• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berawal dari beberapa keprihatinan orang tua, dokter dan guru akan banyaknya anak berkebutuhan khusus di daerah Serpong, Tangerang-Banten, maka pada tahun 1996 didirikanlah suatu kegiatan pelatihan untuk anak-anak berkebutuhan khusus tersebut, kegiatan pelatihan tersebut diberi nama Pelatihan Al Ihsan dibawah kepengurusan DKM Masjid Dzarratul Muthmainnah.

Awal berdiri pelatihan ini belum banyak anak-anak berkebutuhan khusus yang berminat menjadi murid Al Ihsan. Pada saat itu murid Al Ihsan hanya berjumlah 4 orang anak saja, hal ini dikarenakan kurangnya fasilitas yang ketika itu hanya menempati garasi rumah sebagai tempat belajarnya. Namun berkat kesabaran dan keuletan para guru, pendiri yayasan serta orang tua murid akhirnya sekolah ini berkembang hingga sekarang ini.

Pelatihan Anak Khusus (PAK) Al Ihsan mempunyai suatu misi sosial. Kami menyadari bahwa mempunyai anak berkebutuhan khusus, terutama penyandang Autisme memerlukan biaya yang besar dalam perawatannya, karena alasan tersebut maka kami mendirikan yayasan ini. Pelatihan Anak Khusus (PAK) Al Ihsan tidak hanya semata-mata mengejar keuntungan tetapi juga bertujuan mengajarkan kemandirian pada anak-anak berkebutuhan khusus tersebut.

Setelah 11 tahun berdiri, Pelatihan Anak Khusus (PAK) Al Ihsan yang semula berpusat di Kompleks Batan Indah, Tangerang-Banten sekarang sudah memiliki 3 cabang, yaitu di perumahan Villa Melati Mas, Apotik Tiara Pamulang dan Pondok Cilegon Indah (PCI) Cilegon. Dengan semakin banyaknya cabang yang didirikan oleh Al Ihsan, kemudian Al Ihsan merekrut 24 orang guru yang sebagian besar berlatarbelakang pendidikan IKIP PLB (Pendidikan Luar Biasa) dan telah membimbing lebih dari 200 anak berkebutuhan khusus, tak jarang anak-anak yang telah diberikan bimbingan sudah dapat melanjutkan pendidikannya ke jenjang sekolah dasar umum. Mayoritas anak-anak berkebutuhan khusus yang terdapat di PAK Al Ihsan adalah anak dengan gangguan Autisme (ASD).

Pelatihan Al Ihsan yang berlokasi di Tangerang- Banten terbagi atas dua lokasi. Lokasi pertama bertempat di ruko Villa Melati Mas B10 No.40, dan Apotik Tiara Pamulang-Banten. Sedangkan lokasi yang di Cilegon-Banten berada di kompleks perumahan Pondok Cilegon Indah (PCI) Blok C5 No.5.

Karakteristik Keluarga

Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terikat oleh hubungan perkawinan dan hubungan darah, tinggal dalam satu rumah dengan menjalankan fungsi dan peran tertentu untuk mencapai suatu tujuan yang sama (Guhardja, Hartoyo, Puspitawati, Hastuti 1992). Keluarga mempunyai posisi yang penting bagi pembentukkan sumberdaya manusia. Hal ini terkait karena tempat pertama manusia berinteraksi akan dimulai dari keluarga. Karakteristik keluarga meliputi pendidikan, usia, pekerjaan, pendapatan orang tua, serta besar keluarga.

Tipe Keluarga

Tipe keluarga dikelompokkan menjadi dua, yaitu keluarga inti dan keluarga luas. Keluarga inti terdiri atas ayah, ibu dan anak, sedangkan keluarga luas terdiri atas ayah, ibu, anak, serta anggota keluarga lainnya yang tinggal bersama. Berdasarkan Gambar 3 dapat dilihat bahwa persentase terbesar contoh (61.3%) tergolong kedalam keluarga inti, dan sisanya (38.7%) merupakan keluarga luas.

