DAFTAR ISI
HASIL DAN PEMBAHASAN
Selama Tahun 2011 Badan POM telah menerima pengaduan/permintaan informasi mengenai obat dan makanan sejumlah 11.276. Dibandingkan data tahun sebelumnya (2010), jumlah pengaduan/permintaan informasi ke ULPK Badan POM mengalami kenaikan sebesar 10,48% yaitu dari 10.206 menjadi 11.276. Berdasarkan jenis komoditi, dapat dilihat bahwa kelompok pengaduan/permintaan informasi yang paling banyak adalah berkaitan dengan produk pangan sebanyak 5.847 (51,85%), disusul oleh kosmetik sebanyak 1.769 (15,69%). Dari 5.749 penandaan kosmetika yang diawasi ditemukan sebanyak 1.889 (32,86%) tidak memenuhi ketentuan, yaitu produk tidak mencantumkan nama kosmetika sesuai
dengan yang disetujui, nomor bets, netto, nama dan alamat
produsen/importir/distributor/pemberi lisensi, komposisi, kegunaan dan cara penggunaan yang jelas, peringatan/perhatian, batas kadaluarsa untuk kosmetika ternotifikasi, nomor izin edar tidak sesuai dengan persetujuan; mencantumkan klaim seolah-olah sebagai obat/berlebihan dan nomor izin edar telah habis masa berlakunya (BPOM, 2012).
Menurut Media Konsumen (2006), belakangan ini jenis kosmetik yang banyak digunakan oleh wanita Indonesia adalah produk bleaching cream yang dikenal sebagai kosmetik pemutih. Produk ini banyak diminati karena menjanjikan dapat memutihkan atau menghaluskan wajah secara singkat. Hasil sampling dan pengujian kosmetik tahun 2005 terhadap 10.896 sampel kosmetik menunjukkan, terdapat 124 sampel (1,24%) tidak memenuhi syarat, diantaranya produk ilegal atau tidak terdaftar, mengandung bahan-bahan dilarang terutama hidroquinon, merkuri, asam retinoat dan rhodamin B yang digunakan untuk memutihkan kulit wajah. Selanjutnya, berdasarkan hasil pengawasan BPOM RI pada tahun 2005 dan 2006 di beberapa provinsi ditemukan 27 merek kosmetik pemutih yang mengandung bahan yang dilarang digunakan dalam kosmetik yaitu: merkuri (Hg), hidroquinon >2%, zat warna rhodamin B dan merah K.3 (Deviana, 2009). Khususnya mengenai produk pemutih, berbagai penelitian menunjukkan
bahwa 55% dari 85% wanita Indonesia yang berkulit gelap ingin agar kulitnya menjadi lebih putih.
Penelitian lain juga menunjukkan bahwa 70%-80% perempuan di Asia (yaitu: Cina, Thailand, Taiwan, dan Indonesia) ingin mempunyai kulit yang lebih putih. Pada suatu laporannya, Kompas (2001) menyajikan suatu artikel mengenai produk kosmetik pemutih wajah. Kompas menuliskan dalam laporannya bahwa kulit putih merupakan dambaan bagi banyak perempuan Asia. Walaupun tidak semua perempuan Asia berkulit sawo matang (Nandityasari, 2009). Penelitian lain yang dilakukan di salah satu pusat kebugaran kota Medan menunjukkan sebanyak 46,31% responden ternyata menggunakan kosmetik pemutih yang mengandung bahan berbahaya yaitu merkuri.
Hasil observasi dan wawancara yang dilakukan pada 15 orang mahasiswa Universitas Wangsa Manggala, pada bulan Oktober 2006 mengenai pengambilan keputusan membeli produk kosmetika pemutih, menyatakan bahwa mahasiswa cenderung percaya pada produk yang telah dipakai oleh temannya. Mahasiswa cenderung membeli produk yang memiliki kemampuan membuat kulit lebih bersih dan putih dalam waktu yang relatif cepat. Jarang meneliti tanggal kadaluarsa, komposisi bahan kosmetika, dan efek samping produk kosmetika pemutih kulit yang akan dibelinya (Yuniarsih dan Sahrah, 2010).
