• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODE PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Daerah Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Provinsi Jawa Timur yang meliputi dua Kabupaten yaitu Kabupaten Malang dan Kabupaten Pasuruan. Kabupaten Malang secara geografis terletak di bagian selatan Provinsi Jawa Timur yang sebagian besar memiliki ketinggian lahan pertanian dataran sedang hingga tinggi. Kabupaten Pasuruan termasuk pada posisi bagian sebelah utara Provinsi Jawa Timur yang mewakili dari ketinggian lahan pertanian pada dataran rendah hingga sedang. Kedua Kabupaten tersebut termasuk pusat penghasil sayuran dan padi bagi Provinsi Jawa Timur. Secara ringkas, petani mengusahakan tanaman di desa lokasi penelitian disajikan pada Tabel 16.

Tabel 16. Jenis Tanaman yang Diusahakan Petani di Lokasi Penelitian Kabupaten Kecamatan Desa Jenis tanaman yang diusahakan Malang Sumberpucung Sumberpucung Padi, Jagung dan Melon

Sengreng Padi

Pasuruan Kejayan Wrati Padi dan kedelai

Pacarkeling Padi, kedelai dan jagung

Malang Pujon Ngabab Kentang, Kubis, Wortel, Brocoli,

Buncis, Lombok besar, Sledri Madiredo Kentang, Kubis, Wortel, Tomat,

Sawi, Bw.Merah, Lombok dan Kc. panjang.

Pasuruan Tutur (Nongkojajar)

Ngadirejo Kentang, Kubis, Wortel, Bw. daun (Prey), Buncis, Lombok, Kc. panjang dan Labu putih. Tutur

(Nongkojajar)

Kayukebek Kentang, Kubis, Wortel, Buncis, Sawi, Sledri, Brocoli, Manisa.

Sebagai penghasil padi, Kabupaten Malang termasuk kategori penghasil padi produktivitas tinggi yaitu menghasilkan produksi antara 5 hingga 8 ton/ha, sedangkan Kabupaten Pasuruan termasuk kategori produktivitas sedang yakni menghasilkan antara 4 hingga 6 ton/ha. Kedua daerah ini juga sebagai pusat

penghasil sayur terutama sayuran yang berasal dari dataran tinggi. Jenis sayuran yang dominan kedua daerah ini relatif sama yaitu kentang, kubis dan wortel, sedangkan sayuran yang lain sedikit ada perbedaan jenis sayuran.

Petani dalam mengusahakan lahan di lokasi penelitian terbagi pada tiga status lahan yaitu hak milik, hak sewa dan hak garap (sakap). Sebagian besar (60 persen) petani mengusahakan lahan dengan status hak milik baik pada petani sayuran maupun padi. Dari aspek luas lahan baik petani sayur maupun petani padi termasuk petani kecil yang lebih dari 80 persen mengusahakan lahan lebih kecil dari 0.75 ha. Rata-rata luas penguasaan lahan oleh petani contoh disajikan pada Tabel 17. Tampaknya kondisi penguasaan lahan oleh petani tersebut juga di tingkat Provinsi maupun Nasional. Salah satu alasan penyempitan penguasaan lahan adalah budaya pembagian kepada ahli waris (anak).

Tabel 17. Jumlah Petani Sayuran dan Petani Padi Menurut Luas Penguasaan Lahan Petani Sayuran(%)1 Petani Padi(%)1 Kisaran penguasaan luas lahan (ha) Mlg Psr Mlg Psr Jawa Timur2 Indonesia 2 0.01 - ≤ 0.25 47 41 53 40 40 45 > 0.25 - ≤ 0.75 36 46 37 44 39 40 > 0.75 17 13 10 16 21 15 Rataan (ha) 0.36 0,42 0,30 0,52 0,46 0,32

Keterangan: 1): Data primer dan 2): data Biro Pusat Statistik (diolah) Mlg: Malang dan Psr: Pasuruan

