• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODOLOGI PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Fisis

Tampilan permukaan komposit PP-mikrofibril TKKS dengan khitosan untuk substitusi PP disajikan dalam Gambar 10. Pemotretan dilakukan dengan menggunakan mikroskop cahaya (light microscope) pembesaran 50 kali.

Kontrol A

B C

Gambar 10. Perbandingan permukaan komposit PP-mikrofibril TKKS kontrol, dengan khitosan 20 mesh sampai 40 mesh (A), khitosan 10 mesh (B), dan

khitosan 6 mesh sampai 8 mesh (C).

Secara fisik semua material penyusun komposit termoplastik sudah tercampur pada saat proses mixing dalam laboplastomill. Namun hasil dari pencitraan dengan mikroskop cahaya pada komposit kontrol dan komposit dengan khitosan masih terlihat mikrofibril TKKS (ditunjukkan oleh tanda →) yang belum tercampur sempurna. Hasil pencitraan pada komposit A masih memperlihatkan titik putih serbuk khitosan (ditunjukkan oleh tanda ↓) yang belum terdekomposisi sempurna. Dalam komposit C juga masih terlihat film khitosan yang tidak

terdegradasi selama proses pencampuran dalam laboplastomill (ditunjukkan oleh tanda ↑). Adapun pada permukaan komposit B juga masih terlihat serpihan khitosan (ditunjukkan oleh tanda ←) yang belum terdekomposisi sempurna.

Masih terlihatnya mikrofibril TKKS pada permukaan komposit seperti pada Gambar 10 merupakan hal yang memungkinkan mengingat serat TKKS yang digunakan adalah serat TKKS berukuran mikro dengan diameter berkisar 10 mikrometer sampai 20 mikrometer seperti tampak pada Gambar 11.

A B

C D

Gambar 11. Citra SEM serat pulp TKKS (A dan B) dan mikrofibril TKSS dalam bentuk lembaran kertas kecil (C dan D)

Fenomena masih adanya serbuk, serpih dan film khitosan pada komposit terkait dengan suhu dekomposisi hasil uji thermogravimetric analysis (TGA) pada khitosan bentuk serbuk dan serpih yang ternyata lebih tinggi sekitar 270o C - 320o C (ditunjukkan oleh Gambar 12) serta film khitosan sekitar 200o C - 320o C daripada suhu kempa panas yang dipakai yaitu 180o C. Maka dengan suhu kempa panas 180o C belum mampu untuk melelehkan dan mengurai secara sempurna

khitosan sehingga akan mengurangi tingkat homogenitas campuran dalam komposit.

Gambar 12. Hasil uji TGA untuk serbuk khitosan 20-40 mesh (atas), serpihan khitosan 10 mesh (tengah) dan film khitosan 6-8 mesh (bawah).

270o C 200o C 320o C 320o C 270o C 320o C

Pengaruh suhu kempa panas yang rendah yaitu 180o C ternyata belum mampu membuat khitosan terdekomposisi secara sempurna. Khitosan baru mulai terdekomposisi pada suhu yang lebih tinggi yaitu 270o C dan sempurna pada suhu berkisar 320o

Kemudahan antar bahan penyusun komposit dengan matriks polimer untuk bercampur akan mempengaruhi tingkat homogenitas campuran. Homogenitas campuran akan berpengaruh terhadap tingkat kerapatan komposit. Komposit PP- mikrofibril TKKS dengan khitosan sebagai substitusi PP memiliki rata-rata kerapatan diatas kerapatan target 1 g/cm

C (ditunjukkan oleh tanda ↑) sesuai hasil uji TGA dalam Gambar 12. Menurut Kaban (2009), bahwa pada saat pemanasan, khitosan cenderung untuk mengalami dekomposisi daripada meleleh. Belum terjadinya dekomposisi dari khitosan akibat rendahnya suhu kempa panas yang dipakai membuat masih relatif utuh bentuk dari khitosan yang bisa dilihat dari kompositnya melalui mikroskop. Bentuk khitosan serbuk, serpih dan film masih terlihat jelas di dalam maupun permukaan komposit termoplastik.

3

dan kerapatan komposit kontrol sebesar 1,06 g/cm3 seperti yang ditunjukkan pada Gambar 13.

