• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Kecamatan Dramaga terletak di Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Kecamatan Dramaga merupakan pemekaran dari Kecamatan Ciomas. Sebelumnya Dramaga merupakan wilayah kemantren ketika masih tergabung dalam kecamatan Ciomas. Kecamatan Dramaga terletak di bagian barat dari kota, tepatnya sekitar 12 Km dari pusat Kota Bogor. Luas wilayah sebesar 2 437 636 Ha. Wilayah Kecamatan Dramaga merupakan sentra produksi manisan basah dan kering, baik itu dari buah-buahan (pala, mangga, jambu batu, kemang, pepaya,

kweni, salak, kedondong, buah atep atau caruluk untuk membuat kolang-kaling)

maupun dari bahan sayuran (wortel, labu siam, pare, lobak, bligo, serta ubi jalar). Sebagian besar tanah yaitu 972 Ha digunakan untuk sawah, 1 145 Ha untuk lahan kering (pemukiman, pekarangan, kebun), 49,79 lahan basah (rawa, danau, tambak, situ), 20,30 Ha lapangan olahraga dan pemakaman umum. Kecamatan Dramaga memiliki batas wilayah sebelah utara dengan Kecamatan Rancabungur, sebelah selatan dengan Kecamatan Tamansari/Ciomas, sebelah barat dengan Kecamatan Ciampea, dan sebelah timur dengan Kecamatan Bogor Barat.

Kecamatan Dramaga terdiri dari 10 Desa, 24 Dusun, 72 RW, 309 RT, dan 20 371 KK (Kepala Keluarga). Adapun jumlah penduduk Kecamatan Dramaga pada Tahun 2004 berkisar 84 609 jiwa. Kecamatan Dramaga direncanakan akan memisahkan diri dari Kabupaten Bogor dan termasuk satu dari 14 kecamatan yang akan membentuk Kabupaten Bogor Barat. Adapun Kelurahan/Desa di Kecamatan Dramaga ini terdiri dari 10 Keluarahan/Desa, antara lain: Babakan, Ciherang, Cikarawang, Dramaga, Neglasari, Petir, Purwasari, Sinar Sari, Sukadamai, dan Sukawening.

Karakteristik Contoh Umur Contoh

Umur contoh dikelompokkan ke dalam tiga kelompok, yaitu kelompok umur dewasa muda (18-40 tahun), dewasa madya (41-60 tahun) dan dewasa akhir (> 60 tahun) (Hurlock 1980). Berdasarkan Tabel 4 menunjukkan bahwa lebih dari tiga perempat (85,0%) umur contoh berada pada rentang usia 18-40 tahun dengan rata-rata umur contoh yaitu 33,4 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa umur contoh didominasi pada tahap dewasa muda menurut kategori Hurlock (1980).

Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan umur

Umur (tahun)* Jumlah (n=60) Persentase (%)

Dewasa muda (18-40) 51 85,0 Dewasa madya (41-60) 9 15,0 Dewasa akhir (>60) 0 0,0 Rata-rata (tahun) 33,4 Minimum (tahun) 20 Maksimum (tahun) 53

Standard deviasi (tahun) 7,1

*Kategori menurut Hurlock (1980) Lama Pendidikan Contoh

Tabel 5 menunjukkan bahwa hampir separuh (36,7%) contoh mengenyam pendidikan selama 10 hingga 12 tahun dengan rata-rata lama pendidikan yang ditempuh oleh contoh yaitu 9,1 tahun. Hal ini berarti, rata-rata contoh menyelesaikan pendidikan hingga jenjang SMP. Adapun rata-rata pabrik mensyaratkan minimum tingkat pendidikan sebagai buruh pabrik yaitu tamat SMP.

