• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kabupaten Bogor merupakan salah satu wilayah yang berbatasan langsung dengan Ibu Kota RI dan secara geografis terletak pada posisi 60 18“0” - 60 47”10” Lintang Selatan dan 1060 23”45” – 1070 13”30” Bujur Timur. Luas wilayah berdasarkan data terakhir adalah 2301.95 Km2. Berdasarkan hasil Pendataan Sosial Ekonomi 2005, Kabupaten Bogor memiliki 40 Kecamatan, 427 desa/kelurahan, 13541 RT dan 913206 rumah tangga.

Jumlah penduduk Kabupaten Bogor pada tahun 2006 menurut hasil Sensus Daerah (SUSDA) sebanyak 4.215.585 jiwa dan pada tahun 2007 telah mencapai 4.237.962 jiwa (SUSDA 2007) atau 10.32 persen dari jumlah penduduk Propinsi Jawa Barat (40.737.594 jiwa). Jumlah penduduk sebanyak 4.237.962 jiwa di atas, terdiri dari penduduk laki-laki sebanyak 2.178.831 jiwa dan penduduk perempuan sebanyak 2.059.131 jiwa atau rasio jenis kelamin (sex ratio) 105, artinya penduduk laki-laki lebih banyak daripada penduduk perempuan.Jumlah penduduk yang bekerja sebanyak 991.634 orang untuk laki- laki dan 339.680 orang untuk perempuan dengan jumlah total 1.331.314 orang untuk Kabupaten Bogor. Sedangkan jumlah pengangguran sebanyak 152.424 untuk laki-laki dan 131.618 untuk perempuan dari 284.042 untuk total Kabupaten Bogor.

Secara geografis kota bogor terletak diantara 106’ 48’ BT dan 6’ 26’ LS. Luas wilayah kota Bogor sebesar 11.850 hektar terdiri dari 6 kecamatan dan 68 kelurahan. Jumlah penduduk kota Bogor pada tahun 2005 adalah sebanyak 855.085 jiwa, terdapat peningkatan rata-rata pertahun sebesar 3.85%. Peningkatan tersebut diduga karena adanya faktor-faktor penyebab, antara lain semakin banyaknya fasilitas sosial ekonomi yang menjadi daya tarik orang untuk bertempat tinggal di Bogor, serta merupakan kota penyangga Jakarta sebagai Ibu Kota Negara. Jumlah penduduk pada tahun 2009 mengalami peningkatan yaitu sebanyak 1.061.440 jiwa yang terdiri dari laki-laki 543.570 jiwa dan perempuan 517.870 jiwa. Dengan kepadatan penduduk 9.077 jiwa per hektar. Laju pertumbuhan penduduk (LPP) kota Bogor tahun 2008 adalah 2.9%, dimana laju pertumbuhan penduduk kota Bogor tersebut lebih tinggi dibandingkan laju pertumbuhan penduduk Indonesia periode 2000-2005 dan 2020-2025 menurut BPS (2011) yaitu sebesar 0.9%.

18

Karakteristik Sosial-Ekonomi Usia

Usia adalah salah satu faktor resiko obesitas yang sulit untuk diubah. Seiring dengan bertambahnya usia, prevalensi obesitas terus mengalami peningkatan (Martins & Marinho 2003; Erem et al. 2004). Peningkatan usia akan meningkatkan kandungan lemak tubuh total, terutama distribusi lemak dalam tubuh (Chang et al. 2000). Dalam penelitian ini sebagian besar sampel Kota maupun kabupaten berada pada kategori usia dewasa awal yaitu sebanyak 28 orang (58.3%) sampel Kabupaten dan 22 orang (45.8%) sampel Kota. Sebagian besar sampel Kabupaten yang berstatus obes berada pada kategori dewasa madya yaitu sebanyak 4 orang (50.0%), sedangkan sampel Kota yang berstatus obes sebagian besar berada pada kategori usia dewasa awal yaitu sebanyak 11 orang (68.8%). Data usia sampel secara rinci disajikan pada tabel 3.