Gambar 13. Histogram kerapatan komposit termoplastik

Pada semua komposit dengan variasi ukuran khitosan yang digunakan ternyata memiliki kerapatan rata-rata yang semakin meningkat seiring dengan

meningkatnya persentase khitosan terhadap PP dari 10% sampai 40% (Gambar 13).

Berdasarkan analisis ragam pada taraf kepercayaan 95%, ternyata hanya perlakuan variasi konsentrasi yang menpengaruhi kerapatan komposit sedangkan perlakuan ukuran khitosan dan interaksi keduanya tidak berpengaruh (Lampiran 1). Uji lanjut perbandingan berganda Duncan (Lampiran 2) menunjukkan bahwa pada konsentrasi khitosan 30% dan 40% memberikan pengaruh yang sama terhadap kerapatan komposit namun berbeda dengan konsentrasi 0%, 10% dan 20%. Konsentrasi khitosan atas PP 0%, 10% dan 20% juga memberikan pengaruh yang sama pada kerapatan komposit.

Dalam pembuatan komposit, berat total bahan yaitu mikrofibril TKKS, khitosan, PP dan MAPP yang dipakai adalah sama untuk setiap papan. Adanya kenaikan kerapatan komposit disebabkan perbedaan nilai kadar air diantara bahan penyusun komposit. Perbedaan kadar air masing-masing bahan tersebut berpengaruh terhadap jumlah bahan yang akan dicampurkan. Hal tersebut menjadikan khususnya pada berat khitosan akan menjadi lebih banyak dengan semakin besarnya persentase. Ini membuat keseluruhan bahan menjadi lebih berat padahal volume keseluruhan bahan tetap sehingga mengakibatkan semakin tingginya kerapatan komposit seiring naiknya persentase khitosan.

Meskipun kerapatan komposit yang dihasilkan pada penelitian ini melebihi target, tetapi dalam analisis lebih lanjut, pengaruh kerapatan komposit dikoreksi dengan menggunakan data kerapatan masing-masing komposit sesuai sifat yang diuji. Dengan demikian nilai sifat fisis dan mekanis komposit dianalisis pada kerapatan yang sama yaitu 1,0 g/cm3

Hasil pengujian pengembangan tebal setelah direndam dalam air selama 24 jam disajikan dalam Gambar 14. Komposit dengan khitosan 10 mesh memiliki nilai pengembangan tebal (PT) berkisar 0,44% sampai 1,40%. Komposit dengan khitosan 20 mesh sampai 40 mesh nilai PT rata-rata 0,44% sampai 2,23%. Adapun pada komposit dengan khitosan 6 mesh sampai 8 mesh sekitar 0,29% sampai 2,20%. Rata-rata nilai PT dari komposit pada semua variasi ukuran dan persentase khitosan atas PP masih diatas nilai PT komposit kontrol sebesar 0,33%

kecuali pada konsentrasi khitosan 10% dengan ukuran khitosan 3 mm sampai 4 mm.

Pengembangan tebal komposit yang masih di atas kontrol tersebut menunjukkan bahwa khitosan yang ditambahkan untuk substitusi PP belum mampu dalam menahan laju penyerapan air. Menurut Suptijah et al. (1992) bahwa penggabungan khitosan dengan bahan lain akan meningkatkan kemampuan mengembangnya. Sifat khitosan yang mudah mengembang akan membuatnya relatif cepat menyerap air. Sehingga dengan semakin tinggi konsentrasi khitosan pada komposit mengakibatkan daya serap air relatif semakin tinggi.

Gambar 14. Histogram pengembangan tebal komposit termoplastik

Menurut Sekino et al. (1999), alasan dari ketidakstabilan dimensi suatu komposit adalah adanya perubahan bentuk partikel karena penekanan, yang terjadi secara temporer selama pengempaan dan akan kembali ke bentuk awal ketika partikel menyerap air atau uap air. Namun mekanisme pengembangan tebal komposit lebih kompleks, karena dalam komposit, sebetulnya partikel diharapkan berikatan dengan matriks, yang dapat mencegah terjadinya pengembangan tebal. Terjadinya pengembangan tebal komposit merupakan kombinasi dari potensi

thickness recovery dari partikel yang didensifikasi, dan kerusakan dari jaringan ikatan matriksnya.

