• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor manajemen lingkungan juga berpengaruh terhadap pertumbuhan ternak. Suhu dan kelembaban yang sesuai dengan kondisi fisiologis ternak akan membuat pertumbuhan ternak semakin baik karena tingkat nafsu makan dan jumlah konsumsi pakannya semakin tinggi. Lokasi penelitian memiliki suhu dan kelembaban lingkungan yang tidak sama antara siang dan malam hari. Data suhu dan kelembaban di dalam kandang selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 3 berikut. Tabel 3. Rataan Suhu dan Kelembaban Udara Dalam Kandang Saat Penelitian Waktu Suhu (⁰C) Kelembaban (%) Pagi 27,58±1,80c 76,67±8,98a Siang 33,17±0,75a 58,17±8,61c Sore 30,33±1,03b 60,33±6,06b

Keterangan : superskrip huruf yang berbeda (a,b,c) pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) pagi ( 08.00 WIB), siang (12.00 WIB), sore (16.00 WIB)

Suhu optimum kerbau untuk hidup yaitu berada pada kisaran 15-25oC dengan kelembaban 60% - 70% (Yurleni, 2000), walaupun kenyataannya kerbau paling banyak ditemukan di daerah tropis dan subtropis, akan tetapi kerbau tidak tahan terhadap panas. Berdasarkan hasil analisis ragam pada Tabel 3 menunjukkan bahwa suhu pada pagi hari nyata lebih rendah (P<0,05) dibandingkan pada siang dan sore hari, sedangkan pada siang hari nyata lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan pada pagi dan sore hari. Hal ini dapat disebabkan perbedaan suhu antara pagi, siang dan sore hari, dimana pada pagi hari suhu udara belum meningkat dan belum terkena pancaran sinar matahari, sedangkan pada siang hari suhu udara sudah meningkat dan sudah terkena pancaran sinar matahari yang maksimal, sehingga suhu udara dalam kandang menjadi tinggi. Suhu udara dalam kandang pada sore hari kembali turun, karena panasnya pancaran sinar matahari sudah berkurang. Tingginya suhu udara di dalam kandang selama penelitian karena penelitian dilakukan secara intensif atau dikandangkan, selain itu juga tempat penelitian berada pada daerah tropis, sedangkan kerbau biasanya berada pada lingkungan yang basah dan suka berkubang. Hal ini ada kemungkinan akan menyebabkan kerbau mengalami heat stress, sehingga dapat

23 menyebabkan terjadinya penurunan produktivitas dan tingkah laku normal kerbau. Untuk mencegah hal itu terjadi, maka selama penelitian dilakukan penyiraman terhadap ternak sebanyak tiga kali sehari, sehingga ternak tidak terlalu stress terhadap panas dan nyaman terhadap lingkungan. Kesejahteraan ternak akan terjamin bila salah satunya jika sistem pemberian pakan yang sesuai dengan kebutuhan hidup pokok ternak dan lingkungan yang sesuai dengan kenyamanan ternak.

Hasil analisis ragam terhadap kelembaban udara di dalam kandang juga menunjukkan bahwa pada pagi hari berbeda nyata (P<0,05) antara siang dan sore hari dan juga berbeda nyata antara siang dan sore hari. Kelembaban udara berkaitan erat dengan dengan suhu udara, dimana kelembaban akan meningkat seiring dengan kenaikan suhu. Kelembaban pada pagi hari tinggi, karena suhu lingkungan pada pagi hari rendah, begitu juga dengan kelembaban pada siang hari rendah karena suhu lingkungan pada siang hari meningkat.

Tingkah Laku Umum Kerbau Rawa yang Diberi Perlakuan CGKK dan Non CGKK

Tingkah laku hewan adalah respon hewan tersebut terhadap lingkungan (Gonyou, 1991). Tingkat kesejahteraan ternak dapat diketahui salah satunya dengan mengamati tingkah laku normalnya. Seorang peternak yang baik harus mengetahui kebiasaan dan tingkah laku ternaknya, sehingga dapat mengelola peternakan dengan baik dan efektif. Hasil pengamatan berupa rataan frekuensi tingkah laku kerbau rawa secara keseluruhan yang diberi perlakuan pakan dapat dilihat pada Tabel 4 berikut. Tabel 4. Rataan Tingkah Laku Kerbau Rawa Keseluruhan yang Disuplementasi

CGKK dan Non CGKK.

