• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ransum yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 50% rumput gajah, 25% jagung dan 25% konsentrat. Rumput gajah diperoleh dari laboratorium lapang agrostologi IPB. Sedangkan konsentrat diperoleh dari konsentrat ransum sapi perah di kandang koperasi pemeliharaan sapi perah IPB. Sutardi (1980) menyatakan bahwa hijauan segar dari jenis rerumputan unggul seperti rumput gajah nilai gizinya cukup terjamin, volumenya lebih banyak dan daya cernanya lebih tinggi dibandingkan dengan rerumputan liar. Kandungan nutrien ransum penelitian dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Kandungan Nutrien Ransum Penelitian

Taraf Ekstrak Kursin dalam Ransum Kandungan Nutrien 0% 1% 2% 3% Bahan Kering (%)1 89,66 85,22 83,41 84,36 Abu (%BK)1 9,09 9,74 9,29 9,83 Lemak (%BK)1 3,16 3,31 2,83 3,14 Protein Kasar (%BK)1 13,98 14,87 15,26 15,56 Serat Kasar (%BK)1 18,64 19,98 20,79 19,82 BETN (%BK) 55,13 52,1 51,83 51,65 TDN (%BK) 68,71 67,77 66,75 67,86 Kursin (ppm)2 0 1 2 3

Keterangan : BETN (Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen) = 100% - (Kadar Abu + PK + LK + SK)

TDN (Total Digestible Nutrient) = 70,6 + 0,259PK + 1,01LK - 0,76SK + 0,0991BETN (Sutardi, 2003 dalam Irawan 2002)

Sumber : 1 Hasil Analisis Laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (2008)

2 Hasil Analisis Laboratorium Penelitian dan Pengembangan Pasca Panen Pertanian (2008)

Ekstrak kursin yang diperoleh dalam penelitian ini yaitu sebanyak 370 ml dari 250 g BBJP yang digunakan. Ekstrak tersebut diberikan dengan perbandingan volum / berat sampel ransum (ml/g). Jika ransum diberi 1% ekstrak kursin, artinya 1 g ransum diberi 0,01 ml ekstrak kursin. Setelah dilakukan perhitungan konversi terhadap pemakaian BBJP dalam ransum maka taraf ekstrak kursin 1%, 2% dan 3% masing-masing memiliki arti 0,67%; 1,33% dan 1,99% BBJP dalam ransum. Nilai

pemberian kursin ini lebih tinggi dibandingkan penelitian Ahmed dan Adam (1979) yang menggunakan 0,25% BBJP.

Ekstrak kursin yang diperoleh mengandung saponin (Uji Kualitatif Laboratorium Biofarmaka, 2008). Saponin dalam ekstrak kursin berasal dari BBJP. Makkar et al. (1997) menyatakan bahwa kandungan saponin dalam biji jarak cukup tinggi, berkisar 1,8-3,1% (equivalent diosgenin), sehingga sangat mungkin bila saponin ikut terekstrak dalam proses ekstraksi kursin.

Kandungan protein kasar dan TDN dalam penelitian ini berkisar 13,98 - 15,56% dan TDN 66,75 - 68,71%. Kandungan ini cukup dalam memenuhi kebutuhan akan protein pada ternak sapi perah dengan bobot badan ± 400 kg yaitu berkisar 11 - 17% dengan TDN 59,30 - 70,00% (NRC, 2001). Meningkatnya kandungan protein kasar seiring dengan bertambahnya taraf ekstrak kursin dalam ransum dikarenakan kandungan kursin yang merupakan glikoprotein memiliki molekul protein besar dan kompleks (Wikipedia, 2007a), sehingga protein ransum yang meningkat tersebut merupakan sumbangan dari molekul protein kursin.

Konsentrasi Amonia

Amonia merupakan sumber nitrogen utama bagi mikroba rumen karena amonia yang dibebaskan dalam rumen sebagian dimanfaatkan oleh mikroba untuk sintesis protein mikroba (Arora, 1995). Konsentrasi amonia tidak dipengaruhi oleh perbedaan cairan rumen ternak dan taraf kursin, akan tetapi dipengaruhi oleh waktu inkubasi. Efek interaksi perlakuan taraf kursin dengan perbedaan cairan rumen, taraf kursin dengan waktu inkubasi, perbedaan cairan rumen dengan waktu inkubasi dan interaksi ketiga faktor tidak berbeda nyata.

