• Tidak ada hasil yang ditemukan

TAHAP II Identifikasi asam lemak

HASIL DAN PEMBAHASAN

Profil Protein dan Lipid Chaetoceros Gracilis Selama Pertumbuhan dalam Sistem Kultur Curah (BatchCulture)

Pertumbuhan Chaetoceros gracilis

Pertumbuhan sel diatom dalam kultur curah (batchculture) memperlihatkan sel mengalami beberapa fase mulai dari fase adaptasi hingga fase kematian. Gambar 14 menggambarkan profil pertumbuhan C. gracilis dalam sistem kultur tersebut.

A Fase lag , B Fase eksponensial/ logaritmik, C Fase deselerasi D Fase stasioner, E Fase kematian

Gambar 14 Profil pertumbuhan C. gracilis dalam sistem batchculture

Pada Gambar 14 menunjukkan profil pertumbuhan secara detail yang dialami C. gracilis ini, yakni sel tumbuh mengalami fase lag hingga fase kematian. Profil pertumbuhan yang dihasilkan dalam kultur ini menampakkan profil yang sama dengan mikroorganisme pada umumnya. Dalam taksonomi, diatom merupakan golongan mikroorganisme eukariotik (Round et al. 1990) yang dapat mempunyai profil pertumbuhan sigmoid. Secara detail profil pertumbuhan diatom C. gracilis

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 105 106 107

De

nsi

tas se

l (

lo

g se

l/ m

l)

Umur kultur (hari) B

A

D C

dalam penelitian ini, sera berurutan melewati fase lag hanya dalam 1 hari, fase eksponensial selama 3 hari. Setelah fase eksponensial, diatom ini mengalami fase deselarasi aratu retardasi atau sebagai fase declining growth rate (Becker 1994) selama 4 hari sebelum memasuki fase stasioner. Fase tersebut tergolong cukup lama terjadi pada C. gracilis. Fase yang demikian panjang ini juga terjadi pada kelompok mikroalga Dinoflagelata dan Gymnodinium (Mansour et al. 2003). Total lama waktu pertumbuhan C.gracilis yang dikulturkan dalam sistem batch dan kondisi lingkungan yang diberikan adalah 17 hari. Pada hari ke 18, sel tidak lagi mengalami pertumbuhan.

Pertumbuhan sel diatom diamati berdasarkan laju pertumbuhan (µ) yang dapat digambarkan melalui pertambahan jumlah sel harian sebagai regresi linier dari konsentrasi sel log2 pada rentang waktu tertentu di fase eksponensial (Araứjo & Garcia 2005). Laju pertumbuhan C.gracilis adalah sebesar 1.19 per hari. Taguchi et al (1987), diacu dalam Martin-Jézéquel et al. (2000), melaporkan bahwa C. gracilis yang dikulturkan dalam sistem batch dengan 12 jam terang: 12 jam gelap pada suhu 25 °C menghasilkan laju pertumbuhan lebih tinggi (3.3 per hari) dan sebesar 3.21 pada pemberian cahaya terus-menerus pada suhu 22 °C. Untuk jenis diatom lain seperti C. muelleri yang ditumbuhkan dalam sistem kultur batch dengan cahaya terus menerus menghasilkan laju pertumbuhan sebesar 0.68 per hari (Liang et al. 2006), C. affinis dikulturkan pada temperatur 8 °C (µ=1 per hari), temperatur 13°C (µ=1.6 per hari), 18 °C (µ=1.8 per hari) dan pada 30 °C (µ=1.3 per hari) (Paasche 1973, diacu dalam Martin-Jézéquel et al. 2000).