Jenis Kelamin

Jumlah keseluruhan sampel orang dewasa perempuan dan laki-laki dalam penelitian ini adalah orang dewasa perempuan sebanyak 60 orang dan laki-laki sebanyak 36 orang. Sampel Kabupaten maupun Kota yang berstatus obes sebagian besar berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 7 orang sampel Kabupaten dan 10 orang sampel Kota. Penelitian ini sejalan dengan riset kesehatan dasar yang mengungkapkan bahwa prevalensi obesitas pada perempuan lebih tinggi dari pada laki-laki. Data jenis kelamin sampel secara rinci disajikan pada tabel 3.

Pendidikan

Tingkat pengetahuan individu akan dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. Beberapa hasil penelitian sebelumnya menemukan bahwa prevalensi obesitas lebih tinggi pada orang yang berpendidikan rendah (Guitierrez-Fisec et al.2004; Panagiotakos et al.2004). Dalam tabel 3 dapat dilihat bahwa proporsi terbesar tingkat pendidikan sampel adalah tamatan SMA yaitu sebanyak 29 orang (30.2%), sedangkan proporsi terkecil tingkat pendidikan sampel adalah tidak lulus SD dan lulusan Diploma yaitu sebanyak 3 orang (3.1%). Sebagian besar sampel yang berstatus obes di Kabupaten memiliki pendidikan lulusan SD, sedangkan sampel Kota yang berstatus obes sebagian besar memiliki pendidikan lulusan SMA. Penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya bahwa prevalensi obesitas lebih tinggi pada orang yang berpendidikan rendah.

19

Tabel 3. Karakteristik sosial-ekonomi

Karakter Sosial-Ekonomi

Kabupaten Kota

Tidak

obes Obes Total

Tidak

obes Obes Total

n (%) n (%) n (%) n (%) n (%) n (%) Usia 20-41 25(62.5) 3(37.5) 28(58.3) 11(21.9) 11(68.8) 22(45.8) 41-60 13(32.5) 4(50.0) 17(35.4) 17(25.0) 4(25.0) 21(43.8) >60 2(5.0) 1(12.5) 3(6.3) 4(18.8) 1(6.3) 5(14.6) Total 40(100.0) 8(100.0) 48(100.0) 32(100.0) 16(100.0) 48(100.0) Jenis kelamin L 18(45.0) 1(12.5) 19(39.6)] 11(34.4) 6(37.5) 17(35.4) P 22(55.0) 7(87.5) 29(60.4) 21(65.6) 10(62.5) 31(64.6) Total 40(100.0) 8(100.0) 48(100.0) 32(100.0) 16(100.0) 48(100.0) Pendidikan Tidak lulus SD 2(5.0) 0(0.0) 2(4.2) 1(3.1) 0(0.0) 1(2.1) SD 15(37.5) 5(62.5) 20(41.7) 7(21.9) 2(12.5) 9(18.8) SMP 13(32.5) 0(0.0) 13(27.1) 9(28.1) 5(31.3) 14(29.2) SMA 6(15.0) 2(25.0) 8(16.7) 12(37.5) 9(56.3) 21(43.8) Diploma 2(5.0) 0(0.0) 2(4.2) 1(3.1) 0(0.0) 1(2.1) Sarjana 2(5.0) 1(12.5) 3(6.3) 2(6.3) 0(0.0) 2(4.2) Total 40(100.0) 8(100.0) 48(100.0) 32(100.0) 16(100.0) 48(100.0) Pekerjaan Petani 0(0.0) 1(12.5) 1(2.1) 0(0.0) 0(0.0) 0(0.0) Pedagang 3(7.5) 0(0.0) 3(6.3) 2(6.3) 1(6.3) 3(6.3) Wiraswasta 6(15.0) 0(0.0) 6(12.5) 3(9.4) 2(12.5) 5(10.4) Pegawai swasta 1(1.25) 0(0.0) 1(2.1) 0(0.0) 1(6.3) 1(2.1) PNS 1(1.25) 1(12.5) 2(4.2) 7(21.9) 0(0.0) 7(14.6) TNI 0(0.0) 0(0.0) 0(0.0) 2(6.3) 4(25.0) 6(12.5) Buruh 11(27.5) 1(12.5) 12(25.0) 2(6.3) 0(0.0) 2(4.2) Tidak bekerja 18(45.0) 5(62.5) 23(47.9) 16(50.0) 8(50.0) 24(50.0) Total 40(100.0) 8(100.0) 48(100.0) 32(100.0) 16(100.0) 48(100.0) Besar keluarga <5 29(72.5) 5(62.5) 34(70.8) 26(81.3) 12(75.0) 38(79.2) 5-6 4(10.0) 1(12.5) 5(10.4) 4(12.5) 3(18.8) 7(14.6) >6 7(17.5) 2(25.0) 9(18.8) 2(6.3) 1(6.3) 3(6.3) Total 40(100.0) 8(100.0) 48(100.0) 32(100.0) 16(100.0) 48(100.0) Pendapatan keluarga <Rp. 500 ribu 6(15.0) 3(37.5) 9(18.8) 4(12.5) 0(0.0) 4(8.3) Rp. 500 ribu- Rp. 1 juta 7(17.5) 1(12.5) 8(16.7) 13(40.6) 1(6.3) 14(29.2) Rp. 1 juta - Rp. 2 juta 19(47.5) 1(12.5) 20(41.7) 7(21.9) 5(31.3) 12(25.0 Rp. 2 juta- Rp. 3 juta 4(10.0) 0(0.0) 4(8.3) 3(9.4) 2(12.5) 5(10.4) Rp. 3 juta- Rp. 4 juta 2(5.0) 2(25.0) 4(8.3) 2(6.2) 3(18.8) 5(10.4) Rp. 4 juta - Rp. 5 juta 2(5.0) 1(12.5) 3(6.3) 1(3.1) 3(18.8) 4(8.3) >Rp. 5 juta 0(0.0) 0(0.0) 0(0.0) 2(6.3) 2(12.5) 4(8.3) Total 40(100.0) 8(100.0) 48(100.0) 32(100.0) 16(100.0) 48(100.0) Pekerjaan