Tabel 5 Sebaran contoh berdasarkan lama pendidikan

Lama pendidikan (tahun) Jumlah (n=60) Persentase (%)

1-6 (SD) 21 35,0 7-9 (SMP) 17 28,3 10-12 (SMA) 22 36,7 13-16 (PT) 0 0,0 Rata-rata (tahun) 9,1 Minimum (tahun) 6 Maksimum (tahun) 12

Standard deviasi (tahun) 2.56

Pengalaman Kerja Contoh

Seluruh contoh bekerja sebagai buruh di pabrik garmen. Dilihat dari pengalaman kerja contoh di pabrik, hampir separuh (40%) contoh baru bekerja selama kurang dari satu tahun. Akan tetapi, lebih dari seperempat (28,3%) contoh memiliki pengalaman kerja di pabrik lebih dari lima tahun. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan pengalaman kerja di pabrik

Pengalaman kerja (tahun) Jumlah (n=60) Persentase (%)

< 1 24 40,0

1-2 7 11,7

2-5 12 20,0

> 5 17 28,3

Riwayat Pekerjaan Contoh

Istri memiliki peran yang penting dalam keluarga. Selain menjadi ibu rumah tangga yang melakukan kegiatan reproduksi, juga berperan dalam kegiatan ekonomi keluarga yakni membantu memenuhi kebutuhan keluarga baik sebagai pencari nafkah utama maupun tambahan. Sebelum bekerja di pabrik saat ini, hampir separuh (48,4%) contoh tidak memiliki pekerjaan sebelumnya atau sebagai ibu rumah tangga. Selain itu, hampir separuh (45,0%) contoh memiliki pekerjaan sebelumnya juga sebagai buruh pabrik. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan riwayat pekerjaan sebelumnya

Riwayat pekerjaan sebelumnya Jumlah (n=60) Persentase (%)

Ibu rumah tangga 29 48,4

Memiliki usaha 2 3,3

Buruh 27 45,0

Tukang cuci 1 1,6

Penjaga counter 1 1,7

Waktu Bekerja Contoh

Handayani (2008) menungkapkan pada hakikatnya seorang istri mempunyai tugas utama yaitu mengatur urusan rumah tangga termasuk mengawasi, mengatur dan membimbing anak-anak. Apalagi pada keluarga yang mempunyai anak yang masih kecil atau balita maka seorang istri harus pandai mengatur waktu dengan bijaksana. Istri yang harus berangkat bekerja pagi hari dan pulang pada sore hari tetap harus meluangkan waktu untuk berkomunikasi,

bercanda, memeriksa tugas-tugas sekolahnya meskipun istri lelah setelah seharian bekerja di luar rumah. Oleh karenanya, istri yang bekerja tetap harus membagi waktu antara keluarga dengan pekerjaan. Walaupun kebanyakan istri yang bekerja terbentur pada aturan perusahaan/pabrik terkait bagian jam kerja.

Pada umumnya, setiap pabrik memiliki bagian jam kerja yang berbeda- beda. Beberapa pabrik menerapkan sistem shift yang terdiri dari shift pagi, siang dan malam serta sistem normal. Tabel 8 menunjukkan bahwa lebih dari tiga perempat (86,7%) contoh memiliki bagian kerja normal atau tanpa shift. Hal ini berarti, kebanyakan contoh memiliki jam kerja normal yaitu berangkat pagi sekitar pukul 07.00 hingga sore sekitar pukul 16.00.

Tabel 8 juga menunjukkan lebih dari separuh (55,0%) contoh memiliki jam kerja 10 hingga 11 jam per hari, dengan rata-rata lama kerja sebesar 10,4 jam per hari. Adapun standar kerja hampir di seluruh Indonesia rata-rata adalah 8 jam. Biasanya dimulai pada pukul 08.00 hingga 17.00. Kebanyakan perusahaan menerapkan kerja lembur atau melebihi lama kerja normal, namun kelebihan waktu tersebut di bayar dengan upah lembur sesuai aturan masing-masing perusahaan/pabrik. Menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pekerja yang bekerja 6 hari dalam seminggu, jam kerjanya adalah 7 jam dalam 1 hari dan 40 jam dalam 1 minggu. Sedangkan untuk pekerja dengan 5 hari kerja dalam 1 minggu, kewajiban bekerja mereka 8 jam dalam 1 hari dan 40 jam dalam 1 minggu.

Tabel 8 juga memperlihatkan 3,3 persen contoh atau dua orang yang memiliki lama bekerja 14 jam per hari. Artinya, contoh sudah melebihi standar

kerja yang umum berlaku. Adapun posisi kerja contoh yaitu sebagai quality

control dan pembuang benang.

Berdasarkan penelitian pada Tabel 8, rata-rata jam kerja contoh dalam sehari sudah melebihi standar kerja rata-rata yaitu 8 jam. Sedangkan lebih dari separuh contoh (65,0%) memiliki hari kerja sebanyak 6 hari dengan rata-rata hari kerja dalam sehari sebesar 5,7 jam.

Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan waktu bekerja

Karakteristik Jumlah (n=60) Persentase (%)

Bagian jam kerja

Normal 52 86,7

Shift 8 13,3

Lama kerja (jam/hari)

<8 0 0,0 8-9 18 30,0 10-11 33 55,0 12-13 7 11,7 ≥14 2 3,3 Rata-rata 10,4 Minimal 9 Maksimal 14 Standard deviasi 1,2 Hari kerja -5 hari 21 35,0 -6 hari 39 65,0 Rata-rata 5,7 Minimal 5 Maksimal 6 Standard deviasi 0,5

Berdasarkan Pasal 79 Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan, Waktu libur wajib diberikan pabrik kepada buruhnya. Biasanya dalam satu minggu diharuskan memiliki waktu libur minimal satu kali. Tabel 9 menunjukkan bahwa lebih dari separuh (65,0%) contoh memiliki waktu libur dalam seminggu hanya satu hari saja yaitu hari Minggu. Istri yang memiliki waktu libur lebih banyak memungkinkan istri memberikan waktu yang lebih luang untuk mengurus keluarga.

Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan waktu libur

Waktu libur Jumlah (n=60) Persentase (%)

Minggu 39 65,0

Sabtu-Minggu 21 35,0

 

Posisi Kerja Contoh

Sebagian besar pabrik menentukan posisi kerja buruh berdasarkan keahlian yang dimiliki masing-masing. Pekerjaan yang diharuskan memiliki keahlian khusus seperti menjahit, membuat pola, potong, dan lainnya. Sedangkan pada posisi tertentu seperti kebersihan, umum, penolong dan sebagainya tidak memerlukan keahlian tertentu. Tingkat pendidikan dan keahlian yang dimiliki menentukan posisi kerja pada pabrik. Semakin baik tingkat pendidikan dan

keahlian, semakin baik pula posisi kerja yang ditempati. Pada penelitian ini terlihat beragam posisi kerja contoh, antara lain umum, menjahit, penyelesaian, kontrol kontrol, supervisor, pembuang benang, penolong, pengemasan, potong, pola, kebersihan, kantin dan gudang. Lebih dari separuh (60,0%) contoh menempati posisi kerja sebagai penjahit. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan posisi kerja

Posisi sebagai pekerja Jumlah (n=60) Persentase (%)

General (umum) 3 5,0

Sewing (penjahit) 36 60,0

Finishing (penyelesaian) 2 3,3

Quality control (kontrol kualitas) 4 6,7

Supervisor (pengawas) 4 6,6

Streaming (buang benang) 2 3,3

Helper (penolong) 2 3,3 Packing (pengemasan) 2 3,3 Cutting (Potong) 1 1,7 Pola 1 1,7 Kebersihan 1 1,7 Kantin 1 1,7 Gudang 1 1,7

Sarana/Transportasi Contoh menuju Tempat Kerja

Sementara itu kendaraan yang biasa dipakai contoh selama bekerja di pabrik terlihat dalam Tabel 11. Lebih dari tiga perempat (80,0%) contoh menggunakan kendaraan umum sebagai alat transportasi menuju pabrik. Selebihnya atau kurang dari seperempat contoh menggunakan motor dan berjalan kaki menuju tempat kerja/pabrik. Hal ini dimungkinkan karena tempat kerja contoh tidak terlalu jauh dengan tempat tinggal contoh sehingga dapat dijangkau dengan menggunakan angkutan umum.

Tabel 11 Sebaran contoh berdasarkan kendaraan yang dipakai selama bekerja

Kendaraan yang digunakan Jumlah (n=60) Persentase (%)

Milik pribadi 10 16,7

Umum 48 80,0

Lainnya 2 3,3

Upah Kerja Contoh per Bulan

Tabel 12 menunjukkan bahwa lebih dari setengah (61,7%) contoh memiliki upah kerja berkisar antara Rp 1 000 000,00 hingga Rp 1 999 999,00

dengan rata-rata upah kerja per bulan sebesar Rp 1 104 038,00. Hal ini berarti, sebagian besar contoh termasuk kategori kurang sejahtera atau memiliki upah kerja yang berada di bawah UMK pemerintah Kabupaten Bogor 2011. Adapun

UMK pemerintah Kabupaten Bogor 2011 sebesar Rp 1 172 060,00. 

