• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik responden yang diamati meliputi umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan riwayat keluarga. Data karakteristik responden secara lengkap disajikan pada Tabel 4.

Variabel umur dikategorikan menjadi 2 kelompok. yaitu kelompok umur kurang dari 40 tahun dan kelompok 40 tahun atau lebih. Hal ini bertujuan untuk membuktikan bahwa umur semakin tua. risiko terserang hipertensi akan semakin besar. Karena pada umur tersebut mulai terjadi perubahan elastisitas pembuluh darah yang semakin menurun. perubahan alami pada otot jantung dan mulai terjadi perubahan hormon terutama pada perempuan yang berdampak pada peningkatan tekanan darah (Gary2000). Umur responden pada penelitian ini berkisar antara 32 sampai 54 tahun dengan rata-rata 44.75 ± 5.99 tahun. Jika dikaji lebih jauh. bahwa rata-rata umur responden yang mengalami hipertensi (45.31± 5.73 tahun) adalah lebih besar daripada yang tidak hipertensi (44.19 ± 6.26 tahun).

Tabel 4 Sebaran responden berdasarkan karakteristik dan status hipertensi

No. Karakteristik Umum

Status hipertensi Total Kasus Kontrol N % n % n % 1. Umur : ≥ 40 40 83.3 37 77.1 77 80.2 < 40 8 16.7 11 22.9 19 19.8 Total 48 100.0 48 100.0 96 100.0 p Value 0.442 2. Jenis kelamin : Perempuan 11 22.9 10 20.8 21 21.9 Laki-Laki 37 77.1 38 79.2 75 78.1 Total 48 100.0 48 100.0 96 100.0 p Value 0.805 3. Tingkat pendidikan : Lulus S2. S3 29 60.4 30 62.5 59 61.5 Lulus D3. S1 17 35.4 17 35.4 34 35.4 Lulus SLTA 2 4.2 1 2.1 3 3.1 Total 48 100.0 48 100.0 96 100.0 p Value 0.839 4. Riwayat keluarga : Ada 30 62.5 20 41.7 50 52.1 Tidak Ada 18 37.5 28 58.3 46 47.9 Total 48 100.0 48 100.0 96 100.0 p Value 0.041. OR 2.333

Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa sebagian besar (80.2 %) responden berumur 40 tahun atau lebih. Lebih lanjut dapat dilihat bahwa responden yang umurnya 40 tahun keatas lebih banyak mengalami hipertensi yaitu 83.3 %. dibandingkan dengan yang berumur kurang dari 40 tahun yaitu hanya 16.7 %.

Pada uji chi-square menunjukkan bahwa umur tidak terbukti berhubungan dengan terjadinya hipertensi dengan nilai p Value = 0.442. Hal ini terjadi karena sebagian besar responden yang hipertensi dan tidak hipertensi adalah berumur 40 tahun atau lebih yaitu masing-masing sebanyak 83.3 % dan 77.1 %. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan Bulpitt

(2001), dimana besar risiko umur 40 tahun atau lebih untuk terserang hipertensi sebesar 1.34 dibandingkan mereka yang berumur kurang dari 40 tahun. Padahal umur merupakan faktor risiko kuat yang tidak dapat dimodifikasi. Perubahan tersebut diantaranya adalah karena arteri kehilangan elastisitas atau kelenturan seiring bertambahnya usia. Kebanyakan orang hipertensinya meningkat ketika berumur limapuluhan dan enampuluhan. Dengan bertambahnya umur, risiko terjadinya hipertensi meningkat. Hipertensi bisa terjadi pada segala usia, namun paling sering dijumpai pada usia 40 tahun atau lebih. Hal ini disebabkan oleh karena pada usia tersebut mulai terjadi perubahan alami pada jantung, perubahan elastisitas pembuluh darah dan hormon yang berpengaruh pada tekanan darah.