Gambar 3. Sebaran contoh berdasarkan tipe keluarga

Orang tua yang berasal dari keluarga kecil, pada umumnya mencurahkan waktu dan memberikan kasih sayang, serta perhatian yang cukup pada setiap anak. Orang tua akan lebih mampu memberikan fasilitas yang sama kepada anaknya sehingga tumbuh kembang anak dapat berjalan dengan baik (Hurlock 1991).

Besar Keluarga

Besar keluarga dalam penelitian ini merupakan keseluruhan jumlah anggota keluarga yang terdiri dari bapak, ibu, anak dan anggota keluarga lainnya. Besar keluarga menurut BKKBN dibagi menjadi tiga kategori, yaitu keluarga kecil, keluarga sedang dan keluarga besar. Keluarga kecil yaitu

61,3 38,7 0 10 20 30 40 50 60 70 Tipe Keluarga

Sebaran contoh berdasarkan tipe keluarga

Keluarga Inti Keluarga Luas

keluarga yang memiliki jumlah anggota keluarga kurang dari sama dengan empat orang. Sedangkan keluarga sedang adalah keluarga yang memiliki jumlah anggota keluarga lima sampai tujuh orang dan keluarga besar yaitu keluarga yang memiliki jumlah anggota keluarga lebih dari sama dengan delapan orang.

Berdasarkan Gambar 4 dapat dilihat bahwa sebanyak 48.4 persen keluarga contoh adalah keluarga sedang, dan sebagian kecil (9.7%) contoh merupakan keluarga besar (≥8 orang). Pertumbuhan dan perkembangan anak ASD akan semakin baik apabila setiap anggota keluarga yang tinggal bersama dapat saling bekerja sama dalam merawat dan mendidik anak ASD, hal ini diperkuat oleh pernyataan Soetjiningsih (1995) bahwa jumlah anak dalam satu keluarga dapat mempengaruhi interaksi yang terjadi antara anggotanya. Interaksi yang terjadi tersebut diantaranya dalam hal pengasuhan anak.

Gambar 4 Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga

Semakin besar jumlah anggota keluarga, maka pengasuhan yang diberikan ke anak dalam keluarga dapat dilakukan oleh beberapa pengasuh. Bila dalam satu keluarga tidak terdapat adanya kesepakatan, maka perhatian dan kasih sayang yang diberikan kepada anak ASD akan kurang optimal dari orang tua sehingga dapat menurunkan kualitas pengasuhan dan menyebabkan lambatnya pertumbuhan dan perkembangan anak ASD. Adanya kerjasama yang baik antara suami dan istri serta keduanya fokus dalam hal pengasuhan maka perkembangan anak ASD akan dapat diamati secara seksama (Grandin 1995). Karakteristik Orang Tua

Usia orang tua akan mempengaruhi kualitas pengasuhan terhadap anaknya. Usia biasanya mempengaruhi kesiapan seseorang untuk menjalani proses-proses dalam kehidupannya. Berkeluarga merupakan salah satu proses yang harus dijalani dalam tahapan kehidupan. Usia orang tua dapat mempengaruhi kesiapan menjalankan peranannya, terutama dalam memenuhi

41,9 48,4 9,7 0 10 20 30 40 50 Besar Keluarga

Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga

≤ 4 Orang (kecil) 5-7 Orang (sedang) ≥ 8 Orang (besar)

kebutuhan anak untuk menunjang tumbuh kembang yang optimal (Anfamedhiarifda 2006).

Berdasarkan Gambar 5 dapat dilihat bahwa sebesar 45.2 persen usia ayah berada pada rentang usia 31-40 tahun, sama halnya dengan usia ibu, persentase terbesar contoh (61.3%) berada pada rentang 31-40 tahun. Baik usia ayah maupun usia ibu berada pada kategori usia yang sama yaitu kategori dewasa awal.

