• Tidak ada hasil yang ditemukan

RIWAYAT AUTISME, STIMULASI PSIKOSOSIAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERKEMBANGAN SOSIAL ANAK DENGAN GANGGUAN AUTISM SPECTRUM DISORDER (ASD) WIEKE OKTAVIANI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "RIWAYAT AUTISME, STIMULASI PSIKOSOSIAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERKEMBANGAN SOSIAL ANAK DENGAN GANGGUAN AUTISM SPECTRUM DISORDER (ASD) WIEKE OKTAVIANI"

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

RIWAYAT AUTISME, STIMULASI PSIKOSOSIAL

DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERKEMBANGAN SOSIAL

ANAK DENGAN GANGGUAN

AUTISM SPECTRUM DISORDER

(ASD)

WIEKE OKTAVIANI

PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)

RINGKASAN

WIEKE OKTAVIANI. Riwayat Autisme, Stimulasi Psikososial dan Hubungannya dengan Perkembangan Sosial Anak dengan Gangguan Autism Spectrum Disorder (ASD). (Di bawah bimbingan DWI HASTUTI).

Penelitian ini secara umum bertujuan menganalisis riwayat Autisme, stimulasi psikososial dan hubungannya dengan perkembangan sosial anak dengan gangguan Autism Spectrum Disorder (ASD). Tujuan khusus penelitian ini adalah: (1) mengidentifikasi karakteristik keluarga (2) mengidentifikasi karakteristik anak serta riwayat kesehatan anak ASD (3) mengetahui riwayat Autisme pada anak ASD (4) menganalisis stimulasi psikososial pada anak ASD (5) menganalisis perkembangan sosial pada anak ASD (6) menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan perkembangan sosial anak ASD.

Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional study. Penelitian ini dilakukan di sekolah khusus Al Ihsan yang berada di dua lokasi yaitu Villa Melati Mas, Serpong-Tangerang dan Pondok Cilegon Indah (PCI) Blok C5 No.5, Cilegon kedua lokasi tersebut berada di provinsi Banten. Penentuan lokasi penelitian ini berdasarkan metode purpossive, dimana pada lokasi tersebut memilki jumlah anak ASD yang cukup banyak dan bersedia dijadikan sebagai tempat penelitian. Penelitian ini dilakukan mulai bulan Februari hingga Mei 2008 yang meliputi pengambilan, pengolahan, serta analisis data. Responden dalam penelitian ini berjumlah 31 anak ASD yang terdiri dari 11 anak ASD berasal dari Al Ihsan Cilegon dan 20 anak ASD berasal dari Al Ihsan Tangerang provinsi Banten.

Data yang terkumpul berupa data primer maupun data sekunder. Data primer berupa data karakteristik keluarga, data karakteristik anak, data riwayat Autisme, data status kesehatan anak ASD, data pengasuhan ibu meliputi pemberian stimulasi psikososial yang diukur dengan menggunakan instrumen HOME. Data perkembangan sosial anak ASD yang diukur menggunakan instrumen Vineland Maturity Scale. Terdapat delapan aspek yang diukur dalam instrument ini antara lain: SHG (Self Help General), SHD (Self Help Dressing), SHE (Self Help Eating), SD (Self Direction), O (Occupation), C (Communication), L (Locomotion), S (Socialization). Data-data tersebut diperoleh melalui wawancara dan pengamatan langsung terhadap responden dengan menggunakan kuesioner. Sedangkan data sekunder adalah data mengenai profil sekolah, jumlah terapis dan jumlah anak yang berkebutuhan khusus pada lokasi tersebut.

Data yang terkumpul kemudian diolah melalui proses editing, coding, scorring, entrying, cleaning, serta analyzing dengan menggunakan program Microsoft Excel dan SPSS 10.0 for Windows. Data karakteristik keluarga, anak, riwayat Autisme, status kesehatan, stimulasi psikososial, dan perkembangan sosial anak ASD yang terkumpul kemudian dianalisis secara deskriptif menggunakan frekuensi distribusi berupa rata-rata, nilai minimum, nilai maksimum dan standar deviasi, yang selanjutnya disajikan dalam bentuk tabulasi, gambar dan tabulasi silang. Analisis korelasi Rank-Spearman dilakukan untuk melihat hubungan antar variabel yang diteliti.

Tipe keluarga dari anak ASD merupakan keluarga inti, dengan besar keluarga 5-7 orang. Usia kedua orang tua baik usia ayah dan usia ibu berada pada kategori dewasa awal (20-40 tahun). Lama pendidikan orang tua berada pada kategori tertinggi yaitu diatas 15 tahun (lulusan diploma atau perguruan

(3)

tinggi). Persentase terbesar pendapatan orang tua anak ASD berada pada kategori Rp 2.5 juta-Rp 5 juta, serta besarnya alokasi dana yang dikeluarkan untuk merawat anak ASD berkisar antara Rp 600.000-Rp 1.200.000. Alokasi dana tersebut digunakan untuk biaya terapis, pembelian suplemen dan lain-lain. Lebih dari separuh anak ASD berusia delapan tahun, dan mayoritas (80.6%) berjenis kelamin laki-laki. Pada umumnya anak ASD merupakan anak sulung.

Persentase terbesar ayah dari anak ASD berusia 20-40 tahun pada saat ibu mengandung anak ASD. Lebih dari separuh (61.3%) anak ASD terdeteksi sejak usia diatas 2 tahun, dengan gejala-gejala umumnya adalah tidak menoleh ketika dipanggil, tidak ada kontak mata, perkembangan bicara agak sedikit terhambat. Persentase terbesar anak ASD telah diterapi selama lebih dari 3.5 tahun.

Dalam tiga bulan terakhir, anak ASD sakit 1-2 kali (45.2%), dan terdapat 35.5 persen anak ASD yang tidak pernah sakit. Penyakit yang sering diderita anak ASD adalah sakit batuk (51.6%). Persentase terbesar (67.7%) anak ASD memperoleh kualitas pengasuhan berupa pemberian stimulasi psikososial dengan kategori sedang (60-80% melakukan stimulasi psikososial). Namun masih terdapat 12.9 persen dengan kategori stimulasi psikososial buruk (kurang dapat menerapkan stimulasi psikososial dengan baik). Tugas perkembangan Self Direction, Locomotion, dan Socialization paling banyak tersebar pada kategori buruk, sedangkan tugas perkembangan Self Help Eating, Self Help Dressing, Occupation, dan Communication paling banyak tersebar pada kategori dapat dilakukan dengan baik.

Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada korelasi yang signifikan antara karakteristik anak, karakteristik keluarga, dan stimulasi psikososial dengan perkembangan sosial anak ASD. Korelasi yang signifikan hanya diketemukan pada alokasi dana (r=0.434) dan usia awal terdeteksi (r=0.361). Merawat anak ASD membutuhkan biaya yang tidak sedikit, oleh karena itu semakin banyak alokasi yang dikeluarkan dalam merawat anak ASD maka perkembangannya akan semakin meningkat. Alokasi dana yang meningkat juga diikuti oleh meningkatnya kualitas stimulasi psikososial (p-value=0.001 r=0.558).

Berdasarkan temuan hasil penelitian disarankan hal-hal sebagai berikut: (1) bagi orang tua sebaiknya bekerja sama dengan terapis anak-anak ASD ikut menyelami dunia anak ASD, ikut menikmati hal-hal yang disukai anak, sehingga mereka merasa lebih dipahami, berikan stimulasi psikososial kepada anak secara kontinu dan konsisten agar perkembangan sosial anak semakin baik (2) bagi Al Ihsan untuk dapat lebih meningkatkan kemampuan kemandirian pada anak ASD dengan lebih mengajarkan anak ASD dari aspek sosialisasi (S), kemampuan mengatur diri (SD) dan gerakan-gerakannya (L) (3) adanya penelitian lanjutan dengan jumlah sampel yang cukup besar dan berasal dari berbagai macam lokasi serta keadaan sosio demografi yang beraneka ragam.

(4)

RIWAYAT AUTISME, STIMULASI PSIKOSOSIAL

DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERKEMBANGAN SOSIAL

ANAK DENGAN GANGGUAN

AUTISM SPECTRUM DISORDER

(ASD)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya keluarga

Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh : Wieke Oktaviani

A54104049

PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(5)

Judul : RIWAYAT AUTISME, STIMULASI PSIKOSOSIAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERKEMBANGAN SOSIAL ANAK

DENGAN GANGGUAN AUTISM SPECTRUM DISORDER (ASD)

Nama : Wieke Oktaviani Nomor Pokok : A54104049

Menyetujui,

Dosen Pembimbing Tunggal

Dr.Ir. Dwi Hastuti, MSc NIP. 131 918 346

Mengetahui,

Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Serang, provinsi Banten pada tanggal 12 Oktober 1986. Penulis merupakan putri pertama dari tiga bersaudara keluarga Bapak Prastito Wagiman dan Ibu Eliah.

Pendidikan Taman Kanak-Kanak ditempuh dari tahun 1991 hingga tahun 1992 di TK YPWKS II Cilegon, Banten. Pendidikan Sekolah Dasar (SD) ditempuh pada tahun 1992-1998 di SD YPWKS V Cilegon, Banten. Penulis melanjutkan sekolah di SLTP Negeri 2 Cilegon, Banten hingga tahun 2001. Selanjutnya penulis lulus dari SMU Negeri 1 Cilegon, Banten pada tahun 2004.

Penulis diterima sebagai mahasiswa di Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 2004 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama menjadi mahasiswa penulis memperoleh beasiswa SUPERSEMAR (2005-2008) serta ikut aktif dalam berbagai macam organisasi di kampus, seperti suara Alto 1 Agria Swara IPB (2004-2005), sekretaris Divisi Minat dan Bakat Himpunan Peminat Ilmu Gizi Pertanian/HIMAGITA IPB (2005-2006), perwakilan GMSK dalam Bina Desa BEM A (2005-2006), ketua koordinator sukarelawan penanganan tumbuh kembang anak korban gempa di Klaten, D.I.Yogyakarta (2006), serta aktif dalam berbagai macam kepanitiaan, baik yang diselenggarakan oleh HIMAGITA maupun kegiatan kampus lainnya.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten dosen mata kuliah Penilaian Status Gizi pada tahun ajaran 2007-2008. Pada tahun 2006 penulis memperoleh kehormatan sebagai finalis Pekan Kreativitas Mahasiswa (PKM) Kewirausahaan IPB dengan judul ”Optimalisasi Pemanfaatan Buah Pala (Myristica fragrans Houtt) dalam Bentuk Minuman Sari buah dan Selai untuk Peningkatan Pendapatan Rumah Tangga”.