Data mengenai pekerjaan sampel disajikan pada Tabel 3 yang menunjukkan bahwa mayoritas sampel termasuk dalam kategori tidak bekerja, hal ini dikarenakan sebagian besar sampel adalah perempuan yang menangani masalah domestik dalam rumah tangga yaitu sebagai ibu rumah tangga dengan proporsi sebanyak 47 orang (49.0%). Sementara itu, minoritas sampel termasuk dalam kategori petani yaitu sebanyak 1 orang (1.0%), hal ini dikarenakan lokasi atau tempat tinggal sampel bukan didaerah pertanian, sehingga untuk bertani cukup sulit akibat tidak terdapatnya lahan pertanian. Sampel Kabupaten maupun sampel Kota yang berstatus obes sebagian besar tidak memiliki pekerjaan yaitu sebanyak 5 orang sampel Kabupaten dan 8 orang sampel Kota. Penelitian ini

20

sesuai dengan teori yang diungkapkan oleh WHO (2000) bahwa pekerjaan berhubungan dengan peningkatan obesitas, hubungan ini terlihat dari jenis pekerjaan yang rendah aktifitas fisiknya. Sampel obes dalam penelitian ini sebagian besar tidak memiliki pekerjaan sehingga diperkirakan memiliki aktifitas fisik yang rendah.

Besar Keluarga

Tabel 3 menunjukkan bahwa mayoritas sampel tergolong kedalam keluarga kecil yaitu jumlah anggota keluarga ≤ 4 orang sebanyak 72 keluarga (75%), untuk kategori keluarga sedang yaitu jumlah anggota keluarga 5-6 orang sebanyak 12 keluarga (12.5%). Sedangkan, keluarga sampel yang tergolong kedalam keluarga besar yaitu jumlah anggota keluarga ≥ 7 orang memiliki propirsi yang sama dengan golongan keluarga sedang yaitu sebanyak 12 keluarga (12.5%). Sampel yang berstatus obes baik Kabupaten maupun Kota sebagian besar tergolong kedalam keluarga kecil yaitu sebanyak 5 orang sampel Kabupaten dan 12 orang sampel Kota. Penelitian ini bertolak belakang dengan penelitian yang dilakukan oleh Weng et al. (2004) yang menemukan bahwa setiap penambahan anak, akan meningkatkan risiko obesitas sebesar 4% pada laki-laki dan 7% pada perempuan. Sedangkan hasil dalam penelitian ini menunjukan bahwa sebagian besar sampel obes memiliki sedikit anggota keluarga. Data mengenai besar keluarga disajikan pada tabel 3.

