• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertumbuhan Koloni Cendawan Model Hasil Peremajaan

Pertumbuhan koloni C. gloeosporioides di media PDA pada umur 7 hari mencapai diameter 3.5-4.6 cm. Koloni biakan berbentuk seperti lingkaran dan menyebar ke segala arah (Gambar 2). Pada awal pertumbuhannya, koloni berwarna putih abu-abu kemudian berubah menjadi abu-abu gelap. Pada bagian tengah permukaan bawah biakan nampak warna merah muda atau salmon yang merupakan massa konidia. Konidia hialin, aseptat, berbentuk silindris dengan ujung tumpul dan kadang-kadang runcing dengan puncak membulat. Aservulus memiliki seta panjang yang agak meruncing di bagian ujungnya. Hasil identifikasi morfologi ini sesuai dengan karakter morfologi C. gloeosporioides seperti yang dilaporkan pada CABI (2007).

Gambar 2 Biakan C. gloeosporioides umur 7 hari pada media PDA dalam cawan petri: (a) tampak permukaan atas, (b) tampak permukaan bawah, (c) konidia, (d) aservulus.

Pada umur 7 hari, pertumbuhan koloni B. theobromae di media PDA dalam cawan petri telah memenuhi cawan berupa miselium hijau kehitaman (Gambar 3). Pada awal pertumbuhannya, koloni berwarna putih abu-abu kemudian menjadi kehijauan hingga hijau kehitaman. Secara makroskopis, morfologi miselium seperti benang atau kapas halus. Pertumbuhan miselium sangat cepat, melimpah, dan mengarah ke bagian atas (aerial mycelium). Konidia berbentuk

a

c

b

d

20

oval dan berdinding tebal, berukuran 20-30 µm x 10-15 µm. Konidia yang masih muda uniseluler dan hialin, sedangkan konidia matang uniseptat dan berwarna

coklat. Hasil identifikasi morfologi ini sesuai dengan karakter morfologi

B. theobromae seperti yang dilaporkan pada CABI (2007).

Gambar 3 Biakan B. theobromae umur 7 hari pada media PDA dalam cawan petri: (a) koloni hijau kehitaman, (b) konidia muda, (c) konidia matang.

Pertumbuhan koloni F. oxysporum f.sp. niveum di media PDA umur 7 hari mencapai diameter 4.5-6.9 cm. Bentuk koloninya tidak teratur dan menyebar ke segala arah, dengan warna koloni putih keunguan. Mikrokonidia uniselular berbentuk oval atau lonjong, sedangkan makrokonidia bersepta dan bentuknya agak melengkung dengan ujung runcing seperti bentuk bulan sabit (Gambar 4). Hasil identifikasi morfologi ini sesuai dengan karakter morfologi F. oxysporum

f.sp. niveum seperti yang dilaporkan pada CABI (2007).

Gambar 4 Biakan F. oxysporum f.sp. niveum umur 7 hari pada media PDA dalam cawan petri: (a) koloni putih keunguan, (b) mikrokonidia, (c) makrokonidia, perbesaran 20x.

Pertumbuhan koloni S. rolfsii di media PDA umur 7 hari didominasi oleh miselium putih yang memenuhi cawan petri berdiameter 9 cm. Secara makroskopis, morfologi miselium seperti benang atau rambut halus atau kapas halus berwarna putih. Pada beberapa biakan, terdapat titik-titik putih di

a

a b

c

b

21

permukaan koloni yang akan berkembang menjadi sklerotia bulat berwarna coklat seiring dengan bertambah tuanya umur biakan (Gambar 5).

Gambar 5 Biakan S. rolfsii umur 7 hari pada media PDA dalam cawan petri: (a) koloni tanpa sklerotia,(b) koloni dengan sklerotia.

Perlakuan Iradiasi UV-C terhadap Pertumbuhan Koloni Cendawan Model Perlakuan iradiasi UV-C pada koloni cendawan model selama 0 (kontrol), 30, 60, 90, dan 120 menit pada jarak 40 cm dari lampu UV-C menunjukkan bahwa perlakuan tersebut tidak dapat mematikan cendawan model. Memang terjadi penghambatan pertumbuhan koloni, namun secara umum pada uji Tukey 1% tidak berbeda nyata pengaruhnya (Tabel 2). Hal serupa juga terjadi setelah dilakukannya penambahan waktu papar UV-C menjadi 3, 5, 7, 9, 12, dan 24 jam pada jarak 30 cm (Tabel 3).