(7)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penelitian ini dapat selesai dengan baik. Adapun penulisan skripsi ini berjudul ”Riwayat Autisme, Stimulasi Psikososial dan Hubungannya dengan Perkembangan Sosial Anak dengan Gangguan Autism Spectrum Disorder (ASD)” yang dilaksanakan sejak bulan Februari hingga Mei 2008 dan merupakan suatu syarat guna mencapai gelar Sarjana Pertanian pada Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Dengan kerendahan hati Penulis mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu Penulis dalam menyelesaikan skripsi, yaitu kepada :

1. Orang tua tercinta serta adik-adikku tersayang yang selalu memberikan dorongan dan doa penuh keikhlasan agar selalu bersemangat dalam menyelesaikan tugas akhir ini, juga kepada keluarga besar mamah dan papah yang selalu mendukung.

2. Dr.Ir.Dwi Hastuti, MSc selaku dosen pembimbing idolaku yang telah memberikan waktu, pikiran, dan tenaga memberikan bimbingannya sejak pembuatan proposal hingga akhir penulisan skripsi, serta nasehat-nasehat yang beliau selalu sampaikan kepada saya.

3. Ir.Melly Latifah, MSi selaku dosen favoritku yang bersedia memberikan jawaban-jawaban atas segala pertanyaan-pertanyaan yang saya tanyakan, ibu yang penuh semangat dan energi.

4. Dr.Ir.Hartoyo, MSc dan Dr.Ir.Lilik Kustiyah, MS selaku ayah dan ibuku di kampus, terima kasih bapak dan ibu atas segala pesan hidup yang kalian sampaikan, saya sangat senang mengenal bapak dan ibu, tak ada kata yang dapat saya tuliskan mengenal orang-orang baik dan bijak seperti bapak dan ibu.

5. Dr.Ir.Herien Puspitawati, MSc.,MSc selaku dosen penguji yang telah memberikan saran kritisnya sehingga menjadikan skripsi ini jauh lebih baik lagi.

6. Megawati Simanjuntak, SP atas waktunya mengajarkan cara untuk mengolah data penelitian ini.

7. Ibu Hindraningsih selaku pimpinan yayasan ”Mentari Kita” yang telah berkenan memberikan izin untuk meneliti anak-anak ASD, Pak Andre,

(8)

Pak Kelik, Mba Inung, Mba Ellen selaku terapis anak-anak Autisme, tetap semangat dalam mendidik anak-anak Autisme.

8. Dra.Ngatini selaku ketua yayasan P.A.K Al ihsan yang telah mengajarkan banyak hal tentang kehidupan anak-anak Autisme dan mengijinkan kita melakukan penelitian, juga kepada ibu Evy, ibu Nur, Mba Ina, Pak Saiful, Pak Sugi, Pak Abi, Bu Aam, Bu Ratmi, Bu Iyoh, Bu Ana, Bu Asih serta guru-guru lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu, tetap semangat dan sabar dalam mengajar anak-anak Autisme.

9. Para orang tua anak Autisme yang berkenan untuk menjadi responden kami, kalian adalah orang tua yang hebat, mempunyai kesabaran yang luar biasa dan penuh kasih sayang yang selalu melindungi dan mengajarkan kemandirian pada anak Autisme, tak ada kata yang bisa menggambarkan kehebatan kalian, hanya doa yang tulus yang bisa saya panjatkan, semoga Tuhan YME selalu memberikan yang terbaik.

10. Teman-temanku Tikcoy, Yuli, Liam dan Lenny teman seperjuanganku, Cici, Monika “Boneng”, Fika, Aqsa, Dhe, dan semua Gamasakers 41 yang tidak dapat disebutkan satu persatu, indahnya saat-saat bersama dengan kalian.

11. Sahabatku Mpo dan Neng yang selalu sabar mendengarkan cerita-ceritaku dan selalu memberikan semangat selama kuliah disini. Intan-Gita, Rani-Ade, Winda-Sani, Yunda-Ana, Nyoman di perwira 41 terima kasih atas kebersamaan dengan kalian semuanya.

12. Mas Bambang, Mba Evy dan adiku Viosi, terima kasih telah mau direpotkan selama penelitian.

13. Mas Didik Yulianto yang selalu memberikan dukungannya, kesabarannya, pengertian, serta bantuannya sehingga skripsi ini selesai, terima kasih juga atas segala saran kritis yang diberikan sehingga menjadikan skripsi ini jauh lebih baik lagi.

Penulis menyadari bahwa segala sesuatu tidaklah luput dari kesalahan. Penulis memohon maaf bila terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi ini serta mengharapkan kritik dan saran untuk dapat memperbaikinya. Akhir kata, semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan.

Bogor, Mei 2008 Wieke Oktaviani

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL . ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

PENDAHULUAN ... 1 Latar Belakang ... 1 Perumusan Masalah . ... 2 Tujuan Penelitian ... 4 Kegunaan Penelitian ... 4 TINJAUAN PUSTAKA ... 5

ASD (Autism Syndrome Disorder) ... 5

Definisi ASD ... 5

Pengelompokkan Autisme ... 6

Gejala-gejala Autisme ... 6

Penyebab Autisme ... 8

Indikator Perilaku Autististik pada Masa Kanak. ... 9

Perkembangan Sosial. ... 10

Teori psikososial Erik Erikson ... 11

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Sosial Anak ... 13

Karakteristik Sosial Anak ASD ... 14

Stimulasi Psikososial ... 16 Pengasuhan ... 18 Kualitas pengasuhan ... 19 Status Kesehatan ... 20 Karakteristik Keluarga ... 20 Usia ... 21

Pendidikan orang tua ... 21

Pendapatan keluarga ... 21 Besar keluarga ... 22 Karakteristik Anak ... 23 Usia anak ... 23 Jenis kelamin ... 23 Urutan kelahiran ... 24 KERANGKA PEMIKIRAN ... 25 METODE PENELITIAN ... 27 Desain Penelitian ... 27

Lokasi dan Waktu penelitian ... 27

Jumlah dan Cara Penarikan Contoh ... 27

Jenis dan Cara Pengumpulan Data ... 28

Pengolahan dan Analisis Data ... 29

Definisi Operasional ... 31

HASIL DAN PEMBAHASAN. ... 34

Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 34

(10)

Karakteristik Anak ASD ... 42

Riwayat Autisme ... 44

Status Kesehatan Anak ASD ... 48

Stimulasi Psikososial ... 50

Perkembangan Sosial Anak Penyandang ASD ... 57

Hubungan Antar Variabel ... 63

KESIMPULAN DAN SARAN ... 73

Kesimpulan ... 73

Saran ... 74

DAFTAR PUSTAKA ... 75

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Tahapan perkembangan psikososial menurut Erikson ... 12

2 Perkembangan komunikasi pada anak Autisme ... 15

3 Perkembangan interaksi sosial pada Autisme ... 16

4 Alokasi dana yang dikeluarkan ... 41

5 Sebaran contoh berdasarkan gejala awal ASD ... 46

6 Sebaran contoh berdasarkan jenis penyakit yang diderita dalam 3 bulan terakhir ... 48

7 Skor HOME anak usia prasekolah dan usia sekolah ... 51

8 Sebaran contoh berdasarkan aspek-aspek perkembangan yang diukur ... 57

9 Hubungan perkembangan sosial anak ASD dengan usia anak ASD ... 64

10 Hubungan perkembangan sosial anak ASD dengan jenis kelamin Anak ASD ... 65

11 Hubungan perkembangan sosial anak ASD dengan besar keluarga anak ASD ... 65

12 Hubungan perkembangan sosial anak ASD dengan usia ibu ... 66

13 Hubungan perkembangan sosial anak ASD dengan lama pendidikan ibu ... 67

14 Hubungan perkembangan sosial anak ASD dengan pendapatan total keluarga ... 68

15 Hubungan perkembangan sosial anak ASD dengan alokasi dana untuk merawat anak ASD ... 69

16 Hubungan perkembangan sosial anak ASD dengan usia awal terdeteksi ASD ... 70

17 Hubungan perkembangan sosial anak ASD dengan lama terapi anak ASD ... 71

(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan sosial anak penyandang

gangguan ASD (Autism Syndrome Disorder) ... 26

2 Cara pengambilan contoh penelitian ... 28

3 Sebaran contoh berdasarkan tipe keluarga ... 35

4 Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga ... 36

5 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik orang tua ... 38

6 Sebaran contoh berdasarkan pendapatan total keluarga ... 39

7 Sebaran contoh berdasarkan alokasi dana untuk merawat anak ASD ... 40

8 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik anak ASD ... 43

9 Sebaran contoh berdasarkan usia ayah pada saat kehamilan ... 44

10 Sebaran contoh berdasarkan usia awal terdeteksi ASD ... 45

11 Sebaran contoh berdasarkan lama terapi ... 47

12 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi dan lama sakit ... 49

13 Sebaran contoh berdasarkan pemberian stimulasi psikososial ... 53

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Hasil uji reliabilitas HOME usia prasekolah ... 81

2 Hasil uji reliabilitas HOME usia sekolah ... 83

3 Hasil uji reliabilitas Vineland Maturity Scale ... 85

4 Kuesioner perkembangan sosial (Vineland Maturity Scale) ... 87

5 Jenis dan cara pengumpulan data ... 89

6 Hasil uji deskriptif ... 91

7 Hasil uji korelasi Rank Spearman ... 92

(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Anak merupakan sebuah karunia yang besar bagi orang tuanya. Keberadaannya diharapkan dan ditunggu-tunggu oleh pasangan yang terikat perkawinan. Kehadirannya tentu disambut dengan penuh sukacita. Semua orang tua mengharapkan memiliki anak yang sehat, membanggakan, dan sempurna. Akan tetapi, terkadang kenyataan yang terjadi tidak sesuai dengan keinginan. Sebagian orang tua mendapatkan anak yang diinginkannya dan sebagian lagi tidak. Beberapa diantaranya memiliki anak dengan kebutuhan-kebutuhan khusus, contohnya anak yang memiliki gangguan Autism Spectrum Disorder (ASD).