Pendapatan Keluarga

Pendapatan sampel dalam penelitian ini merupakan total pendapatan keluarga hasil penjumlahan dari pendapatan istri dan pendapatan suami selama satu bulan. Data mengenai pendapatan keluarga disajikan pada tabel 3. Tabel 3 menunjukkan bahwa mayoritas sampel mempunyai tingkat pendapatan keluarga dalam kategori antara Rp. 1.000.000,00-Rp. 2.000.000,00 yaitu sebanyak 32 orang (33.3%). Sampel dengan penghasilan keluarga yang rendah yaitu < Rp.500.000,00 sebanyak 13 orang (13.5%). Sedangkan minoritas sampel mempunyai tingkat pendapatan keluarga dalam kategori >Rp.5.000.000,00 yaitu sebanyak 4 orang (4.2%). Berdasarkan Badan Pusat Statistika Kota Bogor tahun 2012, garis kemiskinan (Rp/Kap/Bulan) Kota Bogor tahun 2012 adalah 278.530, jika tingkat pendapatan dihubungkan dengan garis kemiskinan kota bogor, maka sebagian besar sampel memiliki pendapatan (Rp/Kap/Bulan) diatas garis kemiskinan Kota Bogor.

21

Status Gizi

Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh individu atau kelompok yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan, dan penggunaan zat gizi makanan (Riyadi 1995). Pengelompokkan status gizi sampel pada penelitian ini didasarkan pada berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) berdasarkan Depkes RI tahun 1994. Status gizi sampel disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Sebaran sampel berdasarkan status gizi

IMT

wilayah

kabupaten kota Total n (%) n (%) n (%)

Kurus 5(10.4) 1(2.1) 6(6.2) Normal 35(72.9) 31(64.6) 66(68.8) Obesitas 8(16.6) 16(33.3) 24(25.0)

Total 48(100.0) 48(100.0) 96(100.0)

Hasil analisis status gizi sampel berdasarkan pada berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) menunjukkan bahwa sampel yang memiliki status gizi ’kurus’ sebesar 6.2%, demikian pula berdasarkan sebaran masing-masing wilayah yaitu 10.4% sampel di Kabupaten Bogor, dan 2.1% sampel di Kota Bogor memiliki status gizi ’kurus’. Sebagian besar sampel memiliki status gizi ’normal’ yaitu sebesar 68.8%, berdasarkan sebaran masing-masing wilayah, sampel Kabupaten Bogor yang memiliki status gizi normal lebih besar dari sampel Kabupaten Bogor yaitu sebesar 72.9%, hasil tersebut berbeda dengan status gizi sampel Kota Bogor yaitu sebesar 64.6%. Secara keseluruhan permasalahan gizi yang paling banyak dihadapi sampel laki-laki dan perempuan adalah obesitas yaitu sebesar 25.0%. Jika dilihat berdasarkan sebaran masing- masing wilayah, jumlah sampel Kabupaten Bogor yang memiliki status gizi obesitas lebih rendah dibandingkan dengan sampel Kota Bogor, yaitu sebesar 16.6% sampel Kabupaten Bogor dan 33.3% sampel Kota Bogor. Berdasarkan hasil uji statistik menggunakan uji independent T-test, status gizi sampel Kabupaten berbeda nyata dengan status gizi sampel Kota (p<0.05). Tabel uji beda (independent T-test) secara lengkap disajikan pada lampiran 11.

Kebiasaan Makan

Kebiasaan makan adalah perilaku yang berhubungan dengan makan, tata krama makan, frekuensi makan seseorang, pola makanan yang dimakan, pantangan, distribusi makanan di dalam anggota keluarga, preferensi makan terhadap makanan, dan cara-cara memilih bahan makanan (Suhardjo 1989). Kebiasaan makan seseorang dapat dikatakan baik dan dapat pula dikatakan buruk. Kebiasaan makan dapat dikatakan baik adalah mengkonsumsi makanan

22

yang dapat mendorong terpenuhinya kecukupan gizi, sedangkan kebiasaan makan yang buruk adalah kebiasaan yang dapat menghambat terpenuhinya kecukupan zat gizi. Kebiasaan makan terbentuk dalam diri seseorang akibat proses yang diperoleh dari lingkungan yang meliputi aspek kognitif, afektif, dan psikomotor (Berg 1986). Oleh karena itu kebiasaan makan bersifat dinamis dan dapat berubah karena faktor terkait.