Upah Minimum adalah suatu standar minimum yang digunakan oleh para pengusaha atau pelaku industri untuk memberikan upah kepada pekerja di dalam lingkungan usaha atau kerjanya. Pemenuhan kebutuhan yang layak di setiap propinsi berbeda-beda, maka disebut Upah Minimum Propinsi. Pasal 89 Undang- Undang Nomor 13 menyatakan bahwa penentuan upah minimum diarahkan kepada pemenuhan kebutuhan kehidupan yang layak.

Pemberian upah merupakan suatu imbalan/balas jasa dari perusahaan kepada tenaga kerjanya atas prestasi dan jasa yang disumbangkan dalam kegiatan produksi. Penerimaan upah kerja responden dalam penelitian ini diberikan pabrik melalui beberapa satuan waktu tertentu, antara lain mingguan, dua minggu dan setiap bulannya. Adapun cara pembayaran upah oleh pabrik dilakukan melalui dua cara pembayaran yaitu uang tunai dan pembayaran via ATM yang di transfer pihak pabrik ke rekening contoh.

Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan upah kerja per bulan

Upah kerja/bulan Jumlah (n=60) Persentase (%)

< Rp 1 000 000,00 21 35,0 Rp 1 000 000-1 999 999,00 37 61,7 Rp 2 000 000-2 999 999,00 2 3,3 Rata-rata (Rupiah) 1 104 038,00 Minimum (Rupiah) 504 000,00 Maksimum (Rupiah) 2 400 000,00

Standar deviasi (Rupiah) 32 1726,30

Karakteristik Keluarga Contoh Umur Suami Contoh

Umur suami contoh dikelompokkan ke dalam tiga kelompok, yaitu kelompok umur dewasa muda (18-40 tahun), dewasa madya (41-60 tahun) dan dewasa akhir (> 60 tahun) (Hurlock 1980). Berdasarkan Tabel 13 menunjukkan bahwa hampir tiga perempat (68,3%) umur suami contoh berada pada rentang usia 18-40 tahun dengan rata-rata umur suami contoh yaitu 36,6 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa umur suami contoh didominasi pada tahap dewasa muda

menurut kategori Hurlock (1980). Salah satu tugas perkembangan dewasa muda (18-40 tahun) adalah mulai hidup dalam keluarga atau hidup berkeluarga dan mengelola rumah tangga. Sebagian besar contoh telah menyelesaikan pendidikan dan memasuki dunia pekerjaan. Secara ekonomis, artinya sudah tidak bergantung lagi pada orang tua. Sikap yang mandiri ini merupakan langkah positif karena sekaligus dijadikan sebagai persiapan untuk memasuki kehidupan rumah tangga yang baru dan belajar mengasuh anak. Tahap dewasa muda juga mulai membentuk, membina, dan mengembangkan kehidupan rumah tangga dengan sebaik-baiknya agar dapat mencapai kebahagiaan hidup. Penyesuaian diri dan bekerja sama dilakukan dengan pasangan hidup masing-masing. Selain itu. juga harus dapat melahirkan, membesarkan, mendidik, dan membina anak-anak dalam keluarga (Anonimous 2011).

Tabel 13 Sebaran contoh berdasarkan umur suami

Umur (tahun)* Jumlah (n=60) Persentase (%)

Dewasa muda (18-40) 41 68,3 Dewasa madya (41-60) 19 31,7 Dewasa akhir (>60) 0 0,0 Rata-rata (tahun) 36,6 Minimum (tahun) 25,0 Maksimum (tahun) 54,0

Standard deviasi (tahun) 7,6

*Kategori menurut Hurlock (1980) Lama Pendidikan Suami Contoh

Pendidikan suami contoh dilihat dari lama pendidikan formal yang ditempuh. Lama pendidikan dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi empat kelompok, yaitu pendidikan hingga jenjang Sekolah Dasar (1-6 tahun), jenjang SMP (7-9 tahun), jenjang SMA (10-12 tahun), dan jenjang Perguruan Tinggi (13- 16 tahun).

