• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mengacu pada Tabel 2 (halaman 10), kandungan nutrisi ransum penelitian hasil analisa berbeda dengan hasil perhitungan yang disusun berdasarkan NRC (1994). Kandungan protein kasar ransum P1 lebih tinggi 1,2%, serat kasar 5,21% dari perhitungan menggunakan NRC (1994), sedangkan kandungan fosfor dan lemak kasar P1 lebih rendah 1,1% dan 49,39% dibandingkan dengan perhitungan NRC (1994). Pada ransum P2 kandungan serat kasar lebih tinggi 15,33%, dan fosfor 1,1% dibandingkan dengan perhitungan NRC (1994), namun kandungan protein kasar, lemak kasar dan kalsium P2 lebih rendah sebesar 4,19%, 53,82% dan 1,25% dibandingkan dengan perhitungan menurut NRC (1994). Ransum P3 mengandung protein kasar 0,56% dan fosfor 3,22% lebih tinggi dibandingkan dengan perhitungan berdasarkan NRC (1994). Kandungan lemak kasar, serat kasar dan kalsium ransum P3 masing-masing lebih rendah 57,85%, 0,59% dan 2,94% dibandingkan dengan perhitungan NRC (1994). Hal ini disebabkan adanya perbedaan varietas bahan baku yang digunakan.

Nilai energi bruto ransum yang mengandung dedak padi 13% (P1) adalah sebesar 4.085 kkal/kg. Ransum tersebut mempunyai nilai energi bruto lebih tinggi dibandingkan dengan ransum yang mengandung limbah restoran yaitu sebesar 4.002 kkal/kg (P2) dan 3.940 kkal/kg (P3). Besarnya energi bruto ransum dapat disebabkan oleh komposisi energi bruto masing-masing bahan yang digunakan. Serat kasar ransum penelitian berkisar antara 3,38-4,37%. Nilai serat kasar tersebut masih dapat ditolerir oleh ayam broiler. Menurut Leeson dan Summers (2001) serat kasar yang masih mampu ditolerir oleh ayam adalah berkisar antara 4-10%.

Kandungan Ca ransum penelitian hasil analisa adalah berkisar antara 1,5-1,65%. Kebutuhan Ca pada ayam broiler untuk pertumbuhan optimum adalah 1% untuk umur 0-3 minggu, 0,9% untuk umur 3-6 minggu dan 0,8% untuk umur 6-8 minggu. Kadar Ca dalam pakan berpengaruh terhadap bobot badan ayam (D’Mello, 2000), karena kadar Ca yang lebih tinggi dari 1% dapat menurunkan efisiensi penggunaan makanan (feed utilization) dan menghambat pertumbuhan (Pilliang, 2004). Kamal (1981) menyatakan bahwa kalsium yang berlebih dapat menurunkan

dalam transpor asam amino ke dalam darah dan merupakan pemborosan energi karena kalsium berlebih akan bergabung dengan fosfor membentuk trikalsiumfosfat yang tidak dapat larut dan keluar melalui ekskreta yang menyebabkan defisiensi unsur fosfor (Anggorodi, 1979). Kandungan fosfor tersedia ransum penelitian adalah berkisar antara 0,89-0,9%. Rekomendasi NRC (1994) tentang fosfor tersedia adalah untuk umur 0-3 minggu sebesar 0,45%, umur 3-6 minggu 0,35% dan umur 6-8 minggu sebesar 0,3%. Leeson dan Summers (2001) menyatakan bahwa fosfor berperan dalam metabolisme karbohidrat dan lemak. Pilliang (2004) menyatakan bahwa fosfor berperan dalam beberapa fungsi metabolik diantaranya utilisasi energi, pembentukan fosfolipid, metabolisme asam-asam amino dan proses pembentukan protein, merupakan komponen dan aktifator enzim serta penting untuk efisiensi penggunaan ransum. Dalam penyusunan ransum hendaknya memperhatikan perbandingan antara Ca dan P agar proses penyerapan nutrisi dapat maksimal. Perbandingan antara Ca dan P ransum penelitian adalah 1,69:1 (P1), 1,74:1 (P2) dan 1,77:1 (P3). Perbandingan Ca dan P yang direkomendasikan oleh McDowell (1992) adalah 1:1 sampai 2:1. Menurut NRC (1994) perbandingan Ca dan P yang baik adalah 2:1. Perbandingan Ca dan P ransum penelitian sudah sesuai dengan McDowell (1992).