Tingkah Laku Makan Agonistik Eliminasi Merawat Diri Vokalisasi ………..………Kali/ 10 Menit……..……… CGKK 3,33 ± 1,17 1,78 ± 0,59 0,20 ± 0,06 2,00 ± 1,12 0,02 ± 003 Non CGKK 3,54 ± 1,25 2,11 ± 0,80 0,22 ± 0,11 2,00 ± 0,17 0,00 ± 0,00 Rataan 3,44 ± 1,08 1,94 ± 0,65 0,21 ± 0,08 2,00 ± 0,71 0,01± 0,02

Keterangan : Superskrip pada pada huruf dan baris yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)

Berdasarkan hasil uji Man Whitney pada Tabel 4 menunjukkan bahwa frekuensi masing - masing tingkah tingkah laku tidak berbeda nyata (P>0,05) antara

24 kerbau yang diberi suplemen CGKK dengan kerbau non CGKK. Rataan jumlah frekuensi tingkah laku makan pada kerbau CGKK dan non CGKK lebih banyak dilakukan dibandingkan dengan tingkah laku lainnya seperti tingkah laku agonistik, eliminasi, merawat diri dan vokalisasi. Tingkah laku makan lebih banyak dilakukan disebabkan karena adanya makanan (rangsangan dari lingkungan) dan adanya kebutuhan atau lapar (rangsangan dari dalam).

Tingkah laku yang lebih banyak dilakukan setelah tingkah laku makan yaitu tingkah laku merawat diri, hal ini mungkin disebabkan karena lingkungan yang kering, sehingga kerbau terus menjilati tubuhnya supaya basah dan selain itu juga lalat sering hinggap ditubuhnya. Berbeda dengan kebiasaan kerbau yang hidup ditempat yang lembab dan berkubang, sehingga tubuhnya bebas dari lalat dan tidak kepanasan. Tingkah laku agonistik, tingkah laku eliminasi dan tingkah laku vokalisasi terlihat jarang dilakukan kerbau selama pengamatan.

Tingkah laku makan sangat erat hubungannya dengan tingkat kesejahteraan ternak, terutama ternak kerbau. Sebagaimana menurut Banerjee (1982) bahwa kerbau termasuk ternak yang kurang memilih dalam mencari makan, sehingga kerbau mengkonsumsi pakan yang kurang bermutu dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan pakan sapi. Hal ini yang menjadi alasan mengapa kerbau dapat berkembang dengan baik dibandingkan sapi pada kondisi pakan yang buruk. Hal ini berkaitan erat dengan tingkah laku kerbau, dimana di lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan hidup pokoknya dan memperoleh pakan yang nutrisinya terpenuhi dan mempunyai palatabilitas tinggi, maka kesejahteraan kerbau dapat tercapai dan melakukan tingkah laku yang normal. Selain ternak kerbau menunjukkan tingkah laku yang normal juga menunjukkan tingkat produktivitas yang baik. Berdasarkan hasil penelitian lain menyebutkan bahwa konsumsi ransum total ternak dengan suplemen CGKK lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan ternak tanpa suplemen CGKK. Hal ini menunjukkan suplemen CGKK mampu meningkatkan nafsu makan dari ternak (Nurbianti, 2012). Campuran Garam Karboksilat Kering merupakan suplemen tambahan yang berbahan dasar minyak ikan lemuru, onggok super dan garam karboksilat. Penambahan suplemen pakan hanya 4,5% dari 1 kg konsentrat karena kandungan garam pada suatu ransum tidak dapat lebih dari 5%. Bau yang khas ikan lemuru cenderung memiliki palatabilitas rendah, namun CGKK memiliki rasa yang

25 disukai oleh ternak sehingga dapat meningkatkan jumlah konsumsi ternak, sehingga tingkah laku makan kerbau terlihat normal. Standar dari tingkah laku yang normal pada kerbau dapat diasumsikan bahwa tingkah laku kerbau yang tanpa diberi ransum CGKK digunakan sebagai hewan kontrol yang melakukan tingkah laku normal sehingga bisa dibandingkan dengan tingkah laku kerbau yang diberi ransum CGKK. Tingkah laku kerbau rawa dikatakan normal karena terlihat dari tidak adanya perbedaan yang signifikan antara kerbau yang diberi ransum CGKK dan non CGKK, baik itu tingkah laku makan, agonistik, eliminatif, merawat diri dan vokalisasi.