Hal menarik bahwa terdapat 77.1 % responden yang umurnya 40 tahun atau lebih tetapi tidak mengalami hipertensi. Responden yang berumur 40 tahun atau lebih dan tidak mengalami hipertensi ternyata memiliki rata-rata nilai IMT yang lebih rendah yaitu 28.5 jika dibandingkan dengan rata-rata nilai IMT responden yang hipertensi sebesar 33.3. Selain itu. sebagian besar (75%) dari mereka memiliki kebiasaan olahraga yang lebih baik dan tidak memiliki kebiasaan makan makanan berlemak.

Jenis kelamin

Responden laki-laki mempunyai proporsi yang lebih besar (78.1 %) daripada perempuan sebanyak 21.9 %. Responden laki-laki yang menderita hipertensi adalah lebih banyak yaitu 77.1 % jika dibandingkan dengan perempuan yaitu hanya 22.9 % (Tabel 4). Pada uji chi-square menunjukkan bahwa jenis kelamin tidak berhubungan dengan terjadinya hipertensi dengan nilai p Value = 0.805 dan OR = 1.130. Hal ini diduga disebabkan karena jumlah responden perempuan yang tidak proporsional dengan laki-laki.

Berbagai penelitian masih mempunyai kesimpulan berbeda tentang hal ini. Bila ditinjau perbandingan antara wanita dan pria, ternyata terdapat angka yang cukup bervariasi. Dari laporan Sugiono (2004) di Jawa Tengah didapatkan angka prevalensi 6.0% untuk pria dan 11.6% untuk wanita. Prevalensi di Sumatera Barat 18.6% pria dan 17.4% perempuan, sedangkan daerah perkotaan di Jakarta didapatkan 14.6% pria dan 13.7% wanita. Menurut Mansjoer et al. (2001), pria dan wanita menopause mempunyai pengaruh yang sama untuk terjadinya hipertensi. Menurut Bustan (1997) bahwa wanita lebih banyak yang menderita hipertensi dibanding pria. Hal ini diduga karena terdapatnya hormon estrogen pada wanita.

Tingkat pendidikan

Responden penelitian ini tingkat pendidikannya berkisar dari tingkat SLTA sampai doktoral (S3). Karakteristik tingkat pendidikan paling banyak adalah katagori pendidikan tinggi (S2 dan S3) yaitu 61.5 % kemudian tingkat pendidikan sedang (D3 dan S1) yaitu 35.4 % dan tingkat pendidikan rendah (SLTA) sebanyak 3.1 %. (Tabel 4).

Angka kejadian hipertensi paling tinggi terlihat pada responden yang tingkat pendidikannya lulus S2 dan S3 yaitu 60.4 %. Lebih lanjut ditelusuri pada data-data kuesioner yang dikumpulkan bahwa sebagian besar responden dengan tingkat pendidikan tinggi adalah mereka yang berada pada level eselon III. Pada level tersebut menunjukkan data-data bahwa responden yang mengalami stres

terdapat pada kelompok tersebut. Hal ini diduga bahwa dengan semakin tinggi level jabatan mereka maka, semakin tinggi beban kerja dan tanggung jawab sehingga berakibat pada semakin tingginya tekanan secara psikologis yang jika hal ini berlangsung lama dan terjadi secara terus menerus akan menyebabkan stres. Selain berdampak pada tekanan secara psikologis, beban kerja yang tinggi juga akan berdampak pada kurangnya waktu yang digunakan untuk berolahraga sehingga kurangnya aktivitas fisik ini menyebabkan obesitas yang merupakan salah satu faktor predisposisi tekanan darah tinggi. Lebih lanjut ditelusuri bahwa kebiasaan makan makanan berlemak dan asin yang tinggi pada kelompok responden tersebut.