Perkembangan sistem penguasaan lahan cenderung bergeser dari yang status sakap menjadi hak milik maupun hak sewa. Hal ini memberikan indikasi bahwa lahan masih menjadi faktor penting dan menjadi kebutuhan mutlak bagi petani termasuk mengenai status pengusaannya. Menurut Sayogyo (1992), penguasaan lahan juga menjadi simbol status sosial masyarakat agraris. Pendapat Sayogyo tersebut tampaknya mulai bergeser bukan hanya dari penguasaan hak milik tetapi gabungan antara hak milik dan penyewa lahan. Walaupun tidak sebagai pemilik tetapi penyewa sudah sejajar posisinya dengan pemilik pada

tatanan status sosial di masyarakat. Pergeseran sistem sakap yang semakin berkurang menjadi sewa maupun hak milik, di satu sisi menguntungkan dan di lain pihak akan terjadi akumulasi penguasaan lahan oleh pemilik modal kuat yang pada akhirnya akan semakin nampak jelas kesenjangan yaitu perbedaan antara tuan tanah (petani kaya) dengan petani gurem ataupun buruh tani. Fenomena tersebut sebenarnya sudah terlihat oleh White (1995) yang menganalisis sistem penguasaan lahan/tanah dari data Sensus Pertanian lima tahunan dan menyimpulkan bahwa 80 persen lahan pertanian telah dikuasai oleh sekitar 35 persen penduduk (sekelompok orang) yang bergerak di sektor pertanian dan sisanya sebesar 20 persen dari total lahan pertanian diperebutkan untuk dikuasai 65 persen penduduk (petani). Kecenderungan penuruan sistem sakap akan terus berlangsung karena selain kurang menguntungkan bagi penyakap (penggarap) juga sebenarnya merupakan pengalihan suatu resiko dari pemilik lahan kepada penyakap. Sistem sakap muncul karena pemilik lahan tidak mampu untuk mengelola secara optimal yang disebabkan oleh lokasi lahan yang terpencar- pencar dan jauh, kondisi lahan relatif kurang subur, luas lahan sempit yang bila dikelola secara ekonomi kurang menguntungkan ataupun keterbatasan tenaga yang trampil untuk mengelola. Oleh karena itu perkembangan sistem sakap cenderung terus menurun bila dibandingkan dengan sistem sewa yang memiliki pertimbangan pada kalkulasi keuntungan. Posisi pemilik lahan pada sistem sakap dari usahatani sayuran akan mendapat imbalan dari penyakap sebesar 15 hingga 20 persen dari total keuntungan usahatani. Berbeda dengan sayuran, pada usahatani padi, penyakap memberikan hasil kepada pemilik lahan sebesar 20 hingga 25 persen dengan kewajiban pemilik lahan mmenyediakan benih secukupnya. Selain itu pemilik lahan juga menyumbang pupuk ala kadarnya, tetapi dalam kenyataan sangat sulit diharapkan. Banyak para pemilik lahan tidak memberikan sumbangan pupuk, belum lagi diperparah oleh kondisi pupuk yang sulit tersedia di pasaran atau kios.

Sarana yang dikuasai ataupun dimiliki antara petani sayuran dan padi nampak berbeda, terutama sarana untuk mengendalikan OPT (organisme pengganggu tanaman). Setiap petani yang mengusahakan tanaman sayuran baik

yang ada di Kabupaten Malang maupun Pasuruan memiliki alat pengendali OPT seperti alat semprot (handspryer atau powerspryer), sedangkan pada petani padi hanya nampak sebagian kecil terutama bagi petani yang memiliki luas lahan lebih besar dari 1,0 ha. Demikian pula dengan ketersediaan pestisida yang selalu siap di rumah petani. Bagi petani sayuran, pestisida selalu tersedia di rumah untuk digunakan setiap waktu bila dibutuhkan. Lain halnya dengan petani padi yang tidak menyediakan pestisida di rumah. Penyediaan pestisida bagai petani padi menunggu kebutuhan dan kondisi tanaman di lahan. Oleh karena itu pengendalian OPT oleh petani padi sering terlambat. Sarana tranportasi untuk menjangkau kebutuhan usahatani baik berupa pupuk, pestisida maupun yang lain relatif terjangkau oleh petani, selain sarana jalan yang cukup baik juga sebagian besar petani (90 persen) telah memiliki alat transportasi seperti sepeda maupun sepeda motor. Demikian pula dengan alat sarana komunikasi seperti telpon baik dalam bentuk HP Sellurer dan telpon rumah (Recident) sebagian petani telah memiliki dan bila tidak memiliki secara pribadi taetapi para petani masih dapat menjangkau baik melalui Wartel maupun bekerjasama dengan petani yang telah memiliki telpon.