Tabel 14 menunjukkan bahwa hampir separuh (41,7%) suami contoh mengenyam pendidikan selama 10 hingga 12 tahun dengan rata-rata lama pendidikan yang ditempuh oleh suami contoh yaitu 9,2 tahun. Hal ini berarti sebagian besar suami contoh menyelesaikan pendidikan hingga jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Tabel 14 Sebaran contoh berdasarkan lama pendidikan suami

Lama pendidikan (tahun) Jumlah (n=60) Persentase (%)

1-6 (SD) 24 40,0 7-9 (SMP) 9 15,0 10-12 (SMA) 25 41,7 13-16 (PT) 2 3,3 Rata-rata (tahun) 9,2 Minimum (tahun) 6,0 Maksimum (tahun) 15,0

Standard deviasi (tahun) 2,9

Besar Keluarga Contoh

Besar keluarga merupakan jumlah seluruh anggota keluarga inti dan sanak saudara yang tinggal bersama keluarga. Besar keluarga pula dapat ditentukan berdasarkan banyaknya anggota keluarga. Menurut BKKBN (1998), besar

keluarga dikategorikan menjadi tiga kelompok yaitu kecil (≤ 4 orang), sedang (5-7

orang) dan besar (> 7 orang). Berdasarkan penelitian pada Tabel 15 bahwa hampir tiga perempat (71,7%) contoh memiliki besar keluarga berada dalam kategori kecil, yaitu kurang dari empat orang atau sebanyak 43 orang dengan rata-rata besar keluarga sebesar 3,9 orang. Besar keluarga berkaitan dengan pengeluaran keluarga, semakin besar anggota keluarga maka pengeluaran keluarga semakin bertambah.

Tabel 15 Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga

Besar keluarga (orang)* Jumlah (n=60) Persentase (%)

Kecil (≤ 4 orang) 43 71,7 Sedang (5-7 orang) 17 28,3 Besar (> 7 orang) 0 0,0 Rata-rata (orang) 3,9 Minimum (orang) 2,0 Maksimum (orang) 7,0

Standard deviasi (orang) 1,2

*Kategori menurut BKKBN (1998) Pekerjaan Suami Contoh

Pekerjaan suami contoh merupakan salah satu faktor yang menentukan pendapatan keluarga. Tingkat pendidikan yang diperoleh suami juga ikut menentukan besarnya peluang dalam usaha memperoleh pekerjaan yang layak. Semakin tinggi tingkat pendidikan suami memungkinkan dirinya memperoleh jabatan pekerjaan yang lebih baik. Deacon dan Firebaugh (1988), jenis pekerjaan

yang profesional menyediakan pendapatan yang lebih tetap dibandingkan pekerjaan swasta. Namun pekerjaan sebagai swasta cenderung untuk memiliki kesempatan lebih dalam meningkatkan pendapatan keluarga.

Hampir separuh (31,7%) pekerjaan suami contoh bekerja sebagai buruh/kuli. Penelitian menunjukkan bahwa rata-rata lama pendidikan yang ditempuh oleh suami contoh yaitu 9,2 tahun. Pada usia tersebut, kebanyakan suami contoh telah menyelesaikan pendidikan hingga jenjang SMP. Sedangkan salah satu persyaratan yang banyak ditemui jika bekerja sebagai buruh adalah seseorang yang telah menamatkan pendidikan hingga jenjang SMA. Jenis pekerjaan suami dapat dilihat pada Tabel 16.

Tabel 16 Sebaran contoh berdasarkan jenis pekerjaan suami contoh

Jenis pekerjaan suami Jumlah (n=60) Persentase (%)

Buruh/ kuli 19 31,7 Pedagang 1 1,7 Wiraswasta 5 8,3 Supir 10 16,7 Karyawan/pegawai 13 21,7 Petani 1 1,7 PNS 3 5,0 Koki 3 5,0 Ojek 1 1,7 Tukang parkir 1 1,7 Tidak bekerja 3 5,0 Kepemilikan Aset

Deacon dan Firebaugh (1988), material aset merupakan sumber aset keluarga yang memiliki nilai ekonomi dan dapat digunakan untuk melindungi, merubah, mengkonsumsi, atau memproduksi/investasi. Ketersediaan aset dapat memudahkan manajemen dari hal-hal yang tidak dapat diprediksikan. Salah satu

aset berupa uang tunai (cash) dapat menyediakan respon untuk kebutuhan yang

lebih cepat. Sedangkan sumber-sumber tangible aset seperti rumah atau asuransi

hidup bernilai uang tunai dapat digunakan untuk mendapatkan kredit dalam situasi darurat.