Frekuensi Makan Utama dan Selingan

Data mengenai frekuensi makan utama dan makan selingan sampel disajikan pada Tabel 4.Tabel 4 menunjukkan bahwa sebagian besar sampel Kota memiliki frekuensi makan utama sebanyak tiga kali dalam sehari yaitu sebanyak 33 orang (68.8%). Frekuensi makan satu kali dalam sehari merupakan proporsi yang paling kecil yaitu hanya sebanyak 1 orang (2.1%) sedangkan sisanya yaitu sebanyak 14 orang (29.2%) memiliki frekuensi makan sebanyak 2 kali dalam sehari. Sebagian besar sampel Kota yang obes maupun yang tidak obes memiliki frekuensi makan utama tiga kali dalam sehari. Frekuensi makan utama sampel Kabupaten tidak jauh berbeda dengan frekuensi makan utama sampel Kota yaitu mayoritas sampel memiliki frekuensi makan utama tiga kali sehari yaitu sebanyak 38 orang (79.2%), sampel Kabupaten yang memiliki frekuensi makan utama satu kali dalam sehari sebanyak 2 orang (4.2%), dan untuk sampel yang frekuensi makannya dua kali dalam sehari sebanyak 8 orang (16.7%). Sebagian besar sampel Kabupaten yang obes maupun yang tidak obes memiliki frekuensi makan utama tiga kali dalam sehari. Penelitian ini sejalan dengan teori yang diungkapkan oleh Susanto (1995), salah satu kebiasaan makan yang baik adalah jika dalam satu hari mengkonsumsi makanan lengkap dua sampai tiga kali. Berdasarkan hasil uji statistik menggunakan uji independent T-test, frekuensi makan utama sampel Kabupaten Bogor dengan sampel Kota Bogor dan sampel obes Kabupaten dengan sampel obes Kota tidak berbeda nyata (p>0.05).

23

Tabel 4.Frekuensi makan sampel berdasarkan wilayah

Kebiasaan Makan

Kabupaten Kota

Tidak

Obes Obes Total

Tidak

Obes Obes Total n (%) n (%) n (%) n (%) n (%) n (%) Frekuensi Makan Utama

1 kali 2(5.0) 0(0.0) 2(4.2) 0(0.0) 1(6.3) 1(2.1) 2 kali 7(17.5) 1(12.5) 8(16.7) 8(25.0) 6(37.5) 14(29.2) 3 kali 31(77.5) 7(87.5) 38(79.2) 24(75.0) 9(56.3) 33(68.8)

Total 40(100.0) 8(100.0) 48(100.0 32(100.0) 16(100.0) 48(100.0) Frekuensi Makan Selingan

tidak pernah 6(15.0) 2(25.0) 8(16.7) 3(9.4) 4(25.0) 7(14.6) 1 kali 18(45.0) 3(37.5) 21(43.8) 7(21.9) 6(37.5) 13(27.1) 2 kali 10(25.0) 2(25.0) 12(25.0) 7(21.9) 3(18.8) 10(20.8) 3 kali 6(15.0) 1(12.5) 7(14.6) 15(46.9) 3(18.8) 18(37.5)

Total 40(100.0) 8(100.0) 48(100.0 32(100.0) 16(100.0) 48(100.0)

Makanan selingan dapat diartikan sebagai jajanan atau makanan yang dikonsumsi diluar makan utama. Makan selingan merupakan bagian dari konsumsi makanan harian dan berfungsi sebagai tambahan asupan zat gizi. Data frekuensi makan selingan disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 menunjukkan bahwa mayoritas sampel Kota mengkonsumsi makanan selingan tiga kali dalam sehari yaitu sebanyak 18 orang (37.5%). Sampel Kota yang memiliki frekuensi makan selingan 1 kali dalam sehari sebanyak 13 orang (27.1%). Sampel yang memiliki frekuensi makan selingan dua kali dalam sehari sebanyak 10 orang (20.8%) dan terdapat sampel Kota yang tidak pernah makan selingan, yaitu sebanyak 7 orang (14.6%). Sebagian besar sampel Kota yang obes memiliki frekuensi makan selingan sebanyak satu kali dalam sehari berbeda dengan sampel Kota yang tidak obes yaitu sebagian besar memiliki frekuensi makan selingan tiga kali dalam sehari.