Peran masyarakat sebagai pengguna produk sangatlah besar. Masyarakat adalah penentu akhir apakah suatu produk akan dikonsumsinya atau tidak. Pengawasan oleh masyarakat merupakan salah satu pilar dari 3 pilar pengawasan. Oleh karena itu, pemberdayaan masyarakat juga sangat diprioritaskan oleh Badan POM. Masyarakat yang cerdas akan mampu melindungi dirinya sendiri dan memilih produk yang memenuhi syarat dan sesuai dengan kebutuhannya. Di samping itu, pemberdayaan masyarakat/konsumen terus dilakukan melalui berbagai cara, seperti membuka akses langsung melalui Unit Layanan Pengaduan Konsumen (ULPK) dan Pusat Informasi Obat dan Makanan (PIOM), mengeluarkan Peringatan Publik, penyuluhan langsung ke berbagai lapisan masyarakat, serta berbagai tulisan di media cetak (BPOM).
Selain itu, informasi yang dimiliki konsumen akan dijadikan pertimbangan dalam pengambilan keputusan membeli produk kosmetik pemutih. Informasi yang dimiliki konsumen merupakan salah satu faktor yang melindungi konsumen saat mengambil keputusan untuk membeli agar tidak merugikan (Engel, 1995).
Menurut Loundon (1993), informasi diartikan sebagai atimulus yang memberi pengetahuan dan pemahaman berdasarkan suatu fenomena yang diamati. Informasi mengandung pengetahuan tambahan yang disampaikan dari sebuah pesan sebagai stimulus yang akan mempengaruhi konsep berpikir (kognitif) seseorang dan memberi arah pada individu dalam mengambil keputusan. Hal ini berlaku juga pada informasi yang diberikan berupa informasi tentnag hak-hak konsumen sebagaimana diamanahkan oleh UU No. 8 Tahun 1999.
Media komunikasi adalah sebagai alat yang dipakai untuk melakukan komunikasi (Soekartawi, 2005). Ada berbagai macam bentuk media komunikasi yang dapat digunakan untuk menyampaikan informasi, Salah satunya ialah media cetak dalam bentuk gimmick. Komunikasi dengan media gimmick pada tulisan ini bertujuan untuk memudahkan masyarakat mengingat tentang penggunaan kosmetik yang tepat dan aman, terutama kosmetik pemutih karena didesain dalam bentuk yang menarik. Pemberdayaan masyarakat melalui media gimmick ini akan diberikan kepada wanita berusia produktif yaitu sekitar 20-35 tahun karena pengguna kosmetik pemutih banyak diminati oleh mereka.
Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Prof. Miho Saitoh dari Universitas Waseda Jepang yang menggunakan responden mahasiswi Universitas Indonesia menunjukkan kebanyakan responden ingin memiliki kulit yang lebih putih. Ada beberapa alasan mengapa perempuan Asia dan khususnya Indonesia ingin mempunyai kulit putih, anggapan kulit putih lebih baik dari kulit yang gelap, dan anggapan kulit yang cantik adalah kulit yang putih. Hal ini semakin dipertegas dengan digunakannya para model dalam iklan-iklan kecantikan dimana model tersebut umumnya adalah perempuan yang berkulit putih. Kulit putih telah menjadi citra kecantikan yang disebarkan oleh industri kosmetik (Nandit yasari, 2009) .
Hal ini didukung juga oleh penelitian yang dilakukan di Jepang bahwa 60% wanita Jepang dan 75% perempuan Cina masih menginginkan warna kulit
yang lebih putih/cerah dari warna kulit aslinya, meskipun mereka telah memiliki kulit yang putih. Menurut Indarti (2002), mengutip Shannon (1997) hasil test yang dilakukan di Amerika menggambarkan bahwa 88% perempuan yang berusia 18 tahun ke atas berusaha mempercantik diri dengan menggunakan kosmetik. Mereka merasa bahwa kosmetik tersebut membuat mereka lebih cantik dan percaya diri (Purnamawati, 2009).
Gimmick diberikan dalam bentuk tas kosmetik. Tas kosmetik dipilih
dengan alasan kemudahan untuk dibawa kemana saja dan dapat dilihat setiap hari oleh wanita ketika merias wajahnya sehingga mengingatkan wanita secara intensif tentang informasi penggunaan kosmetik pemutih yang tepat dan aman.
Gimmick tas kosmetik ini berisi informasi:
1. Cermat dalam memilih dan membeli kosmetik
Konsumen lebih rasional dan selektif dalam memilih kosmetik dan tidak mudah terbujuk iklan atau promosi yang berlebihan.
Pilihlah kosmetik yang sesuai fungsi, tujuan dan manfaatnya. 2. Cermat dalam menggunakan kosmetik
Konsumen memperhatikan dengan baik cara penggunaan produk.
Jika konsumen sedang hamil, konsultasikan pemilihan kosmetik yang aman ke dokter kulit.
Jika terjadi reaksi pada kulit menyebabkan kemerahan, gatal, melepuh atau nyeri maka hentikan penggunaan.