Berdasarkan kepemilikan aset pada Tabel 17, hampir separuh (40%) contoh memiliki rumah dengan status kepemilikan orangtua atau contoh masih tinggal satu atap dengan orangtua. Status kepemilikan motor, lebih dari sepertiga

(35,0%) contoh tidak memiliki dan hanya kurang dari sepertiga (31,7%) contoh dimiliki oleh suami contoh atau kepemilikan motor atas nama suami contoh. Kepemilikan barang elektronik, lebih dari separuh (63,3% dan 61,7%) contoh memiliki televisi dan handphone secara bersama, yaitu masing-masing memiliki handphone dan ada juga contoh yang membeli handphone dengan menggunakan uang bersama (suami dan contoh). Hampir separuh (45,0%) contoh tidak memiliki radio/tape/VCD/AC dan kurang dari sepertiga (31,7%) dimiliki secara bersama dengan menggunakan uang bersama yaitu suami dan contoh. Separuh (50,0%) contoh tidak memiliki kulkas dan lebih dari sepertiganya (35,0%) dimiliki secara bersama dengan menggunakan uang suami dan contoh. Lebih dari seperempat (83,3%) contoh juga tidak memiliki mesin cuci dan hanya kurang dari seperlimanya (13,4%) dibeli contoh dengan menggunakan uangnya sendiri. Lebih dari separuh (63,3%) contoh tidak memiliki perhiasan seperti emas, hanya seperempatnya (25,0%) perhiasan dibeli dengan menggunakan uang contoh sendiri. Hampir tiga perempat (70%) contoh tidak memiliki tabungan dan kurang dari seperenamnya (13,3%) dimiliki secara bersama-sama dengan menggunakan uang bersama (suami dan contoh).

Sedangkan kepemilikan aset terhadap pertanian, perikanan dan ternak seperti sawah, ladang/kebun dan tambak diketahui bahwa hampir seluruh (90,0%, 98,3% dan 98,3%) contoh tidak memiliki aset tersebut. Sedangkan hanya 4 orang yang memiliki aset sawah dengan status kepemilikan atas nama contoh. Hanya 1 orang (1,7%) kepemilikan ladang/kebun dan tambak kepemilikan atas nama suami contoh.

Status kepemilikan sofa, kurang dari separuh contoh (43,3%) dimiliki secara bersama dengan menggunakan uang suami dan contoh dan hampir separuhnya (41,7%) tidak memiliki sofa. Sedangkan hampir tiga perempat (73,3%) contoh memiliki status kepemilikan kompor gas dipunyai bersama dengan menggunakan uang bersama dan lebih dari seperdelapannya dimiliki oleh contoh.

Tabel 17 Sebaran contoh berdasarkan kepemilikan aset

Jenis aset Status Kepemilikan (%)* Tidak

memiliki aset (%) 1 2 3 4 5 Rumah 10,0 8.3 0,0 40,0 33,4 8,3 Motor 31,7 8,3 20,0 3,3 1,7 35.0 TV 5,0 20,0 63,3 6,7 0,0 5,0 Radio/tape 3,3 11,7 31,7 5,0 3,3 45,0 Kulkas 1,7 8,3 35,0 5,0 0,0 50,0 Mesin cuci 0.0 13,4 3,3 0,0 0,0 83,3 Handphone 5,0 16,7 61,7 0,0 5,0 11,7 Perhiasan/emas 3,3 25,0 6,7 0,0 1,7 63,3 Tabungan 3,3 11,7 13,3 1,7 0,0 70,0 Sawah 0,0 6,7 1,6 1,6 0,0 90,0 Ladang/kebun 1,7 0,0 0,0 0,0 0,0 98,3 Tambak 1,7 0,0 0,0 0,0 0,0 98,3 Sofa 1,7 3,3 43,3 10,0 0,0 41,7 Kompor gas 1,7 13,3 73,3 10,0 0,0 1,7

*Keterangan: 1= Suami, 2= Contoh, 3=Bersama (suami dan contoh), 4=Orangtua,

5 = Saudara/anak

Pendapatan Keluarga per Bulan

Deacon dan Firebaugh (1988), sumberdaya keuangan keluarga yang utama didapatkan dari pendapatan keluarga. Pendapatan merupakan imbalan yang diterima seseorang dari pekerjaan yang telah dilakukannya untuk mencari nafkah (Sumarwan 2002). Pendapatan keluarga biasanya didapatkan dari seluruh anggota keluarga yang bekerja. Pendapatan keluarga berkaitan dengan tingkat kesejahteraan keluarga. Semakin tinggi pendapatan keluarga maka semakin tinggi pula tingkat kesejahteraan keluarga.