Berdasarkan hasil di atas, terlihat bahwa pada temperatur kultur 22 dan 25°C pada C. gracilis menghasilkan laju pertumbuhan lebih tinggi, sedangkan pada C. affinis meskipun dikulturkan pada temperatur tinggi (30 °C) tidak menghasilkan laju pertumbuhan yang sama dengan C. gracilis. Dengan demikiam laju pertumbuhan diatom sangat dipengaruhi oleh oleh faktor lingkungan antara lain, temperatur kultur dan periode pencahayaan disamping jenis diatom. Nutrisi atau komponen medium

yang digunakan untuk mengkulturkan diatom juga menjadi faktor yang menentukan pertumbuhannya di dalam sistem batch.

Komponen nutrisi yang paling penting dalam pertumbuhan diatom adalah nitrogen, phospor dan silikat. Nutrien tersebut berpengaruh terhadap laju pertumbuhan diatom apabila medium tidak mengandung unsur-unsur tersebut. Diatom C. gracilis yang ditumbuhkan dalam medium yang mengandung 0.07 mM fosfat dalam penelitian ini memiliki laju pertumbuhan sebesar 1.19 per hari, sedangkan penelitian Lombardi & Wangersky (1995), mengkulturkan C. gracilis dalam medium yang mengandung 20 µM fosfat menghasilkan laju pertumbuhan lebih tinggi (2.13 per hari). Hal tersebut menunjukkan bahwa C. gracilis dapat tumbuh lebih baik dalam medium yang mengandung fosfat kecil. Hal ini juga menunjukkan bahwa selain faktor lingkungan juga faktor nutrisi medium menentukan pertumbuhan diatom.

Profil Protein dan Lipid selama Pertumbuhan

Profil protein terhadap keseluruhan sel C. gricilis yang dikulturkan dalam sistem batch ini memiliki kecenderungan menurun hingga fase stasioner kemudian meningkat hingga fase kematian. Pada umumnya protein semakin meningkat hingga fase stasioner, seperti yang terlihat di beberapa mikroalga seperti Pavlova lutheri, Isochrysis sp dan Nanochloropsis oculata serta C. calcitrans mempunyai protein yang meningkat 30-50% ketika memasuki fase stasioner (Brown et al. 1993, Phatarpekar et al. 2000). Gambar 15 menunjukkan profil protein C. gracilis yang ditumbuhkan dalam sistem batch culture.

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112131415161718 1x105 1x106 1x107 0 10 20 30 40 50 60 70 -0.4 0.0 0.4 0.8 1.2 1.6 2.0 -2 0 2 4 6 8 10 12

de

ns

ita

s s

el

(l

og s

el

/ m

l)

Umur kultur (hari)

Pr

ot

ei

n s

ila

ffi

n (

fg/

se

l)

Li

pi

d (

ng/

se

l)

Pr

ot

ei

n t

ot

al

(pg/

se

l)

Gambar 15 Profil protein total dan lipid C. gracilis selama pertumbuhan dalam sistem batch culture. Protein total ( ) dan lipid ( ), densitas sel ( ).

Profil protein tersebut mirip dengan profil lipid, namun rata-rata konsentrasi seluler lipid antara 0.1-1.6 ng, sedangkan konsentrasi protein hanya 0.5-10 pg. Kandungan seluler protein pada mikroalga pada umumnya lebih tinggi bila dibandingkan dengan lipidnya. Profil protein dan lipid C. gracilis ini juga terjadi pada Chaetoceros calcitrans, yang memiliki konsentrasi lipid lebih tinggi dibandingkan dengan proteinnya, ketika memasuki fase stasioner (hari ke 6) (Phatarpekar et al. 2000). Gambar 16 menunjukkan perbandingan profil protein dan lipid dari kedua jenis Chaetoceros.