Pada uji chi-square variabel tingkat pendidikan tidak berhubungan dengan risiko hipertensi di mana pada uji chi-square nya didapatkan p Value = 0.839. Hal ini terjadi diduga karena jumlah responden yang berpendidikan S2 dan S3; D3 dan S1 serta SLTA adalah tidak proporsional. Lebih lanjut dapat dilihat bahwa sekitar separuh responden dari masing-masing kelompok pendidikan tersebut adalah menderita hipertensi.

Riwayat keluarga

Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa responden yang ada riwayat keluarga hipertensi menunjukkan kejadian hipertensi yang lebih tinggi yaitu 62.5 %. Tetapi ada responden yang ada riwayat keluarga hipertensi tetapi tidak mengalami hipertensi yaitu 41.7 %. Hal ini dapat terjadi dikarenakan responden tersebut sebagian besar memiliki kebiasaan makan makanan berlemak kategori jarang dan memiliki kebiasaan olah raga yang ideal. Pada analisis uji chi-square

variabel riwayat keluarga dengan hipertensi terbukti berhubungan dengan terjadinya hipertensi dengan p value = 0.041 dan OR = 2.333. Hal tersebut berarti bahwa orang yang orang tuanya (ibu, ayah, nenek atau kakek) mempunyai riwayat hipertensi berisiko terkena hipertensi sebesar 2.333 kali dibandingkan orang yang orang tuanya tidak menderita hipertensi.

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Hippisley (2002). yang menunjukkan bahwa riwayat keluarga dengan hipertensi memberikan risiko 3.38 kali terhadap kejadian hipertensi. Menurut Chunfang (2003). menyatakan bahwa keluarga yang memiliki hipertensi dan penyakit jantung meningkatkan risiko hipertensi 2-5 kali lebih besar. Menurut Sheps (2005) hipertensi cenderung merupakan penyakit keturunan. Jika seorang dari orang tua kita mempunyai hipertensi maka sepanjang hidup kita mempunyai 25% kemungkinan mendapatkannya pula. Jika kedua orang tua kita mempunyai hipertensi. kemungkunan kita mendapatkan penyakit tersebut adalah 60%.

Pola Hidup

Pola hidup dalam penelitian ini meliputi kebiasaan makan makanan berlemak, kebiasaan makan makanan asin, kebiasaan olahraga dan kebiasaan merokok. Data pola hidup responden disajikan pada Tabel 5.

Kebiasaan makan makanan berlemak

Secara umum 58.3 % responden berada pada katagori sering mengkonsumsi makan makanan berlemak, sedangkan responden yang termasuk katagori kadang- kadang adalah 32.3 % dan sisanya (9.4 %) termasuk katagori sedang. Lebih lanjut

terlihat bahwa ternyata angka kejadian hipertensi juga lebih tinggi terjadi pada responden yang kebiasaan makan makanan berlemaknya pada katagori sering yaitu 60.4 % diikuti katagori kadang-kadang yaitu 33.3 % dan katagori sedang hanya 6.3 % (Tabel 5).

Kebiasaan makan makanan berlemak responden berkisar dari 1 sampai 6 kali per minggu dengan rata-rata 3.28 ± 1.45 kali per minggu. Untuk responden yang mengalami hipertensi, rata-rata konsumsi makan makanan berlemak adalah sebanyak 3.42 ± 1.46 kali per minggu dan ini adalah lebih tinggi daripada yang tidak hipertensi dengan rata-rata konsumsi makan makanan berlemak adalah sebanyak 3.15 ± 1.44 kali per minggu.

