• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian protein yang mengkatalisis pembentukan silika dan asam lemak tak jenuh rantai panjang dari diatom Chaetoceros gracilis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian protein yang mengkatalisis pembentukan silika dan asam lemak tak jenuh rantai panjang dari diatom Chaetoceros gracilis"

Copied!
127
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBENTUKAN SILIKA DAN ASAM LEMAK TAK

JENUH RANTAI PANJANG DIATOM LAUT

Chaetoceros gracilis

ALBERTA RIKA PRATIWI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

\

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Kajian Protein yang Mengkatalisis Pembentukan Silika dan Asam Lemak Tak Jenuh Rantai Panjang Diatom Laut Chaetoceros gracilis adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

(3)

@ Hak cipta milik IPB, tahun 2010

Hak cipta dilindungi undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(4)

KAJIAN PROTEIN YANG MENGKATALISIS

PEMBENTUKAN SILIKA DAN ASAM LEMAK TAK

JENUH RANTAI PANJANG DIATOM LAUT

Chaetoceros gracilis

ALBERTA RIKA PRATIWI

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Ilmu Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)
(6)

gracilis

Nama : Alberta Rika Pratiwi

NIM : F261040061

Disetujui

Komisi Pembimbing

Ketua

Prof. Dr. Ir. Maggy Thenawidjaya Suhartono,

Dr. Ir. Dahrul Syah

Anggota Anggota

Dr. Ir. Linawati, MS

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Program Doktor

Dr. Ir. Ratih Dewanti-Haryadi, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS

(7)

PRAKATA

Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmatNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul Kajian Protein yang Mengkatalisis Pembentukan Silika dan Asam Lemak Tak Jenh Rantai Panjang Diatom Chaetoceros gracilis sebagai syarat menempuh program doktor di Institut Pertanian Bogor.

Ucapan terimakasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Maggy Thenawidjaja Suhartono sebagai ketua komisi, Dr. Dahrul Syah dan Dr. Ir. Linawati, MS sebagai anggota komisi, yang telah meluangkan waktu memberikan bimbingan dalam penelitian dan penulisan laporan selama menempuh pendidikan program doktor di program studi Ilmu Pangan – Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Yayasan Sanjaja melalui Rektor Universiats Katolik Soegijapranata-Semarang yang telah memberikan beasiswa program studi S3, Direktorat Pendidikan Tinggi yang telah membiayai sebagian penelitian melalui program Hibah Bersaing tahun 2007/2008 juga kepada Dekan Sekolah Pascasarjana IPB untuk program Hibah Penelitian Doktor tahun 2009 hingga penelitian ini dapat selesai. Tidak lupa penulis sampaikan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada Dra. Lily M. Panggabean M.Sc di laboratorium Budidaya Mikroalga LIPI Jakarta yang telah memperkenankan penulis menggunakan kultur diatom Chaetoceros gracilis sebagai materi penelitian, kepada Dekanat Fakultas Teknobiologi, Universitas Katolik Atmajaya Jakarta, kepada Dr. Ita Juwita dari Fakultas Kedokteran Hewan IPB dan kepada Dr. Wiryono SJ dari Universitas Katolik Sanata Dharma Yogyakarta yang telah memfasilitasi penelitian ini khususnya dalam analisis 2 dimensi.

Kepada para staf dan teknisi yang telah membantu penelitian di laboratorium Budidaya Mikroalga-LIPI Jakarta, laboratorium Mikrobiologi Keamanan Pangan, Kimia Pangan Seafast Center IPB dan laboratorium di lingkungan Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi-IPB, laboratorium Kimia-LIPI Bandung, laboratorium Biokimia dan Teknologi Enzim Fakultas Teknobiologi Atmajaya serta laboratorium terpadu Fakultas Kedokteran Hewan-IPB, penulis mengucapkan terimakasih atas bantuan dan semangatnya dalam menyelesaikan penelitian.

Kepada seluruh bapak ibu, saudara dan saudari di progarm S3 IPN serta semua teman-teman di progdi Ilmu Pangan yang tergabung dalam FORMASIP. Kepada semua rekan dan sahabat yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, penulis mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya atas doa, kerjasama dan persahabatan selama ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada ibu, adik-adik serta saudara-saudara untuk doa dan semangat yang diberikan selama ini.

(8)
(9)

Penulis dilahirkan di Solo pada tanggal 8 Mei 1966, sebagai anak pertama dari 5 bersaudara dari bapak Dominikus Soekisno (alm.) dan ibu Theresia Sri Partini. Pendidikan sarjana strata satu ditempuh di Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta lulus tahun 1991. Tahun 1996 melanjutkan pendidikan strata dua di program studi Mikrobiologi, Departemen Biologi-FMIPA Institut Teknologi Bandung lulus tahun 1999. Pada tahun 2004 penulis memperoleh kesempatan studi jenjang S3 dari Yayasan Sanjaja-Universitas Katolik Soegijapranata di progran studi Ilmu Pangan Institut Pertanian Bogor.

Setelah lulus strata satu penulis menjadi staf di Lembaga Studi Realino-Yogyakarta tahun 1991-1993. Tahun 1993 menjadi staf peneliti Lembaga Penelitian dan Pengabdian Universitas Katolik Soegijapranata Semarang dan tahun 1995 hingga sekarang menjadi staf pengajar di program studi Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Katolik Soegijapranata Semarang.

Sebagian hasil penelitian penulis pada program S3, telah dipresentasikan dan dipublikasikan baik sebagai penulis utama maupun penulis kedua. Karya yang berjudul Characterization of Silaffin-like protein which Catalyze Formation Silica Stucture Isolated from Indonesian Marine Diatom telah dipresentasikan dalam bentuk

(10)

Penguji luar ujian tertutup:

drh. Sulistyani, M.Sc, Ph.D

Departemen Biokimia-FMIPA Institut Pertanian Bogor Prof. Dr. Ir. Alex Hartana

Departemen Biologi-FMIA Institut Pertanian Bogor Penguji luar ujian terbuka:

Raymon Tjandrawinata, PhD,MS,MBA

Direktur Laboratorium Biomolekuler, PT Dexa Medica-Jakarta Prof. Dr. Hari Eko Irianto

(11)

Halaman

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

PENDAHULUAN... 1

Latar Belakang ... Tujuan Penelitian ... Manfaat Penelitian ... 1 5 5 TINJAUAN PUSTAKA... 6

Karakteristik Diatom Chaetoceros gracilis... Polimer Silika, Biosilika dan Aplikasi dalam Bidang Pangan ... Asam Lemak Dan Biosintesis Polyunsaturated Fatty Acid Diatom... 6 8 18 METODE DAN BAHAN ... ... 24

Tempat Pelaksanaan Penelitian ... Bahan dan Alat ... Tahap Penelitian I ... Tahap Penelitian II………... Tahap Penelitian III ... 24 25 26 28 30 HASIL DAN PEMBAHASAN 35 Profil Protein dan Lipid Chaetoceros gracilis Selama Pertumbuhan ... Karakteristik Protein Total Berdasarkan Analisis 2 Dimensi ... Karakteristik Protein yang Terlibat dalam Biosintesis Nanosilika ... Asam Lemak dan Karakteristik Protein Terlibat Biosintesis PUFA ... Hipotesis Jalur Biosintesis DHA Chaetoceros gracilis... 35 41 45 54 76 SIMPULAN DAN SARAN ... 89

(12)

Halaman

1 Karakteristik protein SIT C. gracilis berdasarkan analisis 2 dimensi ……… 46 2 Berat molekul protein silaffin yang telah diketahui dari berbagai jenis diatom 53

3 Prosentase relatif asam lemak terhadap asam lemak total dari fase akhir eksponensial hingga fase kematian pertumbuhan C. gracilis ……… ……. 55 4 Berat molekul (kDa) dan titik isoelektrik protein protein terdeteksi yang terlibat

dalam sintesis PUFA C.gracilis ……… 70

5 Karateristik berat molekul dan titik isoelektrik dari berbagai diatom……….. 71

6 Protein enzim yang terlibat sintesis PUFA dan PUFA yang ditemukan dalam

setiap fase pertumbuhan C. gracilis……….. 75 7 Protein enzim yang teridentifikasi pada C. gracilis yang terlibat dalam

biosintesis PUFA dan asam lemak yang menjadi substrat serta produk yang

mungkin terbentuk sebagai hasil aktivitas protein enzimnya... 77

8 Reaksi desaturasi dan elongasi yang dibuat berdasarkan 4 kategori yang melibatkan unsur asam lemak substrat, enzim dan asam lemak produk ...