Tabel 2 Penghambatan relatif (PHR) pertumbuhan cendawan model M. ulei

setelah perlakuan iradiasi UV-C pada berbagai waktu papar dengan jarak 40 cm dari lampu UV-C

Cendawan model

PHR (%) berdasarkan waktu papar (menit)* 0 (Kontrol) 30 60 90 120 C. gloeosporioides 0a 1a 5a 7a 12a B. theobromae 0a 0a 9a 13a 2a F. oxysporum f.sp. niveum 0a 5a 1a 4a 11a

Miselium S. rolfsii 0c 2bc 66abc 85a 78ab Sklerotia S. rolfsii 0a -12ab -33abc -62c -54bc

*Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Tukey pada taraf nyata 1%.

a b

Bakal sklerotia

22

Tabel 3 Penghambatan relatif (PHR) pertumbuhan cendawan model M. ulei

setelah perlakuan iradiasi UV-C pada berbagai waktu papar dengan jarak 30 cm dari lampu UV-C

Cendawan model

PHR (%) berdasarkan waktu papar (jam)*

0

(Kontrol) 3 5 7 9 12 24

C. gloeosporioides 0a 1a -2a -1a 24a 17a -4a

B. theobromae 0a 0a 6a 13a 10a 1a -1a

F. oxysporum f.sp.

niveum 0a 0a -7a 20a 29a 69a 73a

Miselium S. rolfsii 0b 90ab 24ab 42ab 100a 39ab 25ab Sklerotia S. rolfsii 0a -40ab -20a -31a -113b -13a -26a

* Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Tukey pada taraf nyata 1%.

Menurut Witham (2008) cendawan lebih tahan dan lebih sulit mati dengan perlakuan UV-C sehingga diperlukan waktu papar yang lebih lama. Selain itu, keefektifan perlakuan iradiasi UV-C sangat dipengaruhi oleh lamanya tingkat interaksi antara patogen dengan cahaya UV-C (waktu dan jarak papar UV-C) serta spesies patogen yang diberi perlakuan (Udi Putra et al. 2007; Begum et al.

2009; Simon et al. 2011). Namun demikian, perlakuan iradiasi UV-C selama 24 jam pada jarak 15 cm tetap tidak memberikan pengaruh mematikan pada cendawan model, tetapi hanya menghambat pertumbuhan koloni dengan nilai penghambatan relatif perlakuan pada waktu papar 12 jam relatif lebih besar dibandingkan 24 jam untuk jarak yang sama (Tabel 4).

Tabel 4 Penghambatan relatif (PHR) pertumbuhan cendawan model M. ulei

setelah perlakuan iradiasi UV-C selama 12 dan 24 jam pada jarak 15 dan 30 cm dari lampu UV-C

Cendawan model

PHR (%) berdasarkan waktu (jam) dan jarak papar (cm)*

Kontrol 12 24

15 30 15 30

C. gloeosporioides 0a 46a 10a 14a -13a

B. theobromae 0a -1a -1a -2a -3a

F. oxysporum f.sp.

niveum 0a 88a 66a 72a 68a

Miselium S. rolfsii 0a 54a 38a 58a 23a

Sklerotia S. rolfsii 0a -14a -13a -75a -26a

*Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Tukey pada taraf nyata 1%.

23

Pemeriksaan terhadap panjang gelombang lampu UV-C menunjukkan bahwa lampu tersebut memiliki panjang gelombang antara 200-800 nm sehingga

sinar yang dipancarkan tidak murni pada panjang gelombang UV-C (200-280 nm), tetapi juga ada panjang gelombang yang menunjukkan UV-A atau

NUV (315-400 nm), UV-B (280-315 nm), dan cahaya tampak (400-780 nm). Namun diketahui intensitas tertinggi tetap didominasi oleh panjang gelombang 200-280 nm (UV-C) (Gambar 6).

Gambar 6 Panjang gelombang lampu UV-C yang digunakan dalam pengujian.