Jangan gunakan kosmetik milik orang lain, yang belum tentu cocok dengan jenis kulit kita.
Simpan kosmetik dengan baik.
3. Cermat membaca informasi yang tercantum pada label/kemasan kosmetik
Konsumen memperhatikan informasi yang tersedia pada label seperti cara penggunaan, kegunaan, komposisi, dan tanggal kadaluarsa
Dianjurkan pula untuk mencari informasi lengkap mengenai produk kosmetika yang digunakan.
BAB 4 KESIMPULAN
1. Pemberdayaan wanita dapat dilakukan melalui berbagai media komunikasi, salah satunya ialah media gimmick dalam bentuk tas kosmetik agar lebih menarik dan mudah diingat.
2. Tujuan pemberdayaan yang dikhususkan bagi para wanita ini ialah untuk mengubah paradigma wanita bahwa cantik itu tidah harus putih sehingga
mengurangi penyalahgunaan kosmetik pemutih berbahaya dengan
memberikan informasi yang berisi cara memilih dan menggunakan kosmetik yang aman.
DAFTAR ACUAN
Darwanto, Herry. (2003). Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan Berbasiskan
Masyarakat Terpencil.
Deviana, Nina. (2009). Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Mahasiswa Mengenai
Kosmetik Mengandung Merkuri (Hg) di Akademi Kebidanan Hafsyah Medan Tahun 2009. Medan : USU.
Draelos, Z.D., & Thaman, L.A. (Ed.). (2006). Cosmetic Formulation of Skin Care
Products. Vol. 30. New York: Taylor and Francis Group, LLC.
Departemen Kesehatan RI. (2004). Panduan Ringkas Pemberdayaan Masyarakat
di Bidang Kesehatan, Pusat Promkes. Jakarta.
Engel, James F, R.D. Blackwell and Paul W. Miniard. (1992). Perilaku Konsumen
Edisi Keenam. Jilid 1. Terjemahan oleh F.X. Budiyanto. 1994. Jakarta:
Binarupa Aksara
Menteri Kesehatan RI. (2011). Modul Pelatihan Jabatan Fungsional Sanitarian
Jenjang Terampil-Pelaksana. Jakarta.
Menteri Perindustrian RI. (2013). Indonesia Lahan Subur Industri Kosmetik. Jakarta.
Nandityasari, Ika. (2009). Hubungan Antara Ketertarikan Iklan Pond’s di Televisi
dengan Keputusan Membeli Produk Pond’s Pada Mahasiswa. Surakarta :
Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Notoatmojo, Soekijo. (2003). Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Paramita, A dan Lestari, W. (2006). Pemberdayaan Masyarakat Bidang Kesehatan di Era Otonomi Daerah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem dan
Kebijakan Kesehatan Surabaya.
Purnamawati, S.S. (2009). Perilaku Pekerja Perempuan Penyapu Jalan Terhadap Kosmetik Pemutih di Kota Medan Tahun 2009. Medan : Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat FKM USU Medan.
Syafnir, L dan Putri, A.P. (2011). Pengujian Kandungan Merkuri dalam Sediaan Kosmetik dengan Spektrofotometri Serapan Atom. Prosiding SNaPP
Sains, Teknologi, dan Kesehatan, 2089-3582.
Tampubolon, M. (2004). Pendidikan Pola Pemberdayaan Masyarakat dan Pemberdayaan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Sesuai Tuntutan Otonomi Daerah. Jurnal Pendidikan, Edisi 32.
Tranggono, R.I., & Latifah, F. (2007). Buku Pegangan Ilmu Pengetahuan
Kosmetik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Widjajanti, Kesi. (2011). Model Pemberdayaan Masyarakat. Jurnal Ekonomi
Pembangunan, Volum 12, 15-27.
Yuniarsih, R.A dan Sahrah, A. 2010. Pengambilan Keputusan Membeli Produk Kosmetika Pemutih Kulit ditinjau dari Citra Produk dan Pemberin Informasi Hak-Hak Konsumen.
http://bpom.go.id http://elib.unikom.ac.id/files/disk1/495/jbptunikompp-gdl-fitrianaln-24702-2-unikom_f-i.pdf http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/57947/BAB%20II%20Tinj auan%20Pustaka.pdf?sequence=5 http://si.uns.ac.id/profil/uploadpublikasi/pengukuhan/pengukuhan_harijono.pdf http://www.pom.go.id/ppid/rar/LAPTAH_2011.pdf
Lampiran 1. Gimmick mengenai Kosmetik Pemutih sebagai Upaya Pemberdayaan Masyarakat (wanita)
Depan