79

(13)

0 Halaman

1 Skema reproduksi aseksual pada diatom secara skematis (Round et

al.1990) ... 7

2. Struktur dinding sel silicaseous dari jenis diatom berbeda . A. Diatom Cymathoneis sp. B. Diatom Anorthoneis sp (Round et al. 1990).... 12

3. Pembentukan dinding sel silicaseous dalam siklus sel diatom (Kröger & Wetherbee, 2000) ... 13

4. Hasil SEM presipitasi silika yang terbentuk dari katalis (A) sil 1A dan (B) Silaffin campuran dari C. fuciformis (Kröger et al. 1999) ... 16

5. Hasil SEM presipitasi silika dengan pori tak beraturan menggunakan katalis gabungan Sil 2 dan Sil 1A C. Fuciformis (Poulsen et al. 2003) 16 6. Biosintesis keluarga PUFA omega 9, 6 dan 3 dari mikroalga (Yap & Chen 2001) ... ... 22

7. Hipotesis biosintesa EPA P. tricornutum (Arao & Yamada 1994) ... 23

8. Hipotesis biosintesa EPA P. tricornutum (Domergue et al. 2002) ... 23

9. Skema garis besar penelitian ... 24

10. Skema penelitian tahap I ... 26

11. Skema penelitian tahap II ... 29

12. Skema penelitian tahap III ... 31

13. Prinsip kerja metode analisis 2 dimensi ... 33

14. Profil pertumbuhan C. gracilis dalam sistem batchculture…………. 35

15. Profil protein dan lipid C. gracilis selama pertumbuhan dalam sistem batch culture……….……….. 38 16. Konsentrasi seluler protein dan lipid C.calcitrans (Phatarpekar et al. 2000) (A) dan C. gracilis (B) pada pertumbuhan dalam kultur sistem batch. Tanda garis merah (---) menunjukkan fase atau umur kultur yang menunjukkan konsentrasi protein lebih rendah dari lipid. ... 39

17. Protein yang terdeteksi hasil analisis 2 dimensi protein C.gracilis … 41 18. Hasil analisis 2 dimensi pada diatom Thalassiosira pseudonana (Sandia National Laboratories-USA, hasil 2 dimensi pada Chaetoceros gracilis (B)……… 42

19. Jumlah noktah protein dan volume noktah protein hasil deteksi program melanie selama pertumbuhan C.gracilis ……….. 44

(14)

21. Grafik hubungan antara volume total protein SIT dan bobot frustule

C. gracilis. ... 48

22. Profil silaffin dan silika frustule yang terbentuk selama pertumbuhan

C.gracilis ... 50 23. Analisis 2 dimensi terhadap protein silaffin (A), gambar 3 dimensi

tiap noktah 5 fraksi protein silaffin (B).……….. 52

24 Scanning Electron Microscope polimer silika hasil reaksi in vitro protein silaffin C. gracilis dengan substrat TEOS (Manurung et al.

2007)... ... 54 25 Komposisi saturated fatty acid (SAFA), monounsaturated fatty acid

(MUFA) dan polyunsaturated fatty acid (PUFA) dari C. gracilis

selama pertumbuhan. ... 56 26 Komposisi SAFA (proporsi relatif dari total SAFA) selama

pertumbuhan C.gracilis. ………... 58 27 Komposisi MUFA (proporsi relatif dari total MUFA) selama

pertumbuhan C.gracilis ……… 59

28 Konsentrasi asam oleat (proporsi relatif dari total asam lemak) sebagai substrat pembentukan total PUFA selama pertumbuhan C. gracilis Lingkaran garis titik-titik menunjukkan umur kultur ketika

konsentrasi asam oleat terendah sedangkan PUFA tertinggi ……… 60 29 Komposisi PUFA (proporsi relatif dari total PUFA) selama

pertumbuhan C.gracilis ……….. 61 30 Pembentukan arachidonic acid/ AA(20:4-ω6) melalui asam

eikosadienoat (20:2ω6) and asam γ-linolenic (18:3ω6) yang dikatalisis oleh desaturase ∆8, desaturase ∆5 dan elongase (Khozin et

al. 1997)……….. 64

31 Noktah protein yang terdeteksi berperan dalam sintesis PUFA C.

gracilis (tanda lingkaran merah) ……… 68 32 Noktah protein transport asam lemak yang terdeteksi pada umur

(15)

xiv

halaman

1 Kurva standar titik isoelektrik dan berat molekul ………... 98

(16)

Latar Belakang

Nanosilika adalah material silika berskala nano yang akhir-akhir ini menjadi

bahan penting untuk berbagai alat. Pada bidang pangan nanosilika dimanfaatkan

antara lain sebagai filtering agent, yakni komponen membran ultrafiltrasi industri minuman, dan elemen alat analitik bionanosensor serta bahan komposit active packaging. Silika sendiri merupakan polimer yang tersusun dalam tiga dimensi dari silikon dioksida (SiO2

Metode-metode yang digunakan untuk memperoleh silika (polimer) dengan

kemurnian tinggi atau silikon (unsur silika) yang diaplikasikan di industri, pada

umumnya menggunakan kondisi-kondisi yang ekstrim seperti temperatur, tekanan

dan prekursor yang sering bersifat toksik. Misalnya silika-silika ultrapure polycrystalline silicon dan silicon carbide sebagai bahan semikonduktor diperoleh dengan cara meleburkan quartz pada tungku temperatur tinggi hingga ribuan derajat celcius (Maeda & Komatsu 1996). Lapisan silikon diosida (wafer) silica chip yang merupakan salah satu komponen penting komputer dibuat dari polisilikon yang

merupakan reaksi triklorosilane dengan hidrogen dengan suhu 1000°C dan dikristalkan dengan suhu 1200 °C (Rhicardson, 2001). Kondisi ekstrim yang juga melibatkan bahan kimia berbahaya, menjadi evaluasi mendasar dalam industri silika

akhir-akhir ini.

) yang banyak ditemukan di alam. Silika memiliki sifat tidak

berwarna, tidak berasa dan secara fisiologi bersifat inert, tahan terhadap reaksi kimia

pada temperatur biasa tetapi dapat mengalami berbagai transformasi pada temperatur

tinggi. Karakteristik demikian menyebabkan banyaknya aplikasi berbasis silika.

Polyunsaturated fatty acid (PUFA) merupakan asam lemak dengan rantai hidrokarbon panjang dan memiliki ikatan rangkap lebih dari satu dalam bentuk cis sehingga mempunyai sifat tidak jenuh. PUFA dengan rantai sangat panjang seperti

(17)

karena peranannya dalam bidang kesehatan. Secara individu AA dalam tubuh

manusia berperan sebagai prekursor sejumlah eukosanoid atau sebagai prekursor

molekul proinflamantori untuk respon sistem imun. EPA diperlukan bagi penderita

depresi atau bipolar disorder sedangkan DHA bersama EPA diperlukan untuk mengurangi risiko penyakit jantung koroner dan digunakan sebagai proteksi terhadap

kanker. Meskipun AA, EPA dan DHA secara komersial telah diproduksi dari fungi,

ikan, minyak ikan dan jaringan hewan serta mikroalga, namun hal tersebut telah

menjadi bahan evaluasi yang berkaitan dengan produktivitas dan sumber bahan baku

yang tidak dapat diterima semua konsumen.

Sementara, di alam terdapat organisme salah satu keluarga mikroalga yakni

diatom yang menghasilkan silika dan PUFA hingga rantai panjang. Karakteristik

diatom adalah memiliki silika sekitar 90% sebagai komponen dinding selnya dengan

struktur teratur berskala nano, menyimpan cadangan makanannya berupa lipid

(Round et al. 1990) dan secara genetis memiliki kemampuan mensintesa PUFA sendiri secara langsung karena enzim yang dimilikinya (Yap & Chen 2001). Hasil

penelitian Dunstan et al. (1994) menunjukkan bahwa diatom mampu menghasilkan PUFA sekitar 3-62% dari total asam lemak. Kedua bahan tersebut (silika dan PUFA

diproduksi oleh diatom melalui suatu mekansime sintesis yang melibatkan biokatalis

protein tertentu.

Silika dengan morfologi yang teratur, presisi dan berukuran nano (10-9) yang

dimiliki setiap diatom, secara genetis dikontrol oleh protein yang berlangsung dalam

kondisi ringan. Protein yang berperan dalam proses silifikasi diatom telah ditemukan,

yakni silisic acid transport protein (protein SIT), yang berperan membawa asam silikat dari lingkungannya melewati lipid bilayer masuk ke dalam silica deposition vesicle (SDV) dan protein silaffin (silica affinity) yang berperan dalam polimerisasi asam silikat menjadi nanosilika di dalam SDV (Hildenbrand et al. 1997; Kröger et al. 1999). Protein-protein tersebut telah diketahui mengatur biosilifikasi secara in vivo dalam sistem metabolisme pada kondisi lingkungan alam yang ringan. Dengan

(18)

telah melakukan reaksi in vitro protein silaffin diatom Chilindrotheca fuciformis dengan susbtrat Tetraethoxyorthosilicate (TEOS) untuk menghasilkan polimer nanosilika dalam beberapa menit pada temperatur ruang. Sementara Manurung et al. (2007) juga telah berhasil mengekstraksi protein silaffin dari diatom Chaetoceros gracilis dan mereaksikan secara in vitro dengan TEOS menghasilkan polimer silika dalam waktu 10 menit pada suhu ruang (26-28°C).

Dengan mempelajari protein yang terlibat dalam biosilifikasi in vivo akan membuka pemahaman baru dalam mendesain proses pembentukan material berbasis

silika secara ramah lingkungan. Menurut Poulsen & Kröger (2004), sekuen asam

amino protein silaffin yang diisolasi dari dua jenis diatom yang berbeda tidak saling

memiliki homologi, sehingga setiap jenis diatom diduga memiliki karakteristik

protein silaffin yang khusus sesuai dengan karakteristik struktur nanosilika yang

dimiliki. Dengan demikian masih diperlukannya informasi protein-protein yang

terlibat dalam biosintesis silika dari spesies-spesies diatom spesifik, misalnya dari

laut tropis seperti perairan wilayah Indonesia. Hal ini bertujuan untuk menghasilkan

polimer nanosilika spesifik yang dapat diaplikasikan untuk setiap kebutuhan secara

khusus.

Diatom mensintesis omega 6 (AA) maupun omega 3 (EPA dan DHA) secara de novo. Hal ini sangat berbeda dengan hewan termasuk mamalia yang hanya mampu menghasilkan PUFA rantai panjang apabila memperoleh prekursor C18 (asam

linoleat dan asam α-linolenat) dari makanannya, sedangkan tanaman hanya mampu

menghasilkan PUFA hingga C18. Diatom dan juga mikroalga lainnya melakukan

reaksi desaturasi dan elongasi untuk memperpanjang rantai C18 dengan enzim

desaturase dan elongase yang dimiliki. Enzim desaturase Δ6, Δ5 dan Δ4 merupakan

karakteristik utama yang dimiliki mikroalga pada umumnya.

Berbagai karakterisasi protein enzim desaturase dan elongase khususnya

pembentuk AA, EPA dan DHA dari berbagai jenis mikroalga telah mulai dilaporkan.