Kelompok mikroalga pada umumnya mempunyai konsentrasi seluler protein menurun seiring dengan bertambahnya umur kultur tersebut. Hal ini dikarenakan masih tinginya ketersediaan nutrien medium terutama nitrogen pada awal kultivasi dalam sistem batch culture. Nitrogen dibutuhkan terutama dalam sintesis protein. Pada berbagai penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, menunjukkan bahwa akumulasi lipid yang terjadi di dalam sel mikroalga selalu terjadi pada saat fase stasioner. Hal ini dikarenakan energi yang ada digunakan untuk mensintesis

P rot ei n to ta l ( pg /s el )

komponen yang tidak membutuhkan nitrogen seperti lipid. Dengan demikian akumulasi lipid dapat dipastikan tinggi ketika memasuki fase stasioner. Roesseler (1988), telah melaporkan adanya aktivitas enzim pembentuk lipid (asetil KoA karboksilase) meningkat 2 kali dan 4 kali setelah 4 dan 15 hari mengalami defisiensi silikon pada diatom Cyclotella cryptica.

Gambar 16 Konsentrasi seluler protein dan lipid C. calcitrans (Phatarpekar et al. 2000) (A) dan C. gracilis (B) pada pertumbuhan dalam kultur sistem batch. Tanda garis merah ( ) menunjukkan fase atau umur kultur yang menunjukkan konsentrasi protein lebih rendah dari lipid.

Oleh karena diatom mengadung sekitar 90% silika, maka medium kultur yang digunakan harus mengandung sumber silikat (Na2SiO3

Mock & Kroon (2002) berpendapat bahwa nitrogen yang terbatas atau yang mengalami penurunan menyebabkan penurunan konsentrasi protein, sedangkan karbohidrat dan lipid akan mengalami peningkatan. Hal ini dikarenakan, energi yang semula digunakan untuk pembentukan protein dari sumber N dialihkan ke pembentukan komponen yang tidak atau sedikit memerlukan N seperti karbohidrat

9H2O) (Round et al. 1990). Induksi defisiensi silikat terhadap akumulasi lipid terjadi pada diatom Chaetoceros gracilis, Hantzschia sp, Cyclothella (Taguchi et al. 1987), namun tidak terjadi pada diatom Nitzschia incospicua (Chu et al. 1996). Penelitian terhadap C. gracilis yang dilaporkan ini sesuai yang dihasilkan oleh Taguchi et al. (1987).

dan lipid. Dengan demikian ketika defisiensi N, protein mengalami penurunan, namun karbohidrat dan lipid mengalami peningkatan, bahkan peningkatan lipid sangat signifikan khususnya pada diatom yang ditumbuhkan pada level pencahayaan rendah (di bawah 3000 lx). Hal tersebut di atas juga dibahas oleh Greenwell et al. (2009) yang menyatakan bahwa sintesis lipid pada dasarnya dapat diinduksi oleh penurunan laju pertumbuhan dan pembelahan sel.

Kandungan komponen biokimia diatom (protein, karbohidrat dan lipid) telah diteliti oleh Araújo et al. 2005. Hasil penelitiannya menunjukan komponen biokimia sangat dipengaruhi oleh fase pertumbuhannya, namun juga sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan yang diterapkan dalam mengkulturkan diatom tersebut. Selain faktor lingkungan dan umur pemanenan yang terkait fase pertumbuhan, ukuran sel juga berpengaruh dalam konsentrasi komponen biokimia diatom. Ukuran sel diatom menjadi menjadi sangat menentukan karena terkait dengan densitas sel dalam medium kultur. Oleh karena dalam pembelahan sel diatom selalu menghasilkan satu sel yang memiliki ukuran lebih kecil (Round et al. 1990), maka di dalam pengukuran komponen biokimia sel diatom memerlukan metode yang tepat untuk menghasilkan keadaan sesungguhnya. Hal ini juga pernah dibuktikan oleh penelitian Araújo et al. (2005) terhadap diatom Chaetoceros cf. Weghamii, bahwa pertambahan jumlah sel tidak selalu berkorelasi positif terhadap kandungan karbohidrat, protein, lipid, meskipun dilakukan terhadap fase sel pertumbuhan yang sama. Hal ini disebabkan oleh faktor densitas sel yang terkait dengan ukuran sel.