Berdasarkan analisis ragam, yang mempengaruhi besaran pengembangan tebal hanya perbedaan konsentrasi khitosan sedangkan ukuran khitosan maupun interaksi keduanya tidak berpengaruh (Lampiran 3).

Uji lanjut perbandingan berganda Duncan (Lampiran 4) menunjukkan bahwa konsentrasi khitosan 40% bisa memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kerapatan komposit dengan konsentrasi 0%, 10%, 20% dan 30%. Untuk konsentrasi khitosan atas PP 0%, 10%, 20% dan 30% juga memberikan pengaruh yang sama pada kerapatan komposit.

Daya serap air dari komposit yang cukup tinggi tersebut terkait dengan material penyusun komposit yang didominasi oleh material yang mengandung gugus hidroksil. Material penyusun seperti mikrofibril TKKS dan khitosan memiliki sisi hidrofilik dengan adanya gugus hidroksil yang mudah menyerap air sehingga mempengaruhi pengembangan tebal komposit.

Menurut Islam et al. (2010), penggunaan serat alam dan bahan pengisi dalam komposit sangat mempengaruhi daya serap dan pengembangan tebal komposit terkait dengan adanya void pada serat alam. Hal ini menunjukkan bahwa penyerapan air berlangsung terutama pada bagian mikrovoid/celah antara matriks dengan serat alam.

Hasil pengukuran daya serap air (water absorption) disajikan dalam

Gambar 15. Daya serap air dari komposit perlu dilihat karena bahan penyusun komposit sebagian besar masih mengandung bahan yang bersifat hidrofilik sehingga mudah menyerap air meskipun diikat dengan matriks polimer PP.

Komposit dengan khitosan 20 mesh sampai 40 mesh memiliki daya serap air berkisar 1,03% sampai 2,95% relatif lebih rendah dibanding yang 10 mesh sekitar 1,45% sampai 3,36% dan khitosan 6 mesh sampai 8 mesh sebesar 1,67% sampai 2,98%.

Permasalahan yang berpengaruh terhadap pengembangan tebal dan daya serap air dari serat tanaman yang dipakai sebagai bahan komposit termoplastik adalah karakter polar yang tinggi sehingga mengakibatkan terjadinya inkompabilitas dengan sebagian polimer matriksnya (Ashori, 2009). Sifat khitosan

yang mudah mengembang juga mengakibatkan meningkatnya daya serap air komposit.

Gambar 15. Histogram daya serap air komposit termoplastik

Secara statistik berdasarkan analisis ragam ternyata yang berpengaruh terhadap daya serap air dari komposit hanya faktor konsentrasi khitosan atas PP sedangkan ukuran khitosan dan interaksi keduanya tidak berpengaruh (Lampiran 5).

Semakin besar konsentrasi khitosan yang ditambahkan akan memperbesar daya serap air komposit pada semua variasi ukuran khitosan seperti terlihat dalam

Gambar 15. Pada konsentrasi khitosan 10% dengan khitosan ukuran 20 mesh sampai 40 mesh dan 10 mesh memiliki nilai daya serap air lebih rendah dibanding daya serap air komposit kontrol 0% sebesar 1,59%.

Hasil uji lanjut perbandingan berganda Duncan (Lampiran 6) memperlihatkan fenomena yang sama antara daya serap air dengan kerapatan komposit dimana pada konsentrasi khitosan 30% dan 40% memberikan pengaruh yang sama terhadap daya serap air komposit namun berbeda dengan konsentrasi

0%, 10% dan 20%. Untuk konsentrasi khitosan atas PP 0%, 10% dan 20% juga memberikan pengaruh yang sama pada daya serap air komposit.

Menurut Yang et. al (2006), peningkatan beban serat/jumlah serat dibandingkan matriks polimer sintetis dalam komposit akan meningkatkan jumlah gugus hidroksil yang pada gilirannya akan meningkatkan penyerapan air dari komposit. Pengurangan jumlah polimer sintetis dalam komposit berpenguat serat alam dengan pengisi bahan organik lain bisa meningkatkan daya serap komposit (Ashori et al., 2009).