Sebagai contohnya adalah protein enzim desaturase Δ6 yang mengkatalisis

pembentukan 18:3Δ6,9,12 (ω6) dan Δ5 yang bekerja pada asam lemak atom C20

(19)

Phaeodactylum tricornutum (Demergue et al. 2002). Sementara Tonon et al. (2005), telah mengidentifikasi gen-gen yang mengkode desaturase Δ6, Δ5 dan Δ4 yang

terlibat langsung dalam biosintesis EPA dan DHA dari diatom Thalassiosira pseudonana. Setiap jenis diatom secara genetik dapat memiliki jenis PUFA yang berbeda-beda dari C16 hingga C22 yang dipengaruhi oleh jalur biosintesis dan

protein pembentuknya. Jalur biosintesis long chain-PUFA diatom belum sepenuhnya diketahui, karena begitu beragamnya jenis-jenis asam lemak yang dimiliki untuk

setiap jenis diatom. Berbagai studi gen maupun protein yang terlibat dalam sintesis

PUFA dari berbagai jenis organisme penghasil PUFA de novo telah dilakukan untuk meningkatkan produksi PUFA melalui sumber-sumber alternatif termasuk

kemungkinan memproduksi vegetable oil yang dapat mengandung PUFA (Vrinten et al. 2007).

Untuk itu masih sangat diperlukan kajian mendalam untuk memberikan

informasi dasar mekanisme biosintesis PUFA terkait dengan protein yang

mensintesisnya dari berbagai sumber termasuk jenis-jenis diatom. Studi protein yang

terlibat dalam biosintesis PUFA ini memberikan pengetahuan dasar dalam

meningkatkan produksi PUFA penting secara spesifik melalui berbagai kemungkinan

rekayasa bioteknologi untuk memproduksi misalnya DHA-enriched crops.

Dalam kultur sistem batch dengan medium yang mengandung silikat, diatom mengakumulasi lipid ketika memasuki fase stasioner atau pada saat konsentrasi

nutrien medium mulai menurun. Roessler (1988), telah membuktikan bahwa aktivitas

enzim sitrat sintase dan asetil KoA karboksilase meningkat 3 kali ketika silica depletion. Hal ini mengindikasikan adanya suatu hubungan yang berkaitan dengan waktu sintesis silika dinding sel dan lipid atau asam lemak di dalam kultur diatom.

Sintesis dinding sel silicaseous sangat aktif ketika sel melakukan pembelahan. Mekanisme demikian berpeluang mengeskplorasi organisme diatom ini dengan

mempelajari mekanisme dasar sintesis kedua bahan (silika dan PUFA) yang diketahui

memiliki nilai ekonomi penting saat ini.

(20)

aspek molekuler untuk tujuan eksplorasi PUFA dan nanosilika. Diatom jenis tersebut

juga merupakan jenis yang dapat dan mudah dikulturkan. Disamping itu telah

dilakukan studi awal karakteristik ekstrak protein silaffin C. gracilis asal laut Indonesia ini, yang terbukti mampu mengkatalisis pembentukan polimer silika secara

in vitro pada suhu ruang dalam beberapa menit.

Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang yang disampaikan, maka tujuan umum dari

penelitian ini adalah mengkaji protein yang terlibat dalam biosintesis nanosilika dan

biosintesis asam lemak tak jenuh rantai panjang dari diatom laut C. gracilis asal Indonesia. Secara lebih terperinci penelitian ini bertujuan, 1) mempelajari profil

protein dan lipid C. gracilis selama pertumbuhan dalam kultur sistem batch, 2) mempelajari karakteristik (berat molekul dan titik isoelektrik) protein melalui analisis

2 dimensi dan studi bioinformatika untuk identifikasi protein yang terlibat dalam

biosintesis nanosilika dan 3) mempelajari karakteristik (berat molekul dan titik

isoelektrik) protein melalui analisis 2 dimensi dan studi bioinformatika untuk

mengidentifikasi jenis protein yang terlibat dalam biosintesis PUFA dan memprediksi

jalur biosintesis PUFA.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dasar pada tingkat

protein dalam mempelajari biosintesis nanosilika dan PUFA dari diatom C. gracilis asal laut Indonesia. Informasi ini sebagai langkah awal di dalam pengembangan

industri strategis untuk merancang produksi material berbasis nanosilika secara

ramah lingkungan dan pengembangan industri asam lemak rantai panjang secara

(21)

Karakteristik Diatom Chaetoceros gracilis

Karakteristik Umum Diatom

Diatom adalah nama populer untuk semua organisme yang masuk dalam

kelas Bacillariophyceae. Diatom merupakan organisme uniseluler berukuran 10-200 µm, memiliki pigmen klorofil a, c1, c2 dan karotenoid, hidup bebas secara

fotosintetik autotrof sebagai fitoplankton. Oleh karena ukurannya kecil, maka

disebut sebagai mikroalga, meskipun dapat ditemukan dalam bentuk koloni

hingga mencapai panjang beberapa milimeter membentuk spiral, heliks dan

zig-zag (Round et al. 1990).

Konstruksi dinding biosilika diatom yang disebut dengan frustule memiliki bentuk seperti petridish, yang mempunyai bagian yang saling berpotongan disebut girdle band (copulae). Bidang-bidang yang saling berpotongan tersebut, bagian atas disebut epiteka dan bagian bawah disebut hipoteka. Bagian atas permukaan setiap theca disebut valve mempunyai permukaan dengan pola pori-pori teratur disebut areolae yang memberikan karakteristik setiap jenisnya. Secara garis besar diatom, berdasarkan bentuknya digolongkan menjadi centris dengan bentuk sel bulat dan pennate bentuk sel lonjong atau bulat memanjang (Round et al. 1990).

Sistem Reproduksi. Reproduksi diatom dapat terjadi secara aseksual maupun seksual. Reproduksi aseksual merupakan reproduksi yang paling umum

untuk diatom. Reproduksi aseksual pada mahluk hidup ini terjadi dengan

pembelahan sitoplasma dalam frustule, sehingga epiteka induk akan menghasilkan hipoteka yang baru dan hipoteka yang lama akan menjadi epiteka yang

menghasilkan hipoteka yang baru pula pada anakannya dan seterusnya. Maka

suksesi reproduksi aseksual ini akan menghasilkan ukuran sel yang semakin kecil.

Ketika ukurannya mencapai minimum maka selanjutnya akan dikompensasi

dengan tumbuhnya auksospora (expandable zygote cell) berukuran besar yang akan membelah dan menghasilkan sel baru berukuran besar. Pembentukan

auksospora atau auksosporulasi merupakan bagian dari fase reproduksi seksual

(22)

seksual. Skema mekanisme reproduksi aseksual pada mikroalga dapat dilihat pada

Gambar 1A & 1B

Gambar 1 Skema reproduksi aseksual diatom secara skematis (Round et al. 1990)

Gordon & Parkinson (1999) menemukan bahwa frustule pada diatom mengandung silika yang berpori dengan ukuran sekitar 40 nm atau 100-200 nm.

Karakteristik lainnya adalah mempunyai lipid dan crysolaminarin sebagai cadangan makanannya dan silika sekitar 90% (Round et al. 1990). Diatom rata-rata mengandung lipid 1-39 % dari berat kering (Becker 1994) dan dapat

mengandung asam lemak 1.6-70 pg/sel dengan PUFA antara 5-62% dari total

asam lemak (Dunstan et al. 1994). Diatom juga mengandung protein sekitar 20-25% per berat kering, karbohidrat 5-7% per berat kering (Brown et al. 1997).

auksospora A

B Auksosporulasi

Hipoteka Epiteka

(23)

Chaetoceros gracilis

Chaetoceros gracilis merupakan salah satu anggota dari genus Chaetoceros, Secara morfologi merupakan diatom tunggal dengan bentuk sel sentries.

Sel-selnya membentuk rantai atau koloni hingga panjangnya mencapai 200µ m. Rantai

tersebut dibentuk oleh hubungan internal antar spina. Menurut Isnansetyo &

Kurniastuty (1995), Chaetoceros yang ditemukan di perairan Indonesia umumnya berukuran 3-30 µ m, bentuk bulat berdiameter 4-6µ m atau berbentuk segi empat

dengan ukuran 8-12 x 7-18µm.

Chaetoceros toleran terhadap suhu air hingga 40 oC, namun pertumbuhan optimal pada kisaran suhu 25-30o

Kingdom : Plantae

C. Toleransi terhadap salinitas 6-50‰ dengan

salinitas optimum 17-25‰. Chaetoceros gracilis mudah dikulturkan dalam medium yang mengandung silikat dengan pencahayaan minimal 3000 lx

(Isnansetyo dan Kurniastuty 1995). Menurut Bold & Wynne 1985, sistematika C. gracilis adalah sebagai berikut:

filum : Chrysophyta

kelas : Bacillariophyceae

ordo : Centrales

subordo : Biddulphioideae

familia : Chaetoceraceae

genus : Chaetoceros spesies : gracillis

Polimer Silika, Biosilika dan Aplikasi dalam Bidang Pangan

Polimer Silika dan Industri Silika

Silika merupakan polimer tersusun dalam susunan tiga dimensi dari silikon

dioksida (SiO2). Silika (Silikon dioksida/ SiO2) sangat banyak ditemukan secara

alami dalam bentuk bebas sebagai quartz dan campuran sebagai silikat. Silikat adalah komponen kimia yang mengandung silikon, oksigen dan elemen metal,

seperti orthosilikat mengandung gugus SiO4-4 dan metalsilikat gugus SiO4-2.

(24)

Silika ditemukan dengan berbagai bentuk seperti crystalline (quartz atau heksagonal, kristabolit atau tetrahedran, tridimit atau triklinat) dan silika

amorphous (bentuk opal, chaledony, flint, jasper dan diatomaceous earth) serta glass. Silika tersebut memiliki sifat tidak berwarna, tidak berasa dan secara fisiologi bersifat inert, mempunyai sifat tahan terhadap reaksi kimia pada

temperatur biasa tetapi dapat mengalami berbagai transformasi pada temperatur

tinggi (Ning 2002).