Kesejahteraan keluarga contoh dapat diukur menggunakan UMK pemerintah Kabupaten Bogor. Keluarga yang memiliki pendapatan keluarga di atas UMK Kabupaten Bogor, dapat dikatakan sejahtera. Tabel 18 menunjukkan bahwa hampir separuh contoh memiliki pendapatan keluarga per bulan sebesar Rp 2 000 000,00 hingga Rp 2 999 999,00 dengan rata-rata pendapatan sebesar Rp 2 151 207,00. Berdasarkan UMK Kabupaten Bogor (2011) sebesar 1 172 060,00, rata-rata keluarga contoh temasuk dalam kategori keluarga sejahtera.

Tabel 18 Sebaran contoh berdasarkan pendapatan keluarga per bulan

Pendapatan keluarga (Rp/bulan) Jumlah (n=60) Persentase (%)

< Rp 1 000 000,00 1 1,7 Rp 1 000 000-1 999 999,00 23 38,3 Rp 2 000 000-2 999 999,00 29 48,3 > Rp 3 000 000,00 7 11,7 Rata-rata (Rupiah) 2 151 207,00 Minimum 600 000,00 Maksimum 4 000 000,00 Standard deviasi 620 202,20

Pendapatan per kapita merupakan indikator penting dalam pembangunan suatu negara. Pendapatan per kapita menentukan pendapatan yang layak untuk mencukupi kebutuhan minimal. Pendapatan per kapita dapat dihitung untuk mengetahui golongan keluarga miskin atau tidak. Negara yang maju memiliki pendapatan per kapita keluarga yang tinggi dengan rata-rata keluarga berada di atas garis kemiskinan. Sedangkan keluarga yang berada pada kategori miskin berarti memiliki permasalahan dalam keuangan. Tabel 19 menunjukkan bahwa hampir separuh contoh (40,0%) memiliki pendapatan keluarga per kapita per bulan berkisar antara Rp 394 639,00 hingga Rp 591 957,00 dengan rata-rata pendapatan sebesar Rp 607 445,77. Hal ini berarti hampir seluruh contoh berada di atas garis kemiskinan atau sejahtera dengan batas garis kemiskinan Kabupaten Bogor (2010) sebesar Rp 197 319,00.

Tabel 19 Sebaran contoh berdasarkan pendapatan keluarga per kapita

Pendapatan keluarga (Rp/bulan) Jumlah (n=60) Persentase (%)

≤ Rp 197 319* 1 1,7 Rp 197 320-Rp 394 638 9 15,0 Rp 394 639-Rp 591 957 24 40,0 > Rp 591 957 26 43,3 Rata-rata (Rupiah) 607 445,77 Minimum 85 714,00 Maksimum 1 336 050,00 Standard deviasi 263905,78

Pengeluaran Keluarga per Bulan

Pengeluaran keluarga dapat dilihat dari jumlah pengeluaran untuk pangan dan nonpangan. Pengeluaran keluarga berkaitan dengan besar keluarga. Semakin besar anggota keluarga maka semakin besar pengeluaran yang dilakukan. Tabel 20 menunjukkan bahwa lebih dari separuh contoh (63,3%) memiliki pengeluaran keluarga pada rentang Rp 1 000 000,00 hingga Rp 1 999 999,00 per bulan dengan rata-rata pengeluaran sebesar Rp 1 729 962,00. Sedangkan besar keluarga pada

penelitian ini berada pada kategori rendah (≤ 4 orang), sehingga pengeluaran yang

dilakukan keluarga contoh tidak terlalu tinggi.