Tabel 5 Sebaran responden berdasarkan pola hidup dan status hipertensi

No Kategori pola hidup

Status hipertensi

Total Kasus Kontrol

n % n % n %

1. Kebiasaan makan makanan berlemak Sering (≥3x/mgg) 29 60.4 27 56.2 56 58.3 Sedang (1-2x/mgg) 3 6.3 6 12.5 9 9.4 Kadang-kadang(1x/mgg) 16 33.3 15 31.3 31 32.3 Total 48 100.0 48 100.0 96 100.0 p Value 0.839 2. Kebiasaan makan makanan

asin Sering (≥3x/mgg) 23 47.9 29 60.4 52 54.2 Sedang (1-2x/mgg) 3 6.3 3 6.3 6 6.2 Kadang-kadang(1x/mgg) 22 45.8 16 33.3 38 39.6 Total 48 100.0 48 100.0 96 100.0 p Value 0.441 3. Kebiasaan olahraga Tidak 27 56.2 30 62.5 57 59.4 Ya 21 43.8 18 37.5 39 40.6 Total 48 100.0 48 100.0 96 100.0 p Value 0.533 4. Tingkatan kebiasaan Tidak Olahraga 27 56.2 30 62.5 57 59.4 Olahraga Tidak Ideal 15 31.3 15 31.2 30 31.2 Olahraga Ideal 6 12.5 3 6.3 9 9.4 Total 48 100.0 48 100.0 96 100.0 p Value 0.560 5. Kebiasaan merokok : Ya 29 60.4 21 43.7 50 52.1 Tidak 19 39.6 27 56.3 46 47.9 Total 48 100.0 48 100.0 96 100.0 p Value 0.102 6. Jumlah batang rokok :

Banyak (>12 btng/hr) 5 31.3 6 40.0 11 35.5 Sedang (6-12 btng/hr) 2 12.5 3 20.0 5 16.1

No Kategori pola hidup Status hipertensi Total Kasus Kontrol n % n % n % Sedikit (<6 btng/hr) 9 56.2 6 40.0 15 48.4 Total 16 100.0 15 100.0 31 100.0 p Value 0.448

Kebiasaan mengonsumsi makanan berlemak tidak berhubungan dengan risiko terjadinya hipertensi(p = 0.576). Hal ini diduga disebabkan oleh seringnya mengonsumsi makanan berlemak belum menjamin tingginya konsumsi makanan berlemak. Selain itu jenis dari makanan berlemak yang dikonsumsi juga belum diidentifikasi.

Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Harris (2002) yang menunjukkan bahwa orang yang mempunyai kebiasaan mengkonsumsi makanan berlemak akan berisiko terserang hipertensi sebesar 7.72 kali dibandingkan dengan orang yang tidak biasa mengkonsumsi makanan berlemak. Kebiasaan konsumsi makanan berlemak erat kaitannya dengan peningkatan berat badan yang berisiko terjadinya hipertensi. Konsumsi makanan berlemak juga meningkatkan risiko aterosklerosis yang berkaitan dengan kenaikan tekanan darah.

Hal yang menarik adalah terdapat 56.2 % responden yang memiliki kebiasaan makan makanan berlemak tetapi tidak mengalami hipertensi. Hal ini terjadi karena lebih tinggi frekuensi konsumsi makanan berlemak belum tentu lebih banyak pula jumlah konsumsi makanan berlemak. Selain itu, jika ditelusuri dari data kuesioner terlihat bahwa pertama 60 % dari mereka tidak memiliki riwayat keluarga hipertensi. Kedua, 40 % dari mereka mereka memiliki kebiasaan olahraga dan ketiga didapatkan bahwa rata-rata nilai IMT mereka (24.56 ± 2.96) lebih kecil dari pada rata-rata nilai IMT responden yang mengalami hipertensi (28.85 ± 3.35).

Kebiasaan makan makanan asin

Makanan asin mengandung tinggi natrium yang berperan penting terhadap mekanisme timbulnya hipertensi (Radecki 2000). Hasil penelitian Alison (1996) menunjukkan ada kaitannya asupan natrium tinggi dengan hipertensi pada beberapa individu. Kebiasaan makan makanan asin responden berkisar dari 1 sampai 6 kali per minggu dengan rata-rata 3.20 ± 1.64 kali per minggu (Tabel 5). Untuk responden yang mengalami hipertensi. rata-rata konsumsi makan makanan asin adalah sebanyak 3.03 ± 1.66 kali per minggu dan ini adalah lebih rendah daripada yang tidak hipertensi dengan rata-rata konsumsi makan makanan asin adalah sebanyak 3.36 ± 1.63 kali per minggu.