Menurut Hockberger (2002), sinar UV-C dan UV-B dapat menyebabkan kerusakan langsung pada asam nukleat dan protein sehingga mengakibatkan mutasi genetik atau kematian sel, sedangkan sinar NUV diketahui dapat menstimulasi sporulasi beberapa cendawan, diantaranya F. nivale (Leach 1967). Oleh karena itu, ketidakefektifan perlakuan iradiasi UV-C dalam mematikan cendawan model dalam pengujian ini kemungkinan besar disebabkan oleh lampu UV-C yang tidak murni berada pada panjang gelombang UV-C dan mengandung panjang gelombang NUV, sehingga cendawan model tetap masih tumbuh.

Dugaan tersebut semakin diperkuat dengan hasil penelitian Fernando et al.

(2000) yang menunjukkan bahwa perlakuan UV-C (254 nm) selama 100 menit

pada jarak 30 cm dari sumber cahaya 100% efektif mematikan biakan

C. acutatum. Sementara itu, hasil uji perlakuan iradiasi UV-C pada

C. gloeosporioides selama 120 menit pada jarak 30 cm atau selama 3 jam pada jarak 30 cm tetap menunjukkan pertumbuhan koloni yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan kontrol. Oleh karena itu, uji lanjut perlakuan iradiasi UV-C pada biji dan bungkil kedelai tidak dilakukan.

In te n si ta s Panjang gelombang (nm)

24

Berbagai penelitian tentang pengujian perlakuan iradiasi UV-C terhadap cendawan menunjukkan bahwa perlakuan iradiasi UV-C efekif mematikan spora cendawan hanya dengan waktu papar yang relatif singkat dan jarak papar yang relatif pendek. Namun, pengujian tersebut umumnya dilakukan pada cendawan yang ditumbuhkan di media biakan (Fernando et al. 2000; Begum et al. 2009) atau secara langsung pada suspensi konidia cendawan seperti yang dilakukan oleh LebaiJuri (1997) terhadap M. ulei. Hal ini menunjukkan bahwa iradiasi UV-C efektif mematikan daya kecambah spora cendawan yang berada pada bagian permukaan. Oleh karena itu diketahui bahwa perlakuan iradiasi UV-C lebih sesuai digunakan sebagai perlakuan karantina untuk dekontaminasi bagasi atau barang tentengan penumpang pesawat di pelabuhan udara, dan bukan sebagai perlakuan karantina pada komoditas pertanian impor yang masuk dalam jumlah yang relatif besar, baik di pelabuhan laut (dalam kontainer) maupun pelabuhan udara (dalam kemasan kargo).

Pengujian perlakuan iradiasi UV-C dengan menggunakan lampu UV-C murni masih perlu dilakukan terutama pada komoditas biji dan bungkil kedelai dengan berbagai ketebalan (biji dan bungkil kedelai diuji dalam jumlah yang lebih besar) untuk mengetahui keefektifan perlakuan iradiasi UV-C dan daya tembus UV-C yang efektif mematikan cendawan model. Namun demikian, dalam setiap pengujian perlakuan iradiasi UV-C perlu diawali dengan pemeriksaan panjang gelombang lampu UV-C. Hal ini sangat penting untuk menjamin bahwa lampu yang sudah tertera sebagai UV-C hanya memiliki panjang gelombang UV-C.

Berdasarkan percobaan ini diketahui bahwa ada kemungkinan lampu yang tertera sebagai UV-C tidak murni UV-C. Oleh karena itu, perlu segera dilakukan verifikasi terhadap panjang gelombang lampu UV-C yang selama ini digunakan dalam perlakuan karantina untuk meningkatkan keefektifan perlakuan dalam mencegah masuknya M. ulei ke wilayah negara RI.

Perlakuan Panas Kering terhadap Pertumbuhan Koloni Cendawan Model Perlakuan panas kering pada koloni cendawan model menunjukkan bahwa suhu 55 °C selama 30 dan 60 menit dapat mematikan C. gloeosporioides, B. theobromae, dan S. rolfsii, sementara pada F. oxysporum f.sp. niveum hanya menunjukkan penghambatan relatif pertumbuhan koloni sebesar 38% dan 42% (Tabel 5).