Dalam dekade terakhir, jumlah anak yang mengalami ASD semakin meningkat pesat. Dengan semakin berkembangnya metode diagnosis, semakin banyak ditemukan anak penderita ASD. Menurut Sutadi (2003), sebelum tahun 1990-an prevalensi ASD pada anak berkisar 2-5 penderita dari 10.000 anak-anak usia dibawah 12 tahun, dan setelah itu jumlahnya meningkat menjadi empat kali lipat. Data terakhir dari CDC (Center for Disease Control and Prevention) Amerika Serikat pada tahun 2002juga menunjukkan jumlah prevalensi ASD yang semakin membesar, sedikitnya 60 penderita dalam 10.000 kelahiran. Sementara itu, menurut Kelana dan Elmy (2007) menyatakan bahwa prevalensi ASD di Indonesia berkisar 400.000 anak. Jika dibandingkan antar jenis kelamin, jumlah penderita ASD laki-laki lebih banyak daripada perempuan dengan perbandingan 4 dibanding 1 (Handojo 2003).

Pemakaian istilah Autisme kepada penderita diperkenalkan pertama kali oleh Leo Kanner - seorang psikiater dari Harvard – dalam bukunya yang berjudul Austistic Disturbance of Affective Contact pada tahun 1943 berdasarkan pengamatan terhadap 11 penderita yang menunjukkan gejala kesulitan berhubungan sosial dengan orang lain, mengisolasi diri, perilaku yang tidak biasa, serta cara berkomunikasi yang aneh (Judarwanto 2007). Menurut Handojo (2003) menyatakan bahwa Autisme adalah gangguan perkembangan yang serius pada anak yang ditandai dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi dan interaksi sosial. Sementara itu pendapat lain diutarakan oleh Sutadi (2003) menjelaskan bahwa Autisme adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu jenis dari masalah neurologis yang mempengaruhi pikiran, persepsi dan perhatian. Kelainan ini

(15)

dapat menghambat, memperlambat atau mengganggu sinyal mata, telinga dan organ sensori lainnya sehingga memperlemah kemampuan seseorang untuk berinteraksi dengan orang lain, menghambat aktivitas sosial atau penggunaan keterampilan komunikasi seperti bicara, kemampuan berimajinasi, serta menarik kesimpulan.

Penyebab ASD sejauh ini dipastikan terjadi karena faktor genetik. Namun meskipun anak membawa predisposisi genetik, bila tidak ada faktor pencetus dari luar, diperkirakan gejala autis tidak timbul. Jenis makanan tertentu ternyata dapat memicu agresivitas anak ASD. Setiap anak ASD mempunyai gambaran klinis yang khas, sehingga tidak semua gejala dapat ditemukan pada seorang penyandang ASD. Gejala ini tampak sebelum anak berusia 36 bulan (Handojo 2003).

Saat ini telah dikembangkan berbagai terapi khusus untuk membantu perkembangan anak ASD. Anak ASD dapat “disembuhkan” jika dilakukan penata laksanaan ASD yang baik. Hal ini sesuai dengan pernyataan Handojo (2003) yang menyatakan bahwa pada awalnya ASD dianggap sebagai kelainan seumur hidup, tetapi kini ternyata ASD pada masa kanak-kanak dapat dikoreksi. Untuk hasil yang memuaskan, tata laksana koreksi harus dilakukan pada usia sedini mungkin, dan sebaiknya jangan melebihi usia lima tahun karena di atas usia ini perkembangan otak anak akan sangat melambat. Usia paling ideal untuk koreksi ASD adalah usia 2-3 tahun karena pada usia ini perkembangan otak anak berada pada tahapan perkembangan yang paling cepat.

Mengingat semakin meningkatnya prevalensi ASD di masyarakat Indonesia, maka penelitian yang terkait dengan ASD merupakan topik yang penting untuk diteliti. Dalam hal ini yang perlu diketahui adalah bagaimana keluarga-keluarga yang memiliki anak ASD mengatasi permasalahannya, terutama yang terkait dengan pengasuhan anak ASD serta pengembangan kualitas fisik, psikologisnya dan perkembangan sosialnya.

Perumusan Masalah

Anak merupakan anugerah terbesar dari Tuhan YME. Setiap anak merupakan kebanggaan orang tuanya sehingga orang tua akan berusaha memberikan yang terbaik bagi anaknya. Tiap orang tua tentu menaruh harapan dan impian mereka pada anak-anaknya. Orang tua berharap anaknya akan sukses dan berguna bagi masyarakat dan bangsa. Akan tetapi pada

(16)

kenyataannya masih terdapat anak-anak yang dilahirkan dengan kebutuhan khusus (special need), salah satunya adalah anak ASD.

Jumlah penyandang ASD semakin meningkat pesat dalam dekade terakhir ini. Sejak tahun 1990-an, penderita ASD meningkat dengan tajam diseluruh dunia, prevalensinya bisa mencapai 60 dari 1000 anak. Di Amerika, Autisme menduduki peringkat ketiga penyakit yang paling sering terjadi pada anak, dan kini diperkirakan terdapatnya 300.000 anak ASD. Jika ditambahkan dengan penyandang ASD yang telah dewasa jumlahnya dapat mencapai satu juta orang (Suryana 2004). Jika dibandingkan antar jenis kelamin, anak laki-laki empat kali lebih beresiko daripada anak perempuan. Saat ini prevalensi penyandang ASD lima kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan anak-anak Down Syndrome (Suryana 2004).

Perilaku Autisme digolongkan dalam dua jenis, yaitu perilaku yang eksesif (berlebihan) dan perilaku yang defisit (berkekurangan). Yang termasuk perilaku eksesif adalah hiperaktif dan tantrum (mengamuk) berupa menjerit, menyepak, menggigit, mencakar, memukul, serta self abuse (menyakiti diri sendiri). Perilaku defisit ditandai dengan gangguan bicara, perilaku sosial kurang sesuai (naik kepangkuan ibu bukan untuk kasih sayang tapi untuk meraih kue), defisit sensoris sehingga diduga tuli, bermain tidak benar dan emosi yang tidak tepat, misalnya tertawa tanpa sebab, menangis tanpa sebab dan melamun. Mengingat perilaku anak ASD yang demikian sulit dikendalikan, maka memiliki anak ASD tentu saja dapat menimbulkan masalah tersendiri bagi keluarga (Handojo 2003).

Menurut Handojo (2003), ASD merupakan gangguan di otak yang tidak dapat disembuhkan, tetapi dapat ditanggulangi dengan terapi dini, terpadu dan intensif. Gejala-gejala ASD dapat dikurangi, bahkan dihilangkan sehingga anak dapat bergaul secara normal, tumbuh sebagai orang dewasa yang sehat, berkarya, bahkan membina keluarga. Akan tetapi, jika anak ASD tidak atau terlambat mendapat intervensi hingga dewasa, maka gejala ASD bisa menjadi semakin parah, bahkan tidak tertanggulangi. Melalui beberapa stimulasi psikososial pada anak ASD, maka anak ASD akan mengalami perkembangan sosial seperti anak normal lainnya. Stimulasi psikososial turut menjadi faktor penentu bagi penanggulangan perkembangan anak ASD.

Dari paparan di atas, maka timbul pertanyaan-pertanyaan mengenai anak ASD. Adakah perbedaan perkembangan sosial antara anak ASD berdasarkan perbedaan usianya? Bagaimanakah orang tua melakukan pola pengasuhan

(17)

terhadap anak ASD, khususnya dalam pemberian stimulasi psikososial? Bagaimana riwayat Autisme pada anak ASD? Bagaimana status kesehatan anak ASD? Bagaimana perkembangan sosial anak ASD? Faktor-faktor apa yang berhubungan dengan perkembangan sosial anak ASD?

Tujuan Tujuan Umum

Menganalisis riwayat ASD, stimulasi psikososial dan hubungannya dengan perkembangan sosial anak dengan gangguan Autism Spectrum Disorder (ASD).

Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi karakteristik keluarga dan anak ASD. 2. Mengetahui riwayat Autisme pada anak ASD.

3. Mengetahui status kesehatan anak ASD.

4. Menganalisis pemberian stimulasi psikososial pada anak ASD. 5. Menganalisis perkembangan sosial pada anak ASD.

6. Menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan perkembangan sosial anak ASD.

Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada orang tua dan pemerhati anak ASD mengenai manfaat dari pemberian stimulasi psikososial dan hubungannya terhadap perkembangan sosial anak ASD. Selain itu, diharapkan bagi institusi dapat memberikan wawasan mengenai upaya yang tepat sehingga dapat diterapkan oleh keluarga dalam menghadapi anak ASD. Sedangkan bagi pemerintah dapat menjadikan penelitian ini sebagai wacana untuk membuat program-program sekolah khusus untuk anak-anak special need dan mengupayakan fasilitas-fasilitas penunjang perkembangannya. Selanjutnya, dari hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menambah wawasan bagi penulis khususnya serta masyarakat pada umumnya mengenai permasalahan pada keluarga yang memiliki anak ASD.

(18)

TINJAUAN PUSTAKA

ASD (Autism Spectrum Disorder) Definisi ASD

Autisme sering disebut dengan sebutan sindroma Keanner. Sindroma ini ditandai dengan gejala anak sulit berkomunikasi, sulit bersosialisasi, berperilaku yang berulang-ulang serta bereaksi tidak biasa terhadap rangsangan sekitarnya. Seorang anak Autisme dapat mengalami kelainan emosi, intelektual dan kemauan atau bahkan terjadi gangguan secara menyeluruh. Secara singkat Autisme merupakan suatu keadaan dimana anak berbuat semaunya sendiri (Hidayat 2004).

Menurut Jasaputra (2003) diacu dalam Sutadi (2003) menyatakan bahwa Autism Spectrum Disorder (ASD) merupakan gangguan perkembangan yang muncul pada usia batita (bawah tiga tahun), yang menyebabkan mereka tidak mampu membentuk hubungan sosial atau mengembangkan komunikasi normal. Anak Autisme menjadi terisolasi dari kontak dengan orang lain dan tenggelam pada dunianya sendiri yang diekspresikan dalam minat dan perilaku yang terpaku dan berulang-ulang.

Autisme merupakan gangguan perkembangan yang berhubungan dengan perilaku yang pada umumnya disebabkan oleh kelainan struktur otak atau fungsi otak. Terdapat beberapa penyebab Autisme antara lain: faktor psikodinamik keluarga, kelainan organik-neurologik-biologik, faktor genetik, faktor immunologik, faktor perinatal, faktor neuroanatomi, dan faktor biokimia (Sutadi et al., 2003).