Silika untuk keperluan industri pada umumnya memerlukan tingkat

kemurnian tertentu, struktur tertentu atau bentuk spesifik berkaitan dengan bentuk

dan ukuran pori-porinya. Silika murni dan berpori skala nano selama ini diperoleh

antara lain dengan cara 1) acid deposition dari larutan Na2SiO3

Metoda hidrothermal menggunakan campuran kalsium-silikat yang

diperoleh dengan mencampurkan Ca(OH)

, 2) metode sol-gel

dari organo-silicone compound, 3) vapour deposition dari a silica fume dan 4) metoda hidrothermal (Ono et al. 2001).

2

Pada prinsipnya metoda untuk memperoleh silika atau silikon yang

diaplikasikan di industri pada umumnya menggunakan temperatur tinggi dan

suatu prekursor. Hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh Maeda & Komatsu

(1996), yang melaporkan bahwa ultrapure polycrystalline silicon dan silicon carbide bahan semikonduktor diperoleh dengan cara meleburkan quartz pada tungku temperatur tinggi. Brinker & Scherer (1990), memperoleh silika dengan

menggunakan sodium silikat sebagai prekursor yang diperoleh dengan cara

melebur quartz sand dengan sodium karbonat menggunakan temperatur 1300 ºC. dengan berbagai silika seperti silika

amorf atau silika kristal, selanjutnya campuran tersebut dipanaskan dengan

temperatur 140 ºC, tekanan 0,4-1 MPa selama 8 jam (Ono et al. 2001). Kalapathy et al. (2000), melaporkan silika murni yang diperoleh dari abu sekam padi dilakukan dengan ekstraksi alkali dilanjutkan dengan pengendapan asam

kemudian dipanaskan hingga 80 ºC selama 12 jam. Menurut Harsono (2002),

silika dari abu sekam padi diperoleh dengan memanaskan hingga 190 ºC, namun

untuk memperoleh silika dengan kristalinitas tinggi, harus dipanaskan lebih lanjut

(25)

Silikon semikonduktor dibuat dengan mereaksikan crude metal dengan campuran gas hidrogen dan hidrogen klorida dalam fluidised bed sehingga menghasilkan SiHCl3

Wafer dibuat dari polisilikon hasil reaksi triklorosilan dengan hidrogen pada suhu 1000 ºC lalu dikristalkan dengan suhu 1200 ºC. Wafer ini sebagai template untuk lapisan silika berikutnya hingga mencapai ketebalan beberapa mikron,

kemudian dilanjutkan pemberian muatan dan pengemasan menjadi chip (Richardson 2001). Fiber glass sebagai bahan utama dalam alat pendeteksi seperti stetoskop dibuat dengan cara oksidasi thermal silikon tetraklorida dan suhu sekitar

2500 ºC, dengan reaksi SiCl

. Selanjutnya dilakukan destilasi dan direduksi

menggunakan hidrogen menghasilkan filamen pre silikon, kemudian dipanaskan

hingga 1150 ºC. Demikian juga dengan produk-produk intermediet seperti silica chip, fiber glass dan keramik juga dibuat dengan temperatur tinggi. Silica chip digunakan sebagai sparepart komputer atau assay kit, dibuat dengan beberapa tahap yang diawali dengan pembuatan lapisan silika yang disebut wafer.

4 + O2  SiO2 + 2Cl2

Metoda sol-gel dalam pembuatan silika merupakan metoda yang

menggunakan suhu ruang. Menurut Ester et al. (2005), proses sol-gel adalah suatu teknik untuk memproduksi amorphous inorganic solid seperti glass. Istilah sol didefinisikan sebagai suatu larutan koloidal dengan partikel berukuran < 100nm

dan gel adalah larutan koloid semisolid. Silika glass yang dibuat dengan metoda sol-gel menghasilkan homogenitas yang baik, kemurnian tinggi dan porous. Hal ini memungkinkan dibuat suatu matriks berpori, bening dan bersifat optik

sehingga dapat digunakan sebagai sensor. Lebih jauh, dengan ditemukan proses

sol-gel dapat membuat silica glass bening mengandung bahan organik maupun inorganik pada suhu rendah.

(Fiber Tech 2004).

Pada proses sol-gel, bentuk sol koloidal diperoleh dari hasil hidrolisis dan

polikondensasi prekursor metalorganik. Prekursor tersebut adalah metal alkoxide dengan rumus molekul M(OR)n, dan OR- nya dapat berbentuk metoxy (OCH3)

atau ethoxy (OC2H5 ). Bahan yang paling sering digunakan untuk membuat

(26)

hidrolisis merupakan tahap pembentukan gugus silanol (Si-OH) dengan

melepaskan alkohol atau H2

Adamson (2004) membuat lapisan tipis silika secara kimia dengan surfaktan

dan TEOS sebagai prekursor, tetap memerlukan template untuk dasar lapisan tipis tersebut, namun juga dapat dilakukan tanpa template. Proses sintesis silika secara kimia baik dengan temperatur rendah maupun temperatur tinggi memerlukan

prekursor, katalis dan template. Penggunaan ke tiga unsur tersebut juga ditemukan dalam pembuatan polimer silika secara in vitro menggunakan katalis biologi protein atau sering disebut sebagai proses biosilika yang berasal dari organisme

penghasil silika.

O sebagai by product, kemudian dilanjutkan dengan kondensasi membentuk gugus siloxane (Si-O-Si). Partikel silika amorphous yang dapat dihasilkan dengan metoda sol-gel berdiameter 5-10 nm (Ester et al.2005). Substrat TEOS juga digunakan dalam pembuatan thin-film dari silika dengan

metoda vacum ultraviolet radiation (Takezoe et al. 1999).

Biosilika

Silika juga diproduksi oleh banyak organisme termasuk binatang dan

tumbuhan tinggi, bakteri, protista, tanaman, invertebrata maupun vertebrata.

Mineral silika yang terjadi di alam menunjukkan sifat fisik dan memiliki derajat

hidrasi dengan struktur yang bervariasi. Selain itu, pembentukannya berada di

bawah kondisi sekelilingnya dengan pH netral dan suhu rendah kira-kira 4-40º C

(Perry 2003). Menurut Perry (2003), biosilika oleh organisme dapat terjadi secara

intraseluler atau ekstraseluler di suatu organel khusus yang juga terdapat

karbohidrat, lipid dan protein. Organel khusus tempat terdepositnya silika dan

pembentukannya disebut silica deposition vesicle yang dimiliki oleh diatom (Kröger et al. 1999), sedangkan vakuola sel sclerocytes yang terletak di jaringan mesophyl merupakan tempat terdepositnya asam silikat untuk membentuk spikula silika pada spons (Brusca & Brusca 1990).

Diatom merupakan penyumbang terbesar silika di alam karena sebagian

besar selnya mengandung silika sebagai penyusun utama dinding sel endoskeleton

maupun eksosekeleton. Biota lain yang mengandung silika sebagai bagian

(27)

Radiolaria. Dinding sel diatom silicaseous mengandung silika amorf atau opaline 96.5%, berpola teratur rapi (ornicate) dan berpori dengan skala nanometer. Gambar 2 memperlihatkan struktur dinding sel dari jenis diatom berbeda.

Gambar 2 Struktur dinding sel silicaseous dari jenis diatom yang berbeda. A.Diatom Cymathoneis sp. B. Diatom Anorthoneis sp (Round et al.

1990)

Pembentukan silika sebagai bagian dari penyusun endo mapun eksoskeleton

terkait dengan pembelahan sel itu sendiri. Menurut Kröger & Wetherbee (2000),

mekanisme pembentukan dinding sel silicaseous dimulai pada awal sitokinesis. Menurut Kröger & Wetherbee (2000), secara umum mekanisme pembelahan sel

meliputi sitokinesis, perluasan valve SDV, eksositosis, pemisahan sel dan pertumbuhan sel. Pada tahap sitokinesis, sitoplasma terbagi menjadi 2 bagian

masing-masing mengandung ruangan khusus yang disebut valve SDV yang merupakan tempat terdepositnya silika, dilanjutkan dengan perluasan valve SDV

sebagai calon valve baru. Perluasan ini akan memperjelas pemisahan sitoplasma, kemudian dilanjutkan dengan tahap eksositosis yakni menuju pemisahan sel. Pada

tahap ini, valve SDV yang mengalami perluasan akan menjadi calon valve. Selanjutnya diikuti terbentuknya girdle band SDV yang diikuti proses diferensiasi membentuk girdle band baru selama tahap pertumbuhan sel. Tahap pembentukan girdle band baru diikuti dengan pematangan valve SDVatau diferensiasi menjadi valve baru dan akhirnya membentuk sel utuh baru hasil pembelahan dengan dinding sel silicaseous (Kröger & Wetherbee, 2000). Gambar 3 memperlihatkan

A

(28)

proses pembentukan dinding sel ketika sel mengalami pembelahan dalam siklus

sel diatom.

Gambar 3 Pembentukan dinding sel silicaseous dalam siklus sel diatom (Kröger & Wetherbee, 2000).

Silika yang terbentuk sebagai penyusun dinding sel diatom merupakan salah

satu contoh peristiwa biologi organisme yang memanfaatkan langsung komponen

disekitarnya untuk menyusun bagian tubuhnya. Menurut Poulsen & Kröger

(2004), selama terjadi evolusi, diatom dan organisme penghasil silika lain seperti

spons dan radiolaria memerlukan asam monosilikat Si(OH)4

Asam silikat Si(OH)

yang ada di habitat

untuk pembentukan struktur yang spesifik pada setiap endo dan eksoskeleton.

3O- yang banyak terdapat diperairan laut ditransport

secara aktif masuk ke dalam appratus golgi. Dari apparatus golgi ini asam silikat masuk ke dalam organel yang disebut a small silicon-laden vesicle oleh mikrofilamen (Lee 1989). Hildenbrand et al. (1998) menemukan bahwa mikrofilamen tersebut adalah sejenis protein transporter yang memiliki atom Na+

sitokinesis

ekspansi

eksositosis Pemisahan sel

Pertumbuh an sel

SDV Replikasi

(29)

yang disebut protein silica transpoter. Selanjutnya a small silicon-laden vesicle menjadi silica deposition vesicle (SDV) yakni organel yang mempolimerisasi asam silikat menjadi polimer silika.