25

Tabel 5 Penghambatan relatif (PHR) pertumbuhan cendawan model M. ulei setelah perlakuan panas kering pada berbagai suhu selama 30 dan 60 menit

Cendawan model

PHR (%) berdasarkan suhu perlakuan (°C)*

Kontrol 30 menit 60 menit

45 50 55 60 65 45 50 55 60 65

C. gloeosporioides 0c 0c 100a 100a 100a 100a 12b 100a 100a 100a 100a

B .theobromae 0cd -2cd 6c 100a 100a 100a -6d 51b 100a 100a 100a

F. oxysporum f.sp. niveum 0c 15bc 22bc 38bc 100a 100a 15bc 13bc 42b 100a 100a

Miselium S. rolfsii 0b -2b 100a 100a 100a 100a -2b 100a 100a 100a 100a Sklerotia S. rolfsii 0b -4b 11b 100a 100a 100a -2b 100a 100a 100a 100a

*Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Tukey pada taraf nyata 1%.

2

26

Berdasarkan analisis data PHR pertumbuhan cendawan model M. ulei

pada Tabel 5 dengan menggunakan Program PoloPlus Versi 1.0 diperoleh dosis efektif perlakuan yang dapat menghambat 99% pertumbuhan koloni (Lethal Dose

99, LD99), yaitu suhu 48.5 °C selama 30 menit dan 47 °C selama 60 menit untuk

C. gloeosporioides (Gambar 7), suhu 52.5 °C selama 30 menit dan 51.5 °C selama 60 menit untuk B. theobromae (Gambar 9), suhu di atas 65 °C selama 30 dan 60 menit untuk F. oxysporum f.sp. niveum (Gambar 11), suhu 48.5 °C selama 30 dan 60 menit untuk miselium S. rolfsii (Gambar 13), serta suhu 52 °C selama 30 menit dan 48.5 °C selama 60 menit untuk sklerotia S. rolfsii (Gambar 15).

Sementara itu, hasil regresi data PHR pertumbuhan cendawan model

M. ulei pada Tabel 5 dengan menggunakan Program Minitab 16 diperoleh dosis efektif perlakuan yang dapat menghambat 100% pertumbuhan koloni atau

mematikan koloni, yaitu suhu 61 °C selama 30 dan 60 menit untuk

C. gloeosporioides (Gambar 8), suhu 62 °C selama 30 menit dan 61.5 °C selama 60 menit untuk B. theobromae (Gambar 10), suhu 64 °C selama 30 menit dan 63.5 °C selama 60 menit untuk F. oxysporum f.sp. niveum (Gambar 12), suhu 61 °C selama 30 dan 60 menit untuk miselium S. rolfsii (Gambar 14), serta suhu 62 °C selama 30 menit dan 61 °C selama 60 menit untuk sklerotia S. rolfsii

(Gambar 16).

Gambar 7 Hubungan antara suhu perlakuan panas kering dan penghambatan relatif (PHR) pertumbuhan koloni C. gloeosporioides: (a) waktu perlakuan 30 menit, (b) waktu perlakuan 60 menit.

Suhu (°C) Suhu (°C) P H R (% ) (a) (b)

27

Gambar 8 Hubungan antara suhu perlakuan panas kering dan penghambatan relatif (PHR) pertumbuhan koloni C. gloeosporioides: (a) waktu perlakuan 30 menit, (b) waktu perlakuan 60 menit.

Gambar 9 Hubungan antara suhu perlakuan panas kering dan penghambatan relatif (PHR) pertumbuhan koloni B. theobromae: (a) waktu perlakuan 30 menit, (b) waktu perlakuan 60 menit.

y = 0.039x2- 0.688x - 1.795 R² = 0.666 -20 0 20 40 60 80 100 0 10 20 30 40 50 60 70 PH R (% ) Suhu (°C) y = 0.030x2- 0.165x - 1.568 R² = 0.712 -20 0 20 40 60 80 100 0 10 20 30 40 50 60 70 Suhu (°C) (a) (b) Suhu (°C) (a) Suhu (°C) (b) P H R (% )

28

Gambar 10 Hubungan antara suhu perlakuan panas kering dan penghambatan relatif (PHR) pertumbuhan koloni B. theobromae: (a) waktu perlakuan 30 menit, (b) waktu perlakuan 60 menit.