Pengaruh Perlakuan Terhadap Konsumsi dan Ekskresi Energi

Banyaknya energi yang dimetabolis oleh tubuh ayam dapat diketahui dengan mengurangi konsumsi energi yang diberikan dengan jumlah energi yang dikeluarkan melalui ekskreta. Menurut Wahju (1997) tingkat energi dalam ransum merupakan faktor yang menentukan banyaknya makanan yang dikonsumsi oleh ternak, karena ayam mengkonsumsi makanan untuk memenuhi energinya. Konsumsi energi berpengaruh terhadap kontrol pertumbuhan (Leeson dan Summers, 2001). Data rataan konsumsi dan ekskresi energi disajikan pada Tabel 3 dan Tabel 4.

Tabel 3. Rataan Jumlah Konsumsi Energi Bruto (kkal/ekor) Ransum Penelitian Ulangan Perlakuan P1 P2 P3 1 109,80 109,64 105,66 2 109,80 109,64 105,66 3 109,80 109,64 105,66 4 109,80 109,64 105,66 Rataan 109,80 109,64 105,66 Keterangan : Konsumsi ransum 20 g/ekor (P1), 20 g/ekor (P2), 20 g/ekor(P3)

P1 = Ransum dengan komposisi dedak padi : limbah restoran 13% : 0% P2 = Ransum dengan komposisi dedak padi : limbah restoran 6,2% : 6,2% P3 = Ransum dengan komposisi dedak padi : limbah restoran 0% : 12%

Tabel 4. Rataan Jumlah Ekskresi Energi (kkal/ekor) Ransum Penelitian Ulangan Perlakuan P1 P2 P3 1 25,44 30,73 28,48 2 22,53 27,13 25,61 3 29,81 35,04 24,90 4 26,47 32,52 26,37 Rataan 26,06±3,00 31,36±3,33 26,34±1,55 Keterangan : P1 = Ransum dengan komposisi dedak padi : limbah restoran 13% : 0%

P2 = Ransum dengan komposisi dedak padi : limbah restoran 6,2% : 6,2% P3 = Ransum dengan komposisi dedak padi : limbah restoran 0% : 12%

Berdasarkan data pada Tabel 3 dan 4, terlihat bahwa nilai konsumsi energi lebih besar dibandingkan dengan nilai ekskresi energi. Hal ini menandakan bahwa adanya energi yang dimetabolis oleh ayam guna menjalankan fungsi-fungsi tubuh dan untuk memperlancar reaksi-reaksi sintesis dalam tubuh. Zat-zat makanan yang menjadi sumber energi adalah karbohidrat, protein dan lemak (Wahju, 1997). Menurut Parakkasi (1990) energi merupakan komponen yang dibutuhkan dalam proses metabolisme yang terjadi pada tubuh ternak.

Rataan ekskresi energi P1, P2 dan P3 berturut-turut adalah 26,06; 31,36 dan 26,34 kkal/ekor. Berdasarkan analisa sidik ragam menunjukan bahwa penggunaan

terhadap nilai ekskresi energi. Nilai ekskresi merupakan acuan dari jumlah pakan yang dapat dicerna atau menunjukan kemampuan ternak dalam mencerna makanan. Tillman et al. (1998) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi daya cerna ransum adalah komposisi makanan, daya cerna semu protein kasar, lemak, keseimbangan komposisi zat makanan dalam ransum, cara penyajian ransum, faktor hewan dan jumlah pakan yang dikonsumsi. Semakin banyak jumlah pakan yang tidak dapat dicerna maka ekskresi energinya semakin meningkat (Prasetyo, 2002). Energi bruto yang terkandung dalam pakan tidak menjamin terpenuhinya kebutuhan ternak, karena zat nutrisi yang terkandung didalamnya tidak dapat seluruhnya dicerna dan diserap oleh tubuh (Pond et al., 1995).

Pengaruh Perlakuan Terhadap Energi Metabolis Energi Metabolis Semu (EMS) dan Energi Metabolis Murni (EMM)

Kandungan energi suatu bahan makanan memegang peranan penting dalam menentukan nilai gizi makanan tersebut. Menurut Pond et al. (1995) energi metabolis digunakan untuk mengevaluasi pakan. Energi metabolis adalah pengurangan energi yang dapat dicerna dengan energi yang hilang dalam urin dan feses (Wahju, 1997). Rataan Energi Metabolis Semu (EMS) dan Energi Metabolis Murni (EMM) hasil penelitian disajikan pada Tabel 5 dan Tabel 6.