Tingkat pendidikan orang tua berhubungan dengan cara mendidik anak. Pendidikan merupakan suatu proses yang dilakukan secara sadar, berlangsung terus menerus. Sistematis dan terarah, yang bertujuan mendorong terjadinya perubahan-perubahan pada setiap individu yang terlibat didalamnya (Gunarsa & Gunarsa 1995)

Berdasarkan Gambar 5 dapat dilihat bahwa orang tua contoh memiliki tingkat pendidikan dari SD hingga perguruan tinggi. Lebih dari separuh contoh (61.3%) lama pendidikan ayah diatas 15 tahun (tamatan diploma atau perguruan tinggi dengan rata-rata pendidikan 14.61 tahun, dan sisanya sebesar 38.7 persen lama pendidikan ayah 12 tahun (tamatan SLTA). Sedangkan persentase terbesar contoh (58.1%) lama pendidikan ibu juga berada pada kategori diatas 15 tahun (tamatan diploma atau perguruan tinggi) dengan rata-rata pendidikan 14.13 tahun, sebesar 38.7 persen lama pendidikan ibu 12 tahun (tamatan SLTA). Namun masih terdapat satu orang tua contoh (3.2%) yang lama pendidikannya enam tahun (tamatan SD). Walaupun ibu berpendidikan rendah namun apabila ia memberikan kualitas pengasuhan yang terbaik untuk anaknya maka pertumbuhan dan perkembangan anaknya pun akan semakin baik, berbeda halnya dengan ibu yang berpendidikan tinggi tetapi ia kurang memberikan kualitas pengasuhan yang terbaik untuk anaknya, maka pertumbuhan dan perkembangan anaknya pun akan terhambat. Jadi, berhasil atau tidak ibu mendidik anak bukan dilihat dari faktor lama pendidikan saja tetapi yang terpenting adalah kualitas pengasuhan yang diberikan.

Berdasarkan Gambar 5 sebanyak 41.9 persen pekerjaan ayah adalah pegawai swasta. Pekerjaan ayah contoh lainnya adalah PNS (16.1%), wiraswasta (35.5%), tentara (3.2%), dan terdapat satu orang tua responden (3.2%) yang tidak bekerja, hal ini dikarenakan adanya pemutusan kerja (PHK) yang dialaminya.

Pekerjaan ibu pada umumnya berada pada kategori ibu rumah tangga (74.2%). Ibu adalah orang yang paling berperan dalam perkembangan, sehingga anak yang selalu berada di bawah pengawasan ibu diharapkan akan mendapatkan kualitas pengasuhan yang terbaik sehingga perkembangan anak pun akan terarah dengan baik. Pekerjaan ibu contoh lainnya adalah PNS (12.9%), wiraswasta (6.5%), dan pegawai swasta (6.5%). Jenis pekerjaan orang tua menentukan kualitas dan kuantitas pengasuhan orang tua.

Gambar 5 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik orang tua.

3,2 45,2 32,2 19,4 0 10 20 30 40 50

Usia Ayah (tahun)

Mean±SD= 41.81±6.58 Sebaran contoh berdasarkan usia ayah

(tahun) 20-30 31-40 41-50 >50 6,5 61,3 32,2 0 0 10 20 30 40 50 60 70

Usia Ibu (tahun)

Mean±SD=38.00±5.73 Sebaran contoh berdasarkan usia ibu (tahun)

20-30 31-40 41-50 >50 0 38,7 61,3 0 10 20 30 40 50 60 70

Lama Pendidikan Ayah (tahun) Mean±SD 14.61±2.25

Sebaran contoh berdasarkan lama pendidikan ayah (tahun)

Tamat SLTP (9) Tamat SLTA (12) Tamat Diploma/Perguruan Tinggi (>15) 3,2 38,7 58,1 0 10 20 30 40 50 60

Lama Pendidikan Ibu (tahun) Mean±SD=14.13±2.17

Sebaran contoh berdasarkan lama pendidikan ibu (tahun)

Tamat SLTP (9) Tamat SLTA (12) Tamat Diploma/Perguruan Tinggi (>15) 12,9 6,5 6,5 74,2 0 20 40 60 80