Informasi profil pertumbuhan, protein dan lipid selama pertumbuhan secara keseluruhan pada kondisi kultur yang diterapkan, dapat bermanfaat sebagai pedoman awal untuk mengetahui perkiraan waktu akumulasi masing-masing komponen terutama protein dan lipid dalam penelitian ini.

Karakteristik Protein Total Berdasarkan Analisis 2 Dimensi

Analisis 2 dimensi dilakukan terhadap isolat protein (crude extract) C. gracilis yang menghasilkan karakteristik berat molekul dan titik isoelektrik protein total yang dimiliki diatom ini. Gambar 17 menunjukkan hasil 2 dimensi tersebut pada umur sel C. gracilis 1 hari (fase lag), 3 hari (fase akhir eksponensial), 7 hari (fase awal stasioner), 10 hari dan 13 hari (fase stasioner), 14 hari (fase awal kematian) serta 15 dn 17 hari (fase kematian).

Gambar 17. Protein yang terdeteksi hasil analisis 2 dimensi protein C.gracilis. Angka 1,3,7,10,13,14, 15,17 menunjukkan umur kultur dalam hari. 116,2 kDa 66 kDa 45 kDa 35 kDa 25 kDa 14.4 kDa 116,2 kDa 66 kDa 45 kDa 35 kDa 25 kDa 14.4 kDa 8,09 pH 4,25 8,09 pH 4,25 8,09 pH 4,25

Area noktah protein 116,2 kDa 66 kDa 45 kDa 35 kDa 25 kDa 14.4 kDa 1 14 7 3 13 10 15 17 a a a

Analisis 2 dimensi terhadap protein total sel selama pertumbuhan C. gracilis dimaksudkan untuk memperoleh gambaran detail perubahan kebaradaan protein dari fase ke fase pertumbuhan terutama untuk mengamati perubahan protein yang terkait dengan biosintesis nanosilika dan PUFA sebagai tujuan penelitian ini. Gambar 17 A-H menggambarkan hasil analisis 2 dimensi menggunakan perangkat lunak Melanie 7.0 untuk mendeteksi protein.

Protein yang terlihat sebagai noktah pada gel hasil elektroforesis 2 dimensi ditunjukkan dengan lingkaran merah. Besarnya lingkaran merupakan luasan area noktah protein yang dapat terdeteksi menggunakan perangkat lunak tersebut. Protein diatom yang terdeteksi pada 2 dimensi ini, terseparasi pada titik isoelektrik 4.25 hingga 8.09 dan berat molekul dari 14.19 hingga 121.91 kDa. Pada semua fase pertumbuhan, terlihat protein yang dominan merupakan protein golongan asam.

Hasil analisis 2 dimensi pada keseluruhan sel C. gracilis mempunyai kesamaan umum dengan hasil 2 dimensi pada protein keseluruhan diatom Thalassiosira pseudonana yang dilakukan oleh Sandia National Laboratories–USA

yakni mempunyai protein yang sebagian besar merupakan

protein yang bersifat asam (Gambar 18).

8,09 pH 4,25 116,2 kDa 66 kDa 45 kDa 35 kDa 25 kDa 14.4 kDa

Gambar 18 Hasil analisis 2 dimensi pada diatom Thalassiosira pseudonana

(Sandia National Laboratories-USA(A)dan

hasil 2 dimensi pada Chaetoceros gracilis (B) . 200 kDa 60 kDa 30 kDa 10 kDa pH 3 pH 10 BM

Profil protein berdasarkan elektroforesis 2 dimensi yang ditunjukkan pada Gambar 18 tersebut jelas menunjukkan bahwa diatom memiliki karakteristik demikian. Hal ini dapat diasumsikan bahwa susunan amino diatom sebagian besar merupakan asam amino golongan asam. Dugaan ini sesuai dengan hasil laporan mini review dari Robert & Lebeau (2003), bahwa berdasarkan hasil penelitian Derrin et al. (1998), asam amino dominan pada diatom Chaetoceros calcitrans adalah asam aspartat sedangkan diatom Thalassiosira pseudonana adalah asam glutamat dan tirosin. Selain itu juga dilaporkan bahwa empat asam amino (asam aspartat, asam glutamat, arginin dan tirosin) merupakan asam amino yang bertanggungjawab sekitar 60% dari total spesies diatom yang diuji.