Tabel 5. Rataan Energi Metabolis Semu (EMS)(kkal/kg) Ransum Penelitian Ulangan Perlakuan P1 P2 P3 1 3.637,77 3.370,80 3.332,47 2 3.763,26 3.524,56 3.456,39 3 3.449,33 3.186,67 3.487,05 4 3.593,36 3.294,32 3.423,58 Rataan 3.610,93±129,55b 3.344,08±142,06a 3.424,87±66,83a Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan perbedaan yang nyata

(P<0,05)

P1 = Ransum dengan komposisi dedak padi : limbah restoran 13% : 0% P2 = Ransum dengan komposisi dedak padi : limbah restoran 6,2% : 6,2% P3 = Ransum dengan komposisi dedak padi : limbah restoran 0% : 12%

Tabel 6. Rataan Energi Metabolis Murni (EMM)(kkal/kg) Ransum Penelitian Ulangan Perlakuan P1 P2 P3 1 4.170,76 3.898,76 3.866,15 2 4.296,25 4.052,54 3.990,07 3 3.982,32 3.714,65 4.020,73 4 4.126,35 3.822,30 3.957,25 Rataan 4.143,92±129,55b 3.872,06±142,06a 3.958,55±66,83a Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan perbedaan yang nyata

(P<0,05)

P1 = Ransum dengan komposisi dedak padi : limbah restoran 13% : 0% P2 = Ransum dengan komposisi dedak padi : limbah restoran 6,2% : 6,2% P3 = Ransum dengan komposisi dedak padi : limbah restoran 0% : 12%

Berdasarkan Tabel 5 dan Tabel 6 rata-rata kandungan EMS dan EMM ransum perlakuan yang mengandung limbah restoran dalam ransum nyata (P<0,05) lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan penggunaan dedak padi dalam ransum. Hal ini menandakan bahwa penggunaan limbah restoran belum mampu menggantikan dedak padi dalam ransum. Besarnya kandungan EMS dan EMM pada ransum yang menggunakan dedak padi dalam ransum disebabkan oleh rendahnya ekskresi energi dan tingginya nilai energi bruto dedak padi dibandingkan dengan limbah restoran. Rendahnya kandungan energi yang dimiliki oleh ransum yang mengandung limbah restoran disebabkan kesalahan yang terjadi pada saat pengolahan limbah restoran. Suhu pengolahan limbah restoran adalah berkisar atara 70-80 oC. Menurut Winarno et al. (1980) setiap kenaikan suhu 10 oC pada kisaran suhu 10-38 oC kecepatan reaksi baik itu reaksi enzimatik maupun reaksi non enzimatik rata-rata akan bertambah 2 kali lipat.

Pemanasan bahan yang terlalu tinggi dapat menyebabkan kerusakan pada protein (denaturasi), vitamin dan lemak bahan tersebut. Sumber energi berasal dari karbohidrat, protein dan lemak (Tillman et al., 1998). Menurut Apriyantono (2002) bahwa pada suhu di atas 60-90 oC protein mengalami proses yang dikenal sebagai proses denaturasi. Denaturasi protein yang berlebihan dapat menurunkan sifat-sifat fungsional dari protein menurun, dimana telah diketahui bahwa protein diperlukan untuk pertumbuhan dan merupakan bagian semua enzim dalam tubuh. Enzim

mempercepat reaksi-reaksi biokomia dalam tubuh. Dengan berkurangnya fungsi dari protein maka akan mengakibatkan reaksi-reaksi biokimia dalam tubuh menjadi lambat dan pada akhirnya pertumbuhan pada unggas terhambat.

Tingginya suhu pengolahan limbah restoran juga dapat mengakibatkan terjadi proses pencoklatan atau maillard. Menurut Winarno (1997) maillard merupakan suatu reaksi dimana gula pereduksi dan gugus amina primer berinteraksi yang dapat menurunkan kualitas bahan. Reaksi maillard ini biasanya terjadi pada pengolahan bahan dengan suhu di atas 44 oC (Sapienza dan Bolsen, 1993). Proses maillard

menurunkan atau merusak kandungan nutrisi bahan khususnya nilai protein bahan, hal ini tentu saja berpengaruh terhadap jumlah nutrisi yang diserap (Prasetyo, 2002). Suhu pengolahan pangan yang baik menurut Winarno (1997) sekitar 60 oC. Pada suhu ini bakteri, kapang dan jamur tidak dapat tumbuh serta tidak akan terjadi denaturasi protein Rusaknya komponen zat makanan dari limbah restoran menyebabkan kandungan energi limbah restoran rendah. Jumlah energi yang dapat dimanfaatkan sewaktu ransum masuk ke dalam tubuh unggas tergantung komposisi bahan makanan dalam ransum, spesies, faktor genetik. umur unggas dan faktor lingkungan (Amrullah, 2004).