Mayoritas sampel Kabupaten memiliki frekuensi makan selingan 1 kali dalam sehari, yaitu sebanyak 21 orang (43.8%). Sampel Kabupaten yang memiliki frekuensi makan selingan dua kali dalam sehari sebanyak 12 orang (25.0%). Sampel yang memiliki frekuensi makan selingan tiga kali dalam sehari sebanyak 7 orang (14.6%) dan terdapat sampel yang tidak pernah makan selingan yaitu sebanyak 8 orang (16.7%). Sebagian besar sampel Kabupaten yang obes maupun yang tidak obes memiliki frekuensi makan selingan satu kali dalam sehari. Jenis makanan yang dikonsumsiuntuk selingan baik sampel kota maupun kabupaten adalah gorengan.

24

Berdasarkan hasil uji statistik menggunakan uji independent T-test, frekuensi makan selingan sampel di Kabupaten Bogor berbeda nyata dengan frekuensi makan selingan sampel di Kota Bogor (p<0.05), sedangkan frekuensi makan selingan sampel obes Kabupaten dengan sampel obes Kota tidak berbeda nyata (p>0.05). Tabel uji beda (independent T-test) secara lengkap disajikan pada lampiran 11.

Konsumsi Zat Gizi

Konsumsi pangan merupakan faktor utama untuk memenuhi kebutuhan gizi yang selanjutnya bertindak menyediakan energi bagi tubuh, mengatur proses metabolisme, memperbaiki jaringan tubuh, serta untuk pertumbuhan (Harper et al.1988). Data konsumsi zat gizi diperoleh melalui metode food recall. Metode

food recall yang digunakan adalah food recall 2x24 jam. Kandungan zat gizi dalam pangan yang dikonsumsi oleh sampel dihitung dengan menggunakan Daftar Konsumsi Bahan Makanan tahun 2010.

Asupan Zat Gizi

Asupan zat gizi adalah jumlah makanan yang dikonsumsi seseorang untuk memperoleh energi guna melakukan kegiatan fisik sehari-hari (Suhardjo 1989). Asupan zat gizi terbagi menjadi dua kelompok yaitu asupan zat gizi makro dan asupan zat gizi mikro. Asupan zat gizi yang dianalisis pada penelitian ini adalah asupan zat gizi makro yakni asupan energi, protein, lemak, dan asupan karbohidrat. Berdasarkan WNPG, kebutuhan protein sebesar 10%-20% dari total energi, lemak sebesar 20%-30% dari total energi, dan karbohidrat sebesar 50%- 65% dari total energi. Dalam penelitian ini didapatkan persentase kontribusi protein sampel sebesar 14%, lemak sebesar 28% dan karbohidrat sebesar 73% dari total energi. Jika dibandingkan dengan anjuran WNPG, kontribusi protein dan lemak sampel sudah cukup (sesuai dengan anjuran), sedangkan karbohidrat lebih besar dari anjuran yang seharusnya.

Asupan Energi

Asupan energi sangat penting bagi kehidupan sehari-hari, terutama untuk membantu metabolisme tubuh. Kekurangan energi terjadi bila asupan energi melalui konsumsi makanan kurang dari energi sesuai dengan kebutuhan. Kelebihan energi terjadi bila konsumsi energi melalui makanan melebihi energi yang dikeluarkan. Kelebihan energi akan dirubah menjadi lemak tubuh, akibatnya adalah berat badan lebih atau kegemukan. Kegemukan bisa disebabkan oleh

25

kebanyakan makan, dalam hal karbohidrat, lemak maupun protein, tetapi juga karena kurang bergerak.

