• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINGKAH LAKU KERBAU RAWA YANG DIPELIHARA SECARA FEEDLOT YANG DIBERI RANSUM DENGAN SUPLEMENTASI CAMPURAN GARAM KARBOKSILAT KERING (CGKK)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINGKAH LAKU KERBAU RAWA YANG DIPELIHARA SECARA FEEDLOT YANG DIBERI RANSUM DENGAN SUPLEMENTASI CAMPURAN GARAM KARBOKSILAT KERING (CGKK)"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

TINGKAH LAKU KERBAU RAWA YANG DIPELIHARA

SECARA

FEEDLOT

YANG DIBERI RANSUM

DENGAN SUPLEMENTASI CAMPURAN

GARAM KARBOKSILAT KERING

(CGKK)

SKRIPSI DELVITA YUNIZA

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013

(2)

RINGKASAN

DELVITA YUNIZA. 2013. Tingkah Laku Kerbau Rawa yang Dipelihara Secara Feedlot yang Diberi Ransum Dengan Suplementasi Campuran Garam Karboksilat Kering (CGKK). Skripsi. Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Dr. Ir. M. Yamin, M.Agr.Sc Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Rudy Priyanto

Kerbau (Bubalus bubalis) merupakan salah satu ternak ruminansia besar yang telah lama dikenal oleh masyarakat khususnya di pedesaan di Indonesia. Sistem pemeliharaan ternak kerbau di Indonesia dilakukan masih secara ekstensif dengan pakan berasal dari hijauan saja tanpa adanya pemberian konsentrat yang menyebabkan kualitas daging kerbau rendah dibandingkan dengan daging sapi. Daya saing daging kerbau terhadap daging sapi dapat ditingkatkan salah satunya melalui penggemukan. Faktor yang harus diperhatikan pada penggemukan yaitu pemberian pakan yang berkualitas serta pemeliharaan secara intensif. Salah satu alternatif pakan suplemen yang dapat ditambahkan adalah minyak ikan lemuru yang diproteksi ke dalam bentuk campuran garam karboksilat kering (CGKK). Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari tingkah laku kerbau rawa terutama tingkahlaku makan dan minum, melawan, membuang kotoran, merawat diri, dan vokalisasi yang diberi ransum yang disuplementasi minyak ikan lemuru yang terpsoteksi dan dikandangkan secara feedlot. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang kandang A Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Laboratorium Ruminansia Besar Fakultas Peternakan, dan Teknopark SEAFAST Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Ternak yang digunakan adalah enam ekor kerbau Rawa jantan. Jenis perlakuan adalah ternak yang diberi konsentrat CGKK dan konsentrat non CGKK 45gram/kg konsentrat.

Data hasil pengamatan tingkah laku diolah dengan menggunakan Uji Freadman untuk data pengamatan berulang dengan perlakuan lebih dari 2, dan Man Whitney. Data fisiologis diolah dengan uji t untuk mengetahui nilai rataan yang berbeda.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa frekuensi tingkah laku ternak kerbau tidak berbeda nyata (P>0,05) antara pakan yang disuplemen CGKK dengan pakan non CGKK. Tingkah laku kerbau rawa pada pakan yang disuplemen CGKK menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0,05) antara pagi, siang, dan sore hari terhadap kelima tingkah laku, kecuali pada tingkah laku merawat diri yang berbeda nyata (P<0,05) antara pagi dan siang hari, antara sore dan pagi hari. Frekuensi tingkah laku makan, agonistic, merawat diri, eliminasi, dan vokalisasi pada kerbau yang disuplemen non CGKK tidak menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P>0,05) antara pagi hari, siang dan sore hari. Hasil Uji t Pengukuran data fisiologis menunjukkan bahwa denyut jantung, pernapasan dan suhu rektal kerbau rawa pada pagi, siang dan sore hari menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (P<0,05).

(3)

ABSTRACT

The Behaviour of Swamp Buffaloes in Feedlot Maintenance Given Dried Carboxylate Salt Mixture (DCM) Supplement In Feed

Yuniza. D, M. Yamin and R. Priyanto

At present buffalo farming system is still traditional with a relatively low quality of feed. Improvement of the feed quality needs to be developed. The experiment was aimed to study the behaviour and physiological parameters of swamp buffalo as a response of different treatment of feed supplemention protected Lemuru fish oil in dried of carboxylate salts mixture (DCM) 0% and 4,5%. The animals used were six heads of male buffaloes. Observations were conducted in three times, in the morning (8:00 am - 10:00 am), around noon (12:00 am – 2:00 pm) and afternoon (3:00 pm - 5: 00 pm). The parameters included eating behaviour, agonistic, eliminative, grooming, and vocalization. Physiological parameters measured were pulse rate, respiration rate, and rectal temperature. Data analysis used were Man Whitney and Friedman test to analysis frequency different of while two treatment., where as the

data of physiology were analysed by t test method. The results show that the eating,

agonistic, and eliminative behaviour were dominantly presented in the morning and afternoon both in the two treatments. Grooming behaviour occurred during the day. The physiology of the buffalo bull were not different in both feed treatment. It is concluded that the feed treatments had no effect on the behaviour and phisiology of the swamp buffalo, therefore CGKK can be recommended as a good quality feed for local buffalo.