Terdapat beberapa teori yang menjelaskan mengenai penyebab dari Autisme yaitu: genetik (herediter), teori kelebihan opioid, teori gluten-casein (celiac), kolokistokinin, teori oksitosin dan vasopressin, teori metilation, teori imunitas, teori autoimun dan alergi makanan, teori zat darah penyerang kuman ke myelin protein basis dasar, teori infeksi karena virus vaksinasi, teori sekretin, teori kelainan saluran cerna (hipermeabilitas intestinal/leaky gut), teori paparan aspartame, teori kekurangan vitamin, mineral nutrisi tertentu dan teori orphanin protein (Judawarto 2007).

Autisme ditemukan lebih sering pada anak laki-laki daripada wanita sebanyak tiga sampai lima kali. Bila anak wanita mengalami Autisme maka gejala tersebut cenderung lebih serius dan kemungkinan terdapat bawaan riwayat keluarga. Pada awal terjadinya, Autisme menyerang anak-anak yang

(19)

berada pada status ekonomi sosial ke atas, namun kenyataannya keadaan itu sekarang meningkat, dan mulai merambah kepada kelompok sosial ekonomi rendah (Sutadi et. al., 2003).

Pengelompokkan Autisme

Autisme dapat dikelompokkan berdasarkan tujuh jenis gangguan yaitu: Autisme masa kanak-kanak (Autisme), Autisme tak khas, sindrom Rett, gangguan disintegratif masa kanak, gangguan berlebih yang berhubungan dengan retardasi mental dan gerakan stereotipik, sindrom Asperger serta gangguan perkembangan secara menyeluruh yang tak tentu. Tiga gangguan yang terbanyak adalah Autisme (termasuk yang tak khas), sindrom Asperger dan gangguan perkembangan secara menyeluruh (Yuniar 2003).

Autisme merupakan suatu spectrum disorder, artinya gejala yang tampak serta berat ringannya dapat sangat bervariasi. Tidak ada dua anak yang mempunyai diagnosis sama yang menunjukkan pola dan variasi perilaku yang sama persis. Menurut Yatim (2004), Autisme terdiri dari tiga jenis yaitu Autisme persepsi, Autisme jenis reaksi dan Autisme yang timbul kemudian. Autisme persepsi timbul sebelum lahir dengan gejala adanya rangsangan dari luar baik kecil maupun besar yang dapat menimbulkan kecemasan.

Autisme reaktif adalah Autisme dengan gejala penderita membuat gerakan-gerakan tertentu, berulang-ulang dan kadang-kadang disertai kejang dan dapat diamati pada usia 6-7 tahun, memiliki sifat rapuh mudah terpengaruh oleh dunia luar. Autisme yang timbul kemudian, jenis ini diketahui setelah anak agak besar. Anak dengan gejala ini akan mengalami kesulitan dalam mengubah perilakunya karena sudah melekat dalam dirinya (Yatim 2004).

Menurut McCandless (2003), Autisme memiliki dua tipe dasar yaitu Autisme klasik dan Autisme regresif. Autisme klasik dialami oleh anak-anak mulai dari lahir dan kasus ini sangat jarang ditemukan pada anak ASD. Sedangkan Autisme regresif adalah Autisme yang dialami oleh anak setelah melewati masa perkembangan dan pertumbuhan normal. Biasanya Autisme regresif mulai tampak pada usia 12-24 bulan.

Gejala-gejala Autisme

Menurut Diagnostic and Statistical manual of Mental Disorders edisi ke 4 (DSM-IV) yang diterbitkan oleh Asosiasi Psikiatri Amerika, gejala utama Autisme timbul setelah tiga tahun pertama kehidupan. Kelainan tingkah laku pada penderita ASD terbagi atas tiga kategori yaitu: 1) gangguan kualitatif pada

(20)

interaksi sosial, 2) gangguan kualitatif dalam komunikasi, terasing, melakukan pengulangan dan 3) pola stereotip dari tingkah laku, minat dan aktivitas (Anonymous 2003b).

Gejala-gejala Autisme dapat diamati secara obyektif, namun berdasarkan ICD-10 (International Classification of Disease) tahun 1993 dari WHO (World Healh Organization), maupun DSM-IV (Diagnoctic and Statistical manual) tahun 1994, keduanya menerapkan kriteria yang sama untuk anak Autisme. Kriteria DSM-IV untuk Autisme masa kanak:

1) Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang timbal balik. Minimal harus terdapat dua gejala dari gejala-gejala dibawah ini: a) tak mampu menjalin interaksi sosial yang cukup memadai seperti kontak mata sangat kurang, ekspresi muka kurang hidup, gerak gerik yang kurang tertuju; b) tak bisa bermain dengan teman sebayanya; c) tak dapat merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain; d) kurangnya hubungan sosial dan emosional yang timbal balik.

2) Gangguan kualitatif dalam bidang komunikasi seperti ditunjukkan oleh minimal satu dari gejala-gejala dibawah ini: a) bicara terlambat atau sama sekali tidak berkembang (tidak ada usaha untuk mengimbangi komunikasi dengan cara lain tanpa bicara); b) bila bisa bicara, bicaranya tidak dipakai untuk komunikasi; c) sering menggunakan bahasa aneh dan diulang-ulang; d) cara bermain kurang bervariatif, kurang imajinatif dan kurang bisa meniru.

3) Suatu pola yang dipertahankan dan diulang-ulang dari perilaku, minat dan kegiatan, adapun gejala-gejalanya antara lain : a) mempertahankan satu minat atau lebih, dengan cara yang sangat khas dan berlebih-lebihan; b) terpaku pada suatu kegiatan yang ritualistik atau rutinitas yang tak ada gunanya; c) ada gerakan-gerakan yang aneh yang khas dan diulang-ulang; d) seringkali sangat terpukau pada bagian-bagian benda tertentu. Untuk dapat dikatakan bahwa seorang anak menderita ASD, maka harus ada sedikitnya 6 gejala dari (1), (2), dan (3), dengan minimal 2 gejala dari (1) dan masing-masing 1 gejala dari (2) dan (3) (Handojo 2003).

Sebelum usia tiga tahun tampak adanya keterlambatan atau gangguan dalam bidang interaksi sosial, berbicara dan berbahasa, serta cara bermain yang kurang bervariatif, bukan disebabkan oleh Sindroma Rett atau Gangguan Disintegratif masa kanak (Handojo 2003).

(21)

Berdasarkan DSM-IV mengenai kriteria diagnosis anak ASD, dapat dilihat bahwa seorang anak harus memenuhi kriteria tersebut untuk dapat disebut mengalami gangguan Autisme. Namun harus diperhatikan bahwa gejala pada gangguan ASD sangat bervariasi dari anak yang satu dengan yang lainnya. Tidak semua anak menunjukkan gejala yang sama jenisnya, dan tidak semua anak menunjukkan gejala yang sama berat (Pusponegoro 2003).

Gejala-gejala diatas dapat timbul sejak lahir dan anak tidak pernah mengalami perkembangan perilaku yang normal . Namun ada juga anak yang sejak lahir tampak normal dan baru pada usia sekitar dua tahun terjadi hambatan perkembangan pada perilakunya dan bahkan kemudian terjadi kemunduran (regresi). Untuk deteksi dini bagi para orang tua, orang tua dianjurkan waspada terhadap gejala-gejala berikut :

1. Anak usia 30 bulan belum bisa bicara untuk komunikasi 2. Hiperaktif dan cuek kepada orang tua dan orang lain 3. Tidak bisa bermain dengan teman sebayanya

4. Ada perilaku aneh yang diulang-ulang (Handojo 2003). Penyebab Autisme

Banyak pakar telah sepakat bahwa pada otak anak Autisme dijumpai suatu kelainan. Ada tiga lokasi di otak yang ternyata mengalami kelainan neuro anatomis. Banyak teori yang diajukan oleh para pakar, mulai dengan penyebab genetika (faktor keturunan), infeksi virus dan jamur, kekurangan nutrisi dan oksigenasi, serta akibat polusi udara, air dan makanan. Diyakini bahwa gangguan tersebut terjadi pada fase pembentukan organ-organ (organogenesis) yaitu pada usia kehamilan antara 0-4 bulan (Handojo 2003). Beberapa penelitian yang dilakukan oleh para pakar dari banyak negara, diketemukan beberapa fakta yaitu adanya kelainan anatomis pada lobus patietalis, cerebellum dan system limbiknya. Sebanyak 43 persen penyandang Autisme mempunyai kelainan pada lobus parietalis otaknya yang menyebabkan anak acuh terhadap lingkungannya (Handojo 2003).

Masih ada suatu kelainan yang disebut sebagai Sensory Interpretation Errors (SIE) yang juga menyebabkan terjadinya gejala Autisme. Rangsangan sensoris yang berasal dari reseptor visual, auditori dan taktil (sentuhan atau perasaan) mengalami proses yang kacau di otak anak, sehingga timbul persepsi yang semrawut, kacau dan berlebihan yang pada akhirnya menyebabkan

(22)

kebingungan dan ketakutan pada anak. Akibatnya anak menarik diri dari lingkungan yang ‘menakutkan’ tersebut (Handojo 2003).

Faktor genetika atau faktor herediter merupakan faktor yang diturunkan sebagai dasar dalam mencapai tumbuh kembang anak. Faktor herediter adalah faktor bawaan seperti, jenis kelamin, ras, dan suku bangsa. Faktor ini dapat ditentukan dengan intensitas dan kecepatan dalam pembelahan sel telur, tingkat sensitifitas jaringan terhadap rangsangan, usia pubertas dan berhentinya pertumbuhan tulang (Hidayat 2004).

Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa Autisme berkaitan dengan pewarisan sifat yang kompleks. Diperkirakan terdapat 15 buah gen kandidat yang berkaitan dengan terjadinya Autisme. Mutasi banyak gen akan menyebabkan Autisme (Sutadi et. al. 2003).

Indikator Perilaku Autistik pada Masa Kanak

Untuk dapat melakukan deteksi dini, maka berikut ini diberikan beberapa cara untuk mengenali tanda-tanda atau gejala Autisme. Adapun indikatornya adalah sebagai berikut :

1. Bahasa atau komunikasi: ekspresi wajah yang datar, tidak dapat menggunakan bahasa atau isyarat tubuh, jarang memulai komunikasi, tidak meniru aksi dan suara, bicara sedikit atau tidak ada, mengulangi atau membeo kata-kata, intonasi atau ritme vokal yang aneh, tampak tidak mengerti arti kata, mengerti dan menggunakan kata secara terbatas atau harfiah.

