keasaman media, kepekaan bakteri ini terhadap panas juga semakin bertambah. Lebih lanjut, Sagarzagu et al. (2010) menyatakan bahwa Campylobacter jejuni tidak meningkatkan resistensi mereka terhadap panas ketika bakteri tersebut masuk ke fase stasioner.

Dilihat dari sifatnya, Campylobacter jejuni merupakan spesies termofilik yang tidak bermutiplikasi dibawah suhu 320C. Namun pemanggangan pada suhu 150 0C selama 70 menit sudah cukup untuk membunuh Campylobacter jejuni. Menurut Stern (2000) pemasakan daging gilingyang mengandung 106 Campylobacter jejuni per gram sampel dengan suhu internal 60 0C selama 10 menit, menyebabkan bakteri sudah tidak terdeteksi. Nilai D pada suhu 60 0C pada daging adalah kurang dari 1 menit. Sementara nilai D nya dalam susu skim pada suhu 48 oC adalah 7.2 -12.8 menit, pada suhu 55 oC adalah 0.2-2.3 menit.

(25)

24 Tabel 7. Data reduksi Campylobacter jejuni pada proses pemanggangan

Ulangan Reduksi

1 10/2340

2 10/2380

3 10/2590

4 10/2680

5 10/2140

6 10/2470

7 10/2500

Rata-rata 10/2431.5 = 0.004113

Pada perhitungan reduksi jumlah koloni Campylobacter jejuni digunakan asumsi bahwa koloni yang tersisa setelah pemanggangan adalah 10 koloni per gram. Hal ini digunakan karena tidak ditemukan koloni Campylobacter jejuni yang tumbuh setelah dilakukan plating. Oleh karena itu dianggap jumlah akhir Campylobacter jejuni setelah pemanggangan diasumsikan sesuai dengan limit deteksi yaitu ada 10 koloni tersisa. Kemudian reduksi koloni Campylobacter jejuni dihitung dengan membandingkannya dengan jumlah koloni awal sebelum pemanggangan. Perhitungan yang dilakukan pada penelitian ini didasarkan pada jumlah awal mikroba sekitar 2 log CFU. Maka jika dibandingkan dengan jumlah akhir koloni pada taraf limit deteksinya, didapat nilai penurunan jumlah koloni Campylobacter jejuni akibat pemanggangan adalah 2 log CFU. Oleh karena itu, nilai perhitungan penurunan jumlah koloni ini bisa jadi lebih besar jika data koloni awal yang didapat juga lebih besar.

C.

RISIKO PAPARAN

Paparan Campylobacter jejuni sebagai akibat dari konsumsi ayam panggang dengan suhu pemanggangan 150 0C selama 70 menit didasarkan pada data prevalensi dan jumlah cemaran Campylobacter jejuni yang telah diuraikan sebelumnya. Maka, jumlah paparan

Campylobacter jejuni yang mungkin dikonsumsi per porsinya dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Hasil perhitungan dosis Campylobacter jejuni setelah pemanggangan

Variabel/proses Satuan/rumus Rerata

P Prevalensi daging ayam tercemar positif C jejuni

- 0.25

N Tingkat cemaran C jejuni pada daging ayam mentah

CFU/100 gram 1.5 x 103

R Faktor reduksi pemanggangan - 10/2431.5

Cv Tingkatan Cemaran pada ayam panggang

P x N x R (CFU/100 gram)

1.5

Ce Dosis patogen per porsi ayam panggang

Cv x Ukuran penyajian (CFU)

1.5

(26)

25 Berdasarkan perhitungan yang dilakukan, diketahui bahwa satu porsi ayam panggang mengandung 1.5 koloni Campylobacter jejuni per porsi yang dikonsumsi.Hasil ini relatif sangat kecil bila dibandingkan dengan jumlah sel awal yang berpotensi dapat menyebabkan infeksi dan penyakit lebih lanjut . Dari sini dapat dilihat bahwa pemanggangan sebenarnya cukup efektif dalam menekan jumlah cemaran Campylobacter jejuni. Kontaminasi selanjutnya dapat terjadi akibat dari kontaminasi silang akibat penanganan pasca pemasakan, seperti penyajian yang berdekatan dengan karkas ayam yang masih mentah atau penggunaan alat masak atau alat makan yang terkontaminasi.