Nilai EMM yang diperoleh dari hasil penelitian adalah berkisar antara 3.872,06-4.143,92 kkal/kg. Nilai EMM ini lebih besar dibandingkan nilai EMS hasil penelitian yang berkisar antara 3.344,08-3.610,93 kkal/kg. Hal ini disebabkan pada energi metabolis murni memperhitungkan jumlah energi endogenus yang berasal dari jaringan alat pencernaan yang aus, cairan empedu dan enzim-enzim sisa metabolisme yang dikeluarkan melalui feses (Sibbald, 1980). Metabolic fecal dan endogenous urinary atau energi endogenus berasal dari katabolisme jaringan tubuh untuk kebutuhan hidup pokok pada saat dipusakan dan sebagian lagi berasal dari produk akhir yang mengandung nitrogen (Wolynetz dan Sibbald, 1984). EMS tidak memperhitungkan metabolic fecal dan endogenous urinary (Sibbald, 1989).

Energi Metabolis Semu Terkoreksi Nitrogen (EMSn) dan Energi Metabolis Murni Terkoreksi Nitrogen (EMMn).

. Perubahan tingkat protein ransum yang diberikan pada unggas dapat menyebabkan perbedaan nitrogen yang diretensi sehingga menghasilkan perbedaan dalam nilai energi metabolis. Retensi nitrogen adalah hasil pengurangan antara

nitrogen yang dikonsumsi dengan nitrogen yang hilang melalui ekskreta. Nitrogen yang tertinggal dalam tubuh nantinya akan dimanfaatkan dan digunakan oleh tubuh ternak. Adapun rataan retensi nitrogen, Energi Metabolis Semu Terkoreksi Nitrogen (EMSn) dan Energi Metabolis Murni Terkoreksi Nitrogen (EMMn) hasil penelitian disajikan pada Tabel 7, 8 dan 9.

Tabel 7. Rataan Retensi Nitrogen (gram/ekor) Ransum Penelitian Ulangan Perlakuan P1 P2 P3 1 0,79 0,73 0,70 2 0,82 0.76 0,74 3 0,68 0,65 0.75 4 0.74 0,75 0,72 Rataan 0,76±0,06 0.72±0,05 0,73±0,02 Keterangan : P1 = Ransum dengan komposisi dedak padi : limbah restoran 13% : %

P2 = Ransum dengan komposisi dedak padi : limbah restoran 6,2% : 6,2% P3 = Ransum dengan komposisi dedak padi : limbah restoran 0% : 12% Retensi Nitrogen (g) = Konsumsi N – (Ekskresi N – N Endogenus)

Tabel 8. Rataan Energi Metabolis Semu Terkoreksi Nitrogen (EMSn) (kkal/kg) Ransum Penelitian

Ulangan Perlakuan P1 P2 P3 1 3.460,54 3.216,28 3.186,95 2 3.575,39 3.359,53 3.296,68 3 3.311,09 3.060,26 3.323,78 4 3.433,85 3.132,80 3.270,96 Rataan 3.445,22±108,47B 3.192,22±128,47A 3.269,69±59,16A

Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01)

P1 = Ransum dengan komposisi dedak padi : limbah restoran 13% : 0% P2 = Ransum dengan komposisi dedak padi : limbah restoran 6,2% : 6,2% P3 = Ransum dengan komposisi dedak padi : limbah restoran 0% : 12%

Tabel 9. Rataan Energi Metabolis Murni Terkoreksi Nitrogen (EMMn) (kkal/kg) Ransum Penelitian

Ulangan Perlakuan P1 P2 P3 1 3.890,74 3.642,43 3.617,70 2 4.005,59 3.785,68 3.727,43 3 3.741,29 3.486,42 3.754,53 4 3.864,04 3.558,95 3.701,71 Rataan 3.875,41±108,47B 3618,37±128,06A 3700,34±59,16A

Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01)

P1 = Ransum dengan komposisi dedak padi : limbah restoran 13% : 0% P2 = Ransum dengan komposisi dedak padi : limbah restoran 6,2% : 6,2% P3 = Ransum dengan komposisi dedak padi : limbah restoran 0% : 12%