Di dalam SDV asam silikat mengalami reaksi kondensasi dengan gugus

hidroksi dari suatu protein.

Mekanisme pemindahan silika menjadi dinding sel silicaseous belum jelas meskipun telah diketahui sebagian dari komponen yang terlibat biosilifikasi

diatom (Sumper & Kröger 2004).

Kröger et al. (1997) dan Kröger et al. (1999) memastikan adanya peran molekul organik yang terlibat dalam pembentukan

silika di dalam SDV. Mereka berhasil mengisolasi serta mengkarakterisasi sebagai

satu set peptida polikationik berberat molekul rendah dan peptida berberat

molekul tinggi. Selain itu ada komponen lain yakni non protein rantai poliamin

panjang dengan rantai spesifik yang berperan dalam penyusunan pola silika

(Sumper 2002). SDV silicaseous dalam pertumbuhan sel diatom mengalami perluasan dan bergabung dengan silicalemma membentuk jaringan skeletal yang diduga melibatkan protein trans-silicalemma dan elemen skeletal (Lee 1989).

Protein yang Terlibat dalam Biosilika Diatom

Kröger et al. (1997) telah menemukan adanya protein yang terlibat dalam pembentukan silika dari diatom Cylindrotheca fucifomis yang kemudian dikenal dengan protein silaffin. Protein tersebut bertanggungjawab pada tingkat molekuler

dalam membentuk struktur silika berukuran nano dari asam silikat (silikon) di

dalam lingkungannya. Proteinsilaffin sangat kuat terikat dengan silika dan hanya

ditemukan di dalam SDV yang telah terintegrasi menjadi dinding sel.

Protein silaffin diatom Cylindrotheca fuciformis terdiri tiga polipeptida yaitu silaffin 1A (4 kDa), silaffin 1B (8 kDa) dan silaffin 2 (17 kDa), serta komponen

non-protein yakni poliamin (<3,5 kDa). Hasil analisis sekuens protein

menunjukkan silaffin 1A terdiri dari dua campuran peptida yang sama dan disebut

silaffin 1A1, 1A2, masing-masing mengandung 15 dan 18 asam amino dan

memiliki homologi sekuens yang cukup tinggi dengan silaffin 1B.

Poulsen & Kröger (2004), mengkarakterisasi protein silaffin diatom

(30)

pseudonana mengandung 5 peptida, yakni tpSil 1H (35 kDa), tpSil 2H (35 kDa), tpSil 1L (19 kDa), tpSil 2L (18 kDa) dan tpSil 3 (35 kda). Peptida tpSil 1H dan

2H mempunyai berat molekul yang lebih tiggi dari tpSil 1L dan 2L. Analisis

sekuen N-terminal terhadap 5 protein silaffin utama dari T. pseudonana ternyata tidak homolog dengan protein silaffin C. fucifrmis, namun mempunyai kemiripan komposisi asam amino. Protein tpSil 1 & 2H mempunyai komposisi asam amino

yang tidak jelas karena banyaknya asam amino yang tidak teridentifikasi dan

mengandung campuran 2 peptida yang mempunyai sekuen berbeda sama sekali.

Pada tpSil 1L dan 2L merupakan sekuen yang mirip, namun juga mengandung

asam amino yang tidak teridentifikasi.

Spons juga memiliki silika yang juga dikontrol oleh protein yang disebut

protein silicatein. Menurut Shimizu et al. (1998), protein silicatein dari spons Tethya aurantia terdiri dari 3 protein dengan berat molekul 29, 28 dan 27 kDa yang kemudian disebut sebagai 3 subunit α, β dan γ. Tiga protein tersebut sebagai

protein isomer, karena satu subunit mampu melakukan reaksi katalis dan susunan

asam aminonya juga hampir sama. Hasil sekuen silicatein α mempunyai

kemiripan yang tinggi dengan famili cathepsin-L. Tiga ratus tiga puluh satu asam amino yang menyusun silicatein didominasi oleh residu serin, tirosin dan treonin

(Shimizu et al.1998). Protein silicatein yang diisolasi dari spons Suberitas domuncula mempunyai 79% kemiripan dengan silicatein T. aurantia, tersusun atas 331 asam amino dengan berat molekul 36. 30 kDa dan 23. 12 kDa (Krasco et al. 2000).

Pembentukan Silika secara In Vitro Menggunakan Katalis Protein

Kröger et al. (1999), menunjukkan bahwa protein silaffin Cylindrotheca fuciformis secara in vitro mampu menghasilkan silika nanosphere pada pH < 7 dan temperatur ruang ketika ditambahkan larutan asam silikat dalam beberapa

detik. Lebih lanjut diungkapkan bahwa protein silaffin Sil 1A mampu secara

(31)

Gambar 4 dan 5 memperlihatkan hasil Scanning Electron Microscope (SEM) perbedaan presipitasi silika nanosphere yang dihasilkan dari protein silaffin Sil 1A dan protein silaffin Sil 2 dari hasil isolasi C. fuciformis. Jumlah presipitasi silika tergantung dari yang ditambahkan. Sedangkan Poulsen et al. (2003) menjelaskan bahwa protein silaffin Sil 2 tidak berkontribusi dalam

pembentukan silika tetapi diduga hanya memiliki peran regulasi aktivitas Sil 1A

sehingga presipitasi silika yang dihasilkan memiliki struktur pori yang tidak

beraturan.

Gambar 4 Hasil SEM presipitasi silika yang terbentuk dari protein sil 1A (A) dan (B) gabungan Sil 1A dan Sil 2 dari C.fuciformis

(Kröger et al. 1999)

Gambar 5 Hasil SEM presipitasi silika dengan pori tak beraturan menggunakan protein silaffin gabungan natSil 2 dan natSil 1A dari C. fuciformis (kiri ke kanan : rasio semakin kecil)

Reaksi in vitro menggunakan substrat TEOS dengan mengkombinasikan fraksi-fraksi dari protein silaffin T. pseudonana sebagai katalis menghasilkan berbagai struktur seperti silika spherical (diameter 230 nm); silika porous sheet (susunan pori tidak teratur dan bentuk yang tidak seragam, diamter 20-200 nm);

silika plates of densely packed (partikel silika kecil dan besar); dan silika sphere

[image:31.595.101.512.49.842.2]
(32)

polydisperse(diameter dari 900 nm hingga 4,2 μm) (Poulsen et al. 2003). Struktur silika yang terbentuk tergantung jenis peptida silaffin yang menyusun dan

keterlibatan long-chain polyamin (Poulsen & Kröger 2004). Hasil penelitian Manurung et al. (2007), memperlihatkan protein biosilika yag diisolasi dari diatom C. gracilis mampu mengkatalisa pembentukan silika sphere dalam waktu 10 menit menggunakan TEOS yang dihidrolisis dengan asam klorida sebagai

substrat.

Menurut Poulsen et al. (2003), protein pada mekanisme biosintesis silika bertindak sebagai template dan asam monosilikat hasil hidrolisis TMOS (Tetramethoxyorthosilicate) bertindak sebagai prekursor. Berdasarkan mekanisme polimerisasi yang diajukan oleh Poulsen & Kroger (2004) dan Shimizu et al. (1999), katalis protein silicatein dan silaffin memiliki keistimewaan karena selain

sebagai katalis juga menjadi tempat melekatnya silika yang terbentuk sebagai

hasil polimerisasi atau bertindak sebagai template.

Silika dan Aplikasinya dalam Bidang Pangan

Menurut Singh (1979), sudah sejak lama silika sebagai fosil diatom di dasar

laut yang disebut tanah diatomite mempunyai pori-pori yang ideal untuk filter oil dan sebagai clearing solvent, demikian juga untuk industri yang memerlukan filtration devices untuk industri minuman. Tanah diatom atau diatomite atau diatomaceous earth atau kieselguhr dieksplorasi sebagai bahan pembuatan pasta gigi, metal polishes dan sebagai absorben liquid nitroglycerins dalam pembuatan dinamit (Lee 1989). Oleh karena sifat yang tidak membahayakan bagi kesehatan

terutama yang berbentuk amorf, mempunyai daya serap tinggi, berpori halus dan

secara kimia stabil banyak dimanfaatkan di dalam industri pangan terutama

banyak digunakan sebagai filtering agent yang banyak ditemui di industri minuman seperti beer dan wine.

Menurut Sumper & Kröger (2004) berdasarkan sifat struktur nanosilika pada

dinding sel diatom ini dapat berfungsi sebagai filtrasi. Apabila dapat

mengidentifikasi dan menyeleksi sifat dinding sel diatom, akan berpeluang

(33)

merupakan aspek yang menentukan untuk produk yang tidak tahan panas. Sistem

filtrasi yang digunakan biasanya menggunakan membran ultrafiltrasi.

Salah satu alat analitik untuk bidang pangan penting saat ini adalah

biosensor, yakni suatu alat deteksi yang menggunakan agen biologi dan sensing. Biosensor membutuhkan suatu komponen yang dapat merespon sesuai ukuran

molekul targetnya yang disebut biochip. Penggunaan struktur nanosilika akan meningkatkan respon sensornya karena bersifat highly refractive native (Tamiya et al. 2005). Silika yang bersifat fiber optic dalam biosensor merupakan transducer yang mengirimkan sinyal kimia ke sinyal elektrik untuk menghasilkan secara proposional konsentrasi yang menjadi target deteksi (Turner & Newman

1989). Bahan nanokomposit silika dan emas merupakan elemen pelapis pada tip nanosensor yang berbahan serat optik. Pelapis komposit silica-gold merupakan nanosensor devises yang penting untuk mengurangi pantulan cahaya (Dinh 2005).