Pada data katagori kebiasaan makan makanan asin (Tabel 5) menunjukkan bahwa responden yang mempunyai kebiasaan makan makanan asin katagori sering adalah lebih besar yaitu 54.2 % kemudian katagori kadang-kadang 39.6 % dan sisanya katagori sedang yaitu 6.2 %. Angka kejadian hipertensi juga sejalan dengan data tersebut. yaitu bahwa lebih besar terjadi pada responden yang kebiasaan makan makanan asinnya pada katagori sering yaitu 47.9 % diikuti katagori kadang-kadang 45.8 % dan sisanya katagori sedang.

Hal yang menarik bahwa terdapat 60.4 % responden yang kebiasaan makan makanan asinnya sering tetapi tidak mengalami hipertensi. Setelah dilihat lebih

lanjut, 50 % dari mereka tidak terdapat riwayat keluarga hipertensi dan kebiasaan olahraga serta 60 % rata-rata usia mereka mereka lebih dari 40 tahun. Kebiasaan makan makanan asintidak berhubungan dengan risiko terjadinya hipertensi di mana pada uji chi-square didapatkan p Value = 0.4. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian Radecki (2000) yang menunjukkan bahwa orang yang mempunyai kebiasaan konsumsi asin akan berisiko terserang hipertensi sebesar 1 kali lebih besar dibandingkan orang yang tidak biasa mengkonsumsi asin. Jika asupan garam antara 5-15 gram perhari prevalensi hipertensi meningkat menjadi 15-20 %. Garam menyebabkan penumpukan cairan dalam tubuh karena menarik cairan di luar sel agar tidak keluar sehingga akan meningkatkan volume dan tekanan darah. Pada manusia yang mengonsumsi garam 3 gram atau kurang ditemukan tekanan darah rata-rata rendah sedangkan asupan garam sekitar 7-8 gram tekanan darahnya rata-rata lebih tinggi. Konsumsi garam yang dianjurkan tidak lebih dari 6 gram/hari setara dengan 110 mmol natrium atau 2400 mg/hari (Gunawan 2001).

Kebiasaan olahraga

Pada data kategori kebiasaan olahraga menujukkan angka responden yang tidak biasa berolahraga lebih besar yaitu 59.4 % dibandingkan dengan yang biasa berolahraga yaitu 40.6 %. Lebih lanjut telihat bahwa angka kejadian hipertensi lebih tinggi terjadi pada responden yang tidak biasa berolahraga yaitu 56.2 % dibandingkan yang berolahraga (43.8 %). Responden yang tidak hipertensi juga lebih banyak terjadi pada responden yang tidak biasa berolahraga yaitu 62.5 % dibandingkan responden yang biasa berolahraga. Hal ini tidak sesuai dengan penelitian Sutejo (2002) yang menyatakan bahwa kurangnya olahraga akan menimbulkan hipertensi.

Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa tingkatan olahraga responden berkisar dari 1 sampai 7 kali per minggu dengan rata-rata 1.88 ± 1.13 kali per minggu. Untuk responden yang mengalami hipertensi. rata-rata tingkatan kebiasaan olahraga adalah sebanyak 2.04 ± 1.37 kali per minggu dan ini adalah lebih tinggi daripada yang tidak hipertensi dengan rata-rata tingkatan kebiasaan olahraga adalah sebanyak 1.72 ± 0.79 kali per minggu.