Hasil sidik ragam (Tabel 4) menunjukkan rataan konsentrasi amonia tidak berbeda nyata antar perlakuan taraf ekstrak kursin maupun antara cairan rumen sapi dan kerbau. Hal ini mengindikasikan bahwa secara garis besar mikroorganisme dalam cairan rumen sapi dan kerbau yang mempengaruhi laju fermentabilitas ransum memiliki toleransi yang sama terhadap ekstrak kursin BBJP hingga taraf 3% dalam ransum. Konsentrasi amonia pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian Ulya (2007) yang melaporkan bahwa konsentrasi amonia pada cairan rumen sapi dan kerbau yang diberi BBJP yaitu sebesar 10 mM dan 14 mM. Hal ini dikarenakan BBJP yang digunakan pada penelitian Ulya (2007) sebagai ransum

tunggal, sedangkan pada penelitian ini menggunakan ransum berupa konsentrat dan rumput gajah. Konsentrat memiliki kelarutan yang lebih cepat dan lebih optimal untuk didegradasi terutama oleh bakteri proteolitik. Makkar et al. (1998) melaporkan protein BBJP lebih sulit untuk didegradasi, karena kandungan serat kasar yang tinggi dan proses pemanasan saat ekstraksi minyak kemungkinan mengubah struktur protein (denaturasi) sehingga BBJP lebih sulit dicerna dibandingkan konsentrat.

Konsentrasi amonia antara ternak sapi dan kerbau tidak berbeda nyata. Hal ini menandakan bakteri rumen kedua ternak tersebut memiliki kemampuan yang sama dalam mendegradasi protein. Ulya (2007) menyatakan bahwa jumlah populasi bakteri proteolitik yang diberi BBJP pada cairan rumen sapi dan kerbau tidak berbeda nyata. Bakteri proteolitik sangat berperan dalam proses degradasi protein dalam rumen untuk menghasilkan amonia.

Tabel 4. Rataan Konsentrasi Amonia (mM) pada Ransum yang Diberi Perlakuan Ekstrak Kursin BBJP dari 0-3 Jam Waktu Inkubasi

Taraf Ekstrak Kursin dalam Ransum Faktor Perlakuan 0% 1% 2% 3% Rataan ± SD Sapi 0 jam 16,91 ± 7,05 18,78 ± 6,57 19,87 ± 6,57 21,59 ± 7,78 19,29 ± 1,96 Sapi 3 jam 24,62 ± 2,86 23,68 ± 3,00 23,83 ± 2,78 23,77 ± 2,14 23,97 ± 0,44 Rataan ± SD 20,77 ± 5,46 21,23 ± 3,46 21,85 ± 2,80 22,68 ± 1,54 21,63 ± 0,83 Kerbau 0 jam 15,67 ± 3,00 16,77 ± 4,25 17,20 ± 3,36 18,18 ± 4,88 16,96 ± 1,04 Kerbau 3 jam 27,29 ± 5,65 25,80 ± 2,12 25,49 ± 1,78 25,23 ± 3,87 25,95 ± 0,92 Cairan Rumen Rataan ± SD 21,48 ± 8,22 21,29 ± 6,38 21,35 ± 5,87 21,71 ± 4,99 21,46 ± 0,19 0 jam 16,29 ± 0,87 17,78 ± 1,42 18,53 ± 1,89 19,88 ± 2,41 18,12 ± 1,50A Waktu Inkubasi 3 jam 25,96 ± 1,89 24,74 ± 1,50 24,66 ± 1,18 24,50 ± 1,04 24,96 ± 0,67B Taraf Kursin Rataan ± SD 21,12 ± 6,84 21,26 ± 4,92 21,60 ± 4,33 22,19 ± 3,26 21,54 ± 0,48

Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom dan faktor perlakuan yang sama berbeda sangat nyata pada (P<0,01)

Perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) terjadi antara 0 dan 3 jam waktu inkubasi (Tabel 4). Di dalam rumen protein mengalami hidrolisa menjadi

oligopeptida oleh enzim protease yang dihasilkan bakteri rumen. Sebagian oligopeptida tersebut dihidrolisa lebih lanjut menjadi asam amino yang kemudian dirombak menjadi amonia (Sutardi, 1979). Semakin lama ransum diproses dalam saluran pencernaan maka semakin banyak amonia yang dihasilkan akibat perombakan protein, sehingga konsentrasi amonia pada waktu inkubasi 3 jam lebih tinggi daripada 0 jam. Ulya (2007) menyatakan peningkatan konsentrasi amonia yang diberi BBJP secara in vitro paling tinggi terjadi pada saat 3 jam waktu inkubasi dibandingkan 6, 9 dan 12 jam waktu inkubasi. Hal tersebut dikarenakan pada awal waktu inkubasi (3 jam) protein dalam ransum masih banyak, sehingga mikroba rumen dapat merombak protein dengan bebas dan amonia yang terbentuk akan lebih banyak dibandingkan setelah 3 jam waktu inkubasi, karena jumlah protein ransum semakin berkurang dan dengan sendirinya amonia yang terbentuk akan lebih sedikit. Oleh sebab itu dalam penelitian ini pengukuran konsentrasi amonia dilakukan pada 0 dan 3 jam waktu inkubasi, dengan harapan diperoleh hasil amonia yang maksimum.

Produksi amonia sendiri dipengaruhi oleh waktu setelah makan, umumnya produksi maksimum dicapai pada 2-4 jam setelah pemberian ransum tergantung pula kepada sumber protein yang digunakan serta mudah tidaknya protein tersebut didegradasi. Konsentrasi amonia yang optimum untuk menunjang sintesis protein mikroba dalam cairan rumen sangat bervariasi, berkisar antara 6-21 mM (McDonald

et al., 2002).

Amonia yang terbentuk dalam penelitian ini cukup tinggi. Peningkatan konsentrasi amonia yang tinggi dikarenakan dalam percobaan in vitro tidak terjadi penyerapan amonia oleh dinding rumen, N-recycling, pembuangan melalui urin dan terjadi lisis mikroba rumen yang dapat menambah jumlah amonia dalam tabung fermentor sehingga amonia terakumulasi. Sedangkan blanko (cairan rumen tanpa ransum) dari kedua jenis terbak sapi dan kerbau menghasilkan nilai konsentrasi amonia yang tidak jauh berbeda. Hal ini dapat disebabkan cairan rumen sapi berasal dari RPH dimana ternak tersebut telah dipuasakan terlebih dahulu selama 2 hari sebelum dipotong, sedangkan cairan rumen kerbau yang digunakan pada penelitian ini berasal dari ternak berfistula yang diberi pakan rumput dan sedikit konsentrat, dari hal tersebut maka kemungkinan pengaruh dari pakan sebelumnya yang berbeda antara kedua jenis ternak sapi dan kerbau sangat kecil.

Konsentrasi VFA

Hasil pencernaan karbohidrat dalam rumen adalah VFA yang merupakan produk akhir fermentasi karbohidrat berupa asetat, propionat, dan butirat serta gas CH4 dan CO2 sebagai hasil samping (Arora, 1995). VFA merupakan sumber energi utama bagi ternak ruminansia melalui proses glukoneogenesis yaitu diserapnya VFA (khususnya propionat) ke dalam sistem peredaran darah yang kemudian diubah oleh hati menjadi gula darah. Gula darah inilah yang akan mensuplai sebagian besar kebutuhan energi bagi ternak ruminansia (Lehninger, 1982). Bersama-sama amonia, VFA merupakan bahan utama pembentukan protein mikroba (Sutardi,1980).

Tabel 5. Rataan Konsentrasi VFA (mM) pada Ransum yang Diberi Perlakuan Ekstrak Kursin BBJP dari 0-3 Jam Waktu Inkubasi