Tingkah Laku Kerbau Rawa yang Diberi Suplemen CGKK pada Waktu yang Berbeda

Pemberian pakan kerbau rawa yang disuplemen CGKK dan non CGKK dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup kerbau serta meningkatkan palatabilitas ternak terhadap pakan yang memungkinkan terjadinya perubahan tingkah laku. Namun berdasarkan pada Tabel 4 ternyata pemberian pakan yang berbeda tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap tingkah laku kerbau secara keseluruhan. Oleh karena itu selanjutnya dilakukan analisis terhadap tingkah laku kerbau rawa yang diberi suplemen CGKK pada waktu yang berbeda untuk melihat pengaruh masing – masing perlakuan terhadap tingkah lakunya. Rataan frekuensi tingkah laku kerbau rawa yang disuplemen CGKK dapat dilihat pada Tabel 5 berikut.

Tabel 5. Rataan Frekuensi Tingkah Laku Kerbau Rawa yang Disuplemen CGKK pada Waktu yang Berbeda

Tingkah laku Frekuensi Tingkah Laku

Pagi Siang Sore Rataan ………kali / 10 menit………. Makan 4,17±3,61 2,00±0,44 3,83±2,50 3,33±4,77 Agonistik 1,22±0,79 2,39±1,50 1,72±1,51 1,78±3,47 Eliminatif 0,17±0,17 0,17±0,17 0,28±,10 0,20±0,41 Merawat Diri 0,83±0,29a 3,06±0,75bc 2,11±0,35b 2,00±2,29 Vokalisasi 0,06±0,10 0,00±0,00 0,00±0,00 0,02±0,14

Keterangan : Superskrip pada pada huruf dan baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) pagi ( 08.00 WIB), siang (12.00 WIB), sore (16.00WIB).

26 Berdasarkan hasil uji Friedman menunjukkan bahwa jumlah frekuensi tingkah laku makan kerbau pada pagi hari tidak berbeda nyata (P>0,05) antara siang dan sore hari. Rataan frekuensi tingkah laku makan pada pagi hari, siang dan sore hari sebesar (3,33±4,77 kali/10 menit). Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat dikatakan bahwa pemberian ransum yang disuplemen CGKK tidak berpengaruh terhadap tingkah laku kerbau. Hal ini mungkin disebabkan karena kerbau termasuk ternak yang kurang memilih dalam mencari makan, sehingga kerbau tetap mengkonsusmsi pakan yang kurang bermutu dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan pakan sapi.

Berdasarkan Tabel 5 hanya terlihat perbedaan jumlah frekuensi antara pagi, siang dan sore hari, dimana pada pagi hari jumlah frekuensi makan lebih banyak di lakukan (4,17±3,61 kali/10 menit) dibandingkan pada siang dan sore hari. Hal ini disebabkan karena kerbau lebih suka atau lebih banyak mengkonsumsi pakan pada pagi hari, karena pada saat pagi hari suhu udara belum meningkat. Kerbau sangat sensitif dengan udara yang panas, sehingga mempengaruhi nafsu makan kerbau tersebut. Tingkah laku agonistik lebih banyak dilakukan pada siang hari (2,39±1,50 kali/10 menit) dibandingkan pada pagi dan sore hari dengan rataan sebesar (1,78±3,47 kali/10 menit). Hal ini mungkin disebabkan karena suhu udara pada siang hari tinggi, dimana ternak kerbau akan merasa kepanasan dan gelisah, sehingga kerbau melakukan perlawanan terhadap kerbau lainnya dengan cara menanduk. Selain itu kerbau jantan lebih cenderung untuk menyerang kerbau jantan dibandingkan sapi perah atau sapi potong jantan. Perkelahian antar kerbau jantan sangat berbahaya dan sering berakhir dengan kematian (Banerjee, 1982), sehingga memerlukan perhatian untuk memelihara mereka secara terpisah atau dikandangkan.