2. Hubungan dengan orang: tak responsif dan tidak ada senyum sosial, tidak dapat berkomunikasi dengan mata, kontak mata terbatas, tampak asyik bila dibiarkan sendiri, tidak melakukan permainan giliran, menggunakan tangan orang dewasa sebagai alat.

3. Hubungan dengan lingkungan: Bermain repetitif, marah atau tak menghendaki perubahan-perubahan, berkembangnya rutinitas yang kaku (rigid).

4. Respon terhadap rangsangan indera atau sensoris: kadang seperti tuli, panik terhadap suara-suara tertentu, bermain-main dengan cahaya dan pantulan, tertarik pada pola atau tekstur serta bau tertentu, tahan terhadap perasaan sakit atau nyeri, memutar-mutar sesuatu, berputar-putar, membentur-benturkan kepala, menggigit pergelangan, melompat-lompat atau mengepak-ngepakkan tangan.

(23)

5. Kesenjangan perkembangan perilaku: kemampuan mungkin sangat baik atau sangat terhambat, mempelajari keterampilan di luar urutan normal, misalnya membaca, menulis tapi tak mengerti arti, berjalan pada usia normal tetapi tidak dapat berkomunikasi, amat sukar mengikuti perintah (Handojo 2003).

Perkembangan Sosial

Perkembangan manusia dapat dibahas dalam perspektif lima teori besar yaitu teori biologis (biology-based theories), teori psikoanalisis (psychoanalytic theories), teori lingkungan (environment-based theories), teori perkembangan kognitif (cognition- based theories), dan teori kontekstual (contextual theories) yang masing-masing memiliki asumsi, landasan filosofis, dan perspektif berbeda-beda dalam melihat perkembangan seorang manusia (Hastuti 2006).

Perkembangan dapat diartikan sebagai suatu proses yang membawa seseorang kepada suatu organisasi tingkah laku yang lebih tinggi (Monks, Knoers, Haditono 1989). Pada semua tingkatan usia, orang dipengaruhi oleh kelompok sosial dengan siapa mereka mempunyai hubungan tetap dan mampu melakukan penyesuaian diri. Menurut Santrock (1975) diacu dalam Hurlock (1998) mendefinisikan perkembangan sebagai suatu pola perubahan (change) atau pergerakan (movement) yang dimulai dari periode konsepsi (di dalam kandungan) dan berlangsung terus menerus sepanjang siklus hidup (life cycle). Perkembangan ini meliputi pertumbuhan dengan pola pergerakan yang kompleks karena merupakan hasil dari beberapa proses secara simultan yaitu proses biologi, kognitif dan sosial. Ketiga proses ini saling berkaitan dan saling mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya. Pencapaian suatu kemampuan pada setiap anak bisa berbeda-beda, namun demikian ada kriteria usia tentang kemampuan apa saja yang perlu dicapai seorang anak pada usia tertentu.

Perkembangan anak merupakan proses perubahan progresif yang menunjukkan cara anak berperilaku dalam interaksinya dengan lingkungan atau proses perubahan dalam kemampuan pada suatu kurun waktu sebagai fungsi dari kematangan dan interaksi dengan lingkungan. Pola perkembangan anak dipengaruhi oleh keadaan lingkungan fisik dan psikis anak yang menimbulkan perbedaan tampilan perkembangan dari satu anak ke anak yang lain (Hurlock 1997). Perkembangan anak merupakan suatu proses yang alamiah dan dapat berjalan dengan sendirinya dalam lingkungan yang baik.

(24)

Teori Psikososial Erik Erikson

Perkembangan anak selain dilihat dari perkembangan fisik namun juga dilihat dari perkembangan intelektual, sosial, emosi, dan moral. Untuk melihat empat dimensi perkembangan psikososial diatas maka teori yang dikemukakan Erik Erikson (teori psikososial), Jean Piaget (teori perkembangan kognitif), Lawrence Kohlberg (teori perkembangan moral), Thomas Lickona (teori perkembangan moral), dan Urie Bronfenbrenner (teori contextual, perspektif ekologis) (Hastuti 2006).

Menurut salah satu pakar teori psikososial, Erik Erikson memperluas dan memodifikasi teori Freud, melihat adanya tahapan dalam perkembangan anak. Namun pandangan Erikson berbeda karena ia lebih melihat adanya pengaruh interaksi sosial, yaitu interaksi yang terjadi antara anak dengan keluarga, dan antara anak dengan lingkungan masyarakatnya. Bahkan menurut Erikson perkembangan seseorang tidak berhenti saat memasuki usia remaja, tetapi terus berlanjut hingga usia tua. Disamping itu apa yang dialami secara traumatis oleh seorang anak pada masa kanak-kanak tidak harus selalu membuat hidupnya suram pada usia dewasa dan usia tua, karena itu Erikson lebih memiliki pandangan yang menggembirakan terhadap perkembangan manusia (Hastuti 2006).

Teori Erikson yang dikenal sebagai teori psikososial berpandangan bahwa sumber utama perkembangan anak adalah ego dalam interaksinya dengan lingkungan sekitarnya, mengingat keluarga adalah lingkungan yang langsung dan pertama. Menurut Erikson, tahapan perkembangan tersebut dapat dikelompokkan berdasarkan asumsi bahwa: (1) Anak dilahirkan dengan kecenderungan baik; (2) Faktor lingkungan berperan utama dalam perkembangan anak; (3) Anak berperan aktif adalam proses perkembangannya; (4) Perkembangan berjalan dalam tahapan menurut usia; (5) Tahapan perkembangan umumnya sama untuk semua anak.

Untuk itu Erikson mengelompokkan perkembangan manusia sesuai periode usianya menjadi : usia 0-1 tahun, usia 1-3 tahun, usia 3-5 tahun, usia 6-11 tahun, usia dewasa muda, usia dewasa menengah, dan usia dewasa tua, hal ini dapat dilihat pada Tabel 1.

(25)

Tabel 1 Tahapan perkembangan psikososial menurut Erikson No Tahapan

Perkembangan

Usia Elemen untuk Hasil Positif

1 Trust vs Mistrust Masa bayi 0-1 tahun

Bayi membutuhkan gizi dan perawatan serta kasih sayang, tanggung jawab orang tua dan konsistensi pengasuhan dari orang tua

2 Autonomy vs Shame & Doubt

Masa baduta 1-2 tahun

Kontrol yang lebih baik terhadap diri sendiri dalam lingkungannya, mulai belajar makan, kontrol pembuangan, berpakaian. Orang tua meyakinkan bahwa anak bisa, dan menghindari terlalu bersikap melindungi

3 Initative vs Guilt Masa

prasekolah 2-6 tahun

Menjalankan aktifitas diri, belajar menerima tanpa rasa salah jika tidak dapat mencapainya, imajinasi, bermain peran seperti orang dewasa. Belajar berinisiatif bukan hanya meniru, terbentuknya nurani dan identitas seksual

4 Industry vs

Inferiority

Masa sekolah 6-12 tahun

Menemukan kesenangan dan produktif, bertetangga, menjalin hubungan dengan teman sebaya, interaksi di sekolah, belajar kepercayaan diri dengan meningkatkan keterampilan.

5 Identity vs Role

Confusion

Masa remaja Mencari identitas diri, membangun diri dari krisis

yang pernah terjadi, menanyakan siapa saya, perasaan kompeten, mengambil keputusan (keterampilan, orientasi gender, filosofi hidup), menyatukan beragam peran (anak, saudara, pelajar, olahragawan, pekerja), membentuk imej dari role model dan peer grupnya.

6 Intimacy vs

Isolation

Masa dewasa Awal

Keterbukaan dan komitmen dengan orang lain dalam membentuk hubungan yang lebih dekat 7 Generativity vs

Stagnation

Masa dewasa muda dan menengah

Mengasuh anak, terlibat dengan generasi masa depan, produktivitas, kreativitas, mencapai kepuasan dengan produktivitas karir, keluarga, dan minat sebagai warga negara

8 Integrity vs

Despair

Masa dewasa lanjut dan lansia

Memikirkan identitas diri, perasaan menerima kematian, membela pencapaian hidup yang dilalui, kehilangan pasangan

(26)

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Sosial Anak Dukungan dari lingkungan yang baik akan memberikan hal yang positif bagi perkembangan anak, semakin bertambahnya usia anak, semakin kurang waktu anak untuk bergaul dengan orang dewasa. Pada saat yang sama, minat mereka terhadap teman sepermainan yang berusia sebaya semakin bertambah dan kesenangan yang mereka peroleh dari pergaulan ini semakin kuat (Hurlock 1978). Hal senada juga dikatakan oleh Goleman (1999) bahwa seorang anak yang sedang berkembang mempunyai minat, kemauan dan sikap yang berkembang ketika ia melakukan interaksi dengan lingkungannya. Kemampuan sosial ini memungkinkan seseorang membentuk hubungan untuk menggerakkan dan mengilhami orang lain sehingga orang tersebut merasa nyaman.

Menurut Doll (1965) mengatakan ada 8 kategori yang digunakan untuk mengukur perkembangan sosial yang dikenal dengan Vineland Social Maturity Scale. Perkembangan sosial anak dapat diukur dengan : (1) Self Help General (2) Self Help Eating (3) Self Help Dressing (4) Self Direction (5) Occupation (6) Communication (7) Locomotion (8) Socialization.

Perkembangan sosial yang diukur tersebut dapat dipengaruhi oleh adanya faktor pengalaman sosial serta pengalaman belajar, hal ini diperkuat oleh pernyataan Hurlock (1978) yang menyatakan bahwa sikap anak-anak terhadap orang lain dipengaruhi oleh pengalaman sosial dan pengalaman belajar selama bertahun-tahun. Ada empat faktor penting agar anak dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan sosial dan menjadi pribadi yang dapat bermasyarakat, yaitu :

1. Kesempatan untuk bersosialisasi adalah penting karena anak-anak tidak dapat belajar hidup bermasyarakat dengan orang lain jika sebagian besar waktu mereka dipergunakan seorang diri.

2. Dalam keadaan bersama-sama, anak-anak tidak hanya harus mampu berkomunikasi dalam kata-kata yang dapat dimengerti orang lain, tetapi juga harus mampu berbicara tentang topik yang dapat dipahami dan menarik bagi orang lain.

3. Anak akan belajar bersosialisasi apabila mereka mempunyai motivasi untuk melakukannya.

4. Metode belajar yang efektif dengan bimbingan yang terarah adalah penting, sehingga anak dapat mempelajari beberapa pola perilaku yang penting bagi penyesuaian sosial yang baik.