Namun dalam penelitian Spagnol et al. (2012) untuk komposit dari nanofibril selulosa dengan khitosan yang dicangkok dengan poli asam akrilat mampu memperbaiki kapasitas penyerapan air dan waktu menuju kadar kesetimbangan. Sehingga dalam penambahan bahan ke dalam komposit untuk substitusi polimer sintetis PP perlu dicari persentase optimum yang relatif mampu mengurangi daya serap terhadap air/kelembaban. Dalam penelitian ini ternyata pada konsentrasi khitosan 10% atas PP relatif mampu mengurangi daya serap komposit terhadap air dibanding kontrol.

Karakteristik Morfologi

Hasil analisa foto Scanning Electron Microscope (SEM) pada sisi permukaan bekas patahan uji flexural strength digunakan untuk mengetahui lebih dalam tentang homogenitas campuran dari komposit seperti yang tertera dalam

Gambar 16. Citra SEM sudah memperlihatkan adanya penutupan/isolasi mikrofibril TKKS oleh matriks polimer PP yang relatif merata. Terkait dengan tingginya suhu dekomposisi khitosan yaitu diatas 200o C dan 270o C - 320o C mengakibatkan masih utuh bentuk khitosan sehingga tidak tercampur dengan matriks PP maupun mikrofibril TKKS yang juga terlihat dalam citra SEM.

Kontrol A

B C

Gambar 16. Perbandingan citra SEM permukaan patahan sampel uji flexural strength/bagian dalam antara komposit PP-mikrofibril TKKS kontrol, dengan khitosan 20 mesh sampai 40 mesh (A), khitosan 10 mesh (B), dan khitosan 6

mesh sampai 8 mesh (C).

Pada citra SEM dalam gambar A menunjukkan adanya penutupan mikrofibril TKKS oleh matriks PP. Citra retak pada permukaan SEM A, B dan C memperlihatkan bahwa khitosan masih terpisah atau bercampur sempurna dengan matriks PP yang meunjukkan lemahnya adanya ikatan permukaan (interfacial bonding) antara khitosan dan matriks PP. Hal tersebut berhubungan dengan adanya perbedaan suhu dekomposisi antara khitosan dengan PP. Suhu dekomposisi PP homopolimer lebih rendah yaitu 170o C dibandingkan khitosan sekitar 270o C. Adapun suhu kempa panas dalam proses pencampuran bahan dan pembuatan komposit adalah 180o C sehingga PP akan meleleh/terdekomposisi terlebih dahulu bercampur dengan mikrofibril TKKS sedangkan khitosan belum terdekomposisi sehingga tidak tercampur sempurna.

Matriks PP Matriks PP Mikrofibril TKKS Matriks PP Mikrofibril TKKS Serpih khitosan

Dalam citra SEM juga terlihat ada celah antara matriks PP dengan mikrofibril TKKS maupun khitosan yang menandakan interfacial bonding yang belum kuat antar material penyusun komposit.

Dalam pengamatan citra SEM juga dijumpai adanya sedikit aglomerasi (penggumpalan) di beberapa titik atau bidang dari komposit. Aglomerasi mengakibatkan bentuk khitosan masih utuh di bidang tertentu dan terpisah dengan matriks PP. Terjadinya aglomerasi tersebut akibat perbedaan suhu dekomposisi antara bahan penyusun khususnya khitosan yang lebih tinggi dibandingkan matriks PP, mikrofibril TKKS dan suhu kempa panas yang dipakai. Perbedaan suhu dekomposisi menyebabkan proses pencampuran antar bahan tidak sempurna sehingga masih ada material yang menggumpal di beberapa bidang.

Hasil spektra FTIR dari komposit termoplastik dapat digunakan untuk identifikasi struktur senyawa dan ikatan interfase antara gugus-gugus fungsi material penyusun komposit berdasarkan kombinasi pita serapan (energi fibrasi) seperti dalam Gambar 17. Material penyusun komposit sebagian besar didominasi oleh mikrofibril TKKS yang banyak memiliki struktur selulosa dan matriks polimer PP yang disubstitusi dengan polimer khitosan.

Menurut Bangyekan et al. (2006) secara struktural, khitosan mirip dengan selulosa tetapi berisi gugus NH2

Hasil uji FTIR dari komposit termoplastik dengan matriks PP dan mikrofibril selulosa dengan penambahan polimer khitosan memunculkan beberapa ikatan interfase pada gugus fungsi melalui pita serapan di bilangan gelombang 2130 cm

pada posisi gugus hidroksil C-2. Sehingga memungkinkan bila ditemukan pita serapan gelombang pada spektra FTIR yang mirip antara komposit kontrol dengan komposit yang diberi tambahan polimer khitosan.