Berdasarkan hasil pengamatan di lapang menunjukkan bahwa cara menjual hasil yang diproduksi antara petani sayuran dan petani padi berbeda. Cara menjual hasil petani padi di Kabupaten Malang sebagian besar menggunakan “tebasan” yaitu transaksi pembelian padi pada kondisi siap panen atau menjelang waktu panen. Sistem tebasan petani padi di Kabupaten Malang masih dengan catatan yaitu petani mengambil sejumlah 300 hingga 500 kg gabah kering sawah untuk kebutuhan sehari-hari. Kebiasaan dengan cara tebasan menurut sejumlah pendapat petani lebih menguntungkan terutama dari aspek kehilangan hasil. Oleh karena itu petani tinggal menunggu hasil panen untuk menerima pembayaran dari penebas (pedagang). Lain halnya dengan petani padi di Kabupaten Pasuruan yang menjadi kebiasaan adalah padi dipanen oleh petani sendiri kemudian petani memanggil ataupun menunggu pedagang untuk ditimbang, sehingga cara menjual hasil padi petani di Kabupaten Pasuruan dengan sistem tunai (cash and carry).

Sebagian besar petani sayuran dalam menjual hasil produksi dilakukan secara tunai kepada pedagang pengumpul. Transaksi secara langsung tersebut dilakukan di sekitar lahan. Petani sayuran tidak pernah melakukan penanganan pascapanen seperti pencucian maupun seleksi (grading) baik pada petani sayuran di Kabupaten Malang maupun di Kabupaten Pasuruan. Cara menjual hasil panen tersebut mengakibatkan petani mendapatkan keuntungan lebih rendah dibandingkan bila petani langsung menjual ke pasar. Secara skematik rantai pemasaran sayuran di Kabupaten Malang maupun Kabupaten Pasuruan disajikan pada Gambar 10. Bentuk rantai pemasaran hasil sayuran di kedua lokasi tersebut cenderung sama karena pembeli (pedagang besar) sebagian besar berasal dari kota sama (Surabaya) yang berpusat di pasar Keputran. Perbedaan tampak pada jumlah pedagang yang datang yakni pedagang besar lebih memilih datang langsung ke Malang karena lokasi lebih strategis, sedangkan di Pasuruan lebih banyak pedagang menengah yang merupakan petugas dari pedagang besar.

Supermarket luar Kota dalam kota

Untuk mengatasi permasalahan pasar tersebut, Pemerintah Daerah Kabupaten Malang membuat kebijakan dengan membangun Terminal Agribisnis Sayuran sejumlah Pasar Sayuran di sekitar penghasil produksi sayuran, sedangkan Pemerintah Daerah di Kabupaten Pasuruan mengeluarkan kebijakan dengn merintis cara penjualan langsung hasil produksi dari petani penghasil produksi sayuran kepada pedagang besar dan pasar baik di kota setempat maupun ke luar kota. Implementasi kebijakan Pemerintah Daerah tersebut di lapangan menunjukkan

Gambar 10. Rantai Pemasaran Hasil Sayuran Pedagang besar Pedagang kecil Pengecer dlm Kota Konsumen Masyarakat Pedagang pengumpul

Petani Penghasil Sayuran Pengecer

Luar kota

Pedagang menengah

hasil kurang memuaskan yang terbukti secara faktual bahwa sebagian besar petani sayuran masih menjual hasil produksi seperti sebelum ada penerapan kebijakan Pemerintah Daerah baik di Kabupaten Malang maupun di Kabupaten Pasuruan.

Cara permainan yang dilakukan pedagang terhadap petani yaitu untuk memasarkan hasil sayuran di tempat Teminal Agribisnis sayuran yang terletak di Pujon kabupaten Malang meliputi pemberian syarat yang cukup memakan waktu, tenaga dan biaya. Hal tersebut dicerminkan oleh syarat yang diberikan pedagang kepada petani untuk mencuci bersih sayuran terlebih dahulu, harus menyeleksi besar dan kecilnya sebelum dipasarkan, sehingga kualitas sayuran yang disajikan memang baik tetapi waktu, tenaga dan biaya habis terkuras oleh kegiatan tersebut dan sebagai akibatnya kegiatan petani di lahan usahatani mengalami gangguan. Secara perhitungan menurut sebagian besar petani dengan memenuhi syarat-syarat tersebut petani masih rugi karena waktu, tenaga dan biaya yang dikorbankan tidak sebanding dengan harga yang diberikan pedagang.