Gambar 11 Hubungan antara suhu perlakuan panas kering dan penghambatan

relatif (PHR) pertumbuhan koloni F. oxysporum f.sp. niveum:

(a) waktu perlakuan 30 menit, (b) waktu perlakuan 60 menit. y = 0.084x2- 3.593x - 1.172 R² = 0.779 -40 -20 0 20 40 60 80 100 0 10 20 30 40 50 60 70 PH R (% ) Suhu (°C) y = 0.066x2- 2.418x - 1.564 R² = 0.794 -40 -20 0 20 40 60 80 100 0 10 20 30 40 50 60 70 Suhu (°C) (a) (b) P H R (% ) Suhu (°C) Suhu (°C) (a) (b)

29

Gambar 12 Hubungan antara suhu perlakuan panas kering dan penghambatan relatif (PHR) pertumbuhan koloni F. oxysporum f.sp. niveum: (a) waktu perlakuan 30 menit, (b) waktu perlakuan 60 menit.

Gambar 13 Hubungan antara suhu perlakuan panas kering dan penghambatan relatif (PHR) pertumbuhan miselium S. rolfsii: (a) waktu perlakuan 30 menit, (b) waktu perlakuan 60 menit.

y = 0.073x2- 3.107x + 0.052 R² = 0.915 -40 -20 0 20 40 60 80 100 0 10 20 30 40 50 60 70 PH R (% ) Suhu (°C) y = 0.077x2- 3.329x + 0.050 R² = 0.910 -40 -20 0 20 40 60 80 100 0 10 20 30 40 50 60 70 Suhu (°C) (a) (b) P H R (% ) Suhu (°C) Suhu (°C) (a) (b)

30

Gambar 14 Hubungan antara suhu perlakuan panas kering dan penghambatan relatif (PHR) pertumbuhan miselium S. rolfsii: (a) waktu perlakuan 30 menit, (b) waktu perlakuan 60 menit.

Gambar 15 Hubungan antara suhu perlakuan panas kering dan penghambatan relatif (PHR) pertumbuhan sklerotia S. rolfsii: (a) waktu perlakuan 30 menit, (b) waktu perlakuan 60 menit.

y = 0.040x2- 0.775x - 1.833 R² = 0.659 -20 0 20 40 60 80 100 0 10 20 30 40 50 60 70 PH R (% ) Suhu (°C) y = 0.040x2- 0.775x - 1.833 R² = 0.659 -20 0 20 40 60 80 100 0 10 20 30 40 50 60 70 Suhu (°C) (a) (b) PH R (% ) Suhu (°C) Suhu (°C) (a) (b)

31

Gambar 16 Hubungan antara suhu perlakuan panas kering dan penghambatan relatif (PHR) pertumbuhan sklerotia S. rolfsii: (a) waktu perlakuan 30 menit, (b) waktu perlakuan 60 menit.

Secara umum, hasil analisis data menggunakan Program Polo Plus Versi 1.0 lebih sesuai dengan data aktual pengujian perlakuan panas kering karena LD99 terjadi pada suhu yang sedikit lebih rendah dibanding suhu aktual pengujian, kecuali pada F. oxysporum f.sp. niveum yang menunjukkan LD99 pada suhu di atas 65 °C baik pada perlakuan selama 30 menit maupun 60 menit. Sedangkan hasil analisis regresi menggunakan Program Minitab 16 menunjukkan bahwa kematian koloni pada seluruh cendawan model dicapai pada suhu yang jauh lebih tinggi dibanding suhu aktual dalam pengujian (Tabel 6). Hal ini menunjukkan bahwa ada kemungkinan kematian koloni cendawan model baru dicapai pada suhu yang lebih tinggi tersebut. Meskipun demikian, hasil pengujian telah menunjukkan bahwa suhu 50, 55, dan 60 °C selama 30 dan 60 menit telah efektif mematikan koloni cendawan model. Oleh karena itu, uji lanjut untuk melihat pengaruh perlakuan panas kering dalam mematikan cendawan model pada biji dan bungkil kedelai tanpa merusak kandungan protein kedelai perlu dilakukan.

y = 0.083x2- 3.530x - 1.245 R² = 0.788 -40 -20 0 20 40 60 80 100 0 10 20 30 40 50 60 70 PH R (% ) Suhu (°C) y = 0.040x2- 0.775x - 1.833 R² = 0.659 -40 -20 0 20 40 60 80 100 0 10 20 30 40 50 60 70 Suhu (°C) (a) (b)