Industri pengemasan makanan silika dimanfaatkan dalam pengembangan

sensor dan elektronik pada lapisan transistor thin berbasis thin-film silico. Lapisan ini untuk melapisi material kemasan seperti kertas dan plastik, sehingga secara

aktif menjaga kesegaran dan kondisi produk.

Asam Lemak dan Biosintesis Polyunsaturated Fatty Acid Diatom

Diatom merupakan salah satu kelas mikrolga yang berpotensi menghasikan

asam lemak. Komposisi asam lemak diatom beragam dari rantai pendek hingga

tantai panjang, dari asam lemak jenuh (saturated fatty acid) hingga rantai panjang dengan banyak ikatan rangkap atau polyunsaturated fatty acid. Telah diketahui, diatom dikenal menghasilkan PUFA EPA dan DHA yang tinggi. Dari berbagai

penelitian yang telah dilakukan terhadap berbagai jenis diatom, menunjukkan

konsentrasi rata-rata EPA adalah 0.6 hingga 40.7% dari total asam lemak dan

DHA 0.1-6.6 % dari total asam lemak (Dunstan et al. 1994).

Kemampuannya menghasilkan asam lemak EPA dan DHA tinggi terkait

selain diatom memiliki lipid sebagai cadangan makanan, mensintesis PUFA rantai

(34)

ini terkait dengan mekanisme sintesisnya yang secara genetis memiliki protein

enzim yang mensintesis hingga PUFA DHA.

BiosintesisAsam Lemak

PUFA adalah asam lemak dengan jumlah atom C minimal 20 dan

mempunyai ikatan rangkap lebih dari satu dalam bentuk cis (Gurr et al. 2002). Diatom merupakan organisme fotoautotrof yang menggunakan karbondioksida

sebagai satu-satunya sumber karbon untuk membentuk molekul organik baik

glukosa, protein, lipid dan lain-lain. Sintesis asam lemak diatom dan mikroalga

lain secara umum mempunyai kesamaan dengan tumbuhan.

Pembentukan asam lemak tersebut mutlak menggunakan asetil KoA yang

dihasilkan dari proses fotosintesis. Proses tersebut terjadi di dalam plastida, yakni

suatu organel sel tumbuhan yang mengandung pigmen penangkap cahaya.

Plastida diatom dengan pigmen karotenoid dominan menangkap cahaya untuk

menghasilkan energi ATP & NADPH yang akan digunakan untuk mereduksi

karbondioksida membentuk glukosa. Piruvat yang dihasilkan dalam proses akhir

glikolisis pindah ke mitokondria untuk menghasilkan asetil KoA karena

keberadaan piruvat dehidrogenase, kemudian diikuti secara spontan pembebasan

asam asetat yang dikatalisis oleh enzim asetil KoA thioesterase. Asam asetat yang

terbentuk keluar dari mitokondria dan dikatalisa oleh enzim asetil KoA sintetase

bersama energi ATP membetuk asetil KoA. Asam asetat merupakan substrat

pembentukan asetil KoA yang merupakan kunci pembentukan asam lemak (Yap

& Chen 2001). Asam asetat sebagai substrat pembentuk asetil KoA di dalam

diatom merupakan mekanisme yang mirip pembentukan asetil KoA pada

tumbuhan dalam sintesis asam lemak. Namun diatom Cyclotella cryptica, menggunakan asam sitrat sebagai prekursor asetil KoA, karena ditemukan enzim

sitrat sintase yang mengkatalisa terbentuknya asetil KoA (Roessler 1988).

Dalam proses fotosintesis, karbon dioksida difiksasi oleh enzim asetil KoA

karboksilase menggunakan asetil KoA dan energi yang diperoleh (ATP dan

NADPH) secara bertahap menghasilkan propionil-KoA dan butiril-KoA

kemudian berlanjut menjadi malonil KoA melalui enzim karboksiltransferase

(35)

Dari malonil KoA selanjutnya terjadi rangkaian reaksi yang membentuk

rantai panjang asam lemak C18 (asam stearat). Acyl Carrier Protein (ACP) bersama propionil KoA membentuk malonil-ACP yang dikatalisa oleh enzim

transasilase malonil-KoA-ACP. Selanjutnya malonil-ACP dengan asetil ACP dikatalisa oleh β-ketoasil-ACP sintase menghasilkan diketobutiril-ACP, yang

direduksi dengan penambahan NADPH dan ketoasil- ACP reduktase sehingga

membentuk B-hidroksibutiril-ACP. Enzim β-hidroksiasil-ACP dehidrase

kemudian mengkatalisa pembentukan butinil-ACP dari β-hidroksibutiril-ACP,

selanjutnya dikatalisa oleh enoyl-ACP reduktase membentuk butanoil-ACP. Pada tahap ini selanjutnya pembentukan rantai panjang asam lemak dilakukan kembali

bersama asetil-ACP dan β-ketoasil-ACP-sintase. Kompleks enzim untuk mengkatalisa penambahan dua atom C adalah enzim kompleks fatty acid synthase (Yap & Chen 2001). Kompleks enzim fatty acid synthase ini merupakan enzim yang berfungsi seperti lengan panjang yang memfiksasi substrat dan

meneruskan dari pusat reaksi ke pusat reaksi lainnya.

Pada tumbuhan dan kelompok alga, rangkaian proses panjang yang

dilakukan oleh enzim fatty acid synthase berlangsung berulang kali hingga diperoleh asam lemak stearat (18:0). Asam stearat menjadi awal pembentukan

asam lemak tidak jenuh dengan satu ikatan rangkap atau monounsaturated fatty acid (MUFA). Pembentukan asam lemak tidak jenuh dan seterusnya dalam pembentukan asam lemak dengan rantai lebih panjang dan lebih tidak jenuh

menggunakan proses desaturasi dan elongasi. Kedua proses tersebut melibatkan

enzim desaturase dan elongase. Pembentukan asam oleat (18:1) merupakan proses

desaturasi dari enzim desaturase Δ9 pada asam stearat (18:0). Asam oleat inilah

selanjutnya menjadi prekursor pembentukan PUFA baik omega 9, 6 dan 3 (Yap &

Chen 2001). PUFA dapat diklasifikasikan menjadi 4 golongan yaitu omega-3 (ω

-3), omega-6 (ω-6), omega-7 (ω-7), dan omega-9 (ω-9). Omega-3 dan omega-6

merupakan golongan yang paling dominan pada mikroalga (Chen & Jiang 2000).

Biosintesis PUFA

MUFA diatom merupakan bagian dari proses panjang pembentukan PUFA

(36)

Dengan terbentuknya prekursor asam oleat, mekanisme pembentukan asam lemak

tak jenuh rantai panjang (PUFA) selanjutnya dikatalisa oleh enzim kompleks

desaturase dan elongase melalui proses desaturasi dan elongasi. Pada mikroalga

proses desaturasi merupakan proses aerobik (Gurr et al. 2002). Desaturasi merupakan reaksi penambahan ikatan rangkap yang melibatkan enzim-enzim

desaturase sedangkan elongasi merupakan reaksi penambahan atom C yang

melibatkan enzim elongase (Lobb 1992). Organisme tingkat rendah misalnya

alga, mempunyai kemampuan mendesaturasi rantai asam lemak seperti organisme

tingkat tinggi dan p

Asam oleat (18:1Δ9) didesaturasi oleh enzim desaturase Δ12 membentuk asam linoleat (LA, 18:2Δ9,12) dilanjutkan oleh enzim desaturase Δ15 membentuk asam α-linolenat (ALA, 18:Δ9,12,15). LA merupakan prekursor keluarga PUFA omega 6 rantai lebih panjang, sedangkan ALA merupakan prekursor keluarga

PUFA omega 3 rantai lebih panjang dan PUFA lebih panjang akan diproduksi

oleh serangkaian aktivitas desaturasi dan elongasi dari prekursor-prekursornya

(Yap & Chen 2001).

roses desaturasi dan elongasinya memiliki aktivitas yang

berurutan untuk mensintesis berbagai jenis PUFA (Yap & Chen 2001). Gambar 6

memperlihatkan jalur sintesis PUFA pada umumnya mikroalga.

Kemampuan yang dimiliki mikroalga tersebut dikarenakan keberadaan

sejumlah enzim yang berperan dalam proses desaturasi dan elongasi (Yap & Chen

(2001), namun jalur metabolisme sintesisnya belum jelas diketahui seperti pada

tanaman atau hewan (Domergue et al. 2002). Arao dan Yamada (1994) melaporkan ada 7 hipotesis biosintesis EPA diatom Phaeodactylum tricornutum, yang diawali dengan substrat asam oleat (18:1Δ9, ω9) dengan metode analisis menggunakan penelusuran radiolabeling pada asam acetat([1-14C] asam acetat)

untuk melihat asam lemak yang disintesis selama pertumbuhannya (Gambar 7).

Begitu juga dengan Khozin et al. (1997) melaporkan ada 4 jalur hipotesis biosintesis EPA pada Porpyridium cruentum, dengan metode labeling ([1-14

Domergue et al. (2002), juga menggambarkan kemungkinan jalur sintesis EPA diatom P. tricornutum berdasarkan enzim yang ditemukan, seperti yang terlihat pada Gambar 8. Jalur biosintesis yang terdapat pada diatom tersebut

C]

(37)

masih merupakan hipotesis yang melibatkan enzim elongase Δ9 dan desaturase

Δ8 untuk membuat jalur sintesis EPA melalui omega 3 asam eikosatrienoat (20:3Δ11,14,17) seperti yang digambarkan dengan anah panah putus-putus pada

Gambar 8.