Taraf Ekstrak Kursin dalam Ransum Faktor Perlakuan 0% 1% 2% 3% Rataan ± SD Sapi 0 jam 135,24 ± 35,19 140,30 ± 16,60 145,90 ± 20,09 153,99 ± 27,33 143,86 ± 8,04 Sapi 3 jam 155,86 ± 8,07 161,20 ± 23,61 163,93 ± 4,50 169,09 ± 31,87 162,52 ± 5,51 Rataan ± SD 145,55 ± 14,58 150,75 ± 14,78 154,92 ± 12,75 161,54 ± 10,67 153,19 ± 6,76 Kerbau 0 jam 146,08 ± 27,11 153,96 ± 20,57 155,12 ± 12,48 162,46 ± 23,84 154,41 ± 6,71 Kerbau 3 jam 162,08 ± 10,79 167,62 ± 12,25 171,77 ± 10,74 173,85 ± 14,94 168,83 ± 5,19 Cairan Rumen Rataan ± SD 154,08 ± 11,32 160,79 ± 9,66 163,45 ± 11,77 168,15 ± 8,05 161,62 ± 5,87 0 jam 140,66 ± 7,66 147,13 ± 9,66 150,51 ± 6,52 158,23 ± 5,99 149,13 ± 7,31a Waktu Inkubasi 3 jam 158,97 ± 4,40 164,41 ± 4,54 167,85 ± 5,55 171,47 ± 3,37 165,68 ± 5,32b Taraf Kursin Rataan ± SD 149,82 ± 12,95 155,77 ± 12,22 159,18 ± 12,26 164,85 ± 9,36 157,40 ± 6,29

Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom dan faktor perlakuan yang sama berbeda nyata pada (P<0,05)

Hasil sidik ragam menunjukkan tidak ada pengaruh yang nyata antara penambahan ekstrak kursin dalam ransum, perbedaan antara cairan rumen ternak sapi dan kerbau, namun perbedaan waktu inkubasi berpengaruh nyata terhadap konsentrasi VFA, sedangkan efek interaksi perlakuan taraf kursin dengan perbedaan cairan rumen, taraf kursin dengan waktu inkubasi, perbedaan cairan rumen dengan waktu inkubasi dan interaksi ketiga faktor tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan antara ternak kerbau dan sapi baik penambahan ekstrak kursin sampai taraf 3%

ataupun tanpa pemberian ekstrak kursin memberikan respon yang sama untuk menghasilkan VFA. Mikroba ternak sapi dan kerbau mampu mentolerir keberadaan kursin BBJP dalam ransum sampai taraf 3% ekstrak kursin atau setara dengan pemberian 1,99% BBJP dalam ransum. Nilai ini ternyata lebih kecil daripada percobaan Makkar et al. (1998) yang membuktikan bahwa penggunaan BBJP sebanyak 0,65 g varietas Cape Verde tidak berpengaruh terhadap laju fermentabilitas mikroba rumen secara in vitro.

Konsentrasi VFA cairan rumen sapi tidak berbeda nyata dengan konsentrasi VFA cairan rumen kerbau (Tabel 5). Padahal bila ditinjau dari populasi bakteri total cairan rumen sapi sangat nyata lebih rendah dibandingkan kerbau (Tabel 6). Hal ini dapat dikarenakan VFA sudah digunakan oleh bakteri untuk pertumbuhannya, sehingga jumlah konsentrasinya tidak berbeda nyata. Penggunaan VFA oleh bakteri untuk pertumbuhannya pada cairan rumen kerbau lebih banyak dibandingkan sapi. Hal tersebut merupakan suatu yang wajar karena bakteri total pada rumen kerbau sangat nyata lebih banyak daripada bakteri total dalam rumen sapi (Tabel 6), sehingga VFA yang dibutuhkan untuk pertumbuhan bakteri rumen kerbau akan lebih banyak juga. Arora (1995) menjelaskan bahwa VFA dan amonia sangat diperlukan untuk sintesis protein pada pertumbuhan bakteri, karena sintesis protein dan asam amino sangat membutuhkan gugus karboksil dan amino, kedua gugus tersebut dapat diperoleh dari VFA dan amonia. Kisaran nilai VFA pada penelitian ini yaitu 130-165 mM, nilai ini cukup untuk menunjang pertumbuhan optimal mikroba rumen yaitu 80-160 mM (Sutardi, 1979).

Hasil analisis data menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) terjadi pada waktu inkubasi 0 dan 3 jam. Sama halnya seperti amonia, semakin lama ransum didegradasi dalam rumen maka VFA yang dihasilkan akan semakin banyak. Hasil ini sejalan dengan Ulya (2007) yang menyatakan bahwa kosentrasi VFA yang diberi BBJP secara in vitro semakin meningkat seiring dengan meningkatnya waktu inkubasi.