Sejumlah metode dekontaminasi secara kimia dan fisik telah diteliti untuk mengendalikan tingkat Campylobacter dan patogen manusia lain pada ayam karkas ayam antara lain pembekuan, ozonisasi, super klorinasi, penambahan asam organik dan pasteurisasi uap (Whyte et al. 2003). Hanninen (1981 dalam Rosenquist 2003) menyatakan bahwa pembekuan dapat menurunkan konsentrasi Campylobacter jejuni hingga sekitar 2 log. Klorinasi juga dapat digunakan untuk meminimalisasi jumlah Campylobacter jejuni (Stern dan Line 2000). Abdy (2007) menjelaskan bahwa asam asetat 3% juga dapat dengan efektif mereduksi Campylobacter jejuni hingga 2 log CFU/ml pada waktu kontak 5 menit.

Pemberian bumbu rempah pada karkas saat proses pemasakan juga dapat mengurangi jumlah cemaran Campylobacter jejuni. Studi yang dilakukan oleh González dan

Hänninen(2011) menunjukkan bahwa kombinasi bumbu dapat mereduksi C. jejuni di kisaran 1.09-1.66 log CFU selama tujuh hari penyimpanan pada suhu 4 0C. Diketahui juga bahwa reduksi paling terjadi paling cepat pada fase awal (inisiasi) dari jangka waktu penyimpanan.

Walaupun Campylobacter jejuni adalah bakteri yang sangat rentan pada perlakuan antimikroba, pengolahan dan faktor lingkungan seperti yang dijelaskan diatas, tetapi bakteri ini masih terus menyebabkan peningkatan kasus foodborne disease pada manusia (Mc Clure dan Blackburne 2003). Oleh karena itu perlu dilakukan manajemen pengendalian risiko yang tepat untuk menekan kasus ini dengan dukungan data-data kajian risiko.

D.

PELUANG INFEKSI

Hubungan positif antara paparan patogen sel Campylobacter jejuni dan kemungkinan infeksi campylobacteriosis telah dikemukakan oleh Black et al. (1988). Hubungan ini menunjukkan bahwa penurunan jumlah Campylobacter jejuni dalam produk unggas komersial dapat mengakibatkan pengurangan kejadian campylobacteriosis dan sebaliknya.

Stern et al. (1992) menyatakan bahwa Campylobacter jejuni dapat menyebabkan penyakit pada manusia dengan jumlah sedikitnya 500 sel . Pada kasus keracunan pangan di restoran, jumlah sel Campylobacter jejuni yang terkandung dalam ayam penyebab keracunan diperkirakan berkisar antara 54 sampai 750 Campylobacter jejuni per gram (Rosenfield et al. 1985). Hasil ini menunjukkan bahwa dosis infektif Campylobacter jejuni relatif rendah.

(27)

26 dosis antara 800 sampai 20.000.000 organisme sel meyebabkan penyakit diare (Black et al. 1988).

Model dosis respon yang biasa digunakan untuk menghitung peluang infeksi adalah model eksponensial dan model beta poisson. Hasil perhitungan peluang infeksi dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Peluang terjadinya infeksi Campylobacter jejuni setelah mengonsumsi ayam panggang tercemar per porsi

Variabel/proses Satuan/rumus Rerata

Ce Dosis pathogen per porsi ayam

panggang (CFU/100 gram)

1.5

Pdr

Peluang Infeksi per porsi ayam panggang (model eksponensial) r= 3.52 x10-6

1-e-(r x Ce) 5.27x10-6

Peluang Infeksi per porsi ayam panggang (model beta-poisson)

α= 0.145, β =7.589 (Teunis dan Havelaar 2000)

1-(1+ )-α 2.5x10-3

Peluang Infeksi per porsi ayam panggang (model beta-poisson)

α= 0.21, β=59.95 (FAO/WHO 2001)