Gambar 6 Biosintesis keluarga PUFA omega 9,6 dan 3 dari mikroalga (Yap & Chen 2001)

desaturase Δ12 desaturase Δ15

desaturaseΔ17

Keluarga omega 3 Keluarga omega 6

Keluarga omega 9 Asam stearat 18;0

desaturase Δ9

Asam oleat 18:1Δ9

Desaturasi desaturase Δ6

Asam oktadekadienoat 18:2∆ 6,9

Elongasi + C2

Eicosadienoic acid 20:2Δ8,11

Desaturasi desaturase Δ5

Asam eikosatrienoat 20:3Δ5,8,11

Asam linoleat 18:2Δ9,12

Asam γ-linolenat 18:3Δ6,9,12

Asam Dihomo-γ-Linolenat 20:3Δ8,11,14

Asam arakidonat 20:4Δ5,8,11,14

desaturase Δ5

Asam aurenat 22:4Δ7,10,13,16 Elongasi + C2

Desaturasi Asam Dokosapentaenoat 22:5Δ4,7,10,13,16 desaturase Δ6 desaturase Δ4

Asam α-linolenat 18:3Δ9,12,15 Asam oktadekatetraenoat 18:4Δ6,9,12,15 Asam eikosatetraenoat 20:4Δ8,11,14,17 Asam eikosapentaenoat 20:5Δ5,8,11,14,17 desaturase Δ5 Asam dokosapentaenoat 22:5Δ4,7,10,13,16,19 Asam Dokosaheksaenoat 22:6Δ4,7,10,13,16,19

[image:37.595.98.500.104.747.2]
(38)

Jalur I : 18:1 (ω-9) 18:2 (ω-6) 18:3 (ω-3) 20:5 (ω-3)

Jalur II : 20:3 (ω-6) 20:4 (ω-6)20:5 (ω-3)

Jalur III: 18:1 (ω-9) 18:2 (ω-6) 18:3 (ω-3)  18:4 (ω-3) 20:4 (ω-3) 20:5 (ω-3)

Jalur IV: 18:1 (n-9)  18:2 (n-6)  18:3 (n-3)  18:4 (n-3)  20:4 (n-3)  20:5 (n-3)

18:3 (n-6) Jalur V:

18:1 (n-9)  18:2 (n-6)  18:3 (n-3)  18:4 (n-3)  20:4 (n-3)  20:5 (n-3)

18:3 (n-6)

20:3 (n-6)  20:4 (n-6) Jalur VI:

20:3 (n-3)

18:1 (n-9)  18:2 (n-6)  18:3 (n-3)  18:4 (n-3)  20:4 (n-3)  20:5 (n-3)

18:3 (n-6)

20:3 (n-6)  20:4 (n-6)

Jalur VII:

18:1(n-9)  18:2 (n-6)

[image:38.595.105.490.96.817.2]

20:1(n-9)  20:2 (n-6)  20:3 (n-6)  20:4 (n-3)  20:5 (n-3)

Gambar 7 Hipotesis biosintesis EPA P. tricornutum (Arao & Yamada (1994)

[image:38.595.110.503.437.726.2]

Gambar 8 Hipotesis biosintesis EPA diatom P. tricornutum. Tanda anak panah putus-putus menunjukkan jalur yang tidak biasa ditemui pada diatom (Domergue et al. 2002).

18:3Δ9,12,15

desaturase ω3

20:3Δ8,11,14 20:3Δ11,14,17

20:4Δ8,11,14,17

20:5Δ5,8,11,14,17

desaturase Δ8

desaturase Δ5 elongase Δ6

elongase Δ9

18:4Δ6,9,12,15

20:4Δ5,8,11,14

desaturase ω3 desaturase Δ5

(39)

Tahap-tahap penelitian dan hasil yang diharapkan dalam peneltian ini secara

garis besar dapat dilihat pada Gambar 9. Penelitian dilakukan dalam 3 tahap yang

[image:39.595.101.517.176.810.2]

meliputi tahap pertama analisis protein dan lipid Chaetoceros gracilis selama pertumbuhan, tahap kedua identifikasi asam lemak selama pertumbuhan C. gracilis dan tahap yang terakhir adalah analisis 2 dimensi protein dan studi bioinformatika.

Gambar 9 Skema garis besar penelitian

Tempat Pelaksanaan Penelitian

Penelitian dilakukan dalam beberapa tahap. Kultur diatom diawali di

laboratorium Marikultur, Pusat Penelitian dan Pengkajian Oseanografi-Lembaga

Ilmu Pengetahuan Indonesia-Jakarta. Preparasi protein dilakukan di laboratorium

Mikrobiologi dan Biokimia dan juga di laboratorium Bioteknologi Hewan dan

Biomedis pada Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi IPB.

Ekstraksi lipid dan analisis komposisi asam lemak di laksanakan di laboratorium

Kimia Pangan Seafast Center IPB dan laboratorium Kimia Lembaga Ilmu TAHAP I

Analisis protein dan lipid selama pertumbuhan

C. gracilis

Pola protein dan lipid selama pertumbuhan C. gracilis

TAHAP II

Identifikasi asam lemak

TAHAP III

Elektroforesis 2- Dimensi

dan Studi bioinformatika

Komposisi asam lemak C. gracilis

• Karakteristik protein keseluruhan • Jenis dan karakteristik protein

yang terlibat dalam biosintesis

(40)

Pengetahuan Indonesia-Bandung. Analisis 2 dimensi dilakukan di laboratorium

Biokimia dan Teknologi Enzim, Fakultas Teknobiologi Universitas Katolik

Atmajaya-Jakarta dan laboratorium terpadu Fakultas Kedokteran Hewan Institut

Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat

Diatom Chaetoceros gracilis merupakan organisme yang menjadi objek penelitian studi protein diperoleh sebagai kultur murni dari Pusat Penelitian dan

Pengkajian Oceanologi-LIPI yang diambil dari perairan Teluk Jakarta Indonesia.

Medium kultur modifikasi f/2 Guilard meliputi makronutrien (NaNO3,

NaH2PO4.2H2O, Na2SiO3.9H2O), mikronutrien (FeCl3.6H2O dan Na2EDTA),

dan vitamin (B1, B12, biotin) serta trace metal (CuSO4.5H2O, ZnSO4.7H2O,

NaMoO4.2H2O, (NH4)6Mo7O24.4H2O, MnCl2.4H2O, 0.6 µM CoCl2.6H2

Ekstraksi protein total menggunakan bahan kimia yang terdiri dari Tris-Cl

pH 6.8 SDS, EDTA, aseton, HF, NH

O).

Perangkat kultur sistem batch dilengkapi dengan sumber cahaya, pengatur waktu dan aerator.

4F. Pengukuran kadar protein menggunakan

metode Bradford dengan pelarut yang terdiri dari etanol, asam fosforat, Serva Blue G dan dibaca menggunakan Spektrofotometer UV. Ekstraksi lipid dan analisi komposisi asam lemak menggunakan CHCl3, KOH, MeOH, 20% BF3/MeOH,

NaCl, petroleum benzen, Na2SO4, gas N2

Analisis 2 dimensi terdiri dari preparasi protein, elektroforesis 1 dimensi dan

2 dimensi. Bahan kimia yang digunakan meliputi Tris-Cl pH 7.5, MgCl

, heksan dan isooktan. Identifikasi asam

lemak menggunakan Gas Chromatograph Mass Spectrophotometer QP-5000.

2, KCl,

EDTA, PMSF, Triton X-100, TCA; urea, Triton X-100, β-merkaptoetanol,

ampholine pH 3-10, SDS, Tris-HCl pH 8.8, gliserol, DTT, iodoasetamida.

Elektroforesis 1 dimensi menggunakan peralatan Protean IEF-Biorad, sedangkan

elektroforesis 2 dimensi menggunakan peralatan Mini Elektrophoresis SDS-PAGE-Biorad. Pewarnaan gel hasil 2 dimensi menggunakan pewarnaan

Coomassie blue yang mengandung Coomassie blue R-250, metanol dan asam asetat glasial. Bahan-bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini merupakan

(41)

dipindai menggunakan High Resolution Scanner – Image Scanner (Amersham Pharmacia Biotech).

Karakterisasi protein dilakukan menggunakan perangkat lunak Melanie

7.0

fikasi protein menggunakan program TagIdent expasy.

proteomic.tools).

Penelitian Tahap I

Penelitian tahap pertama adalah kultivasi C. gracilis dalam kultur sistem curah atau batch dengan kondisi yang diterapkan. Kultur sistem batch adalah sistem kultur dalam suatu media dan kondisi lingkungan yang terbatas dalam

periode waktu tertentu. Setelah pelet sel dikumpulkan, selanjutnya dilakukan

analisis baik kandungan seluler protein total termasuk protein silaffin maupun

analisis kandungan seluler lipid selama pertumbuhan C. gracilis. Skema penelitian tahap pertama dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10 Skema penelitian tahap I

Kultivasi dalam medium modifikasi f/2 Guilard

HASIL

Profil protein dan lipid selama pertumbuhan C. gracilis

Kultur murni C. gracilis

Analisis kandungan seluler protein total dan protein silaffin

(42)

Kultivasi Diatom C. gracilis

Media pertumbuhan yang digunakan untuk menumbuhkan C.gracilis adalah media f/2 Guillard (Round et al. 1990) yang dimodifikasi oleh P3O-LIPI sebagai kurator. Medium f/2 mengandung air laut alami yang ditambah dengan sejumlah

mineral dengan komposisi makronutrien 0.99 mM NaNO3, 0.07 mM

NaH2PO4.2H2O, 5.3 µM Na2SiO3.9H2O; mikronutrien 5.4 µM FeCl3.6H2O dan

26.9 µM Na2EDTA serta vitamin yang terdiri dari 0.6 µM vitamin B1, 0.001 µM

vitamin B12, 0.004 µM biotin serta trace metal 0.8 µM CuSO4.5H2O, 2.1 µM

ZnSO4.7H2O, 0.5 µM NaMoO4.2H2O, 0.005 µM (NH4)6Mo7O24.4H2O, 18.2

µM MnCl2.4H2O, 0.6 µM CoCl2.6H2

Diatom C. gracilis dikulturkan dalam kultur sistem batch dengan suhu 16-19 °C, inokulum 10

O. Media kultur diatur pada pH 8 dan

salinitas 28‰.