EMSn merupakan penggunaan yang paling umum dalam menyatakan nilai energi metabolis. Standar energi metabolis yang digunakan NRC (1994) adalah EMSn. Nilai EMSn perlakuan berkisar antara 3.192,22-3.445,22 kkal/kg. Nilai EMMn perlakuan berkisar antara 3.618,37-3.875,41 kkal/kg. Menurut McDonald et al. (2002) dalam penentuan energi metabolis perlu dikoreksi terhadap jumlah nitrogen yang diretensi, karena kemampuan ternak alam memanfaatkan energi bruto sangat bervariasi. Dinata (2003) menyatakan bahwa semakin baik kualitas protein dari suatu pakan maka kemampuan ayam dalam meretensi nitrogen akan semakin tinggi. Sutardi (1981) menyatakan bahwa tidak semua nitrogen yang dikonsumsi dapat diretensi tetapi terbuang melalui feses dan urin. Nilai energi metabolis yang terkoreksi nitrogen menggunakan kondisi retensi nitrogen sama dengan nol, yaitu dengan asumsi bahwa pada saat proses katabolis tubuh, nitrogen dikeluarkan sebagai asam urat yang pembentukannya membutuhkan energi (Sibbald, 1989).

Nilai energi metabolis antara lain dipengaruhi oleh : 1. Kandungan energi bahan penyusun ransum.

Energi bahan dipengaruhi oleh ketersediaan karbohidrat, protein, lemak serta vitamin B komplek. Kerusakan pada komponen nutrien tersebut akan menurunkan kandungan energi bahan tersebut (Batal dan Dale, 2006).

2. Jumlah yang dikonsumsi

Semakin tinggi konsumsi energinya maka energi metabolis pun semakin tinggi (Storey dan Allen, 1992).

3. Jenis ternak dan umur yang berbeda

Semakin besar ukuran tubuh ternak maka energi metabolis yang diretensi oleh tubuh semakin besar. Hal ini juga selaras dengan umur ternak, dimana semakin bertambah umur ternak tersebut maka energi metabolisnya semakin tinggi (NRC, 1994).

4. Kemampuan ternak untuk memetabolis ransum di dalam tubuhnya.

Faktor ini dipengaruhi oleh sifat fisik pakan, pH, enzim-enzim saluran pencernaan, komposisi zat makanan, suhu lingkungan, dan fisiologis ternak (Sibbald, 1989).

Pengaruh Perlakuan Terhadap Efisiensi Penggunaan Energi Ransum Potensi energi tidak semua dapat dimanfaatkan oleh ternak. Pada kenyataannya sebagian energi memang digunakan oleh ternak namun ada sebagian yang terbuang. Perbandingan antara input dan output energi disebut dengan efisiensi penggunaan energi (Ballo, 1997). Rataan efisiensi penggunaan energi ransum hasil penelitian disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10. Rataan Efisiensi Penggunaan Energi Ransum (EPE) (%) Ransum Penelitian Ulangan Perlakuan P1 P2 P3 1 88 72 73 2 79 75 76 3 73 68 76 4 76 70 75 Rataan 79±6,59 71,40±3,03 75,07±1,47 Keterangan : P1 = Ransum dengan komposisi dedak padi : limbah restoran 13% : 0%

P2 = Ransum dengan komposisi dedak padi : limbah restoran 6,2% : 6,2% P3 = Ransum dengan komposisi dedak padi : limbah restoran 0% : 12%

Rataan nilai efisiensi penggunaan energi P1, P2 dan P3 adalah 79%, 71,25% dan 75%. Semakin besar nilai efisiensi penggunaan energi ransum atau bahan makanan maka ransum atau bahan makanan tersebut semakin efisien penggunaannya dalam tubuh ternak. Menurut Scott et al. (1982) efisiensi penggunaan energi untuk ternak adalah sebesar 82% dimana dalam ransum semua komponen makanan seimbang dan pada lingkungan dengan temperatur optimal yaitu sekitar 70 oF atau 21,1 oC (Dale dan Fuller dalam Natawihardja, 1991).

Ransum dikatakan seimbang jika terdiri dari 20% protein, 5% lemak dan 65% karbohidrat (Scott et al., 1982). Kandungan zat makanan ransum yang digunakan pada penelitian adalah ransum P1 mengandung 23,28% protein, 5,01% lemak dan 52,09% karbohidrat; ransum P2 mengandung 21,94%, protein, 4,66% lemak dan 52,85% karbohidrat; ransum P3 mengandung 22,93% protein, 4,24% lemak dan 52,99% karbohidrat. Perbedaan kandungan zat makanan ini menyebabkan efisiensi ransum penelitian lebih rendah dibandingkan dengan efisiensi ransum seimbang menurut Scott et al. (1982).

Dokumen terkait