Lebih lanjut terlihat bahwa responden yang tidak olahraga lebih besar yaitu 59.4 % kemudian responden yang olahraga tapi tidak ideal yaitu 31.2 % dan responden yang olahraga ideal hanya 9.4 %. Hal ini sejalan dengan kejadian hipertensi lebih besar terjadi pada responden yang tidak biasa berolahraga yaitu 56.2 % diikuti responden yang olahraga tetapi tidak ideal yaitu 31.3 % dan sisanya responden yang olahraga ideal. Hal menarik lain yang dapat dilihat bahwa responden yang olahraganya ideal ternyata kejadian hipertensinya lebih tinggi (12.5 %) dibandingkan dengan yang tidak hipertensi yaitu 6.3 %. Setelah ditelusuri dari data kuesioner yang dikumpulkan hampir semua dari mereka memiliki riwayat keluarga hipertensi.

Pada analisis uji chi-square kebiasaan olahraga ideal tidak terbukti berhubungan dengan terjadinya hipertensi. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hernelahti, Kujala dan Kaprio et al. (1998). Mereka menyatakan bahwa tidak biasa melakukan olah raga akan meningkatkan risiko terkena hipertensi sebesar 2.33 kali dibanding dengan yang biasa berolah raga.

Olahraga banyak dihubungkan dengan pengelolaan hipertensi. karena olahraga isotonik dan teratur dapat menurunkan tahanan perifer yang akan

menurunkan tekanan darah. Olahraga juga dikaitkan dengan peran obesitas pada hipertensi. Kurang melakukan olahraga akan meningkatkan kemungkinan timbulnya obesitas dan jika asupan garam juga bertambah akan memudahkan timbulnya hipertensi. Kurangnya aktifitas fisik meningkatkan risiko menderita hipertensi karena meningkatkan risiko kelebihan berat badan. Orang yang tidak aktif juga cenderung mempunyai frekuensi denyut jantung yang lebih tinggi sehingga otot jantungnya harus bekerja lebih keras pada setiap kontraksi. Makin keras dan sering otot jantung harus memompa makin besar tekanan yang dibebankan pada arteri (Sheps 2005).

Kebiasaan merokok

Pada data katagori kebiasaan merokok terdapat 52.1 % responden yang memiliki kebiasaan merokok atau pernah merokok. Kemudian terlihat bahwa angka kejadian hipertensi lebih tinggi terjadi pada responden yang memiliki kebiasaan merokok yaitu 60.4 % dibandingkan yang tidak merokok (39.6 %). Terdapat 39.6 % responden yang tidak merokok tetapi mengalami hipertensi. Setelah ditelusuri data kuesioner terlihat sebagian besar dari mereka memiliki riwayat keluarga dan nilai rata-rata nilai IMT mereka cukup tinggi yaitu 31.9. selain itu sebagian besar dari mereka tidak memiliki kebiasaan olahraga. Sebaliknya terdapat 43.7% tidak memiliki kebiasaan merokok tetapi tidak mengalami hipertensi. Setelah lebih lanjut dilihat dari data mereka menunjukkan tidak terdapat faktor riwayat keluaga hipertensi.

Lebih lanjut dapat dilihat bahwa jumlah batang rokok yang dihisap responden berkisar dari 1 sampai 32 batang per hari dengan rata-rata 11.00 ± 7.62 kali per hari (Tabel 5). Untuk responden yang mengalami hipertensi, rata-rata jumlah batang rokok yang dihisap adalah sebanyak 8.62 ± 6.42 kali per hari dan ini adalah lebih rendah daripada yang tidak hipertensi dengan rata-rata jumlah batang rokok yang dihisap adalah sebanyak 13.07 ± 8.17 kali per hari. Kemudian lebih jauh terlihat bahwa katagori angka batang rokok yang dihisap paling tinggi pada katagori sedikit yaitu 48.4 % diikuti katagori banyak 35.5 % dan sisanya katagori sedang yaitu 16.1 %. Hal yang menarik bahwa angka kejadian hipertensi lebih tinggi ditemukan pada responden yang katagori batang rokoknya sedikit 56.2 % kemudian katagori banyak 31.3 % dan sisanya katagori sedang (12.5 %). Lebih lanjut ditelusuri pada data kuesioner bahwa hal ini dipengaruhi oleh rata- rata nilai IMT mereka yang tinggi dan tidak memiliki kebiasaan olahraga.