Tingkah laku eliminatif juga terlihat pada saat pengamatan, namun jumlah frekuensi tingkah laku kerbau antara pagi, siang dan sore hari tidak terlalu berbeda dengan rataan sebesar (0,20±0,41 kali/10 menit) dan tingkah laku eliminatif terlihat jarang dilakukan selama pengamatan berlangsung. Kerbau juga terlihat sering melakukan tingkah laku merawat diri, dimana jumlah frekuensi tingkah laku pada siang hari lebih sering dilakukan (3,06±0,75 kali/10 menit). Berdasarkan hasil uji friedman menunjukkan bahwa tingkah laku kerbau pada siang hari berbeda nyata (P<0,05) dengan pagi hari, sedangkan frekuensi tingkah laku pada siang hari tidak

27 berbeda nyata (P>0,05) dengan sore hari, namun tingkah laku pada sore hari berbeda nyata (P<0,05) dengan pagi hari. Hal ini mungkin disebabkan banyaknya lalat terbang pada siang hari, dimana lingkungannya yang kering menyebabkan gangguan lain dapat terjadi, seperti panasnya udara pada siang hari menyebabkan kerbau merasa kepanasan, sehingga kerbau lebih sering berbaring pada lantai yang tergenang air serta menjilati bagian tubuhnya maupun menjilati kerbau lainnya.

Tingkah laku merawat diri pada kerbau ditunjukkan dengan kebiasaan kerbau yang menjilati tubuhnya sendiri maupun menjilati tubuh kerbau lainnya, menggosokkan badannya ke dinding dan tiang pembatas antar ternak kerbau, serta berbaring dilantai yang tergenang air agar tubuhnya lebih dingin. Hal ini dapat dikatakan ternak kerbau kurang nyaman dengan lingkungannya, untuk mengurangi ketidaknyamanan kerbau tersebut dapat dilakukan dengan penyiraman yang lebih sering untuk mengurangi panas tubuhnya dan kekeringan pada tubuhnya yang menyebabkan lalat hinggap. Berbeda dengan kebiasaan kerbau yang suka berkubang untuk menghindari gangguan lalat, kutu dan mengurangi produksi panas tubuhnya (Smith dan Mangkoewidjojo, 1987).

Tingkah laku vokalisasi paling jarang dilakukan baik pada pagi hari, siang maupun sore hari. Kerbau hanya akan mengeluarkan suara pada saat tertentu seperti dalam hal kekurangan pakan dan adanya ancaman dari luar yang akan membahayakan dirinya. Jumlah frekuensi vokalisasi yang paling sedikit ini dapat menunjukkan bahwa ternak kerbau marasa nyaman dipelihara secara feedlot, dimana akan terhindar dari ancaman luar maupun kekurangan terhadap kebutuhan hidup pokoknya seperti kekurangan makan.

Tingkah Laku Kerbau Rawa yang Diberi Suplemen Non CGKK pada Waktu yang Berbeda

Kerbau termasuk hewan yang suka merumput (grazing) (Schoenian, 2005). Kerbau termasuk ternak yang kurang memilih dalam mencari makan, sehingga kerbau mengkonsusmsi pakan yang kurang bermutu dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan pakan sapi. Hal ini yang menjadi alasan mengapa kerbau dapat berkembang dengan baik dibandingkan sapi pada kondisi pakan yang buruk (Banerjee, 1982). Justru dengan sifat tersebut ternak kerbau juga harus mendapatkan perhatian dari peternak untuk meningkatkan kesejahteraannya dengan

28 memperhatikan kebutuhan hidup pokoknya dengan memberi pakan yang mempunyai palatabilitas tinggi bagi ternak dan memiliki nilai nutrisi yang baik. Pemberian ransum yang disuplemen Campuran Garam Karboksilat Kering (CGKK) diharapkan dapat memenuhi kebutuhan nutrisi ternak sehigga tercapainya kesejahteraan terhadap ternak dengan pengamatan terhadap tingkah laku normal nya. Rataan frekuensi tingkah laku kerbau rawa yang disuplemen non CGKK pada waktu yang berbeda dapat dilihat pada tabel 6 berikut.