Jenis Pekerjaan Ibu

Sebaran contoh bedasarkan pekerjaan ibu

PNS Wirasw asta Pegaw ai Sw asta Ibu Tumah Tangga 16,1 35,641,9 3,2 3,2 0 10 20 30 40 50

Jenis Pekerjaan Ayah

Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan ayah PNS Wirasw asta Pegaw ai Sw asta Tentara Tidak Bekerja

Hasil penelitian Latifah (2007) menyatakan bahwa pada hakekatnya kesibukkan akibat bekerja tidak selalu menimbulkan akibat yang kurang baik, hal ini terlihat dari rata-rata skor stimulasi psikososial pada kelompok ibu bekerja (39.4 poin) cenderung lebih tinggi daripada kelompok ibu tidak bekerja (38.9 poin).

Menurut Munandar (1985) diacu dalam Latifah (2007) mengemukakan bahwa bekerjanya ibu tidak menyebabkan dampak negatif yang merugikan bagi perilaku dan penyesuaian diri anak-anaknya. Dalam hal ini yang lebih penting secara psikologisnya ialah kualitas bukan kuantitas dari interaksi antara ibu dan anak. Anak ASD membutuhkan perhatian yang lebih dibandingkan dengan anak normal pada umumnya. Seorang ibu yang mempunyai anak ASD seharusnya paham dan mengerti akan kemauan dan keinginan anak ASD. Kualitas waktu yang dapat dihabiskan bersama anak ASD akan membentuk ikatan emosional bonding yang tinggi antara ibu dengan anak ASD, sehingga tahapan perkembangan pada anak ASD akan dapat terlihat.

Pendapatan Keluarga

Orang tua dengan pendapatan yang rendah biasanya kurang atau tidak dapat memenuhi kebutuhan keluarga. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Fantini dan Weinstein (1968) diacu dalam Klausmier dan Goodwin (1975) bahwa rendahnya pendapatan keluarga membuat waktu orang tua yang tersedia bagi anak menjadi berkurang, dikarenakan kesibukkan orang tua dalam mencari nafkah sehingga anak kurang mendapat perhatian. Secara tidak langsung ikatan emosional antara orang tua dan anak kurang dapat terjalin dengan baik.

Gambar 6 Sebaran contoh berdasarkan pendapatan total keluarga (Rp/bulan) Anak ASD membutuhkan biaya yang lebih besar daripada anak normal. Hal inilah yang membuat pendapatan keluarga sangat menentukan seorang anak

Sebaran contoh berdasarkan pendapatan total keluarga (Rp/bulan)

6,5 35,5 19,4 9,7 12,9 16,1 0 5 10 15 20 25 30 35 40

Pendapatan Total (Juta)

< Rp 2,5 juta Rp 2,5-5 juta Rp 5,1-7,5 juta Rp 7,51-10 juta Rp 10,1-15 juta > Rp 15 juta

ASD untuk mendapatkan berbagai hal yang dapat menunjang perkembangannya. Berdasarkan Gambar 6 dapat dilihat bahwa sebanyak 35.5 persen pendapatan total keluarga responden berkisar antara Rp 2.500.000 sampai Rp 5.000.000.

Pendapatan total yang diterima tersebut kemudian dialokasikan lagi untuk beberapa konsumsi. Berdasarkan konsumsi keluarga, pengeluaran dapat dibedakan menjadi dua, yaitu pengeluaran pangan dan pengeluaran non pangan. Pengeluaran pangan adalah pengeluaran yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan, sedangkan pengeluaran non pangan adalah pengeluaran yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan selain pangan diantaranya pendidikan, kesehatan, sandang (pakaian), papan (rumah) dan rekreasi (BPS 2003). Salah satu pengeluaran non pangan untuk anak ASD adalah alokasi dana yang dikeluarkan untuk merawat anak ASD.