5

sel/ ml, aerasi secara kontinyu dan pencahayaan sebesar

4000-5000 lx dilakukan dengan periode 12 jam terang:12 jam gelap. Pertambahan

sel diatom dimonitor setiap hari dengan menggunakan kotak hitung

Haemocytometer Neubauer. Hasil penghitungan sel diplot sebagai sumbu y dan waktu dalam hari sebagai sumbu x untuk pembuatan grafik kurva pertumbuhan.

Ekstraksi Protein Total (Rousch et al. 2004)

Protein keseluruhan sel adalah protein yang diperoleh dari ekstraksi

seluruh sel. Pelet biomasa sel C. gracilis yang diperoleh, diresuspensi dengan larutan bufer yang mengandung 100 mM Tris-HCl, pH 6.8 dan 4% SDS,

kemudian dididihkan untuk mengekstrak protein terlarut. Hasil ekstraksi

selanjutnya disentrifugasi dengan kecepatan 14 000 xg, suhu 4°C selama 30 menit untuk memisahkan material yang tak larut. Filtrat yang diperoleh, disiapkan

untuk analisis kadar protein terlarut.

Ekstraksi Protein Silaffin (Kroger et al. 1999)

Protein silaffin terletak di dalam SDV yang telah terintegrasi dengan dinding

sel diatom, sehingga untuk memperolehnya perlu mendapatkan dinding sel murni

(43)

selama 20 menit. Endapan yang diperoleh dicuci 2 kali dengan air bebas ion,

dilanjutkan dengan aseton 2 kali dan diulang kembali dengan air bebas ion.

Setelah proses pencucian kemudian dikeringudarakan, untuk memperoleh dinding

sel silicaceous (frustule).

Frustule yang telah diperoleh dilarutkan ke dalam bufer 2 M HF dalam 8 M NH4F (pH 5) pada suhu 4°C hingga tidak ditemukan adanya endapan. Larutan

bufer dihilangkan dengan metode dialisis cut off 3 kDa dalam air bebas ion, suhu 4 °C, selama 4 jam yang dilakukan sebanyak 9 kali. Dialisat kemudian disentrifus

dengan kecepatan 10 000 xg, 20 menit, suhu 4 °C. Endapan protein yang diperoleh disuspensi dengan air bebas ion lalu disimpan dalam suhu -4 °C.

Analisis Kadar Protein (Bollag & Edelstein 1991)

Pengukuran kadar protein menggunakan metode Bradford dengan Bovine Serum Albumiun (BSA) sebagai standar. Sebanyak 100 µ l filtrat protein direaksikan dengan 2 ml larutan Bradford diinkubasi sekitar 5 menit lalu diamati dengan spektrofotometer pada λ 595 nm.

Ekstraksi dan Kuantifikasi lipid (Dunstan et al. 1994)

Pelet sel diatom yang diperoleh, diekstrak menggunakan sonikasi selama

3x3 menit pada 20 KHz (Soniprep 150 MSE) dalam larutan 5 ml CHCl3

-MeOH-H2O (5:10:4). Campuran larutan tersebut lalu ditambah larutan CHCl3-H2O (1:1)

sehingga menjadi larutan CHCl3-MeOH-H2O dengan perbandingan 10:10:9

sehingga terbentuk 2 fase. Fase kloroform dikumpulkan kemudian diuapkan

dengan gas N2 hingga kering dan ditimbang sebagai berat total lipid. Analisis

lipid dilakukan setiap hari untuk memperoleh profil kandungan lipid sel selama

pertumbuhan.

Penelitian Tahap II

Analisis Komposisi Asam Lemak (Dunstan et al. 1994)

Analisis asam lemak dilakukan dari fase akhir eksponensial hingga fase

kematian (berdasarkan profil lipid selama pertumbuhan). Gambar 11 merupakan

(44)
[image:44.595.162.409.89.386.2]

Gambar 11 Skema tahap analisis komposisi asam lemak

Lipid yang diperoleh (Tahap I) disaponifikasi menggunakan prinsip

hidrolisis kalium hidroksida dalam metanol (100 ml 0.5 M KOH/ MeOH),

kemudian direfluk selama 5-10 menit untuk melepaskan asam lemak menjadi

asam lemak bebas. Asam lemak yang telah dilepaskan selanjutnya diesterifikasi

sehingga membentuk derivat metil ester dari asam lemak (Fatty Acid Methyl Esther = FAME). Setelah direfluk ditambahkan 5 ml 20% BF3 dalam MeOH. Larutan tersebut dididihkan sebentar kemudian ditambah sedikit isooktan pekat

lalu dididihkan kembali.

Tahap selanjutnya ditambah 20% NaCl, dikocok kuat dan sedikit dipanaskan

hingga terbentuk 2 fase. Fase atas (isooktan dan lipid) diambil, dilarutkan dalam

petroleum benzen (40-60 °C) dan disaring dalam corong pisah. Kemudian larutan

petroleum benzene dicuci dengan akuades sampai bebas asam (untuk

mengetahuinya dibantu dengan kertas lakmus universal). Fase petroleum benzene

kemudian ditambahkan Na2SO4, disaring masuk ke dalam labu evaporator dan

dilanjutkan evaporasi untuk menguapkan pelarutnya. Selanjutnya dikeringkan LIPID

(dari umur kultur terpilih)

Saponifikasi (0.5 M KOH/ MeOH)

Esterifikasi (20% BF3/ MeOH

Identifikasi asam lemak (GC/MS)

HASIL

(45)

dengan gas N2

FAME dalam pelarut isooktan sebanyak 1 µl diinjekkan pada CG/MS

dengan kolom DB-17 (panjang 30 m, diameter 0,25 mm). Kondisi kolom dengan

suhu injektor and detektor 250 °C, setelah 1 menit suhu dinaikan sampai 100 °C

selama 3 menit, lalu dinaikkan 10 °C per menit hingga 230 °C dan ditahan selama

3 menit, dinaikkan terus hingga 260 °C, ditahan 10 menit. Tekanan gas 64.5 Kpa

dan flow rate 1 ml menit

sehingga akan terbentuk metil ester. Metil ester yang terbentuk

dilarutkan dalam isooktan konsentrasi 5% untuk identifikasi asam lemak

menggunakan GC/ MS.

-1.

Penelitian Tahap III

Penelitian tahap ke tiga merupakan tahap identifikasi dan karakteristisasi

protein menggunakan analisis elektroforesis 2 dimensi. Protein hasil ekstraksi

dilakukan separasi ke dalam titik isoelektrik (elektroforesis 1 dimensi) kemudian

diekulibrasi sebelum dilakukan seperasi ke dalam berat molekul (elektroforesis 2

dimensi). Hasil elektroforesis 2 dimensi dideteksi dan diidentifikasi jenis protein

target (yang terlibat dalam sintesis silika dan sintesis PUFA). Penelusuran jenis

protein dilakukan berdasarkan studi bioinformatika.

Secara khusus untuk protein yang teridentifikasi sebagai protein yang

terlibat dalam sintesis PUFA digunakan untuk memprediksi jalur biosintesis

PUFA bersama profil PUFA dari Penelitian Tahap II. Diagram alir tahapan

Penelitian Tahap III dapat dilihat pada Gambar 12.

Analisis 2 dimensi (

Analisis 2 dimensi dilakukan untuk memperoleh informasi protein yang

dimiliki berdasarkan perkiraan berat molekul dan titik isoelektrik. Analisis 2

dimensi merupakan analisis dengan dasar elektroforesis gel poliaklilamid,

sehingga juga sering disebut elektroforesis 2 dimensi. Secara teknis adalah suatu

metode pemisahan protein kompleks ke dalam titik isoelektrik pada arah

horisontal (isoelekteric focusing) dan berat molekul pada arah vertikal (SDS-PAGE).

Phillips & Bogyo 2005)

Dengan menggunakan metode ini, protein dipisahkan sesuai dalam

(46)

dimensi ke dua (SDS-PAGE). Analisis ini diawali dengan preparasi protein

kemudian elektroforesis 1 dimensi, ekuilibrasi kemudian elektroforesis 2 dimensi.

Gambar 12 Skema penelitian tahap III.

<

Gambar

Gambar 4 dan 5 memperlihatkan hasil Scanning Electron Microscope
 Gambar 8.  Asam stearat 18;0
Gambar 8 Hipotesis biosintesis EPA diatom P. tricornutum. Tanda anak panah
Gambar 9 Skema garis besar penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini sejalan dengan pendapat Musbikin (2013 :72-78) menjelaskan EDKZD ³7LQGDNDQ UHSUHVLI PHUXSDNDQ XVDKD XQWXN PHQLQGDN SHODQJJDUDQ QRUPD- norma sosial dan moral,

Gelling agent dan humectant sangat berperan penting dalam sifat fisik gel, yaitu peningkatan jumlah gelling agent pada sediaan gel dapat menyebabkan peningkatan viskositas

1. Korteks sensoris, pusat sensasi umum primer suatu hemisfer serebri yang mengurus bagian badan, luas daerah korteks yang menangani suatu alat atau bagian tubuh

Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa pada ayam lokal baik ayam Kampung, Pelung, Sentul maupun Kedu Hitam mempunyai keragaman genetik cukup tinggi yang diperlihatkan

Lahan pasang surut mempunyai peranan yang sangat penting dalam penyediaan beras. Hingga saat ini, lahan pasang surut menjadi pemasok 30,07% kebutuhan beras di

EKONOMI DAN NON-EKONOMI TERHADAP KUALITAS RUMAH DERET KEPRABON KELURAHAN KEPRABON KECAMATAN BANJARSARI KOTA SURAKARTA” sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana

Penelitian ini akan di lakukan dengan cara memberikan lembaran koesioner sebanyak 4 lembar, lembaran pertama untuk data demogarafi yang berisikan nama, jenis kelamin anak, umur

Di Barat, mereka melihat kelompok Islam garis keras sebagai standar dalam melihat Islam, tidak tahu bahwa masih ada komunitas muslim yang lebih besar (di