Tabel 20 Sebaran contoh berdasarkan pengeluaran keluarga per bulan

Pengeluaran keluarga (Rp/bulan) Jumlah (n=60) Persentase (%)

< Rp 1 000 000,00 6 10,0 Rp 1 000 000-1 999 999,00 38 63,3 Rp 2 000 000-2 999 999,00 12 20,0 >Rp 3 000 000,00 4 6,7 Rata-rata (Rupiah) 1 729 962,00 Minimum 285 700,00 Maksimum 3 277 000,00 Standard deviasi 643 496,32

Pengeluaran keluarga terdiri dari dua kelompok, yaitu pangan dan nonpangan. Pengeluaran pangan yaitu pengeluaran yang dialokasikan untuk kebutuhan makanan sehari-hari. Sedangkan pengeluaran nonpangan dialokasikan untuk kebutuhan di luar kebutuhan pangan. Tabel 21 menunjukkan bahwa rata- rata pengeluaran untuk pangan contoh sebesar 860 766,67 rupiah. Sedangkan rata- rata pengeluaran keluarga untuk nonpangan sebesar 912 050,00 rupiah. Hal ini menunjukkan bahwa pengeluaran untuk kebutuhan nonpangan lebih besar dibandingkan kebutuhan untuk pangan. Berdasarkan BPS (1994), terdapat kecenderungan bahwa semakin tinggi pendapatan maka semakin berkurang persentase pendapatan yang dibelanjakannya untuk makanan dan semakin tinggi tingkat kesejahteraan. Oleh karena itu, tingkat kesejahteraan contoh yang tinggi dapat dilihat rata-rata pendapatan contoh yang berada di atas UMR dan pengeluaran nonpangan yang lebih besar dibanding pangan.

Tabel 21 Sebaran contoh berdasarkan pengeluaran pangan dan nonpangan

Pengeluaran keluarga

Rata-rata ± std (Rp) Min-maks Persentase

(%)

Pangan 860 766,67±363 802,53 300 000,00–1 800 000,00 48,6

Nonpangan 912 050,00±486 864,06 118 000–2 599 000,00 51,4

Pengeluaran per kapita keluarga dapat diukur dengan menggunakan garis kemiskinan. Semakin pengeluaran keluarga berada di atas garis kemiskinan maka semakin sejahtera. Tabel 22 menunjukkan bahwa hampir separuh (41,7%) contoh memiliki pengeluaran keluarga per kapita sebesar Rp 394 639,00 hingga Rp 591 957,00 dengan rata-rata pengeluaran sebesar Rp 487 664,30. Hal ini menunjukkan bahwa hampir sebagian besar contoh berada di atas garis kemiskinan atau sejahtera. Adapun batas garis kemiskinan Kabupaten Bogor (BPS 2010) yaitu sebesar Rp 197 319,00. Penelitian menunjukkan bahwa rata-rata pengeluaran keluarga per kapita (Rp 487 664,30) lebih kecil dibandingkan dengan pendapatan

per kapita (Rp 607 445,77). Berdasarkan teori konsumsi, semakin besar tingkat

pendapatan maka semakin besar alokasi untuk konsumsi, hal ini menandakan sifat keluarga yang tidak konsumtif dalam mengelola keuangan (Anonimous 2011).

Tabel 22 Sebaran contoh berdasarkan pengeluaran per kapita

Pengeluaran keluarga (Rp/bulan) Jumlah (n=60) Persentase (%)

≤ Rp 197 319* 3 5,0 Rp 197 320- Rp 394 638 20 33,3 Rp 394 639- Rp 591 957 25 41,7 > Rp 591 957 12 20,0 Rata-rata 487 664,30 Minimum 145 429,00 Maksimum 1 538 750,00 Standard deviasi 224 975,70

*Garis Kemiskinan Kabupaten Bogor BPS 2010

Perbandingan antara Pendapatan dan Pengeluaran Keluarga

Dalam pengelolaan keuangan keluarga yang baik, pendapatan keluarga contoh harus lebih tinggi dibandingkan dengan pengeluaran keluarga sehingga keluarga lebih leluasa mengelola keuangannya. Akan tetapi, terdapat tiga kondisi dalam pengelolaan keuangan keluarga. Ketiga kondisi tersebut antara lain: 1) Kondisi pada saat pendapatan keluarga lebih tinggi dibandingkan pengeluaran keluarga, disebut dengan saldo surplus atau keuangan berada pada kondisi yang

keluarga atau saldo sama dengan nol. Kondisi ini aman namun perlu diwaspadai dan perlu dilakukan penghematan atau penambahan pendapatan, dan 3) Kondisi

Dokumen terkait