Total noktah protein yang terdeteksi secara berurutan dari umur 1, 3, 7, 10, 13, 14, 15 dan 17 hari adalah 349 noktah (volume: 5989.07), 565 noktah (volume: 22 636.00), 450 noktah (volume: 12441.66), 316 noktah (volume: 7899.37), 302 noktah (volume: 7733.04), 300 noktah (volume: 7708.23), 292 noktah (7527.35), 333 noktah (volume: 9219.93). Perubahan jumlah protein terdeteksi dalam setiap fase merupakan respon sel atas perubahan-perubahan yang melibatkan protein dalam metabolismenya selama pertumbuhan C. gracilis dalam kultur sistem batch, termasuk dalam pembentukan asam lemak maupun pembentukan silika dinding selnya. Demikian juga dengan volume total noktah protein, ternyata mengikut i profil jumlah noktah protein. Volume total noktah adalah jumlah volume seluruh noktah protein yang terdeteksi yang dihitung berdasarkan luasan area, tinggi puncak dan intensitas penyerapan noktah yang terdeteksi dari hasil pindai pada 256 dpi dengan grey level. Gambar 19 menunjukkan perubahan jumlah noktah protein dan volume totalnya selama pertumbuhan C. gracilis.

Menurut Nunn et al. 2009, pengamatan terhadap keberadaan total protein pada keseluruhan sel (the whole cell), merupakan peluang untuk mempelajari seluruh metabolisme yang terjadi pada suatu waktu tertentu. Metode tersebut merupakan analisis langsung berdasarkan ekspresi protein secara spesifik sehingga jalur biokimia suatu organisme dapat dipelajari. Pada hasil pengamatannya terhadap diatom Thalassiosira pseudonana yang dikulturkan dalam kondisi optimum, Nunn et al. (2009) memperoleh total protein 1928 protein yang terdiri dari 70% protein yang terlibat dalam metabolisme seluler dan 11 protein transport. Jalur metabolisme yang terdeteksi adalah fiksasi karbon, siklus TCA (tricarbosilic acid), glikolisis, metabolisme piruvat, siklus reduktif karboksilat, metabolisme nitrogen, siklus urea, metabolisme asam amino, metabolisme asam lemak termasuk biosintesis asam lemak tak jenuh.

Gambar 19 Jumlah noktah protein dan volume noktah protein hasil deteksi program melanie selama pertumbuhan C.gracilis

Karakteristik Protein yang Terlibat dalam Biosintesis Nanosilika Protein Transport Asam Silikat ( Protein SIT) dan Karakteritisk 2 Dimensi

Protein yang terlibat dalam sintesis silika Chaetoceros gracilis dari analisis 2 dimensi sel keseluruhan, teridentifikasi protein transport asam silikat (Protein SIT). Pada Gambar 20, menunjukkan posisi protein SIT yang merupakan suatu keluarga protein. Protein SIT C. gracilis terdeteksi ketika mulai memasuki fase eksponensial dan terdeteksi dalam gel 2 dimensi dengan Isoelectric point (pI) antara pH 5–5.7 dan berat molekul (BM) 49.20 - 56.47 kDa.

116,2 kDa 66 kDa 45 kDa 35 kDa 25 kDa 14.4 kDa 116,2 kDa 66 kDa 45 kDa 35 kDa 25 kDa 14.4 kDa 8,09 pH 4,25 8,09 pH 4,25 8,09 pH 4,25

Area noktah protein 116,2 kDa 66 kDa 45 kDa 35 kDa 25 kDa 14.4 kDa

Gambar 20 Keluarga Protein SIT terdeteksi pada analisis 2 dimensi diatom C. gracilis. Tanda lingkaran warna hitam menunjukkan posisi noktah protein SIT. Angka 1,3,7,10,13,14,15 & 17 adalah umur kultur dalam hari.