Populasi Bakteri Total

Mikroorganisme yang ada di dalam rumen dapat hidup dan melakukan aktivitasnya apabila kondisi lingkungannya mendukung. Populasi mikroba rumen secara umum ditentukan oleh tipe ransum yang dikonsumsi ternak. Adanya bakteri

dalam rumen menyebabkan ruminansia dapat mencerna ransum berkadar serat kasar tinggi, mampu mengubah NPN seperti urea menjadi protein berkualitas tinggi (Sutardi, 1980).

Hasil sidik ragam (Tabel 6) menunjukkan bakteri total dalam cairan rumen tidak dipengaruhi oleh taraf kursin dalam ransum, namun dipengaruhi oleh perbedaan cairan rumen ternak dan waktu inkubasi. Efek interaksi perlakuan taraf kursin dengan perbedaan cairan rumen, taraf kursin dengan waktu inkubasi, perbedaan cairan rumen dengan waktu inkubasi dan interaksi ketiga faktor tidak nyata.

Rataan populasi bakteri total tidak berbeda nyata antar perlakuan ekstrak kursin dalam ransum. Hasil ini menunjukkan bahwa mikroba rumen dapat mentolerir ekstrak kursin BBJP sampai taraf 3% dalam ransum. Kursin diduga memiliki mekanisme yang sama seperti risin yaitu dapat menempel pada membran sel yang mengandung glikolipid dan glikoprotein (Hadi, 2008). Walaupun bakteri memiliki membran sel yang mengandung glikolipid dan glikoprotein sama halnya seperti eukariotik, namun komponen membrannya tidak sama. Membran sel prokariotik terdiri dari asam lemak jenuh yang lebih stabil, sedangkan eukariotik terdiri dari asam lemak tak jenuh yang mudah berikatan. Hal inilah yang mengkibatkan kursin tidak menyerang sel bakteri, karena kursin hanya akan mengikat struktur spesifik tertentu (Wikipedia, 2007a). Hal ini diperkuat oleh Lehninger (1982) yang menyebutkan sel prokariotik seperti bakteri memiliki kemampuan kemotaksis yaitu tertarik ataupun menjauh dari senyawa kimia tertentu, sehingga bakteri akan bergerak menjauhi senyawa toksik, dengan sendirinya bakteri terbebas dari infeksi rusaknya ribosom oleh kursin.

Namun ada kemungkinan lain yaitu adanya periode adaptasi bakteri rumen terhadap kursin sehingga meningkatnya resistensi sekaligus dapat mendetoksifikasi racun kursin tersebut (Odenyo et al., 1999). Hal tersebut dapat pula terjadi mengingat pada penelitian Nurbaeti (2007) memaparkan bahwa BBJP yang difermentasi dengan

Rhizopus oligosporus menghasilkan asupan protein paling tinggi dibandingkan BBJP dengan perlakuan fisik dan kimia. Hal ini menandakan bahwa enzim protease yang dimiliki Rhizopus oligosporus (enzim tersebut juga dihasilkan oleh bakteri proteolitik pada rumen) dapat mendegradasi kursin dan tidak membahayakan bakteri saluran

pencernaan. Makkar dan Becker (2004) juga menyebutkan bahwa BBJP asal Mexico yang tidak mengandung phorbolester, namun masih mengandung lektin tidak berpengaruh buruk sebagai pakan ikan. Nilai nutrien BBJP dari tanaman jarak Mexico ini cukup tinggi dan berpotensi untuk dijadikan pakan monogastrik dan ikan. Tabel 6. Rataan Populasi Bakteri Total (x108 CFU/ml) pada Ransum yang Diberi Perlakuan Ekstrak Kursin BBJP dari 0-3 Jam Waktu Inkubasi