1-(1+ )- α 5.17x10 -3

Model peluang infeksi ini diartikan sebagai jumlah organisme yang terpapar yang memungkingkan seseorang mengalami kemungkinan infeksi Campylobacter jejuni. Pada perhitungan ini, dua model coba digunakan yaitu model eksponensial dan model beta-poisson. Nilai alfa dan beta yang digunakan didapat dari estimasi model Teunis dan Havelaar (2000) yang

memberikan nilai α= 0.145 dan β =7.589 serta model yang telah dilakukan oleh FAO/WHO (2001) yang memberikan nilai α= 0.21 dan β=59.95. Kedua model tersebut digunakan dan

kemudian dibandingkan hasilnya. Nampak hasil yang lebih besar didapat pada perhitungan dengan model beta poisson, namun perbedaan nilai alfa dan beta pada model beta poisson antara FAO/WHO(2001) dan Teunis dan Havelar (2000) menghasilkan perbedaan data yang tidak terlalu besar.

Data pada tabel 9 dihitung berdasarkan faktor reduksi dengan jumlah akhir

Campylobacter jejuni berada pada limit deteksinya, yaitu pada cawan tidak ditemukan koloni yang tumbuh. Nilai peluang infeksi bisa jadi lebih kecil dari perhitungan karena nilai reduksi akibat pemanggangan kemungkinan lebih besar dari yang didapat.

Nilai peluang infeksi dapat diartikan sebagai berapa banyak kemungkinan orang terinfeksi per suatu populasi. Sebagai contoh, dari hasil perhitungan peluang infeksi dengan model beta poisson didapat nilai peluang sebesar 5.17 x 10-3. Hasil ini berarti 5 dari 1000 orang berpeluang terinfeksi Campylobacter jejuni akibat mengonsumsi ayam panggang.

(28)

27 Sebagai contoh, Rosenquist et al. (2003) menyatakan bahwa di denmark, usia 18-29 tahun ternyata memiliki risiko infeksi Campylobacter yang lebih besar dibanding kelompok usia lainnya. Hasil perhitungan model dosis-respon juga dipengaruhi oleh faktor mikrobiologis, faktor inang, faktor matriks makanan, sumber data yang dipakai, dan model empiris yang digunakan (Buchanan 2000).

Pada penelitian ini tidak dilakukan perhitungan lebih lanjut berdasarkan jumlah dan pola konsumsi. Selain itu ada data-data asumsi dan sumber data sekunder dari penelitian luar negeri yang digunakan. Apabila digunakan data primer atau data yang berbeda atau asumsi yang juga berbeda, kemungkinan akan dihasilkan perhitungan yang berbeda. Calistri dan Giovanni (2008) menyatakan bahwa asumsi-asumsi yang melatarbelakangi perhitungan model matematis sangat mempengaruhi kerepresentatifan hasil yang didapat.

Dari perhitungan diatas, peluang infeksi Campylobacter jejuni setelah mengonsumsi satu porsi ayam panggang yang tercemar relatif kecil terutama untuk perhitungan dengan menggunakan model eksponesial dimana hanya terjadi peluang infeksi 5 dari 1.000.000 konsumsi ayam panggang, namun untuk perhitungan dengan model beta-Poisson nilainya masih relatif besar yaitu 3 dari 1000 orang untuk perhitungan dengan nilai α dan β Teunis dan Havelaar (2000) dan 5 dari 1000 orang untuk perhitungan dengan nilai α dan β FAO/WHO (2001). Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, proses pemanggangan sebenarnya sudah efektif untuk dapat mengeliminasi jumlah cemaran Campylobacter jejuni yang mengkontaminasi karkas mentah. Pada perhitungan kali ini digunakan nilai reduksi pemanggangan dengan jumlah akhir mikroba pada limit deteksi, sehingga nilai reduksi yang seharusnya terjadi kemungkinan dapat lebih besar dari yang didapat pada perhitungan kali ini dan nilai peluang infeksi dapat menjadi lebih kecil.

Beberapa kasus dapat dijadikan sebagai perbandingan, misalnya, Stern et

Gambar

Tabel 12. Peluang infeksi Campylobacter jejuni pada simulasi worst case
Gambar 4. Garis besar penelitian
Gambar 5. Diagram alir penentuan reduksi Campylobacter jejuni selama pemanggangan
Tabel 4.   Data prevalensi cemaran Campylobacter jejuni pada karkas ayam mentah
+7

Referensi

Dokumen terkait