1 3 7

10 13 14

Tabel 1 Karakteristik protein SIT C. gracilis berdasarkan analisis 2 dimensi Umur kultur (hari) Jumlah noktah protein Total volume Berat molekul (kDa) Titik isoelektrik 1 - 0 - - 3 12 305.57 50.42-56.66 7 5.12-5.69 8 77.14 51.55-59.66 5.10-5.48 10 4 33.18 50.19-57.45 5.10-5.26 13 4 792.64 49.20-55.73 5.01-5.48 14 4 218.14 56.47-60.40 5.51-5.35 15 7 263.62 52.18-58.28 5.15-5.31 17 5 110.64 53.40-56.28 5.20-5.70

Tabel 1 memperlihatkan karakteristik detail protein SIT yang ditemukan pada C. gracilis pada umur kultur yang berbeda. Hildenbrand et al. (1997), menemukan pertama kali keluarga protein SIT dengan BM antara 59.52-61.26 dan pI 5.12-5.69 yang dikode oleh sekelompok kecil gen silicon transporter (SITs) yang diisolasi dari diatom pennate Chilindrotheca fuciformis. Dalam penelitian terhadap berbagai jenis diatom juga dilaporkan bahwa gen SIT ditemukan di semua tipe diatom baik diatom laut, air tawar, tipe pennate juga tipe centris (Thamatrakoln & Hildenbrand 2008).

Diatom yang memiliki satu tipe (centris) dengan C. gracilis adalah diatom Thalassiosira pseudonana. Diatom T. pseudonanana ini memiliki keluarga protein SIT dengan BM antara 50.18-62.13 dan pI antara 5.01-5.42. Namun nampaknya C. gracilis mempunyai BM dan pI yang mirip dengan kedua diatom tersebut baik bentuk pennate maupun centris. Dari data terlihat hanya ada perbedaan sedikit dengan tipe centris (Thalassiosira pseudonana) yakni pI sedikit lebih kecil, sedangkan BM relatif sama. Hasil ini bertentangan dengan Martin-Jèzèquel et al. (2000), yang menyatakan bahwa protein SIT dapat dikelompokkan dalam 4 tipe yang berbeda berdasarkan habitat dan tipe diatom yakni diatom laut, diatom air tawar, diatom pennate dan diatom centris.

Berdasarkan waktu kemunculan protein SIT pada C. gracilis terlihat bahwa protein tersebut baru terdeteksi atau muncul pada umur kultur 3 hari atau memasuki fase akhir eksponensial yang berlanjut hingga fase kematian. Terdeteksinya protein SIT baru hari ke 3 (umur 3 hari). Hal ini diduga pada umur 1 hari, C. gracilis memasuki fase lag (Gambar 14) , artinya pada saat tersebut sel masih mengalami proses adaptasi dengan medium, sehingga sel belum mengalami proses pembelahan. Keadaan ini menyebabkan sel diatom ini belum mengekspresikan protein transport atau protein tersebut belum melakukan aktivitasnya. Hal ini diperjelas oleh Martin-Jézéquel et al. 2000, bahwa aktivitas protein transport terkait langsung dengan aktivitas sintesis silika dinding sel dan aktivitas sintesis ini berkaitan dengan aktivitas pembelahan sel. Dengan demikian dapat disampaikan bahwa aktivitas protein transport berkaitan dengan pertumbuhan diatom. Groger et al. (2008) melaporkan adanya jumlah penyerapan silikon (nutrien esensial untuk kultur diatom) oleh diatom Thalassiosira pseudonana mempunyai profil mengikuti profil pertumbuhan selnya. Silikon diserap oleh diatom dalam bentuk asam ortosilikat (SiOH4