Gambar 7 Sebaran contoh berdasarkan alokasi dana untuk merawat anak ASD Berdasarkan Gambar 7 alokasi biaya terbesar yang dikeluarkan untuk merawat anak ASD berkisar >Rp1.200.000 (41.9%). Mayoritas keluarga responden merupakan golongan menengah keatas. Mempunyai anak ASD memerlukan biaya yang besar dalam hal merawatnya, mereka rela mengeluarkan biaya yang cukup besar dalam hal merawat anak ASD. Adapun biaya-biaya yang dikeluarkan mencakup biaya terapis atau sekolah, biaya dokter, biaya pembelian suplemen, biaya perawat, dan lain-lain.

Sebaran contoh berdasarkan alokasi dana yang dikeluarkan (Rp)

22,6 35,5 41,9 < 600.000 600.000-1.200.000 > 1.200.000 Mean±SD=1.484.065±1.323.070,72

Tabel 4 Alokasi dana yang dikeluarkan

Dana untuk Terapis (Rp/bulan) n %

<460.000 7 22.6

460.000-1.000.000 17 54.8

>1.000.000 7 22.6

Total 31 100.0

Rata-rata±SD 843.870,97±601.690,27

Biaya Pengobatan/Dokter (Rp/bulan) n %

200.000-400.000 2 22.2 500.000-700.000 4 44.5 800.000-1.000.000 3 33.3 Total 9 100.0 Rata-rata±SD 656.666,67±231.084,40

Biaya Suplemen (Rp/bulan) n %

<600.000 7 58.3 600.000-1.200.000 4 33.4 >1.200.000 1 8.3 Total 12 100.0 Rata-rata±SD 579.666,67±517.157,85

Biaya Pengasuh (Rp/bulan) n %

<400.000 3 25.0 400.000-800.000 7 58.3 >800.000 2 16.7 Total 12 100.0 Rata-rata±SD 591.666,67±348.264,09

Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat bahwa persentase terbesar (54.8%) dana yang dikeluarkan untuk terapi atau sekolah berada pada kategori Rp- 460.000- Rp 1.000.000. Mayoritas anak ASD diberikan terapi yang bertujuan mengajarkan kemandirian sehingga kelak ketika dewasa ia tidak lagi bergantung pada kedua orang tuanya. Biaya yang biasa dikeluarkan untuk pengobatan atau biaya dokter berada pada rentang Rp 500.000-Rp 700.000 (44.5%), tidak semua anak ASD rajin memeriksakan diri ke dokter, beberapa orang tua anak ASD kini enggan ke dokter, mereka beralasan bahwa dokter hanya membuat mereka tambah beban (stres), dari 31 responden hanya 9 responden saja yang masih rajin memeriksakan kesehatan anaknya ke dokter.

Anak ASD memerlukan suplemen agar tubuhnya tidak gampang sakit. Pada anak ASD terdapat sedikit gangguan di bagian saluran pencernaannya (Mc

Candless 2003). Persentase terbesar (58.3%) dana yang dikeluarkan untuk membeli suplemen bagi anak ASD berada pada rentang <Rp 600.000, tidak semua anak ASD diberi suplemen hanya 12 responden saja yang masih mengkonsumsi suplemen. Dalam hal pengasuhannya, anak ASD membutuhkan bantuan orang lain disamping ibunya, alokasi dana yang dikeluarkan untuk membiayai pengasuh berada pada rentang Rp 400.000-Rp 800.000 (58.3%).

Karakteristik Anak ASD

Kategori usia contoh dibedakan menjadi enam, yaitu 3-4 tahun (36-47 bulan), 4-5 tahun (48-59 bulan), 5-6 tahun (60-71 bulan), 6-7 tahun (72-83 bulan), 7-8 tahun (84-96 bulan) dan diatas 8 tahun (>96 bulan). Berdasarkan Gambar 8 dapat dilihat bahwa persentase terbesar (54.9%) usia contoh berada pada kategori di atas 8 tahun (>96 bulan), dan rata-rata usianya adalah 101.81 bulan. Sedangkan sebagian kecil (3.2%) usia contoh berada dalam kategori usia 3-4 (36-47 bulan) dan usia 4-5 (48-59 bulan).