Lain halnya dengan kebijakan rintisan untuk menjual langsung kepada konsumen atau pedagang besar yang dialami petani sayuran di Kabupaten Pasuruan. Jangkauan pasar dari hasil sayuran baik yang berasal dari Malang maupun Pasuruan telah mencapai luar kota seperti Surabaya, Kediri, Madiun selain kota Malang dan Pasuruan sendiri. Para pedagang di kota-kota tersebut sulit untuk membuat perjanjian secara tertulis sebagai kontrak antara pedagang dan petani dengan alasan harga sayuran yang fluktuatif. Akibatnya para petani dengan membawa sayuran dan yang telah sampai di tempat pedagang terpaksa menjual sayurnya dengan harga yang ditentukan pedagang daripada nanti tambah biaya transprot, belum lagi kualitas sayuran akan menurun. Kasus pengalaman petani Pasuruan tersebut dialami juga oleh petani sayuran di Kabupaten Malang. Saat petani tersebut menghubungi pedagang di Pasar Luar kota (Surabaya) melalui telepon telah terjadi kesepakatan bahwa mereka mau membeli hasil sayurannya tetapi setelah sampai di Surabaya pedagang tersebut dapat menentukan harga lebih rendah dengan alasan stok sayuran mereka masih tersedia banyak sehingga dengan permainan tersebut pedagang tersebut dapat menekan harga atau mendapatkan harga lebih murah dari petani.

Karakteristik Pribadi Petani

Karakteristik pribadi petani sayuran dan petani padi menunjukkan perbedaan nyata. Indikator karakteristik pribadi petani yang antara lain ditunjukkan oleh tingkat pendidikan formal, umur petani hingga saat penelitian, pengalaman dalam menjalankan usahatani, tingkat kosmopolitan dan keberanian dalam mengambil resiko juga menunjukkan perbedaan sangat nyata (Tabel 18).

Tabel 18. Sebaran Petani dan Rataan Skor Karakteristik Pribadi Petani Sayuran dan Petani Padi Responden

Sebaran Petani (%) Sayuran Padi T o t a l Mlg Psr Mlg Psr Sayuran Padi Karakteristik Pribadi Petani Kategori (n=95) (n=82) (n=80) (n=85) (n=177) (n=165) SD 26,3 73,2 61,2 58,8 48,0 60,0 SLTP 30,5 17,1 12,5 24,7 24,3 18,8 SLTA 30,5 6,0 26,3 16,5 19,2 21,2 (X4.1) Tingkat Pendidikan

Formal Perg. tinggi 12,7 3,7 0,0 0,0 8,5 0,0

< 31 thn 8,4 11,0 2,5 3,5 9,6 3,0 31-40 thn 45,3 15,9 25,0 29,4 31,6 27,3 41-50 thn 28,4 26,8 33,8 42,3 27,7 38,2 (X4.2) Umur > 50 thn 17,9 46,3 38,7 24,8 31,1 31,5 < 10 thn 10,5 14,6 6,3 3,5 12,4 4,9 10-20 thn 61,1 30,5 40,0 38,8 48,9 39,4 21-30 thn 20,0 36,6 37,5 47,1 27,7 42,4 (X4.3) Pengalaman berusahatani > 30 thn 8,4 18,3 16,2 10,6 13,0 13,3 Sngt. Rendah 8.4 12.2 13.8 14.1 10.2 13.9 Rendah 34.7 48.8 38.8 40.0 41.2 39.4 Tinggi 45.3 35.4 32.5 35.3 40.7 33.9 (X4.4) Tingkat kosmopolitan Sangat tinggi 11.6 3.7 15.0 10.6 7.9 12.7 Sngt Rendah 8.4 8.5 8.8 12.9 8.5 10.9 Rendah 25.3 32.9 33.8 38.8 28.8 36.4 Tinggi 44.2 48.8 47.5 34.1 46.3 40.6 (X4.5) Keberanian mengambil

resiko Sangat tinggi 22.1 9.8 10.0 14.1 16.4 12.1

Rataan Tahun/Skor

Sayuran Padi T o t a l1)

Selang Skor (0-100)

Mlg Psr Mlg Psr Sayuran Padi Perbedaan

(X4.1) Tingkat Pendidikan Formal 10.2 6.9 7.9 7.1 8.7 7.5 1,2** (X4.2) Umur 41.3 46.9 47.5 46.9 43.9 47.2 3,3** (X4.3)Pengalaman berusahatani 16.1 22.6 22.6 23.0 19.1 22.8 3,7** (X4.4) Tingkat kosmopolitan 66.4 62.9 63.0 57.8 64.8 60.3 4,5** (X4.5) K. mengambil resiko 68.6 61.3 63.4 56.0 65.3 59.6 5,7**