(27)

Jika anak-anak merasa senang berhubungan dengan orang lain, mereka akan terdorong untuk berperilaku dengan cara yang dapat diterima orang lain. Terkadang pengaruh kelompok teman sebaya lebih kuat dibandingkan dengan sewaktu masa prasekolah ketika anak masih kecil dan kurang berminat dengan teman sebaya (Hurlock 1978).

Menurut Shapiro (1990), belajar mengenali diri, mengekspresikan emosi adalah bagian yang penting dalam komunikasi dan juga merupakan aspek dalam pengendalian emosi, tetapi memahami emosi orang lain juga adalah merupakan suatu keterampilan sosial emosi yang sama penting khususnya dalam mengembangkan hubungan yang akrab dan saling memuaskan. Empati dan kemampuan untuk menyayangi merupakan dua emosi utama yang membentuk perkembangan moral anak. Jadi, anak-anak yang dibesarkan dalam lingkungan yang ramah, perkembangan dirinya juga akan terbentuk dengan baik sehingga akan menjadi anak yang ramah (Sarwono 2002).

Karakteristik Sosial Anak ASD

Autisme yaitu gangguan kualitatif dalam komunikasi, interaksi sosial, dan perilaku stereotipe (berulang-ulang) serta minat yang terbatas (yang sering kali merupakan akibat gangguan kualitatif dalam perkembangan imajinasi) (Peeters 2004). Anak ASD memiliki beberapa karakteristik gangguan dalam beberapa bidang. Gangguan tersebut antara lain :

1. Komunikasi: perkembangan bahasa lambat atau sama sekali tidak ada, anak tampak seperti tuli, sulit berbicara atau pernah berbicara tapi kemudian sirna, terkadang mengeluarkan kata-kata namun tidak sesuai dengan artinya, echolalia (senang membeo), bila senang meniru, dapat hafal betul kata-katanya atau nyanyian tersebut tanpa mengerti artinya. 2. Interaksi sosial: penyandang ASD lebih suka menyendiri, tidak ada atau

sedikit kontak mata atau menghindar untuk bertatapan, tidak tertarik untuk bermain bersama teman, bila diajak bermain ia tidak mau dan menjauh.

3. Gangguan sensoris: sangat sensitif terhadap sentuhan seperti tidak suka dipeluk, bila mendengar suara keras langsung menutup telinga, senang mencium-cium, menjilat mainan atau benda-benda, tidak sensitif terhadap rasa sakit dan rasa takut.

4. Pola bermain: tidak suka bermain seperti anak-anak pada umumnya, tidak suka bermain dengan teman sebayanya, tidak kreatif, tidak

(28)

imajinatif, tidak bermain sesuai fungsi mainan (sepeda dibalik lalu rodanya diputar-putar).

5. Perilaku: dapat berperilaku berlebihan (hiperaktif) atau kekurangan (hipoaktif), memperlihatkan perilaku stimulasi diri seperti bergoyang-goyang, mengepakkan tangan, berputar-putar, lari atau berjalan mondar mandir.

6. Emosi: sering marah-marah tanpa alasan yang jelas, temper tantrum (mengamuk tak terkendali), kadang suka menyerang dan merusak, terkadang juga suka menyakiti dirinya sendiri (Suryana 2004).

Tabel 2 Perkembangan komunikasi pada anak Autisme

Usia (bulan)

Komunikasi

6 Tangisan sulit dipahami.

8 Ocehan yang terbatas atau tidak normal (misalnya menjerit atau berciut), tidak

ada peniruan bunyi, bahasa tubuh dan ekspresi.

12 Kata-kata pertama mungkin muncul, tapi seringkali tidak bermakna, sering

menangis keras-keras, tetapi sulit untuk dipahami.

24 Biasanya kurang dari 15 kata, kata-kata muncul kemudian hilang, bahasa

tubuh tidak berkembang, sedikit menunjukan pada benda.

36 Kombinasi kata-kata jarang (mungkin terdapat kalimat yang bersifat echo, tapi

tidak ada penggunaan bahasa yang kreatif), ritme tekanan suara yang aneh, artikulasi yang sangat rendah separuh dari anak-anak normal, separuhnya atau lebih tanpa ucapan yang bermakna, menarik tangan orang tua dan membawanya ke suatu obyek, pergi ke suatu tempat yang sudah biasa dan menunggu untuk mendapatkan sesuatu.

48 Sebagian kecil bisa mengkombinasikan dua atau tiga kata secara kreatif,

ekolali (membeo) masih ada; mungkin digunakan secara komunikatif, meniru iklan TV, membuat permintaan.

Sumber : Peeters (2004)1

Menurut Adriana (2004) diacu dalam Suryana (2004) menyatakan bahwa anak Autisme tidak mempunyai kemampuan untuk memahami orang lain atau membaca situasi sosial. Sebagai contohnya jika anak normal meminta mainan kepada temannya, dia akan melihat ekspresi wajah temannya apakah marah

1

Dari Watson, L.,dan Marcus, L., Diagnosa dan penilaian terhadap anak-anak prasekolah Dalam Schopler, E.,dan Mesibov,G (eds) Diagnosis and assessment in autism. London, Plenum Press, 1998

(29)

atau sedih, sehingga bila mainannya tidak diberikan, anak normal akan diam saja. Sementara anak Autisme, kalau ia menginginkan sesuatu, dia akan tetap merebutnya.

Tabel 3 Perkembangan interaksi sosial pada Autisme

Usia (bulan)

Interaksi Sosial

6 Kurang aktif dan menuntut daripada bayi normal; (1) Sebagian kecil cepat

marah, (2) Sedikit sekali kontak mata, (3) Tidak ada respon antipati secara sosial.

8 Sulit reda ketika marah; (1) Sekitar sepertiga di antaranya sangat menarik diri

dan mungkin secara aktif menolak interaksi, (2) Sekitar sepertiga di antaranya menerima perhatian tapi sangat sedikit memulai interaksi.

12 Sosiabilitas seringkali menurun ketika anak mulai belajar berjalan, merangkak.

24 Biasanya membedakan orang tua dari orang lain, tetapi sangat sedikit sekali

afeksi yang diekspresikan, mungkin memeluk dan mencium sebagai gerakan tubuh yang otomatis ketika diminta, tidak acuh terhadap orang dewasa selain orang tua, lebih suka menyendiri.

36 Tidak bisa menerima anak-anak yang lain; (1) Sensivitas yang berlebihan, (2)

Tidak bisa memahami makna hukuman.

48 Tidak dapat memahami aturan dalam permainan dengan teman sebaya.

60 Lebih berorientasi kepada orang dewasa daripada teman sebaya. Sering

menjadi lebih dapat bergaul tetapi interaksi tetap aneh dari satu sisi. Sumber : Peeters (2004)2

Stimulasi Psikososial

Stimulasi adalah suatu rangsangan yang datang dari lingkungan luar anak. Stimulasi merupakan hal yang penting dalam tumbuh kembang anak. Anak yang mendapat stimulasi yang terarah dan teratur akan lebih cepat berkembang dibandingkan dengan anak yang kurang atau tidak mendapat stimulasi. Stimulasi dapat berfungsi sebagai penguat yang bermanfaat bagi perkembangan anak. Berbagai macam stimulasi seperti stimulasi visual, verbal, auditif, dan lain-lain yang dapat mengoptimalkan perkembangan anak (Soetjiningsih 1995). Stimulasi psikososial adalah stimulasi pendidikan dalam rangka mengembangkan

2

Dari Watson, L.,dan Marcus, L.,Diagnosa dan penilaian terhadap anak-anak prasekolah Dalam Schopler,E.,dan Mesibov,G (eds) Diagnosis and assessment in autism. London, Plenum Press, 1998

(30)

kemampuan kognitif, fisik atau motorik, serta sosial-emosional anak (Depdiknas 2003).

Menurut Depdikbud (1994) menjelaskan bahwa stimulasi psikososial diberikan melalui kegiatan belajar dan bermain sehari-hari. Terdapat dua jenis kegiatan yang diselenggarakan. Pertama, kegiatan rutin, yaitu meliputi kegiatan yang rutin dilaksanakan secara tidak terprogram dan tidak memiliki ketentuan waktu yang teratur dalam melaksanakan kegiatan. Kegiatan yang termasuk kegiatan rutin diantaranya bermain, makan, tidur dan pulang. Kegiatan yang kedua adalah kegiatan spontanitas yang merupakan kegiatan yang timbul karena situasi yang merangsang spontanitas anak dan kreativitas pengasuh yang dilaksanakan secara tidak terprogram.

Dermawan (1999) menyatakan bahwa orang tua, pengasuh dan guru juga memiliki peranan yang besar dalam memberikan stimulasi psikososial kepada anak. Melalui berbagai macam kegiatan, anak diberi rangsangan pendidikan, baik berupa rangsangan perkembangan kognitif, moral, sosial-emosi, kepribadian maupun penanaman disiplin. Interaksi antara guru dan anak, serta anak dengan teman, memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan anak, karena suasana di sekolah yang kondusif akan membantu anak berkembang optimal.

Stimulasi psikososial dapat dinilai dengan menggunakan suatu instrumen. Instrumen yang dapat digunakan untuk menilai stimulasi psikososial adalah Home Observation for Measurement of the Environment (HOME) Inventory. Menurut Caldwell dan Bradley (1984) instrument HOME yang digunakan dalam penelitian ini mendasarkan diri pada 12 premis teoritis dan empiris mengenai pengaruh lingkungan terhadap perkembangan anak. Kedua belas premis tersebut adalah sebagai berikut :

1. Perkembangan optimal memerlukan pemenuhan kebutuhan fisik dasar dan pemenuhan kebutuhan kesehatan dan keselamatan.

2. Perkembangan anak dapat ditingkatkan melalui kontak dengan sejumlah orang dewasa disekitar anak.

3. Perkembangan anak dapat ditingkatkan oleh iklim emosional yang positif. 4. Perkembangan anak dapat ditingkatkan dengan penyediaan semua

kebutuhan anak secara optimal.

5. Perkembangan anak dapat ditingkatkan dengan penyediaan masukan sensoris yang beragam dan terpola.

(31)

6. Perkembangan anak dapat ditingkatkan dengan hadirnya orang yang selalu tanggap secara fisik, kata, dan rasa terhadap perilaku anak.

7. Perkembangan anak dapat ditingkatkan dengan tersedianya lingkungan yang memiliki larangan sosial yang minimal mengatur mengenai perilaku motorik dan eksploratik.