Tabel 6. Rataan Frekuensi Tingkah Laku Kerbau Rawa yang Disuplemen Non CGKK pada Waktu yang Berbeda

Tingkah laku Frekuensi Tingkah Laku

Pagi Siang Sore Rataan ………kali / 10 menit………. Makan 4,78±2,47 2,28±0,75 3,56±0,96 3,54±4,58 Agonistik 2,78±0,79 2,33±1,44 1,22±0,54 2,11±3,82 Eliminatif 0,33±0,17 0,11±0,10 0,22±0,25 0,22±0,57 Merawat Diri 1,83±0,44 2,00±0,83 2,17±0,44 2,00±2,50 Vokalisasi 0,00±0,00 0,00±0,00 0,00±0,00 0,00±0,00

Keterangan : Superskrip pada pada huruf dan baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) pagi ( 08.00 WIB), siang (12.00 WIB), sore (16.00WIB).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa frekuensi tingkah laku makan lebih banyak dilakukan pada pagi hari (4,78±2,47 kali/10 menit) dibandingkan pada siang dan sore hari. Kerbau sangat sensitif dengan udara yang panas, sehingga mempengaruhi nafsu makan kerbau tersebut. Kerbau memiliki daya tahan panas yang rendah, hal ini diduga karena kelenjar keringat pada ternak kerbau sangat sedikit dibandingkan dengan ternak sapi, serta mempunyai bulu-bulu yang jarang, sehingga sangat rentan dengan suhu tinggi, hal ini disebabkan karena evaporasi pendinginan dari permukaan tubuhnya kurang efisien (Williamson and Payne, 1993) yang menyebabkan nafsu makan kerbau jadi berkurang. Rataan frekuensi tingkah laku kerbau lainnya seperti tingkah laku agonistik (2,78±0,79 kali/10 menit), eliminatif (0,33±0,17 kali/10 menit) juga menunjukkan bahwa tingkah laku yang banyak dilakukan pada pagi hari. Berbeda dengan tingkah laku merawat diri lebih banyak dilakukan pada siang hari sore hari yaitu (2,00±0,83 kali/10 menit) dan sore

29 hari sebesar (2,17±0,44 kali/10 menit). Tingkah laku vokalisasi tidak terlihat selama pengamatan dilakukan.

Namun berdasarkan hasil uji statistik menunjukkan bahwa rataan frekuensi tingkah laku kerbau pada waktu yang berbeda tidak berbeda nyata (P>0,05) antara pagi hari, siang dan sore hari yang berarti bahwa perlakuan pemberian ransum non CGKK tidak berpengaruh terhadap tingkah laku kerbau rawa. Hal ini dapat disebabkan karena hasil rataan standar deviasi yang cukup tinggi, selain itu juga dapat disebabkan karena metode pengamatan, seperti waktu pengamatan yang terlalu singkat.

Secara keseluruhan dapat dilihat bahwa perlakuan pakan tidak menunjukkan hasil yang berbeda nyata antara kerbau yang diberi suplemen CGKK maupun non CGKK. Hasil ini juga dapat menunjukkan bahwa tidak ada perubahan tingkah laku normal pada ternak kerbau, terlihat dari tingkat adaptasi yang tinggi pada ternak kerbau. Adaptasi terhadap pakan dapat dilihat dari tingkah laku makannya. Hal ini didukung oleh penelitian lain bahwa pertambahan bobot badan ternak kerbau terlihat lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan sapi, yaitu sebesar 1,16 kg/ekor/hari pada kerbau dan pada sapi sebesar 0,94 kg/ekor/hari (Nurbianti, 2012). Hal ini dapat disebabkan oleh kemampuan kerbau yang dapat mencerna serat kasar lebih baik dibandingkan sapi. Hasil ini menunjukkan potensi yang baik dari kerbau yaitu pertambahan bobot badan kerbau lebih tinggi dibandingkan sapi pada pemeliharaan secara intensif. Selama ini kerbau dianggap memiliki pertumbuhan yang lambat dibandingkan sapi karena banyak kerbau dipelihara secara ekstensif atau digembalakan. Hal ini menunjukkan bahwa kerbau yang dipelihara secara intensif lebih baik, karena kerbau tidak banyak bergerak, sehingga lebih baik dalam menghasilkan daging atau lemak. Sistem pemeliharaan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan pada ternak. Dengan demikian sistem pemberian pakan yang tepat dan sistem pemeliharaan yang intensif dapat meningkatkan produktivitas ternak dan menunjukkan bahwa kesejahteraan ternak terpenuhi.