Hal demikian juga menimbulkan dugaan adanya keterkaitan antara volume protein transport dan pembentukan silika dinding sel berdasarkan profil bobot frustule (dinding sel silicaseous) yang terbentuk hingga fase kematian. Volume protein SIT yang terekpresi dapat menunjukkan seberapa tinggi konsentrasi protein yang ada di dalam gel. Volume yang tinggi dapat diartikan memiliki potensi melakukan aktivitas yang tinggi. Apabila dihubungkan dengan total bobot frustule yang terbentuk selama pertumbuhan ini, akan dapat terlihat apakah benar protein SIT tersebut beraktivitas sejalan dengan sintesis silika. Gambar 21 menunjukkan hubungan antara bobot frustule dan volume protein SIT yang terdeteksi dalam gel. Bobot frustule dapat menjadi dasar besaran silika yang terbentuk, karena frustule yang diperoleh tersebut merupakan hasil ekstraksi sel diatom dengan larutan SDS dalam EDTA untuk menghilangkan komponen organik dinding sel (Kroger et al. 1999) menghasilkan dinding sel (frustule) kering mengandung silika.

) oleh Silicon Transporter Protein (SIT-protein) dibawa masuk ke dalam sel, kemudian masuk ke dalam SDV (tempat berlangsungnya polimerisasi silika).

.

Gambar 21 Grafik hubungan antara volume total protein SIT dan bobot frustule C. gracilis.

Gambar 21 menunjukkan adanya kecenderungan volume protein SIT diikuti jumlah bobot frustule yang terbentuk, kecuali hari pertama (umur 1 hari). Umur kultur C. gracilis satu hari merupakan pertumbuhan dalam fase lag (Gambar 14). Pada keadaan ini, bobot frustule sangat tinggi bahkan paling tinggi (lebih 800 pg/ sel atau 0.8 ng/ sel) meskipun protein SIT tidak terdeteksi (volume 0). Hal demikian diduga terkait dengan keadaan fisiologi sel. Pada saat sel diatom diinokulasikan ke dalam bejana kultur, sel dalam keadaan fase eksponensial, namun sebagian besar dalam keadaan auksosporulasi, yakni ketika sel dalam keadaan ukuran sel mencapai maksimum yang terkait dengan mekanisme reproduksi aseksual diatom (Gambar 1) (Round et al. 1990). Pada keadaan tersebut, sel mempunyai luas permukaan sel yang terbesar sehingga akan berpengaruh pada total bobot frustule yang dapat juga mewakili bobot silika.

Protein Silaffin dan Pembentukan Frustule (Nanosilika) selama Pertumbuhan

Di dalam metabolisme diatom, protein silaffin merupakan protein yang bertanggungjawab terhadap pembentukan silika dinding sel (Kröger et al. 2002).

Pembentukan silika membutuhkan silikat atau silikon dalam lingkungannya (Groger et al. 2008), sehingga penurunan nutrisi sumber silikat yang semakin menurun dalam kultur sistem batch, sangat memungkinkan pembentukan silikanya juga semakin kecil dan menyebabkan juga semakin kecil konsentrasi silaffin. Dalam hal ini karena silaffin juga berperan sebagai template silika (Kröger et al. 1999).

Secara khusus protein silaffin akan dibahas dalam laporan ini karena merupakan protein yang paling bertanggungjawab dalam biosintesis silika bersama protein transport asam silikat, selain protein frustulin dan ptotein pleuralin serta non protein poliamin (Kröger et al. 2002). Protein frustulin mensintesis pembentukan kalsium pada dinding sel dan pleuralin mensintesis silika pada bagian pertemuan epivalve dan hypovalve atau pada girdle band sel diatom.