Keterangan 1): ** berbeda sangat nyata pada α=0,01. Mlg: Malang dan Psr: Pasuruan

Seluruh responden baik petani sayuran maupun petani padi telah berstatus berkeluarga. Rata-rata lama pendidikan responden tergolong masih rendah yaitu mencapai 8 tahun (setingkat SLTP belum tamat). Tingkat pendidikan non-formal seperti pelatihan maupun kursus-kursus selama tiga tahun terakhir sangat minim. Dari hasil pengumpulan data langsung kepada petani responden menunjukkan dalam kurun waktu satu tahun ada satu pertemuan dengan aparat pertanian (PPL, KUD maupun Pamong desa) yang memberikan informasi secara umum dan akhir- akhir ini selalu membicarakan kelangkaan pupuk urea. Oleh karena jumlah responden yang sangat sedikit, maka status pendidikan non-formal tidak diikutkan dalam analisis penelitian ini.

Sebagian besar (60 persen) tingkat pendidikan formal petani padi hingga tingkat SD, sedang petani sayuran mencapai 48 persen. Tingkat pendidikan tidak tamat SD masih ditemukan pada petani padi di Kabupaten Pasuruan. Tingkat pendidikan tertinggi petani sayuran mencapai perguruan tinggi (Diploma dan Sarjana) sejumlah 15 petani (8,5 persen) sedangkan petani padi mencapai tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA). Tingkat pendidikan petani sayuran di Kabupaten Malang lebih tinggi presentasenya dibanding dengan petani sayuran di Kabupaten Pasuruan.

Dari rataan tingkat pendidikan formal petani baik pada sayuran maupun padi tampak masih kurang mendukung dan belum sesuai dengan wajib belajar 9 tahun bagi warga negara Indonesia. Tingkat pendidikan petani sayuran yang tinggi karena sebagian besar petani sayuran percaya bahwa usahatani sayuran masih dapat memberi harapan untuk meningkatkan dan memenuhi kebutuhan hidup. Bahkan para petani sayuran masih memberikan kesempatan bagi putranya yang berminat untuk melanjutkan usahatani sayuran. Hal ini karena sejumlah bukti petani sayuran memiliki tingkat hidup relatif baik yang ditunjukkan dengan kondisi rumah maupun sarana lainnya seperti kendaraan dan kepemilikan perabot rumah tangga.

Lain halnya dengan petani padi, sebagian besar kurang berminat dan menyarankan bagi putranya agar usahatani padi sebagai kegiatan sambilan

terutama bagi petani yang memiliki penguasaan lahan sempit. Oleh karena itu bagi putra petani yang berpendidikan SLTA lebih berminat bekerja pada industri baik yang ada di Kabupaten Malang maupun Kabupaten Pasuruan. Kondisi tersebut mengandung makna bahwa usahatani padi masih kurang memberi keuntungan dan pendapatan bagi kebutuhan rumah tangga petani.

Kisaran umur petani responden adalah 23 tahun hingga 64 tahun. Umur petani termuda ditemukan pada petani sayuran dan yang memiliki umur paling tua dijumpai pada petani padi. Umur petani responden antara petani sayuran dengan petani padi menunjukkan perbedaan nyata dengan rata-rata 45,5 tahun. Hal ini menggambarkan bahwa umur petani masih pada kisaran umur produktif. Kisaran umur petani yang lebih besar dari 50 tahun baik pada petani sayuran maupun pada petani padi mencapai 31 persen.

Umur produktif paling besar jumlah persentasenya ditemukan pada petani sayuran di Kabupaten Malang yaitu sebanyak 82 persen, sebaliknya petani padi sebagian besar berumur di atas 50 tahun. Hal ini memberi gambaran bahwa petani padi dalam melakukan usahatani lebih statis dan kurang memberikan kesempatan

bagi generasi yang lebih muda (putranya). Pengalaman berusahatani merupakan salah satu faktor penting bagi petani

untuk menjalankan kegiatan usahatani. Ada kecenderungan bahwa semakin banyak belajar dari pengalaman pribadi maupun petani lain yang berhasil tampak semakin lama dalam menjalankan kegiatan usahataninya. Pengalaman berusahatani dalam penelitian dilacak dari periode waktu (lamanya) dalam menjalan kegiatan usahatani dan kemampuan petani dalam menyesuaikan (merubah) jenis tanaman sesuai dengan kebutuhan dan alasan utama menguntungkan menjalankan usahatani.