Berikut contoh gambar tingkah laku ternak kerbau pada saat pengamatan terlihat pada Gambar 5.

30 (a) Tingkah Laku Agonistik (b) Tingkah Laku Makan

(c) Tingkah Laku Merawat Diri (d) Tingkah Laku Merawat Diri Gambar 5. Beberapa Contoh Tingkah Laku Kerbau Rawa (a) Tingkah Laku

Agonistik, (b) Tingkah Laku Makan, (c,) Tingkah laku Merawat Diri, (d) Tingkah Laku Merawat Diri

Kondisi Fisiologi Kerbau Rawa

Respon fisiologi merupakan tanggapan ternak terhadap berbagai macam faktor lingkungan di sekitarnya, terutama temperatur udara. Ternak kerbau mempunyai koefisien tahan panas (KTP) yang rendah sehingga mudah menimbulkan cekaman panas (Cockrill, 1984). Faktor yang menyebabkan rendahnya koefisien tahan panas ini diduga karena kelenjar keringat pada ternak kerbau sangat sedikit dan mempunyai bulu-bulu yang jarang. Kelenjar keringat yang terdapat pada ternak kerbau kira-kira hanya sepertiga pada ternak sapi (Moran, 1973 ; Fahimuddin, 1975). Hal ini yang menyebabkan kebiasaan ternak kerbau mencari tempat teduhan dan tempat untuk berkubang dengan tujuan untuk mengurangi cekaman panas akibat sinar radiasi matahari langsung. Untuk menghindarai terjadinya cekaman panas selama penelitian dan dipelihara secara feedlot, maka selama pemeliharaan dilakukan

31 penyiraman secara kontinyu yaitu tiga kali dalam sehari untuk menghindari heat

stres pada ternak kerbau tersebut.

Ternak membutuhkan lingkungan yang sesuai untuk kebutuhan fisiologisnya, jika tidak sesuai dengan lingkungannya, maka akan mengakibatkan tingkat stress pada ternak baik dalam lingkungan yang dingin maupun yang panas, sehingga dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan produksi ternak serta mempengaruhi tingkah laku nomalnya. Tingkah laku ternak berkaitan sangat erat dengan nilai fisiologi ternak itu sendiri. Perubahan fisiologi yang terjadi pada masing-masing kerbau dilakukan dengan mengukur frekuensi denyut jantung, frekuensi pernapasan, dan suhu rektal.

Denyut Jantung

Jantung pada berbagai hewan dapat berkontraksi dengan sendirinya tanpa ada rangsangan dari luar. Jantung mamalia sensitif terhadap pasokan oksigen dan temperatur. Kelly (1974) menyatakan faktor-faktor fisiologis yang berpengaruh pada kecepatan denyut jantung adalah spesies, ukuran tubuh, umur, kondisi fisik, jenis kelamin, kehamilan, proses kalahiran, laktasi, ransangan, postur tubuh (perawakan), proses pencernaan, ruminasi dan suhu lingkungan. Kecepatan denyut jantung pada ternak yang muda lebih tinggi daripada ternak dara dan dewasa pada spesies yang sama. Hasil penelitian terhadap rataan frekuensi denyut jantung dapat dilihat pada Tabel 7 berikut.

Tabel 7. Frekuensi Denyut Jantung Kerbau CGKK dan Non CGKK

Waktu

Denyut Jantung Kerbau Rawa pada Pakan

Berbeda (kali/menit) Rataan

CGKK Non CGKK

Pagi 75,05±5,36 75,17±2,33 75,11±3,70

Siang 64,72±2,87 65,78±4,03 65,25±3,18

Sore 62,17±3,37 62,89±5,44 62,53±4,07

Keterangan : superskrip (A,B) pada baris yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0,01).

Hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan Uji T. Hasil menunjukkan bahwa denyut jantung pada pagi hari tidak menunjukkan hasil yang beda nyata (P>0,05) dari kedua perlakuan yaitu (75,05±5,36 kali/menit) pada kerbau yang

32 disuplementasi CGKK dan (75,17±2,33 kali/menit) pada kerbau non CGKK. Frekuensi denyut jantung pada siang hari juga menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata dari kedua perlakuan (P>0,05) yaitu (64,72±2,87 kali/menit) pada kerbau yang disuplementasi CGKK dan (64,72±2,87 kali/menit) pada kerbau non CGKK, begitu juga pada sore hari yang menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0,05) antara kedua perlakuan yaitu (62,17±3,37 kali/menit) pada kerbau non CGKK dan (62,89±5,44 kali/menit) pada kerbau non CGKK. Perbedaan yang terjadi hanya disebabkan waktu pengamatan, yaitu antara pagi, siang, dan sore, namun hasil ini menunjukkan bahwa frekuensi denyut jantung pada pagi hari melebihi jumlah frekuensi normal denyut jantung kerbau, Fahimuddin (1975) mengatakan bahwa jumlah denyut jantung normal pada kerbau dewasa dalam istirahat 40 kali per menit, pada hewan jantan 52 kali per menit, namun pada keadaan suhu lingkungan tinggi bisa mencapai 71 kali per menit. Selain itu peningkatan denyut jantung juga merupakan respon dari tubuh ternak itu sendiri untuk menyebarkan panas yang diterima ke dalam organ-organ yang lebih dingin (Yani, 2006).

Hasil ini berbeda dengan beberapa literatur, seperti terlihat pada Tabel 7. bahwa denyut jantung kerbau pada pagi hari lebih tinggi dibandingkan dengan siang dan sore hari, sedangkan denyut jantung akan meningkat seiring meningkatnya suhu lingkungan. Namun kerbau juga mempunyai kelebihan yaitu setelah mengalami cekaman panas, kerbau mampu kembali ke keadaan normal dalam waktu yang relatif cepat, apalagi bila tersedia tempat berteduh atau kubangan (Fahimuddin, 1975). Hasil penelitian menunjukkan berbeda dengan literatur, hal ini mungkin disebabkan karena sistem pemeliharaan yang dilakukan berbeda dengan sistem penggembalaan, yakni kerbau dipelihara secara feedlot, dimana selama pemeliharaan selalu dilakukan penyiraman terhadap kerbau sebanyak tiga kali dalam sehari. Pengambilan data pagi hari dilakukan sebelum penyiraman dan setelah ternak makan. Hasil ini juga menunjukkan hubungan antara tingkah laku ternak kerbau dengan frekuensi denyut jantung kerbau, dimana tingkah laku makan lebih banyak dilakukan pada pagi hari. Dengan demikian ternak lebih banyak melakukan aktivitas pada pagi hari dibandingkan dengan siang hari kerbau lebih banyak melakukan istirahat dan begitu juga dengan sore hari.

33 Laju Pernapasan

Respirasi merupakan gerakan fisik dimana udara masuk dan dikeluarkan dari paru-paru. Respirasi juga termasuk dalam proses kimia dan fisik yang memungkinkan organisme untuk mempertukarkan gas-gas (udara) dari lingkungan (Kelly, 1974). Peningkatan frekuensi laju pernapasan terjadi karena adanya peningkatan kebutuhan oksigen oleh jaringan-jaringan tubuh. Sebagai konsekuensinya dapat dilihat ketika ternak melakukan gerakan badan, berjemur pada suhu atau kelembaban udara yang tinggi dan karena ternak kegemukan (Kelly, 1974). Hasil penelitian terhadap rataan frekuensi pernapasan dapat dilihat pada Tabel 8 berikut.

Tabel 8. Frekuensi Pernapasan Kerbau CGKK dan Non CGKK

Waktu

Pernapasan Kerbau Rawa pada Pakan Berbeda

(kali/menit) Rataan

CGKK Non CGKK

Pagi 44,94±1,94 42,67±1,87 43,81±2,11

Siang 40,72±0,19 41,17±1,45 40,94±0,96

Sore 42,89±1,34 41,56±1,60 42,22±1,51

Keterangan : superskrip (A,B) pada baris yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0,01).

Hasil menunjukkan bahwa laju pernapasan pada pagi hari tidak menunjukkan hasil yang tidak nyata (P>0,05) dari kedua perlakuan yaitu (44,94±1,94) pada kerbau

Dokumen terkait