Profil silaffin selama pertumbuhan C. gracilis, konsentrasinya semakin kecil seiring dengan umur kulturnya (Gambar 22). Artinya kultur diatom semakin tua semakin sedikit mensintesis silika. Hal ini dapat dipahami karena pada fase logaritmik sel mengalami pembelahan aktif yang berarti aktivitas sintesis silika oleh silaffin menjadi tinggi. Hal ini juga kemungkinan berkaitan dengan mekanisme pembelahan diatom yang diawali dengan pembentukan prekursor silica deposition vesicle (SDV) yang kemudian dilanjutkan menjadi silicalemma (membran sel diatom) dari proses polimerisasi silika (Round et al. 1990). Brezezinski (1992) diacu dalam Alverson (2007) secara detail melaporkan bahwa fase G2 dan M dalam siklus sel merupakan puncak pengambilan asam silikat dari lingkungannya oleh diatom. Fase G2 adalah fase interval antara berakhirnya sintesis DNA (fase S) dan akan dimulainya mitosis (fase M), sedangkan fase M adalah fase sel melakukan pembelahan atau mitosis.

Apabila dibandingkan dengan konsentrasi seluler protein total (Gambar 15), maka nampak sekali perbedaanya dengan profil protein silaffin. Hal ini diduga karena peran dari protein tersebut (sebagai katalis dalam polimerisasai silika dinding sel). Rata-rata protein per sel diatom dari fase adaptasi atau fase lag hingga fase kematian mencapai kisaran 0.5-10 pg/ sel. Hal ini sangat jauh dengan konsentrasi silaffin yang hanya mencapai kisaran 5-50 fg/ sel. Konsentrasi yang sangat jauh ini membuktikan

bahwa protein silaffin hanya sebagian kecil dari seluruh protein yang dimiliki oleh sel diatom, meskipun sangat berperan dalam sintesis silika dinding sel diatom.

Gambar 22 menggambarkan profil protein silaffin selama pertumbuhan dengan banyaknya frustule yang dibentuk selama pertumbuhan pada C. gracilis. Hasil yang terlihat menunjukkan suatu korelasi yang positif antara silaffin dan frustule selama pertumbuhan C. gracilis. Frustule adalah dinding sel silicaseous yang diperoleh dari ekstraksi 10% SDS dalam 3.7% EDTA yang dapat menghilangkan komponen organik dan kalsium dinding sel.

. 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 0 10 20 30 40 50 60 70 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 105 106 107

bobot

fr

us

tu

le

( pg/

se

l)

Umur kultur

sila

ff

in

(f

g/s

el)

de

ns

ita

s s

el

(l

og/

m

l)

Gambar 22. Profil silaffin dan silika frustule yang terbentuk selama pertumbuhan C. gracilis. Frustule ( ), silaffin ( ), densitas sel ( ).

Pada Gambar 22, menunjukkan bahwa pada fase adaptasi, konsentrasi silaffin naik dari hari ke 0 hingga hari pertama. Kalau disejajarkan dengan bobot frustule silicaseous maka memiliki kecenderungan yang sama. Yakni pada fase lag mengalami peningkatan sedangkan pada fase ekponensial mengalami penurunan hingga fase kematian. Hasil demikian diduga karena berkaitan dengan ukuran sel rata-rata pada saat dilakukan pengambilan sampel. Ukuran sel diatom selama

pertumbuhan atau dalam siklus pertumbuhan sangat terkait dengan mekanisme pembelahannya.

Menurut Round et al. (1990) pembelahan sel diatom menghasilkan ukuran sel yang tidak seragam, karena hasil pembelahannya 50 % sel akan bertambah kecil dari ukuran sel semula, kemudian akan mengalami auksosporulasi sehingga sel akan membesar (Gambar 1). Berdasarkan hal demikian, maka diduga pada umur 1 hari atau saat awal inokulasi (hari ke 0) hingga hari pertama (pada fase lag) sebagian sel di dalam kultur sedang mengalami auksosporulasi. Meskipun jumlah selnya sedikit tetapi pada saat auksosporulasi permukaan sel akan lebih luas sehingga berpengaruh pada permukaan dinding sel yang mengadung silika. Akibatnya pada hasil penelitian

Dokumen terkait