Pada kelompok masyarakat tertentu jenis kelamin anak akan mempengaruhi bagaimana orang tua memperlakukan anaknya, misalnya anak perempuan akan menerima perlakuan yang sama dalam akses terhadap pangan, perawatan kesehatan, pendidikan dan perhatian, sementara pada masyarakat lain, perempuan menerima akses yang lebih kecil (Evans & Stansberry 1998 diacu dalam Latifah 2007). Berdasarkan Gambar 8 dapat diketahui bahwa lebih dari separuh penderita ASD (80.6%) adalah berjenis kelamin laki-laki dan sisanya sebesar 19.4 persen berjenis kelamin perempuan.

Banyaknya anak berjenis kelamin laki-laki yang menderita ASD, diduga dikarenakan adanya gen atau beberapa gen pada kromosom X yang terlibat dengan ASD. Seorang pria mempunyai satu kromosom X dan satu kromosom Y, sedangkan wanita mempunyai dua kromosom X. Bila ada gen yang tidak bekerja dengan baik pada salah satu kromosom X pada wanita maka gen pada kromosom X kedua dapat menggantikannya. Hal ini tidak terjadi pada pria karena mereka hanya mempunyai satu kromosom X. Sejumlah penelitian menyimpulkan bahwa gen pada kromosom X bukanlah penyebab utama ASD, namun suatu gen pada kromosom X yang mempengaruhi interaksi sosial dapat mempunyai andil pada perilaku yang berkaitan dengan ASD (Sutadi 2003).

Perbedaan yang cukup besar antara anak ASD laki-laki dengan anak ASD perempuan diperkuat oleh pernyataan bahwa Autisme ditemukan lebih sering pada anak laki-laki daripada perempuan sebanyak tiga sampai empat kali.

Bila anak wanita mengalami Autisme maka gejala tersebut cenderung lebih serius dan kemungkinan terdapat riwayat keluarga yang menderita Autisme sebelumnya (Suryana 2004).

Hurlock (1991) hubungan yang terjadi dalam keluarga, baik antara orang tua dan anak, anak dengan saudara kandung, maupun anak dengan anggota keluarga lainnya dapat mempengaruhi tumbuh kembang anak. Salah satu yang dapat mempengaruhi hubungan anak dengan saudaranya adalah tingkat kelahiran.

Urutan kelahiran anak dikategorikan menjadi empat yaitu anak pertama, tengah, bungsu dan tunggal. Secara umum sebesar 38.7 persen contoh merupakan anak sulung. Sedangkan persentase antara anak tunggal dan anak tengah memiliki persentase yang sama yaitu 12.9 persen.

Gambar 8 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik anak ASD Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin anak ASD

80,6 19,4 Laki-Laki Perempuan 3,2 3,2 12,9 9,7 16,1 54,9 0 10 20 30 40 50 60

Usia Anak ASD (bulan) Mean±SD=101.81±31.41

Sebaran contoh berdasarkan usia anak ASD (bulan)

36-47 48-59 60-71 72-83 84-96 >96 12,9 38,7 12,9 35,5 0 5 10 15 20 25 30 35 40 Urutan Kelahiran

Sebaran contoh berdasarkan urutan kelahiran

Anak Tunggal Anak Sulung Anak Tengah Anak Bungsu

Riwayat Autisme Usia Ayah pada Saat Kehamilan

Mengacu pada Papalia dan Olds (1989), usia orang tua dikategorikan menjadi dewasa awal (20-40 tahun), dewasa madya (41-65 tahun), dewasa lanjut (diatas 65 tahun). Berdasarkan Gambar 9 dapat dilihat bahwa persentase terbesar (51.6%) usia ayah pada saat istri mengandung anak ASD berada pada kategori dewasa awal dengan rata-rata usia sebesar 33.13 tahun, sedangkan sebagian kecil (12.9%) usia ayah berada dalam kategori dewasa madya.