Pengalaman berusahatani petani sayuran dibanding petani padi menunjukkan perbedaan nyata. Rata-rata pengalaman berusahatani petani padi lebih lama dibanding petani sayuran (Tabel18). Pengalaman berusahatani dengan persentase terbesar ditunjukkan petani sayuran di Kabupaten Malang berkisar antara 10 hingga 20 tahun, sedangkan untuk petani padi di Kabupaten Pasuruan berkisar antara 21 hingga 30 tahun. Berdasarkan Tabel 18 tersebut menunjukkan

bahwa pengalaman berusahatani petani sayuran yang lebih pendek dibanding petani karena terkait dengan umur yaitu rata-rata umur petani padi lebih tua dibanding petani sayuran.

Tingkat kosmopolitan dicirikan dengan intensitas/kekerapan petani dalam bergaul dengan masyarakat/seseorang di luar lingkungan yang melingkupinya, tingkat keaktifan petani dalam mencari informasi di luar lingkungannya dan tingkat pemanfaatan media cetak dan elektronik yang berhubungan dengan usaha- tani yang dijalankan. Bagi petani yang memiliki tingkat kosmopolitan yang tinggi akan cepat mengadopsi suatu inovasi/ mencoba informasi sehingga akan lebih cepat dapat menikmati manfaat suatu inovasi seperti yang telah dinikmati orang- orang lain di luar sistem sosialnya (Mardikanto, 1993).

Tingkat kosmopolitan petani sayuran dibanding petani padi menunjukkan perbedaan nyata dan rata-rata skor 62,6 yang termasuk pada kisaran kategori tinggi (Tabel 18). Petani sayuran yang memiliki tingkat kosmopolitan kategori tinggi hingga sangat tinggi mencapai 51,5 persen dan menunjukkan lebih besar dibanding petani padi yang mencapai 44 persen.

Tingkat kosmopolitan petani sayuran lebih tinggi karena petani sayuran lebih banyak berhubungan (berinteraksi) dengan para pedagang sarana produksi (input) maupun pedagang penampung hasil produksi baik yang berada di Kota Batu maupun Malang, sedangkan petani padi memiliki intensitas hubungan dengan pedagang terbatas di lingkungan desa/kecamatan tempat petani tersebut tinggal. Selain itu karena sayuran merupakan komoditas perdagangan sedang padi tergolong komoditas subsisten, sehingga menuntut petani sayuran lebih kosmopolit dibanding petani padi. Hasil penelitian ini tampak sejalan dengan yang ditemukan Puspadi (2002) di Provinsi Jawa Timur bahwa petani hortikultura (melon) sebagai komoditas perdagangan menunjukkan lebih kosmopolit dibanding petani padi.

Hubungan pendidikan petani dengan tingkat kosmopolitan menunjukkan perbedaan nyata. Semakin tinggi pendidikan petani tampak semakin kosmopolit terutama tampak pada petani sayuran. Berdasarkan Tabel 19 tampak bahwa tingkat pendidikan petani SD baik pada petani padi maupun petani sayuran

memiliki jumlah persentasi tingkat kosmopolitan rendah lebih besar dibanding tingkat kosmopolitan tinggi. Petani sayuran yang berpendidikan SLTA sebagian besar memiliki tingkat kosmopolit tinggi hingga sangat tinggi hal sebaliknya terjadi pada petani padi.

Dari hasil uji Chi-square yang disajikan pada Tabel 19 tampak bahwa tingkat pendidikan berhubungan nyata dengan kekosmopolitan baik pada petani sayuran maupun petani padi. Pendidikan tinggi (SLTA) pada petani sayuran memiliki tingkat kosmopolitan tinggi hingga sangat tinggi sebesar 18,1 persen, sedangkan pada petani padi menunjukkan persentase lebih kecil yaitu 12,7 persen.