Taraf Ekstrak Kursin dalam Ransum Faktor Perlakuan 0% 1% 2% 3% Rataan ± SD Sapi 0 jam 0,31 ± 0,21 0,24 ± 0,14 0,23 ± 0,15 0,21 ± 0,14 0,25 ± 0,04 Sapi 3 jam 0,36 ± 0,21 0,29 ± 0,18 0,25 ± 0,13 0,21 ± 0,17 0,27 ± 0,06 Rataan ± SD 0,33 ± 0,03 0,26 ± 0,04 0,24 ± 0,01 0,21 ± 0,00 0,26 ± 0,05A Kerbau 0 jam 0,56 ± 0,33 0,51 ± 0,28 0,61 ± 0,42 0,40 ± 0,21 0,52 ± 0,09 Kerbau 3 jam 2,68 ± 0,84 2,41 ± 1,95 0,92 ± 0,43 1,03 ± 0,84 1,76 ± 0,92 Cairan Rumen Rataan ± SD 1,62 ± 1,50 1,46 ± 1,35 0,76 ± 0,22 0,72 ± 0,44 1,14 ± 0,47B 0 jam 0,43 ± 0,18 0,37 ± 0,19 0,42 ± 0,27 0,31 ± 0,14 0,38 ± 0,06A Waktu Inkubasi 3 jam 1,52 ± 1,65 1,35 ± 1,50 0,58 ± 0,47 0,62 ± 0,58 1,02 ± 0,49B Taraf Kursin Rataan ± SD 0,98 ± 0,77 0,86 ± 0,69 0,50 ± 0,11 0,46 ± 0,22 0,70 ± 0,26

Keterangan: Superskrip huruf yang berbeda pada kolom dan faktor perlakuan yang sama berbeda sangat nyata pada (P<0,01)

Secara keseluruhan dilihat dari rataan bakteri total cairan rumen sapi sangat nyata (P<0,01) lebih rendah daripada cairan rumen kerbau. Hasil ini sudah terlihat jelas dari awal 0 jam waktu inkubasi kedua cairan rumen ini memiliki jumlah populasi bakteri total yang sangat berbeda. Hal tersebut menandakan bahwa kerbau lebih toleran terhadap kursin BBJP. Ruangprim et al. (2007) menyatakan bahwa populasi bakteri total dalam cairan rumen sapi lebih rendah daripada populasi bakteri total dalam cairan rumen kerbau. Hal tersebut terjadi juga dalam penelitian Ulya (2007) yang menyebutkan bahwa bakteri proteolitik dalam rumen kerbau yang diberi BBJP cenderung lebih tinggi dibandingkan bakteri proteolitik rumen sapi, dan pada penelitian Dewi (2007) yang menggunakan BBJP sebagai ransum tunggal

secara in vitro menyebutkan bahwa terjadinya peningkatan populasi bakteri total dalam rumen kerbau, sedangkan dalam rumen sapi terjadi penurunan setelah 24 jam waktu inkubasi. Hal tersebut menandakan bahwa kerbau lebih toleran terhadap antinutrisi dalam BBJP. Pradhan (1994) menambahkan bahwa aktivitas bakteri total, proteolitik dan amilolitik pada cairan rumen kerbau lebih tinggi daripada cairan rumen sapi. Populasi bakteri total yang lebih banyak dapat mempercepat proses adaptasi ransum terhadap racun kursin dan meningkatkan laju degradasi ransum.

Setelah 3 jam waktu inkubasi sangat nyata (P<0,01) meningkatkan populasi bakteri total. Hal ini mengindikasikan bahwa secara umum bakteri total dalam cairan rumen sapi dan kerbau mampu memanfaatkan amonia dan VFA untuk pertumbuhannya. Hasil ini tercermin dari konsentrasi VFA pada 0 jam waktu inkubasi nyata (P<0,05) lebih rendah daripada 3 jam waktu inkubasi (Tabel. 5). Hal tersebut saling berkaitan erat karena bakteri yang semakin banyak dapat mempercepat proses degradasi ransum sehingga hasil degradasi berupa VFA akan turut meningkat. Arora (1995) menjelaskan bahwa amonia dan VFA merupakan sumber utama bagi bakteri rumen untuk pembentukan protein bakteri. Seiring dengan semakin banyaknya VFA yang terbentuk akan meningkatkan jumlah bakteri.

Populasi Protozoa Total

Peranan protozoa saat ini masih dipertanyakan keberadaannya di dalam sistem pencernaan. Sebagian ahli nutrisi ruminansia menganggap bahwa protozoa dan bakteri bersaing dalam menggunakan ransum. Protozoa akan memangsa bakteri sebagai sumber protein untuk kehidupannya sehingga jumlah bakteri sebagai pencerna partikel ransum dalam rumen akan berkurang (Arora, 1995). Namun sebagian ahli berpendapat lain, yaitu protozoa penting keberadaannya karena dapat menstabilkan pH saat fermentasi berlangsung sehingga dapat berfungsi sebagai penyangga, karena mempunyai kemampuan memecah pati lebih lama dibandingkan dengan bakteri (Jouany dan Ushida, 1989). Jumlah populasi protozoa pada cairan rumen ternak sapi dan kerbau di Thailand secara normal berkisar 105 sel/ml (Ruangprim et al., 2007). Kisaran ini sama dengan kisaran jumlah populasi protozoa cairan rumen sapi dan kerbau dalam penelitian ini.