32

Tabel 6 Penghambatan relatif (PHR) pertumbuhan cendawan model M. ulei

dengan pengamatan aktual, analisis Polo Plus Versi 1.0, dan regresi Cendawan model/ waktu perlakuan (menit) Pengamatan aktual Polo Plus Versi 1.0 Regresi PHR (%) Suhu (0C) PHR (%) Suhu (0C) PHR (%) Suhu (0C) R 2 C. gloeosporioides 30 100 50 99 48.5 100 61 0.666 60 100 50 99 47 100 61 0.712 B. theobromae 30 100 55 99 52.5 100 62 0.779 60 100 55 99 51.5 100 61.5 0.794 F. oxysporum f.sp. niveum 30 100 60 99 >65 100 64 0.915 60 100 60 99 >65 100 63.5 0.910 Miselium S. rolfsii 30 100 50 99 48.5 100 61 0.659 60 100 50 99 48.5 100 61 0.659 Sklerotia S. rolfsii 30 100 55 99 52 100 62 0.788 60 100 50 99 48.5 100 61 0.659

Perlakuan Panas Kering terhadap Daya Tumbuh Cendawan Model pada Biji dan Bungkil Kedelai

Hasil uji perlakuan panas kering terhadap biji dan bungkil kedelai menunjukkan bahwa suhu 55 °C selama 30 menit efektif mematikan konidia

C. gloeosporioides, B. theobromae, dan F. oxysporum f.sp. niveum pada biji dan bungkil kedelai, tetapi tidak efektif untuk mematikan sklerotia S. rolfsii. Bahkan meskipun pada perlakuan suhu 60 °C selama 60 menit sklerotia S. rolfsii juga belum mati (Tabel 7). Propagul yang diinokulasikan pada biji dan bungkil kedelai hampir seluruhnya masih dapat membentuk koloni. Hal ini membuktikan bahwa sklerotia S. rolfsii memiliki kemampuan bertahan pada kondisi lingkungan yang ekstrim dalam waktu yang lama meskipun tanpa kehadiran inangnya.

33

Tabel 7 Jumlah koloni cendawan model M. ulei pada biji dan bungkil kedelai setelah perlakuan panas kering

Perlakuan Jumlah koloni yang terbentuk*

Suhu (°C) Waktu (menit) B. theobromae C. gloeosporioides F. oxysporum f.sp. niveum S. rolfsii

Biji Bungkil Biji Bungkil Biji Bungkil Biji Bungkil

Kontrol 0.8 12.8 2 21.6 8.2 62.6 4 4 50 30 0 1.8 0 0 0.2 20.6 4 4 60 0 0.6 0 0 0 0.4 4 4 55 30 0 0 0 0 0 0 4 4 60 0 0 0 0 0 0 4 4 60 30 0 0 0 0 0 0 4 3.4 60 0 0 0 0 0 0 4 4

*Rerata dari 5 ulangan.

Hasil uji perlakuan panas kering terhadap daya tumbuh cendawan model

M. ulei pada biji dan bungkil kedelai sejalan dengan hasil uji pada media PDA,

kecuali pada F. oxysporum f.sp. niveum dan sklerotia dari S. rolfsii. Pada

F. oxysporum f.sp. niveum, perlakuan panas kering suhu 55 °C selama 30 dan 60 menit tidak efektif mematikan cendawan pada media PDA tetapi efektif mematikan konidia pada biji dan bungkil kedelai. Hal ini kemungkinan