Pada uji chi-square kebiasaan merokok dan jumlah batang rokok yang dihisap tidak berhubungan dengan terjadinya hipertensi di mana didapatkan p Value = 0.102 pada kebiasaan merokok dan p Value = 0.448 pada jumlah batang rokok yang dihisap. Hasil penelitian ini bertentangan dengan hasil penelitian Zhang (2005) yang menyatakan bahwa kebiasaan merokok sebagai faktor risiko hipertensi (OR 1.28 – 1.62 ).

Status Kesehatan

Status kesehatan responden yang dikaji meliputi status gizi (obese dan tidak obese), keberadaan stres kejiwaan dan penggunaan kontrasepsi estrogen. Data status kesehatan responden disajikan pada Tabel 6.

Status gizi

Status gizi responden dikategorikan berdasarkan nilai IMT yaitu obese apabila nilai IMT lebih dari 25 dan tidak obese jika nilai IMT kurang dari atau sama dengan 25. Pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa hampir semua responden (99.0 %) adalah obese. Lebih lanjut dapat dilihat bahwa nilai IMT responden berkisar dari 17.91 sampai 33.62 dengan rata-rata 25.21 ± 3.21. Untuk responden yang mengalami hipertensi nilai rata-rata IMT adalah 25.85 ± 3.35 dan ini adalah lebih tinggi daripada yang tidak hipertensi dengan nilai rata-rata IMT adalah 24.56 ± 2.96.

Tabel 6 Sebaran responden berdasarkan status kesehatan dan status hipertensi

No Kategori status kesehatan Status hipertensi Total Kasus Kontrol n % n % n % 1. Status gizi: Obese 47 97.9 48 100.0 95 99.0 Tidak obese 1 2.1 0 0.0 1 1.0 Total 48 100.0 48 100.0 96 100.0 p Value 0.315 2. Stress : Ya 7 14.6 2 4.2 9 9.4 Tidak 41 85.4 46 95.8 87 90.6 Total 48 100.0 48 100.0 96 100.0 p Value 0.080. OR 3.927 3. Penggunaan kontrasepsi estrogen :

(Khusus responden perempuan)

Ya 6 54.6 5 50.0 11 52.4 Tidak 5 45.4 5 50.0 10 47.6 Total 11 100.0 10 100.0 21 100.0

p Value 0.835

Pada uji chi-square didapatkan p Value = 0.315 yang berarti bahwa status obesitas tidak berhubungan secara signifikan dengan terjadinya hipertensi. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan pendapat Chow et al. (2000) yang menyatakan bahwa obesitas berisiko menyebabkan hipertensi sebesar 2 – 6 kali dibanding yang bukan obesitas. Menurut beberapa pakar dikatakan bahwa obesitas meningkatkan risiko terjadinya hipertensi karena beberapa sebab. Makin besar massa tubuh maka, makin banyak darah yang dibutuhkan untuk memasok oksigen dan zat gizi ke jaringan tubuh. Ini berarti bahwa volume darah yang beredar melalui pembuluh darah menjadi meningkat sehingga memberi tekanan lebih besar pada dinding arteri. Kelebihan berat badan juga meningkatkan frekuensi denyut jantung dan kadar insulin dalam darah. Peningkatan insulin menyebabkan tubuh menahan natrium dan air lebih banyak sehingga berakibat pada peningkatan tekanan darah.