Populasi protozoa dipengaruhi oleh taraf kursin, dan perbedaan cairan rumen ternak, sedangkan waktu inkubasi tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Efek

interaksi perlakuan taraf kursin dengan perbedaan cairan rumen, taraf kursin dengan waktu inkubasi, perbedaan cairan rumen dengan waktu inkubasi dan interaksi ketiga faktor tidak berbeda nyata.

Tabel 7. Rataan Populasi Protozoa Total (x 105 sel/ml) pada Ransum yang Diberi Perlakuan Ekstrak Kursin BBJP dari 0-3 Jam Waktu Inkubasi

Taraf Ekstrak Kursin dalam Ransum Faktor Perlakuan 0% 1% 2% 3% Rataan ± SD Sapi 0 jam 0,66 ± 0,47 0,49 ± 0,31 0,41 ± 0,23 0,33 ± 0,17 0,47 ± 0,14 Sapi 3 jam 0,69 ± 0,36 0,48 ± 0,18 0,41 ± 0,18 0,35 ± 0,21 0,48 ± 0,15 Rataan ± SD 0,68 ± 0,02 0,48 ± 0,00 0,41 ± 0,00 0,34 ± 0,01 0,48 ± 0,15A Kerbau 0 jam 0,83 ± 0,29 0,77 ± 0,28 0,70 ± 0,24 0,70 ± 0,20 0,75 ± 0,06 Kerbau 3 jam 0,93 ± 0,28 0,83 ± 0,19 0,75 ± 0,15 0,67 ± 0,11 0,80 ± 0,11 Cairan Rumen Rataan ± SD 0,88 ± 0,07 0,80 ± 0,05 0,72 ± 0,03 0,69 ± 0,02 0,77 ± 0,08B 0 jam 0,74 ± 0,12 0,63 ± 0,20 0,56 ± 0,20 0,51 ± 0,26 0,61 ± 0,10 Waktu Inkubasi 3 jam 0,81 ± 0,16 0,66 ± 0,25 0,58 ± 0,24 0,51 ± 0,23 0,64 ± 0,13 Taraf Kursin Rataan ± SD 0,78 ± 0,05 Aa 0,64 ± 0,02Ab 0,57 ± 0,02Bc 0,51 ± 0,00Bc 0,62 ± 0,11 Keterangan: Superskrip huruf besar yang berbeda pada kolom dan faktor perlakuan yang sama berbeda sangat

nyata pada (P<0,01)

Superskrip huruf kecil yang berbeda pada baris dan faktor perlakuan yang sama berbeda pada nyata (P<0,05)

Hasil sidik ragam menunjukkan populasi protozoa semakin menurun seiring dengan bertambahnya taraf ekstrak kursin ke dalam ransum. Uji kontras ortogonal memperlihatkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) antara perlakuan ekstrak kursin. Penurunan populasi protozoa kemungkinan dapat disebabkan oleh kandungan kursin yang semakin banyak dalam ransum mengakibatkan protozoa tidak mampu bertahan. Mekanisme kursin hampir sama dengan risin yaitu adanya dua rantai yang saling berikatan dimana rantai pertama berperan untuk mengikat senyawa sejenis glikoprotein atau glikolipid. Sebagaimana telah diketahui bahwa protozoa merupakan jenis makhluk protista tinggi atau yang biasa dikenal dengan eukariotik yang memiliki membran dengan komposisi glikoprotein dan glikolipid tak jenuh sehingga

lebih mudah berikatan (Fardiaz, 1992). Rantai pertama dari kursin akan masuk dan berikatan dengan membran sel, sedangkan rantai kedua akan terlepas dari rantai pertama dan berikatan dengan ribosom. Tidak seperti rantai pertama, rantai ke dua bersifat “sangat jahat”. Rantai kedua tersebut akan menginaktivasi ribosom sehingga sintesis protein tidak akan berlangsung, dengan demikian sel akan segera mati (Hadi, 2008). Hal ini diperkuat dengan kemampuan sel eukariotik memakan lebih banyak zat makanan serta tidak memiliki kemampuan kemotaksis yang tinggi seperti bakteri (Lehninger, 1982).