disebabkan telah terbentuknya klamidospora (struktur tahan) pada biakan

F. oxysporum f.sp. niveum di media PDA. Sementara pada S. rolfsii, perlakuan panas kering suhu 55 °C selama 30 dan 60 menit efektif mematikan sklerotia pada media PDA tetapi tidak efektif pada biji dan bungkil kedelai meskipun suhu perlakuan mencapai 60 °C selama 60 menit. Hal ini kemungkinan karena adanya retakan pada sklerotia sebagai akibat dari proses perkecambahan yang sedang berlangsung di media PDA sehingga sklerotia menjadi lebih rentan terhadap panas. Sementara sklerotia yang diinokulasi pada biji dan bungkil kedelai adalah sebagai struktur tahan dalam kondisi ekstrim tanpa adanya nutrisi atau inangnya. Menurut Usmani dan Ghaffar (1986), sklerotia dari S. oryzae mati dengan pemanasan pada suhu 55 °C selama 2 jam. Apabila sifat tahan M. ulei terhadap panas kering lebih menyerupai sklerotia dari S. rolfsii maka diperlukan suhu dan waktu perlakuan panas kering yang lebih tinggi daripada yang digunakan dalam penelitian ini. Hasil regresi terhadap data pengamatan aktual PHR pertumbuhan cendawan model M. ulei (Tabel 6) menunjukkan bahwa perlakuan panas kering yang efektif mematikan seluruh cendawan model M. ulei pada biji dan bungkil kedelai dalam penelitian ini yaitu pada suhu 62 °C selama 60 menit. Namun

34

demikian, karena pengujian hanya dilakukan pada komoditas kedelai dalam jumlah kecil maka masih diperlukan lagi pengujian keefektifan perlakuan panas kering pada komoditas kedelai dalam jumlah yang lebih besar.

Perlakuan panas kering dapat menghambat pertumbuhan atau mematikan cendawan patogen, tetapi hal ini tidak selalu terjadi pada setiap cendawan yang mendapat perlakuan pada waktu dan suhu yang sama karena setiap spesies cendawan memiliki sensitivitas yang berbeda terhadap panas (Narayanasamy 2005). Perbedaan sensitivitas ini tidak selalu dipengaruhi oleh ukuran dan bentuk spora, ataupun umur inokulum (Schirra et al. 2000), namun kemungkinan lebih dipengaruhi oleh struktur tahan yang dimiliki oleh setiap cendawan.

Panas menyebabkan terjadinya perubahan dalam inti sel dan dinding sel serta kerusakan mitokondria sehingga menghambat pertumbuhan atau mematikan cendawan model (Barkai-Golan & Phillips 1991). Penelitian sebelumnya oleh Baker dan Smith (1969) telah menunjukkan bahwa Rhizopus stolonifer mati karena adanya gangguan pada nukleus, mitokondria, dan ribosom setelah mendapat perlakuan panas pada suhu 52 °C selama 2.5 menit.

Perlakuan Panas Kering terhadap Kandungan Protein Total pada Biji dan Bungkil Kedelai

Hasil analisis kandungan protein menunjukkan bahwa perlakuan panas kering pada suhu 55 dan 60 ºC relatif tidak mempengaruhi kandungan protein total pada biji dan bungkil kedelai (Gambar 17).

Gambar 17 Pengaruh perlakuan panas kering dan inokulasi C. gloeosporioides

terhadap kandungan protein biji dan bungkil kedelai: (K) Kontrol, (A) 50 °C 30 menit, (B) 50 °C 60 menit, (C) 55 °C 30 menit, (D) 55 °C 60 menit, (E) 60 °C 30 menit, (F) 60 °C 60 menit.

0 5 10 15 20 25 30 35 40 K A B C D E F ka n d u n g a n p ro te in ( % ) Perlakuan Biji dengan inokulasi tanpa inokulasi 0 5 10 15 20 25 30 35 40 K A B C D E F Perlakuan Bungkil

35

Berdasarkan hasil uji protein diketahui bahwa kandungan protein total pada biji kedelai asal Amerika Serikat yang digunakan dalam pengujian ini (29-31%) lebih rendah daripada biji kedelai impor pada umumnya (35-37%) (Ginting et al.

2009). Selain itu, kandungan protein total pada bungkil kedelai asal Brazil (34-39%) juga lebih rendah dibandingkan dengan kandungan protein bungkil

berdasarkan SNI 01-4227-1996 (40-46%). Rendahnya kandungan protein total pada biji dan bungkil kedelai tersebut kemungkinan disebabkan oleh masa penyimpanan yang sudah terlalu lama sejak panen hingga dipasarkan di Indonesia serta pengaruh proses produksi dan penanganan bungkil tersebut sejak di Brazil. Dengan beragamnya faktor yang dapat menyebabkan penurunan kandungan protein total pada biji dan bungkil kedelai, maka dapat dikatakan

bahwa dosis perlakuan panas kering yang efektif mematikan konidia

C. gloeosporioides, B. theobromae, dan F. oxysporum f.sp. niveum pada biji dan bungkil kedelai relatif tidak akan mempengaruhi kandungan protein total pada biji dan bungkil kedelai.