Pada usia dewasa kebutuhan energi akan meningkat. Akan tetapi, jumlah energi yang diperlukan oleh tubuh akan mengalami penurunan kembali pada saat usia lanjut (Suhardjo 1989). Rata-rata asupan energi sampel dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Rata-rata asupan energi sampel

Berdasarkan Gambar 2 dapat diketahui bahwa rata-rata asupan energi sampel berdasarkan wilayah adalah untuk sampel kabupaten sebesar 1520 ± 390 kkal dengan kisaran asupan antara 731-2836 kkal, sedangkan rata-rata asupan energi sampel untuk wilayah kota sebesar 1611 ± 419 kkal dengan kisaran asupan antara 903-3048 kkal. Sampel Kabupaten dengan status obes memiliki rata-rata asupan energi sebesar 1657 kkal lebih tinggi dibandingkan sampel dengan status tidak obes yaitu sebesar 1493 kkal. Berbeda dengan sampel Kabupaten, sampel kota dengan status obes memiliki rata-rata asupan energi lebih rendah daripada sampel dengan status tidak obes yaitu sebesar 1529 kkal untuk sampel obes dan 1652 kkal untuk sampel tidak obes. Hal tersebut terjadi karena sebagian besar sampel Kota dengan status obes memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi, sehingga banyak sampel Kota mungkin menerapkan diet rendah kalori untuk menurunkan berat badannya.

Rata-rata asupan energi sampel di wilayah Kota lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah Kabupaten. Hal tersebut mungkin disebabkan karena sampel di wilayah Kota lebih banyak mengkonsumsi makanan sumber energi seperti nasi, mie, bubur, dan makanan sumber energi lainnya. Hasil penelitian tersebut sejalan dengan hasil analisis Riskesdas (2010) yang menyatakan bahwa

1657 1493 1520 1529 1652 1611 1000 1100 1200 1300 1400 1500 1600 1700 Obes Tidak Obes

Rata-rata Obes Tidak Obes Rata-rata Kabupaten Kota k o n s u m s i e n e rg i (k k a l)

26

masyarakat pedesaan (Kabupaten) cenderung memiliki asupan energi yang lebih rendah daripada perkotaan. Meskipun demikian, hasil uji statistik menggunakan uji independent T-test menunjukkan bahwa tidak berbeda nyata (p>0.05) antara asupan energi sampel Kota dan Kabupaten maupun sampel obes Kota dengan sampel obes Kabupaten. Tabel uji beda (independent T-test) secara lengkap disajikan pada lampiran 11.

Asupan Protein

Protein adalah zat gizi utama yang berperan dalam pertumbuhan dan struktur tubuh, tetapi protein merupakan penyumbang paling sedikit dalam penyediaan energi (Winarno 2002).

Rata-rata asupan protein sampel dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3. Rata-rata asupan protein sampel

Berdasarkan Gambar 3 dapat diketahui bahwa rata-rata asupan protein sampel untuk wilayah Kabupaten sebesar 53.06 ± 19.78 gram dengan kisaran asupan antara 15.12-108.92 gram, sedangkan rata-rata asupan protein sampel untuk wilayah Kota lebih tinggi yaitu sebesar 57.92 ± 20.51 gram dengan kisaran asupan antara 26.38-111.08 gram. Sampel Kabupaten maupun Kota dengan status obes memiliki rata-rata asupan protein lebih tinggi dibandingkan sampel dengan status tidak obes yaitu sebesar 61.91 gram untuk sampel obes Kabupaten dan sebesar 49.95 gram untuk sampel obes Kota.

Rata-rata asupan protein sampel di wilayah Kota lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah Kabupaten karena mungkin konsumsi pangan sumber protein seperti telur, ikan, dan daging-dagingan di Kota lebih banyak dibandingkan di Kabupaten. Hal itu disebabkan karena harga pangan sumber

61,91 49,95 53,06 63,43 50,99 57,92 0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 70,00 Obes Tidak Obes

Rata-rata Obes Tidak Obes Rata-rata Kabupaten Kota k o n s u m s i p ro te in (g ra m )

27

protein tersebut cenderung tinggi dan sampel Kota memiliki rata-rata penghasilan yang lebih tinggi daripada sampel Kabupaten. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil analisis Riskesdas (2007) yang menyatakan bahwa masyarakat perkotaan cenderung memiliki asupan protein yang lebih tinggi daripada pedesaan (Kabupaten). Meskipun demikian, hasil uji statistik menggunakan uji independent T-test menunjukkan bahwa tidak berbeda nyata (p>0.05) antara asupan protein sampel Kota dan Kabupaten maupun sampel obes Kota dengan sampel obes Kabupaten. Tabel uji beda (independent T-test) secara lengkap disajikan pada lampiran 11.