Hal senada dipaparkan juga oleh Juan et al. (2002) yang menyebutkan bahwa kursin merupakan senyawa toksin dari tanaman yang dapat menghambat sintesis protein pada sel eukariotik dan menjadi katalis perusak ribosom. Terbukti dalam penelitian ini bahwa semakin banyak kursin diberikan ke dalam ransum maka sangat nyata semakin banyak protozoa yang tidak mampu bertahan hidup yang disebabkan senyawa kursin secara kuat merusak ribosom sehingga menghambat sintesis protein (Tabel 7).

Penurunan protozoa diakibatkan oleh kandungan saponin yang tinggi dalam biji jarak yang ikut tercampur dalam ekstrak kursin BBJP (Makkar et al., 1998). Saponin merupakan steroid yang terbukti dapat menurunkan populasi protozoa walaupun hanya sebanyak 0,1% dalam ransum. Saponin dapat meningkatkan tegangan permukaan dari membran protozoa yang mengandung kolesterol, sehingga membran rusak dan mengakibatkan lisisnya protozoa. Namun beberapa penelitian mengungkapkan bahwa setelah 10 hari pemberian ransum yang mengandung saponin maka populasi protozoa akan kembali normal akibat adanya proses adaptasi (Becker

et al., 2005).

Hasil dari penelitian ini yaitu rataan populasi protozoa cairan rumen kerbau sangat nyata (P<0,01) lebih tinggi dibandingkan cairan rumen sapi. Protozoa dalam cairan rumen kerbau memiliki ketahanan yang lebih kuat terhadap ekstrak kursin BBJP daripada protozoa rumen sapi. Hasil ini dikarenakan pada cairan rumen awal jumlah populasi protozoa rumen kerbau sudah lebih banyak daripada rumen sapi, sehingga dapat mempercepat proses adaptasi terhadap kursin. Bhatia et al. (1980) menyatakan bahwa jumlah populasi protozoa cairan rumen kerbau lebih tinggi

daripada cairan rumen sapi dan aktivitas enzim dari mikroba rumen kerbau lebih tinggi daripada sapi (Pradhan, 1994).

Perbedaan waktu inkubasi tidak berbeda nyata, namun rataan menunjukkan tidak terjadi penurunan populasi protozoa setelah 3 jam waktu inkubasi. Hal ini menandakan protozoa masih dapat mentolerir keberadaan kursin karena tidak mengalami penurunan setelah 3 jam waktu inkubasi. Hasil ini sejalan dengan Ulya (2007) yang menyatakan bahwa pemberian BBJP ke dalam cairan rumem sapi dan kerbau tidak menurunkan populasi protozoa setelah 3 jam waktu inkubasi.

Kecernaan Bahan Kering (KCBK)

Kecernaan bahan kering merupakan salah satu indikator untuk menentukan kualitas ransum. Semakin tinggi kecernaan bahan kering maka semakin tinggi pula peluang nutrisi yang dapat dimanfaatkan ternak untuk pertumbuhannya. Rataan nilai kecernaan bahan kering dari ransum yang diberi perlakuan kursin BBJP dapat dilihat pada Tabel 8.

Nilai kecernaan bahan kering (KCBK) tidak dipengaruhi oleh perlakuan taraf ekstrak kursin dalam ransum tetapi dipengaruhi oleh perbedaan sumber cairan rumen ternak. Adapun interaksi antara perlakuan taraf ekstrak kursin dengan cairan rumen ternak tidak berbeda nyata. Tidak berpengaruhnya kursin dalam ransum menunjukkan bahwa secara in vitro kursin BBJP tidak mempengaruhi lajunya kecernaan ransum oleh mikroba rumen. Bakteri total dalam rumen cenderung mengalami peningkatan populasi selama 3 jam inkubasi. Setelah 3 jam waktu inkubasi populasi bakteri total stabil sehingga nilai KCBK tidak mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan adanya penyesuaian atau adaptasi mikroba rumen

Dokumen terkait