Tabel 19. Sebaran TingkatKosmopolitan menurut Pendidikan Petani Tingkat Pendidikan

Petani Padi1) Petani Sayuran2) Tingkat

Kosmopolita n

SD SLTP SLTA Total SD SLTP SLTA P.tinggi Total

Sangat Rendah 13.9 1.8 1.8 17.6 13.6 2.8 0.0 0.0 16.4

Rendah 23.6 8.5 6.7 38.8 24.3 8.5 1.1 0.0 33.9

Tinggi 20.0 6.1 7.9 33.9 9.0 11.3 14.1 6.8 41.2

Sangat Tinggi 2.4 2.4 4.8 9.7 1.1 1.7 4.0 1.7 8.5

T o t a l 60.0 18.8 21.2 100.0 48.0 24.3 19.2 8.5 100.0

Keterangan : 1) Hasil uji Chi-square berbeda nyata =0,05. 2) Hasil uji Chi-square berbeda sangat nyata =0,01

Hal ini mengindikasikan bahwa pendidikan petani sayuran memiliki kontribusi pengaruh sangat nyata terhadap tingkat kosmopolitan, sedangkan pada petani padi memiliki pengaruh nyata. Petani yang berpendidikan tinggi mempunyai potensi untuk meningkatkan tingkat kosmopolitan yang lebih luas dengan memanfaatkan pendidikan yang dimilikinya. Temuan ini mendukung hasil yang dikemukakan oleh Haber dan Reichel (2006) bahwa pendidikan merupakan faktor prediktor yang baik untuk peningkatan kosmopolitan dalam penguatan hubungan jejaring usaha terutama bagi usaha yang beresiko.

Hubungan antara umur petani dengan tingkat kosmopolitan menunjukkan hubungan yang sangat nyata pada petani padi sedangkan pada petani sayuran berhubungan nyata (Tabel 20). Umur petani yang lebih mudah cenderung lebih

Tabel 20. Sebaran Tingkat Kosmopolitan menurut Umur Petani Umur Petani Padi1) Sayuran2) Tingkat Kosmopolitan < 31 31- 40 41-50 > 50 Total < 31 31- 40 41-50 > 50 Total Sangat Rendah 0.0 1.8 7.3 8.5 17.6 2.8 4.5 2.3 2.3 11.9 Rendah 0.0 12.7 9.1 16.4 38.2 3.4 6.2 11.3 15.8 36.7 Tinggi 1.8 10.3 16.4 5.5 33.9 3.4 19.2 11.9 11.3 45.8 Sangat Tinggi 1.2 2.4 5.5 1.2 10.3 0.0 1.7 2.3 1.7 5.6 Total 3.0 27.3 38.2 31.5 100.0 9.6 31.6 27.7 31.1 100.0

Keterangan : 1) Hasil uji Chi-square berbeda sangat nyata =0,01. 2) Hasil uji Chi-square berbeda nyata =0,05.

kosmopolit dibanding petani berumur lanjut (tua). Umur petani padi kurang dari 31 tahun (pada kisaran 27 hingga 30 tahun) memiliki persentase tingkat kosmopolitan tinggi hingga sangat tinggi terkecil. Seiring dengan bertambahnya umur petani cenderung memperlihatkan penurunan tingkat kosmopolitansinya. Hal demikian tidak terjadi pada petani sayuran, seiring dengan bertambahnya umur petani cenderung lebih kosmopolit dan mengalami penurunan setelah petani berumur lebih dari 50 tahun. Hal ini karena pada usia yang lebih 50 tahun petani cenderung sudah mempunyai pengalaman yang cukup sehingga intensitas pergaulan juga mulai berkurang.

Sebagian besar petani sayuran berumur lebih dari 50 tahun mengungkapkan bahwa tinggal memberi dukungan kepada petani sayuran yang berusia muda untuk mencari informasi lebih luas sehingga petani berusia lanjut tinggal berdiskusi tentang informasi yang diperolehnya tersebut. Lain halnya dengan petani padi yang cenderung menerima dan kurang aktif untuk memperluas tingkat kosmopolitansinya karena lebih mendahulukan selamat dari hasil usahatani yang dijalankan. Temuan ini tampak sejalan dengan yang dikemukakan Scott (1994) bahwa pada petani padi yang bersifat subsisten akan menerapkan dahulukan selamat (safety first). Demikian pula hasil penelitian Puspadi (2002) menemukan bahwa petani yang berusia relatif muda cenderung memilih usahatani hortikultura (sayuran), sedangkan petani berusia lanjut memiliki kecenderungan berusahatani tanaman pangan (kebutuhan pangan).

Petani dalam menjalankan usahatani tidak terlepas dari suatu resiko. Petani

Dokumen terkait