Asupan Lemak

Asupan lemak sampel dalam penelitian ini adalah asupan lemak total. Rata-rata asupan lemak total sampel disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4. Rata-rata asupan lemak total sampel

Berdasarkan Gambar 4 dapat diketahui bahwa rata-rata asupan lemak total sampel untuk wilayah Kabupaten sebesar 48.71 ± 19 gram dengan kisaran asupan antara 9.64-108.57 gram, sedangkan rata-rata asupan lemak total sampel untuk wilayah Kota sebesar 48.78 ± 19 gram dengan kisaran asupan antara 21.59-111.76 gram. Hasil penelitian tersebut sejalan dengan hasil analisis Riskesdas (2010) yang menyatakan bahwa rata-rata asupan lemak di pedesaan atau Kabupaten lebih rendah dari Perkotaan, yaitu sebesar 41.9 gram diwilayah pedesaan dan di wilayah perkotaan sebesar 52 gram. Meskipun demikian, hasil uji statistik menggunakan uji independent T-test, tidak berbeda nyata (p>0.05) antara asupan lemak sampel Kabupaten dengan sampel Kota maupun sampel obes Kabupaten dengan sampel obes Kota. Tabel uji beda (independent T-test) secara lengkap disajikan pada lampiran 11.

52,88 47,87 48,71 46,80 49,77 48,78 - 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00

Obes Tidak Obes Rata-rata Obes Tidak Obes Rata-rata

Kabupaten Kota k o n s u m s i le m a k (g ra m )

28

Sampel Kabupaten dengan status obes memiliki rata-rata asupan lemak sebesar 52.88 gram lebih tinggi dibandingkan sampel dengan status tidak obes yaitu sebesar 47.87 gram. Berbeda dengan sampel Kabupaten, sampel kota dengan status obes memiliki rata-rata asupan lemak lebih rendah daripada sampel dengan status tidak obes yaitu sebesar 46.80 gram untuk sampel obes dan 49.77 gram untuk sampel tidak obes. Hasil penelitian ini diakibatkan karena sampel Kabupaten sering mengkonsumsi makanan tinggi lemak yaitu makanan yang diolah menggunakan minyak goreng seperti ubi goreng, singkong goreng dan gorengan lainnya. Rata-rata asupan lemak sampel obes Kabupaten maupun kota masih dibawah rata-rata asupan lemak nasional yaitu 58.1 g/kap/hr pada tahun 2002, meningkat menjadi 61.5 g/kap/hr tahun 2007 dan 64.7 g/kap/hr tahun 2009 (Susenas 2010).

Asupan Karbohidrat

Karbohidrat merupakan sumber energi utama termurah bagi hampir seluruh penduduk dunia, karena 1 gram karbohidrat menghasilkan 4 Kkal. Diperlukan sekitar 2 gram karbohidrat per kg berat badan sehari (Almatsier 2011). Rata-rata asupan karbohidrat sampel dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5. Rata-rata asupan karbohidrat total sampel

Berdasarkan Gambar 5 dapat diketahui bahwa rata-rata asupan karbohidrat sampel untuk wilayah Kabupaten sebesar 247.76 ± 179 gram dengan kisaran asupan antara 60.46-1123.27 gram, sedangkan rata-rata asupan karbohidrat sampel untuk wilayah Kota lebih tinggi yaitu sebesar 293.72 ± 154 gram dengan kisaran asupan antara 99.48-1086.18 gram. Kelompok pangan yang memberikan kontribusi terbesar dalam asupan karbohidrat adalah susu dan

286,90 272,34 247,76 264,57 308,29 293,72 - 50,00 100,00 150,00 200,00 250,00 300,00 350,00 Obes Tidak Obes

Rata-rata Obes Tidak Obes Rata-rata Kabupaten Kota k o n s u m s i k a rb o h id ra t (g ra m )

29

kelompok serealia serta hasil olahannya. Rata-rata asupan karbohidrat sampel di wilayah Kota lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah Kabupaten karena sampel Kota lebih banyak yang mengkonsumsi susu dan olahannya serta kebanyakan sampel Kota memiliki frekuensi makan utama tiga kali dalam sehari. Meskipun demikian, hasil uji statistik menggunakan uji independent T-test, asupan karbohidrat sampel kabupaten tidak berbeda nyata dengan asupan

Dokumen terkait