-1

(C=C), regangan gugus amin (N-H) pada gelombang 1638 cm-1 yang menunjukkan kehadiran khitosan dan gugus aromatik (C-H) pada gelombang 2922 cm-1

Dalam spektra FTIR juga ditemukan regangan C-N pada gelombang 1460 cm

.

-1

dan regangan gugus hidroksil (OH-) pada gelombang 3425 cm-1 yang menunjukkan adanya interaksi antara gugus hidroksil mikrofibril TKKS dengan

gugus polar dari polimer PP. Untuk gugus aril (C-C) ditemukan pada gelombang 1510 cm-1 dan vibrasi cincin lignin guaiasil (C-O) pada gelombang 1114 cm-1.

Gambar 17. Spektra FTIR dari komposit kontrol (11 VII 12) dan komposit dengan penambahan polimer khitosan pada variasi ukuran khitosan 20-40 mesh

(13 VII 12), 10 mesh (14 VII 12) serta 6-8 mesh (12 VII

12)

Munculnya pita serapan dalam besaran gelombang yang tersebut diatas merupakan hal yang cukup banyak ditemukan pada komposit yang menggunakan bahan selulosa serat alam, matriks PP dan khitosan. Beberapa penelitian tersebut antara lain yang dilakukan oleh Almeida et al. (2010) yang menunjukkan bahwa komposit film khitosan dengan selulosa sisal memiliki pita serapan gelombang dari gugus amino di area 3400-3500 cm-1 yang ditutupi juga oleh pita serapan gugus –OH, regangan gugus C-H pada gelombang 2929 cm-1 dan 2888-2860 cm-1 serta pita gelombang 1660 cm-1 (C=O) untuk amida I dan 1631 cm-1 (N-H) untuk amida II sebagai indikasi hadirnya polimer khitosan.

Gugus amina (N-H)

Citra FTIR hasil penelitian Husseinsyah et al. (2010) pada komposit PP- khitosan dengan perlakuan kimia memakai 3-APE juga menghasilkan regangan gugus amin (N-H) pada gelombang 1673 cm-1 yang menunjukkan adanya khitosan dan gugus aromatik (C-H) pada gelombang 2876 cm-1. Ditemui juga regangan C- N pada gelombang 1420 cm-1 dan regangan gugus hidroksil (OH-) pada gelombang 3436 cm-1. Demikian juga dengan FTIR komposit film berbasis khitosan dan NCC (nanocrystalline cellulose) penelitian Khan et al. (2012) yang memunculkan pita serapan gelombang yang relatif sama antara lain pita serapan gelombang dari gugus amino di area 3200-3500 cm-1 yang ditutupi juga oleh pita serapan gugus –OH, regangan gugus C-H pada gelombang 2880-2930 cm-1 serta pita gelombang 1633 cm-1 (C=O) untuk amida I dan 1538 cm-1 (N-H) untuk amida II sebagai indikasi hadirnya polimer khitosan serta lignin guaiasil (C-O) pada gelombang 1100 cm-1

Adanya perbedaan suhu dekomposisi (titik leleh) antara mikrofibril TKKS dan PP yang lebih rendah dibandingkan khitosan mengakibatkan belum terjadinya pencampuran yang sempurna. Hal tersebut dibuktikan dengan belum munculnya gugus fungsi baru yang akan menunjukkan terjadinya ikatan kimia antara khitosan dengan PP maupun mikrofibril TKKS. Menurut Kaban (2009) bahwa ikatan kimia akan terbentuk dari hasil blending kimia yaitu pencampuran (blending) yang menghasilkan kopolimer yang ditandai dengan terjadinya ikatan-ikatan kovalen antara polimer-polimer penyusunnya. Interaksi yang terjadi di dalam poliblen antara ikatan Van Der Walls, ikatan hidrogen atau interaksi dipol-dipol.

.