8. Perkembangan anak dapat ditingkatkan dengan pengorganisasian lingkungan fisik dan temporal yang baik.

9. Perkembangan anak dapat ditingkatkan dengan penyediaan kesempatan untuk mendapatkan pengalaman kultural yang kaya dan beragam.

10. Perkembangan anak dapat ditingkatkan dengan tersedianya alat mainan yang memfasilitasi koordinasi proses sensori motorik.

11. Perkembangan anak memerlukan kontak dengan orang dewasa yang memberi nilai terhadap pencapaian perilaku anak.

12. Perkembangan anak dapat ditingkatkan dengan kesempatan mendapatkan pengalaman kegiatan kumulatif.

Pengasuhan

Pengasuhan anak merupakan pandangan yang dimiliki seorang perawat dalam memberikan pelayanan kepada anak dan berfokus pada keluarga, pencegahan terhadap trauma, dan manajemen kasus. Keluarga adalah bagian yang sangat penting dalam proses pengasuhan anak. Hal ini dikarenakan keluarga merupakan tempat tinggal pertama bagi kehidupan seorang anak. Kekuatan dan kelemahan keluarga menentukan kualitas pemberian perawatan kepada anak. Kekuatan dan kelemahan tersebut dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan, tingkat ekonomi, serta peran atau bentuk keluarga (Hidayat 2004).

Menurut Karyadi (1998) bahwa pengasuhan adalah segala interaksi antara orang tua dengan anak-anaknya, diantaranya situasi dan cara pemberian makan, pendidikan, dan cara mendisiplikannya, proses kemandirian, dan proses sosialisasi, sedangkan definisi pengasuhan menurut Soekirman (2002) adalah dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh kembang dengan sebaik-baiknya secara fisik, mental, dan sosial.

Pengasuhan merupakan kebutuhan dasar dari setiap anak. Kebutuhan dasar ini dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan seorang anak. Kebutuhan dasar tersebut meliputi kebutuhan akan gizi, kebutuhan pemberian tindakan perawatan dalam meningkatkan dan mencegah terhadap penyakit, kebutuhan perawatan dan pengobatan apabila sakit, kebutuhan akan tempat

(32)

atau perlindungan yang layak, kebutuhan hygiene perseorangan dan sanitasi lingkungan yang sehat, kebutuhan akan pakaian, kebutuhan kesehatan jasmani dan kebutuhan akan rekreasi (Hidayat 2004).

Kualitas Pengasuhan

Lingkungan pengasuhan anak merupakan salah satu faktor eksternal dan yang paling kuat pengaruhnya terhadap tumbuh kembang anak adalah interaksi ibu dan anak (Satoto 1990). Sedangkan menurut Hurlock (2002) menyatakan bahwa interaksi sosial yang pertama kali dialami oleh anak adalah hubungan anak dengan ibunya, kemudian meluas dengan ayah dan anggota keluarga yang lain. Suasana hubungan antar anggota keluarga dapat mempengaruhi kualitas pengasuhan dimana hubungan yang harmonis dalam keluarga dapat menumbuhkan suasana yang kondusif bagi terselenggaranya pengasuhan yang berkualitas.

Menurut Munandar (1992) sikap orang tua dalam mendidik anaknya tergantung beberapa faktor antara lain: (1) Tingkat pendidikan dan status sosial ekonomi orang tuanya; (2) Hubungan suami-isteri, jika hubungannya hangat dan serasi, maka sikap terhadap anak lebih menunjukkan pengertian dan toleransi; (3) Jumlah anak dalam keluarga, keluarga kecil cenderung memanjakkan dan menuntut lebih banyak karena anak merupakan tumpuan harapan orang tua; (4) Kepribadian orang tua, orang tua bersikap otoriter, demokratis atau terlalu menuruti kemauan anak; (5) Pengalaman orang tua, pengaruh sikap orang tua terhadap anaknya karena pengalaman hidupnya.

Menurut Cranoto dan Delicarde (1972) diacu dalam Satoto (1990) diperlukan dua faktor yang saling berkaitan, yaitu interaksi ibu dan anak sebagai suatu pola perilaku yang mengikat ibu dan anak secara timbal balik dan stimulasi dalam keluarga yang mencakup berbagai upaya keluarga baik langsung maupun tidak langsung yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak.

Dalam interaksi orang tua dengan anaknya, tindakan orang tua dipengaruhi pendidikan dan pengalamannya, namun tidak dapat dipungkiri adalah faktor kepribadian orang tua itu sendiri (Claussen dan Williams 1963 dalam Widjaja 1988). Peran ibu selaku pengasuh dan pendidik anak di dalam keluarga dapat mempengaruhi perkembangan anak secara positif maupun negatif karena dalam berinteraksi dengan anak sehari-hari, ibu dapat memainkan berbagai peran yang secara langsung berpengaruh pada anak (Tjokrowinoto 1984).

(33)

Status Kesehatan

Derajat kesehatan atau status kesehatan adalah tingkat kesehatan perorangan, kelompok, atau masyarakat yang diukur dengan angka kematian, usia harapan hidup, status gizi, dan angka kesakitan (Depkes RI 1991). Hal serupa dikemukakan oleh Sukarni (1994), bahwa indikator yang berhubungan dengan derajat kesehatan antara lain usia harapan hidup sewaktu lahir, angka kematian bayi dan anak balita, status gizi, dan angka kesakitan. Sedangkan menurut WHO menyatakan bahwa sehat adalah keadaan kualitas tubuh yang berfungsi secara wajar dengan segala faktor keturunan dan lingkungan (Khairunnisa 2004).

Kesehatan anak ditandai oleh terhindarnya dari penyakit, tubuh dalam kondisi baik sehingga dapat melakukan aktivitas secara normal sesuai dengan periode usianya. Keadaan lingkungan fisik menentukan tingkat kesehatan masyarakat yang hidup didalamnya dan dapat diukur dengan angka kematian dan kesakitan penduduk (Depkes RI 1991). Pendidikan ibu erat kaitannya dengan kesehatan anak, baik itu diukur dari status gizinya ataupun dari kematian anak (Tjokrowinoto dkk 1984 diacu dalam Yuliana 2004).

Beberapa penyakit anak yang sering menyerang antara lain penyakit cacar air, demam berdarah, diare, polio, disentri, atau disertai berbagai gejala penyakit seperti pilek, suara serak, selera makan berkurang, muntah, kejang, dan nyeri. Gejala-gejala tersebut patut diwaspadai sejak dini melalui pengamatan pada anak oleh orang tua dan guru disekolah. Pada umumnya yang perlu diperhatikan adalah perubahan perangai anak. Hal ini merupakan salah satu kemungkinan akibat bila anak terkena gejala suatu penyakit (Luwina 2006).

Karakteristik Keluarga

Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terikat oleh hubungan perkawinan dan hubungan darah, tinggal dalam satu rumah dengan menjalankan fungsi dan peran tertentu untuk mencapai suatu tujuan yang sama (Guhardja, Hartoyo, Puspitawati, Hastuti 1992). Keluarga mempunyai posisi yang penting bagi pembentukkan sumberdaya manusia. Hal ini terkait karena tempat pertama manusia berinteraksi akan dimulai dari keluarga.

Keluarga merupakan lingkungan primer bagi setiap individunya dan sejak masih balita mereka mulai menerima nilai-nilai yang akan menjadi pegangan sepanjang hidupnya. Dalam keluarga setiap individu membutuhkan pengayoman, perlindungan dan rasa cinta kasih untuk dapat mengembangkan dirinya secara

(34)

optimal (Megawangi 1995). Oleh karena itu pentingnya menciptakan pola asuh lingkungan yang bahagia untuk menunjang proses perkembangan anak. Adapun hal-hal yang berkaitan dengan karakteristik keluarga adalah sebagai berikut : Usia

Usia dewasa muda dan dewasa madya lebih sering terjadi stres sehingga perlu persiapan yang matang untuk tahap-tahap tersebut (Gunarsa dan Gunarsa 1991). Semakin bertambah usia seseorang maka akan semakin besar kemungkinan untuk lebih mudah mengasumsikan suatu situasi sebagai situasi yang penuh tekanan (Hayslip dan Panek 1989).

Pendidikan Orang tua

Myers dan Evans (2000) menyatakan bahwa pendidikan berhubungan dengan tingkat pengetahuan seseorang. Pengetahuan orang tua yang terbatas dapat menyebabkan anak kurang atau bahkan tidak menerima stimulasi perkembangan yang cukup dan sesuai dengan tahapan usianya. Semakin tinggi pendidikannya diharapkan pengetahuan tentang perkembangan anak semakin baik sehingga dapat memberikan stimulasi baik fisik, sosial, emosional, maupun psikologis yang cukup bagi anak-anaknya.

Hasil penelitian Widjaya (1986) diacu dalam Kartini (1992) mengungkapkan bahwa ada kecenderungan bila semakin tinggi pendidikan formal yang diterima oleh seseorang, semakin tinggi pula status ekonominya dan semakin authoritative (otoriter) pola asuhnya. Mereka akan bersifat terbuka terhadap pembaharuan dan lebih sering memperoleh informasi tentang perkembangan anak melalui berbagai media sehingga mereka menjadi lebih mengerti tentang perkembangan anaknya. Keadaan ini berbeda dari orang tua yang berpendidikan rendah yang mempunyai pengetahuan dan pengertian yang terbatas mengenai kebutuhan dan perkembangan anak, sehingga kurang menunjukkan pengertian dan cenderung mendominasi anak-anaknya.

Pendapatan Keluarga

Syarief (1997) menyatakan bahwa pendapatan keluarga terkait dengan tingkat sosial ekonomi, dan juga akan menentukkan kelas sosial sebuah keluarga. Perbedaan pendapatan akan mempengaruhi cara keluarga dalam mengatur sumberdaya yang dimiliki untuk memenuhi kebutuhannya.

Orang tua dengan pendapatan yang rendah biasanya kurang atau tidak dapat memenuhi kebutuhan keluarga. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Fantini

(35)

dan Weinstein (1968) diacu dalam Klausmier dan Goodwin (1975) bahwa rendahnya pendapatan keluarga membuat waktu orang tua yang tersedia bagi anak menjadi berkurang, dikarenakan kesibukkan orang tua dalam mencari nafkah sehingga anak kurang mendapat perhatian. Secara tidak langsung ikatan emosional antara orang tua dan anak kurang dapat terjalin dengan baik.