Gambar 9 Sebaran contoh berdasarkan usia ayah pada saat kehamilan

Usia ayah berhubungan dengan faktor resiko terjadinya Autis. Anak-anak yang lahir saat ayahnya berusia diatas 40 tahun beresiko lebih tinggi mengalami Autis. Kemungkinan tersebut dikarenakan adanya mutasi genetik atau perubahan genetik, pernyataan ini dikatakan oleh gabungan dua kelompok peneliti dari Mount Sinai School of Medicine, New York, dan Institute of Psychiatry, King's College London (Nurcahyo 2007).

Temuan ini didasari atas hasil penelitian terhadap ribuan anak yang lahir di Israel pada tahun 1980, mereka dipantau hingga usia mereka 17 tahun dan dicatat gangguan psikiatri yang terjadi. Anak yang lahir saat ayahnya berusia 40 tahun terbukti mengalami gangguan autis sebanyak 5.75 kali lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang dilahirkan pada saat ayahnya lebih muda (30 tahunan). Mekanisme genetik dipengaruhi usia pada laki-laki, termasuk mutasi spontan pada reproduksi sperma cenderung lebih serius dan kemungkinan terdapat bawaan riwayat keluarga (Nurcahyo 2007).

Usia Awal Terdeteksi Autisme

Autistik adalah suatu gangguan perkembangan yang kompleks menyangkut komunikasi, interaksi sosial dan aktivitas imajinasi. Gejala mulai

35,5 51,6 12,9 0 10 20 30 40 50 60

Usia Ayah pada Saat Kehamilan (tahun) Mean±SD=33.13±6.07

Sebaran contoh berdasarkan usia ayah pada saat kehamilan (tahun)

≤30 31-40 41-50

tampak sebelum anak berusia 3 tahun. Bahkan pada autistik infantil gejalanya sudah ada sejak lahir. Diperkirakan 75-80 persen penyandang Autisme mempunyai retardasi mental, sedangkan 20 persen dari mereka mempunyai kemampuan yang cukup tinggi untuk bidang-bidang tertentu (Suryana 2004).

Gambar 10 Sebaran contoh berdasarkan usia awal terdeteksi ASD

Berdasarkan Gambar 10 dapat dilihat bahwa lebih dari separuh contoh (61.3%) terdeteksi pada kisaran usia 24-36 bulan, dengan rata-rata 25.68 bulan. Menurut McCandless (2003), Autisme memiliki dua tipe dasar yaitu Autisme klasik dan Autisme regresif. Autisme klasik dialami oleh anak-anak mulai dari lahir dan kasus ini sangat jarang ditemukan pada para penyandang ASD. Sedangkan Autisme regresif adalah Autisme yang dialami oleh anak setelah melewati masa perkembangan dan pertumbuhan normal. Biasanya Autisme regresif mulai tampak pada usia 12-24 bulan.

Gejala-gejala awal ASD

Menurut Yatim (2004) menyatakan bahwa Autisme bukanlah gejala penyakit tetapi berupa sindroma (kumpulan gejala) dimana terjadi penyimpangan perkembangan sosial, kemampuan berbahasa dan kepedulian terhadap sekitar, sehingga anak Autisme hidup dalam dunianya sendiri. Autisme tidak termasuk kedalam golongan suatu penyakit tetapi suatu kumpulan gejala kelainan perilaku, dengan kata lain pada anak Autisme terjadi kelainan emosi, intelektual, dan kemauan (gangguan pervasif).