Adanya peningkatan besaran serapan gelombang dari 1050 cm-1 pada komposit kontrol (11 VII 12) menjadi 1114 cm-1 pada komposit dengan khitosan 10 mesh (14 VII 12) dan 1163 cm-1 pada komposit dengan khitosan 20 sampai 40 mesh (13 VII 12) belum menunjukkan terjadinya ikatan kimia namun hanya menunjukkan indikasi terjadinya ikatan fisik antara khitosan dengan matriks PP maupun mikrofibril TKKS. Menurut Kaban (2009) bahwa blending fisika yaitu terjadi pencampuran secara fisik antara dua jenis polimer atau lebih yang memiliki struktur yang berbeda, tidak membentuk ikatan kovalen antara komponen- komponennya.

Adapun pada hasil FTIR komposit dengan khitosan ukuran 6 mesh sampai 8 mesh (12 VII 12) dalam rentang gelombang 1000 cm-1 sampai 2000 cm-1 terlihat datar yang mengindikasikan tidak adanya terjadi ikatan kimia antara khitosan dengan matriks PP maupun mikrofibril TKKS. Hal tersebut terkait film khitosan yang ternyata belum terdekomposisi secara sempurna ketika dibentuk menjadi lembaran komposit bersama dengan PP dan mikrofibril TKKS. Film khitosan seperti yang terlihat dalam Gambar 10 (C) masih nampak relatif utuh namun hanya berubah warnanya. Mekawati (200) menyebutkan bahwa film khitosan memiliki titik leleh sekitar 264o C sampai 266o C. Adapun matriks PP homopolimer memiliki titik leleh berkisar 170o C sedangkan suhu kempa panas yang dipakai adalah 180o

Hasil pengujian TGA dalam Gambar 18 pada komposit termoplastik matriks PP dengan mikrofibril TKKS dan khitosan menunjukkan bahwa matriks PP meleleh terlebih dahulu diikuti dekomposisi mikrofibril TKKS pada suhu dibawah 180

C. Perbedaan suhu leleh inilah yang membuat antar bahan khususnya khitosan tidak tercampur sempurna baik secara fisik maupun kimia yang kompak.

o

C sesuai dengan suhu kempa panas yang dipakai. Adapun pada suhu diatas sekitar 270o C baru mulai terjadi dekomposisi pada khitosan dan sempurna proses dekomposisinya sampai suhu sekitar 320o C.

Gambar 18. Hasil uji TGA untuk komposit termoplastik dengan matriks PP, mikrofibril TKKS dan khitosan

PP (170o C)

Khitosan (270o C)

Karakteristik Mekanis

Keteguhan Patah (MOR)

Keteguhan patah (MOR) merupakan indikator kekuatan komposit dalam menahan beban. Besaran MOR akan memperlihatkan fleksibilitas (flexibility) dan kekakuan (rigiditas) dari komposit. Nilai MOR dari masing-masing komposit disajikan dalam Gambar 19. Komposit kontrol tanpa penambahan khitosan memiliki nilai MOR rata-rata 44,09 MPa. Komposit dengan khitosan ukuran 20 mesh sampai 40 mesh pada persentase khitosan 10%, 20% dan 30% memiliki MOR rata-rata di atas kontrol sebesar 41,79 MPa sampai 51,06 MPa. Komposit yang ditambahkan khitosan ukuran 10 mesh mempunyai besaran MOR berkisar 41,42 MPa sampai 48,78 MPa. Adapun komposit dengan khitosan ukuran 6 mesh sampai 8 mesh memiliki kisaran MOR 39,74 MPa sampai 44,85 MPa.

Sebagai informasi tambahan digunakan pembanding terhadap beberapa karakteristik mekanik yang mengacu dari standar material komposit polipropilena (PP)-fiber glass (FG) yang diaplikasikan untuk komponen sepeda motor HONDA berjenis LR22E PP-FG 10% Honda Engineering Standard (HES) C 225 seperti dalam Tabel 5 yang diambil dari desertasi Nikmatin (2012).