Megawangi (2004) menyatakan bahwa kemiskinan dan kesulitan hidup sering melingkupi kehidupan keluarga Indonesia, terutama bagi golongan miskin yang masih merupakan porsi terbesar dari seluruh keluarga di Indonesia. akibatnya keadaan stres dan tekanan akan berpengaruh negatif terhadap kualitas pengasuhan anak. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya tindak kekerasan yang dilakukan dalam keluarga, baik kekerasan suami terhadap istri, kekerasan istri terhadap suami, dan kekerasan ibu terhadap anak-anaknya. Suasana kekerasan yang demikian akan berpengaruh negatif terhadap perkembangan jiwa dan kepribadian anak, yang mungkin dampaknya terlihat pada maraknya aksi kekerasan yang timbul di dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

Besar Keluarga

Harisudin (1997) mengatakan bahwa jumlah anggota keluarga akan mempengaruhi kualitas pemenuhan kebutuhan anggota keluarga, terutama kebutuhan akan perhatian dan kasih sayang. Selain kebutuhan afeksi, kebutuhan pangan, sandang, papan juga kurang atau tidak terpenuhi. Zanden (1997) menyatakan bahwa besar keluarga berhubungan negatif dengan kesempatan anak untuk memperoleh pendidikan.

Menurut Soetjiningsih (1995) semakin besar jumlah anggota keluarga maka pengasuhan yang diberikan kepada anak dalam keluarga dapat dilakukan oleh beberapa pengasuh. Pada keluarga dengan ekonomi kurang, jumlah anak yang banyak mengakibatkan kurangnya kasih sayang dan perhatian kepada anak, serta pemenuhan berbagai macam kebutuhan, salah satunya adalah kebutuhan primer (pangan, sandang dan papan).

Keluarga yang memiliki jumlah anak yang banyak atau terlalu besar dengan jarak yang relatif pendek dapat menyebabkan terlantarnya pendidikan anak terutama balita, usia lima tahun pertama kehidupan anak merupakan waktu perkembangan yang sangat menentukkan bagi perkembangan kepribadian anak Soetjiningsih (1995).

(36)

Karakteristik Anak

Karakteristik anak ASD yang meliputi usia, jenis kelamin serta urutan kelahiran merupakan faktor-faktor yang berhubungan dengan pemberian stimulasi dari orang tua.

Usia Anak

Usia lahir sampai dengan memasuki pendidikan sekolah dasar merupakan masa keemasan sekaligus masa kritis dalam tahapan perkembangan anak dan merupakan masa yang tepat untuk meletakkan dasar-dasar pengembangan kemampuan fisik, bahasa, sosial emosional, konsep diri, seni, moral dan nilai-nilai agama. Hurlock (1999) menyatakan bahwa usia prasekolah merupakan masa bermain dimana anak menghabiskan sebagian besar waktunya untuk bermain. Anak mulai bersosialisasi dan mempelajari dasar-dasar perilaku sosial sebagai persiapan untuk memasuki kehidupan sosial selanjutnya.

Anak prasekolah menghabiskan sebagian besar waktunya untuk bermain, sehingga tahapan ini sering disebut sebagai usia bermain. Para ahli juga sering menyebutkan sebagai usia berkelompok, yaitu masa dimana anak-anak mulai mempelajari dasar-dasar perilaku sosial sebagai persiapan bagi kehidupan sosial yang lebih tinggi. Masa prasekolah juga sering dianggap orang tua sebagai masa sulit atau usia yang mengandung masalah. Julukan ini diberikan karena pada usia prasekolah banyak terdapat masalah yang berkaitan dengan perilaku anak yang harus dihadapi oleh orang tua, seperti bandel, keras kepala, marah tanpa sebab, dan sebagainya yang semuanya timbul dari emosi yang belum stabil (Kartono 1990).

Anak usia sekolah adalah masa usia dimana mereka harus bermain tanpa diperhatikan orang tua dan saat bermain dapat mengetahui cara bergaul dengan teman sebaya secara baik. Pada usia ini anak diharapkan memperoleh dasar-dasar pengetahuan yang dianggap penting untuk keberhasilan penyesuaian diri pada kehidupan dewasa, serta mempelajari berbagai keterampilan penting tertentu (Hurlock 2002).

Jenis Kelamin

Sikap orang tua terhadap jenis kelamin tertentu membawa pengaruh yang sangat penting. Preferensi (anggapan) orang tua untuk jenis kelamin bayi juga berperan dalam penentuan peran seks. Jika preferensi (anggapan) orang tua adalah pada anak laki-laki dan bayi yang lahir ternyata laki-laki, maka perlakuan

(37)

orang tua akan lebih positif daripada bila bayi yang lahir berjenis kelamin perempuan (Hurlock 1978b).

Mayoritas anak Autisme ditemukan pada anak laki-laki daripada wanita sebanyak tiga sampai empat kali. Bila anak wanita mengalami Autisme maka gejala tersebut cenderung lebih serius dan kemungkinan terdapat riwayat keluarga yang menderita Autisme sebelumnya (Handojo 2003).

Urutan Kelahiran

Hurlock (1991) menyatakan bahwa urutan kelahiran anak dikategorikan menjadi empat yaitu anak pertama, tengah, bungsu dan tunggal. Hubungan yang terjadi dalam keluarga, baik antara orang tua dan anak, anak dengan saudara kandung, maupun anak dengan anggota keluarga lainnya dapat mempengaruhi tumbuh kembang anak. Salah satu yang dapat mempengaruhi hubungan anak dengan saudaranya adalah tingkat kelahiran.

Urutan kelahiran dalam keluarga serta besar kecilnya kepekaan dipengaruhi oleh teman-teman sebaya diduga berkaitan dengan pola asuh. Ada pendapat yang menyatakan bahwa anak yang tertua lebih mudah terpengaruh oleh norma-norma kelompok dan orang lain dibanding dengan adik-adiknya (Monks, Knoers dan Haditomo 1994 diacu dalam Kumari 2001).

Menurut Begner (1974) diacu dalam Hurlock (1998) anak tengah akan berperan sebagai penghubung dalam interaksi kakak dan adiknya, karena anak pertama lazimnya bertindak sebagai pemimpin saudara-saudaranya dalam susunan keluarga. Anak tengah kadang-kadang bertingkah dan melanggar peraturan untuk mendapatkan perhatian dari orang tua, kakak atau adiknya.

(38)

KERANGKA PEMIKIRAN

Autisme sering disebut dengan sebutan sindroma Keanner. Sindroma ini ditandai dengan gejala anak yang sulit berkomunikasi, sulit bersosialisasi, berperilaku yang berulang-ulang serta bereaksi tidak biasa terhadap rangsangan sekitarnya. Gejala ini lebih banyak diketahui berkembang pada balita setelah kelahiran yang normal. Biasanya gejala-gejala Autisme mulai tampak pada usia 12-24 bulan (McCandless 2003).

Berinteraksi sosial dan melakukan komunikasi dengan orang lain merupakan suatu tahapan yang penting bagi seorang anak. Namun beberapa anak kesulitan dalam proses perkembangan sosial, seperti anak Autisme. Perkembangan sosial anak ASD berhubungan dengan riwayat ASD, semakin dini kita mengetahui gejala-gejala ASD maka kita dapat melakukan intervensi yang terbaik untuk menolong perkembangan anak ASD. Perkembangan sosial anak ASD juga dapat dilihat melalui pemberian stimulasi psikososial. Stimulasi psikososial dapat dilakukan oleh terapis, ibu maupun anggota keluarga lainnya. Stimulasi psikososial anak yang baik akan memberikan dampak yang positif pada perkembangan sosial anak ASD.

Pengasuhan yang diterapkan dalam suatu keluarga dapat dipengaruhi oleh karakteristik keluarga antara lain usia orang tua, pendapatan orang tua, lama pendidikan yang telah ditempuh orang tua, serta besarnya jumlah anggota keluarga. Pengasuhan orang tua juga akan mempengaruhi status kesehatan seorang anak, jika pengasuhan orang tua baik maka status kesehatannya pun baik, sebaliknya jika pengasuhan orang tua tidak baik maka status kesehatan anak juga kurang baik.

Pola pengasuhan yang dilakukan keluarga juga dipengaruhi oleh karakteristik anak. Adapun karakteristik anak ASD antara lain usia, jenis kelamin, serta urutan kelahiran. Penelitian ini bertujuan melihat riwayat ASD, stimulasi psikososial dan hubungannya dengan perkembangan sosial anak ASD. Pemberian stimulasi dapat dilakukan baik di rumah maupun di tempat terapi. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar

Tabel 1 Tahapan perkembangan psikososial menurut Erikson  No Tahapan
Gambar 1 Riwayat ASD, stimulasi psikososial dan hubungannya dengan perkembangan sosial anak dengan gangguan Autism                     Spectrum Disorder (ASD).
Gambar 2 Cara penarikan contoh penelitian.
Gambar 3. Sebaran contoh berdasarkan tipe keluarga
+7

Referensi

Dokumen terkait

Metode ABC membeban- kan biaya ke setiap produk berdasarkan aktivitas-aktivitas yang dikonsumsi oleh produk tersebut dengan menggunakan lebih dari cost driver ,

W n : Kadar air yang dibutuhkan tanah sebelum pemberian air irigasi (kadar air kapasitas lapang - kadar air awal).. d : Kedalaman air rata-rata yang ditampung pada

Karena salah satu komponen dari harapan adalah berfikir mengenai waypower, maka harapan berkaitan dengan persepsi individu mengenai kemampuanya untuk menyelesaikan masalah yang

Dari penelitian yang pernah dilakukan di Puskesmas Mandala Tahun 2009 diperoleh gambaran hasil pemberian PMT selama 90 hari dari program Jaring Pengaman Sosial Bidang

Diabetes melitus merupakan penyakit kronik yang disebabkan oleh ketidakmampuan organ pankreas untuk memproduksi hormon insulin dalam jumlah yang cukup, tubuh tidak

Suatu polimer adalah rantai berul berulang ang dari dari atom atom yang panjang, terbentuk dari yang panjang, terbentuk dari   pengikat yang berupa molekul identik

dengan matahari sehingga akibat gaya tarik komet tersebut sebagian dari masa matahari yang panas tercabik lepas dan mendingin menjadi planet.. PEMBENTUKAN

Nilai Pasar Wajar adalah perkiraan jumlah uang pada tanggal penilaian yang dapat diperoleh dari transaksi jual beli atau hasil penukaran suatu properti antara pembeli yang