Bukti lainnya yang tidak sejalan dengan hasil penelitian ini adalah penelitian Hull (1996) yang menunjukkan adanya hubungan antara berat badan dan hipertensi. Bila berat badan meningkat di atas berat badan ideal maka risiko

hipertensi juga meningkat. Penyelidikan epidemiologi juga membuktikan bahwa obesitas merupakan ciri khas pada populasi pasien hipertensi. Pada penelitian lain dibuktikan bahwa curah jantung dan volume darah sirkulasi pasien obesitas dengan hipertensi lebih tinggi dibandingkan dengan penderita yang mempunyai berat badan normal dengan tekanan darah yang setara.

Ada beberapa faktor yang diduga menjadi penyebab mengapa status obesitas tidak berhubungan signifikan dengan terjadinya hipertensi, diantaranya adalah bahwa pada responden yang tidak hipertensi terdapat 30 % dari mereka tidak memiliki riwayat keluarga hipertensi dan sebagian dari mereka memiliki kebiasaan olahraga meskipun tidak ideal serta kebiasaan makan makan berlemak mereka yang rendah sehingga menjadi faktor protektif terhadap terjadinya hipertensi.

Stres kejiwaan

Hampir semua responden (90.6 %) tidak mengalami stres (Tabel 6). Hal menarik bahwa angka kejadian hipertensi pada responden yang tidak mengalami stes adalah cukup tinggi yaitu 85.4 % dibandingkan responden yang mengalami stres 14.6 %. Jika ditelusuri dari data kuesioner dapat dillihat bahwa hampir semua dari mereka memiliki kebiasaan makan makanan berlemak yang sering dan tidak memiliki kebiasaan olah raga yang ideal.

Berdasarkan analisis uji chi-square, stres kejiwaan terbukti berhubungan dengan terjadinya hipertensi dengan nilai p Value = 0.080 dan OR = 3.927. Hal tersebut berarti bahwa orang yang mengalami stres kejiwaan, berisiko terkena hipertensi sebesar 3.927 kali dibandingkan orang yang tidak mengalami stress kejiwaan.

Menurut Gunawan (2005) dan Ferketich (2000) bahwa stres atau ketegangan jiwa (rasa tertekan, murung, bingung, cemas berdebar-debar, rasa marah, dendam, rasatakut, rasa bersalah) dapat merangsang kelenjar anak ginjal melepaskan hormon adrenalin dan memacu jantung berdenyut lebih cepat serta lebih kuat, sehingga tekanan darah akan meningkat. Jika stres berlangsung cukup lama tubuh berusaha mengadakan penyesuaian sehingga timbul kelainan organis atau perubahan patologis. Gejala yang muncul dapat berupa hipertensi atau peningkatan tekanan darah.

Menurut Lew dalam Gary (2000), stres mental berpengaruh terhadap tekanan darah penderita hipertensi. Akibat stres mental, sistolik naik dari 150 manjadi 210 mmHg dan diastolik naik dari 100 menjadi 140 mmHg. Hubungan stres dengan hipertensi diduga melalui syaraf simpatis yang dapat meningkatkan tekanan darah secara bertahap. Sistem ini meningkatkan kecepatan maupun kekuatan denyut jantung, menyempitkan hampir semua arteri kecil, kecuali di tempat-tempat tertentu seperti otot kepala yang justru diperlebar. Sistem simpatik juga menurunkan eksresi garam dan air oleh ginjal sehingga meninggikan volume cairan tubuh dan melepaskan hormon epinephrine dan norepinephrin yang menstimulasi jantung dan pembuluh darah. Stres akan meningkatkan tekanan darah untuk sementara waktu. Tekanan darah akan kembali normal setelah stres hilang. Apabila stres menjadi berkepanjangan dapat berakibat tekanan darah tetap tinggi.

Data kategori penggunaan kontrasepsi estrogen terdapat 52.4 % responden yang menggunakan kontrasepsi estrogen dan selebihnya tidak menggunakan 47.6

Dokumen terkait