Tabel 5. Standar minimum komposit (PP-FG) LR22E PP-FG 10% HES C 225 Sifat material PP-FG Karakteristik mekanik dan termal Flexural Strength 75 MPa

Tensile Strength at Yield 55 MPa Du Pont Impact Strength 23o C 5 kg cm Du Pont Impact Strength -20o C 5 kg cm Elongation at Break 2% Flexural Modulus 3,1 GPa

Glossy 78

Heat Distortion Temperature 0.46 MPa 166o Heat Distortion Temperature 1.82 MPa

C 159o Hardness Rockwell

C 94 HRR Charpy Impact Strength 70 J/m Sumber: Nikmatin (2012)

Secara umum besaran MOR komposit termoplastik pada semua variasi masih di bawah standar HES yang mensyaratkan minimal sebesar 75 MPa. Hal tersebut sangat wajar karena komposit dalam standar HES lebih dominan matriks PP dengan bahan pengisi fiber glass yang secara kualitas bahan lebih unggul dibanding komposit dengan serat alam yang persentase matriks PPnya lebih sedikit.

Gambar 19. Histogram keteguhan patah dari komposit termoplastik

Berdasarkan analisis ragam, yang mempengaruhi besaran MOR ternyata hanya perbedaan ukuran khitosan sedangkan konsentrasi khitosan atas PP maupun interaksi keduanya tidak berpengaruh (Lampiran 7).

Dari uji lanjut perbandingan berganda Duncan (Lampiran 8), bahwa khitosan ukuran 20 mesh sampai 40 mesh memberikan pengaruh yang berbeda terhadap MOR komposit dengan khitosan ukuran 6 mesh sampai 8 mesh namun sama untuk khitosan dengan ukuran 10 mesh. Khitosan ukuran 6 mesh sampai 8 mesh memiliki pengaruh yang berbeda dengan khitosan ukuran 10 mesh pada nilai MOR komposit.

Besaran ukuran khitosan berpengaruh terhadap sifat MOR komposit terkait dengan tingkat homogenitas campuran dan kemudahan bahan penyusun

bercampur dengan matriks polimer. Tingkat homogenitas bahan penyusun komposit yang mempengaruhi sifat MOR dapat dilihat pada patahan contoh uji coba untuk pengujian MOR yang ditampilkan dalam Gambar 20.

Kontrol A

B C

Gambar 20. Hasil pemotretan memakai mikroskop cahaya (pembesaran 50 kali) permukaan patahan contoh uji kuat tarik pada komposit PP-mikrofibril TKKS kontrol, dengan khitosan 20 mesh sampai 40 mesh (A), khitosan 10 mesh (B), dan

khitosan 6 mesh sampai 8 mesh (C).

Komposit dengan khitosan ukuran 20 mesh sampai 40 mesh memiliki MOR lebih tinggi dibandingkan khitosan ukuran 10 mesh dan yang terendah adalah pada komposit dengan khitosan 6 mesh sampai 8 mesh. Sehingga bisa dikatakan bahwa semakin kecil ukuran khitosan mampu meningkatkan homogenitas campuran dan besaran MOR komposit yang dihasilkan.

Penelitian dari Nikmatin (2012) menyebutkan bahwa penguat atau pengisi (filler) untuk bionanokomposit yang dikategorikan nanopartikel (20 nm) memiliki sifat mekanik yang lebih baik jika dibandingkan dengan pengisi berukuran 1 mm dan 150 mikron. Ukuran yang lebih kecil dari nanopartikel (20 nm) memberikan

surface area yang lebih besar, densitas yang lebih kecil yang membawa dampak positif dibandingkan yang ukuran bulk.

Perbedaan konsentrasi khitosan atas PP secara statistik tidak berpengaruh terhadap besaran MOR komposit. Namun hasil uji mekanis menunjukkan bahwa semakin banyak persentase khitosan terhadap PP ternyata mengurangi nilai MOR komposit. Hal ini mungkin disebabkan karena ikatan antar muka (interfacial bonding) yang rendah antara khitosan dan matriks polimer pada kadar yang semakin banyak. Menurut Husseinyah et al. (2011) hal tersebut terjadi terkait dengan pengaruh sifat kekakuan dari khitosan dan penurunan deformabilitas dari rigiditas antarmuka antara khitosan dan matriks polimer seperti PP.

Hasil ini juga menunjukkan bahwa peningkatan nilai MOR yang optimum dapat dicapai pada tambahan khitosan atas PP dalam komposit sekitar 10% dan 20% yang akan cenderung turun seiring bertambahnya persentase khitosan yang ditambahkan. Adanya substitusi PP oleh khitosan mampu meningkatkan rigiditas dari komposit dibandingkan dengan kontrol dalam besar persentase tertentu.

Dokumen terkait