32,3 61,3 6,4 0 10 20 30 40 50 60 70

Usia Awal Terdeteksi (bulan) Mean±SD=25.68±11.31

Sebaran contoh berdasarkan usia awal terdeteksi (bulan)

< 24 24-36 >36

Tabel 5 Sebaran contoh berdasarkan gejala awal ASD

No Gejala Mengalami

Tidak Mengalami n % n %

1 Tidak menoleh ketika dipanggil (cuek) 19 61.3 12 38.7

2 Kontak mata tidak ada 14 45.2 17 54.8

3 Terlambat bicara 14 45.2 17 54.8

4 Hiperaktif 7 22.6 24 77.4

5 Suka menyendiri 5 16.1 26 83.9

6 Fokus akan satu hal yang ia senangi dan

tidak menyenangi hal yang lainnya 4 12.9 27 87.1

7 Suka menangis 3 9.7 28 90.3

8 Flapping (mengepal-ngepalkan tangan, memukul-mukulkan tangan,

mengibas-ngibaskan tangan) 2 6.5 29 93.5

9 Tidak mau dipeluk 1 3.2 30 96.8

10 Pola tidur terganggu 1 3.2 30 96.8

11 Lambat akan segala hal (disertai dengan

retardasi mental) 1 3.2 30 96.8

12 Berjalan jinjit 1 3.2 30 96.8

Berdasarkan Tabel 5 dapat dilihat bahwa lebih dari separuh contoh (61.3%) mengalami gejala tidak menoleh ketika dipanggil (cuek), sebesar 45.2 persen terjadi hilangnya kontak mata dan terlambat bicara, sebagian kecil (3.2%) contoh mengalami kelainan perilaku seperti tidak ingin dipeluk, lambat akan segala hal (disertai dengan retardasi mental), berjalan jinjit serta adanya pola tidur yang sedikit terganggu.

Anak penyandang ASD mempunyai masalah atau gangguan dalam bidang komunikasi, interaksi sosial, serta gangguan sensoris (Suryana 2004). Untuk deteksi dini bagi para orang tua waspadalah terhadap gejala-gejala sebagai berikut: anak usia 30 bulan belum bisa bicara untuk komunikasi, hiperaktif dan cuek kepada orang tua dan orang lain, tidak dapat bermain dengan teman sebayanya, terdapat perilaku aneh yang diulang-ulang (Handoyo 2003). Lama Terapi Anak ASD

Efektivitas penyembuhan suatu penyakit atau rehabilitasi suatu kelainan sangat tergantung pada kedinian dan ketepatan terapi yang dilakukan. Kedinian terapi terkait erat dengan kemampuan mendiagnosa penyakit atau gejala kelainan secara tepat dan dini. Kecermatan orang tua mengenali kelainan pertumbuhan anak dan mendiagnosa penyebab kelainan sejak lahir akan mempermudah terapi dan tindak rehabilitatif selanjutnya (Suryana 2004).

Gambar 11 Sebaran contoh berdasarkan lama terapi (bulan).

Berdasarkan Gambar 11 dapat diketahui bahwa sebesar 45.2 persen contoh telah diterapi selama 41-88 bulan, terdapat 29.0 persen contoh sudah diterapi selama ≥89 bulan. Jika terdiagnosa dini, maka anak ASD dapat ditangani segera melalui terapi-terapi terstruktur dan terpadu. Dengan demikian lebih terbuka peluang perubahan ke arah perilaku normal.

Peranan terapi adalah mengajarkan tugas-tugas kemandirian secara umum pada anak ASD. Kemandirian yang sudah diajarkan oleh tempat terapi bila diteruskan di rumah dengan pemberian stimulasi yang baik dari orang tua maka perkembangan anak ASD akan semakin meningkat.

Tugas perkembangan pada anak ASD berbeda antara satu dengan yang lainnya. Perbedaan ini bervariasi kadarnya pada setiap anak ASD, hal ini tergantung usia, intelegensia, pengaruh pengobatan dan lain-lain (Handojo 2003). Keberhasilan anak ASD dalam melaksanakan tugas perkembangannya, apabila terdapat kerjasama yang baik antara orang tua, terapis, pengasuh serta anggota keluarga lainnya (Suryana 2004).

Riwayat Keluarga ASD

Sebagian besar responden yang telah diwawancarai mengatakan bahwa baik pihak keluarga istri maupun suami sebelumnya tidak memiliki riwayat anak ASD. Rata-rata orang tua anak ASD bingung dengan penyebab terjadinya ASD.

Dokumen terkait