Komoditas kedelai impor yang digunakan dalam percobaan ini, terutama bungkil kedelai yang berasal dari Brazil diketahui memiliki kandungan protein yang lebih rendah daripada yang dipersyaratkan SNI. Selain itu, area produksi dan proses produksi bungkil kedelai di Brazil juga berpeluang besar membawa

M. ulei sebagai kontaminan. Atas dasar tersebut, pemerintah perlu mempertimbangkan untuk mencari alternatif mitra dagang kedelai yang relatif tidak berisiko terhadap kelestarian sumberdaya alam Indonesia maupun terhadap kesehatan hewan dan penduduk Indonesia. Namun demikian, peningkatan produksi kedelai dalam negeri harus menjadi prioritas utama pemerintah dibanding impor kedelai.

Secara umum, penelitian ini masih belum dapat memastikan dosis perlakuan panas kering maupun iradiasi UV-C yang efektif mematikan konidia atau askospora M. ulei yang mungkin terbawa sebagai kontaminan pada biji dan bungkil kedelai impor dari Brazil. Cendawan model yang dipilih berdasarkan karakteristik bertahan pada kondisi ekstrim mirip M. ulei belum tentu sama dengan M. ulei. Hal ini ditunjukkan oleh adanya perbedaan respon cendawan model terhadap perlakuan panas kering pada suhu efektif mematikan M. ulei

menurut Hashim (2007), yaitu suhu 55 °C selama 30 menit. Selain itu, sklerotia

S. rolfsii ternyata masih mampu bertahan hidup dan membentuk koloni meskipun telah diberi perlakuan panas kering suhu 60 °C selama 60 menit. Namun

36

demikian, berdasarkan hasil regresi pengujian perlakuan panas kering pada media PDA diketahui bahwa suhu minimal 62 °C selama 60 menit dapat mematikan seluruh cendawan model M. ulei termasuk sklerotia S. rolfsii. Oleh karena itu, suhu minimal 62 °C selama 60 menit dapat direkomendasikan sebagai perlakuan karantina untuk mencegah masuknya M. ulei melalui produk impor non-karet yang berasal dari negara endemis SALB, tetapi produk tersebut harus dalam jumlah kecil.

Percobaan terapan perlakuan panas kering masih perlu dilakukan pada biji dan bungkil kedelai dalam jumlah yang lebih besar dengan menggunakan fasilitas panas kering yang lebih besar, seperti chamber Kiln Drying yang umumnya digunakan untuk perlakuan karantina pada kemasan kayu. Demikian pula perlakuan iradiasi UV-C masih perlu dilakukan pengujian pada berbagai ketebalan komoditas kedelai dengan menggunakan lampu UV-C murni tanpa ada NUV. Pengujian keefektifan perlakuan panas kering dan iradiasi UV-C secara langsung terhadap M. ulei pada biji dan bungkil kedelai di negara asalnya menjadi sangat penting untuk dilakukan untuk mengetahui secara pasti dosis efektif perlakuan yang dapat mematikan M. ulei. Namun, sebelum ditemukan metode perlakuan yang efektif mematikan konidia dan askospora M. ulei pada biji dan bungkil kedelai, maka pencegahan masuknya M. ulei ke wilayah negara RI harus dilakukan dengan pendekatan sistem (system approach) melalui penerapan peraturan perundangan yang lebih ketat. Pemasukan biji dan bungkil kedelai dari Brazil ke Indonesia harus dipersyaratkan secara khusus, antara lain: (i) melarang pemasukan biji dan bungkil kedelai dalam bentuk curah dan dalam jumlah besar; (ii) biji dan bungkil kedelai harus dikemas dengan plastik ukuran tertentu dan disimpan dalam kurun waktu tertentu sebelum diijinkan masuk ke Indonesia dengan harapan setibanya di Indonesia, M. ulei sebagai kontaminan sudah mati akibat panas di dalam plastik; dan (iii) setibanya di Indonesia, biji dan bungkil kedelai harus diberi perlakuan karantina, yaitu perlakuan panas kering pada suhu minimal 62 °C selama 60 menit.

Dokumen terkait