(4)

TINGKAH LAKU KERBAU RAWA YANG DIPELIHARA

SECARA

FEEDLOT

YANG DIBERI RANSUM

DENGAN SUPLEMENTASI CAMPURAN

GARAM KARBOKSILAT KERING

(CGKK)

SKRIPSI DELVITA YUNIZA

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013

(5)

Judul : Tingkah Laku Kerbau Rawa yang Dipelihara Secara Feedlot yang Diberi Ransum Dengan Suplementasi Campuran Garam Karboksilat Kering (CGKK)

Nama : Delvita Yuniza NIM : D14080135

Menyetujui,

Mengetahui: Ketua Departemen,

Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

( Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr. Sc ) NIP. 19591212 198603 1 004

Tanggal Ujian : 11 Desember 2012 Tanggal Lulus : Pembimbing Utama

( Dr. Ir. M. Yamin, M.Agr. Sc ) NIP. 19630281198803 1 002

Pembimbing Anggota

( Dr. Ir. Rudy Priyanto ) NIP. 19601216 198603 1 003

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir pada tanggal 29 Maret 1990 yang bertempat di Lubuk Layang, Kecamatan Rao Selatan, Kabupaten pasaman, Sumatera Barat. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Zamzami Kimin dan Ibunda Yuni Desmi. Pendidikan dasar dimulai dari tahun 1996 di SD Negeri 14 Lubuk Layang dan diselesaikan pada tahun 2002. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan ke jenjang pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di SLTP Negeri 1 Rao dan menyelesaikan pendidikan tersebut pada tahun 2005. Pendidikan lanjutan menengah atas ditempuh pada tahun 2005 sampai tahun 2008 di SMU Negeri 1 Rao. Penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2008 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI), setelah menyelesaikan Tingkat Persiapan Bersama (TPB) IPB pada tahun 2009 penulis diterima di Departemen Ilmu Produksi dan Tekhnologi Peternakan (IPTP), Fakultas Peternakan IPB.

Selama menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor, penulis bergabung dalam berbagai kepanitiaan yaitu, panitia BAZAR CERIA tingkat TPB, panitia BINDES FAPET dan Makrab IPTP 46. Penulis juga tergabung dalam organisasi di luar IPB yaitu sebagai sekretaris ikatan mahasiswa harimau pasaman (IMHP) Bogor.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah serta karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Tingkah Laku Kerbau Rawa yang Dipelihara Secara Feedlot yang Diberi Ransum Dengan Suplementasi Campuran Garam Karboksilat Kering (CGKK). Skripsi ini ditulis berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada bulan Juni sampai September 2011 bertempat di Laboratorium lapang kandang A dan Laboratorium Ruminansia Besar Fakultas Peternakan dan Teknopark SEAFAST Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilakukan untuk mengamati tentang pengaruh pakan berupa ransum yang disuplemen CGKK dan non CGKK terhadap tingkah laku dan kesejahteraan ternak.

Kesejahteraan ternak selalu dikaitkan dengan tingkat stres yang diderita oleh ternak. Tingkat stres yang diderita dapat diketahui dari pengamatan terhadap tingkah laku normalnya. Salah satu cara menangani stres pada ternak yaitu dengan cara memberi pakan yang sesuai dengan kebutuhan hidup pokoknya dan sistem pemeliharaan yang sesuai dengan kenyamanan ternak. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi pengaruh pemberian pakan yang berbeda (CGKK dan non CGKK) terhadap tingkah laku ternak serta fisiologis ternak.

Harapan penulis dengan segala keterbatasan dan kekurangan skripsi ini semoga dapat memberikan informasi dan pengetahuan yang bermanfaat bagi pembaca dan semoga bermanfaat bagi perkembangan peternakan Indonesia. Oleh karena itu, harapan besar penulis adanya sumbangan pemikiran dari berbagai pihak untuk perbaikan skripsi ini.

Bogor, Januari 2013

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN ... i

ABSTRACT ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

RIWAYAT HIDUP ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix DAFTAR GAMBAR ... x DAFTAR LAMPIRAN ... xi PENDAHULUAN ... 1 Latar Belakang ... 1 Tujuan ... 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 3 Kerbau ... 3

Sistem Pemeliharaan Kerbau ... 4

Produktivitas Ternak Kerbau ... 5

Tingkah Laku ... 6

Tingkah Laku Makan ... 6

Tingkah Laku Agonistik ... 7

Tingkah Laku Kerbau ... 7

Tingkah Laku Reproduksi Kerbau Betina dan Jantan ... 8

Tingkah Laku Makan Kerbau ... 9

Tingkah Laku Sosial ... 9

Fisiologi Kerbau ... 10

Denyut Jantung ... 10

Laju Pernapasan ... 11

Temperatur Tubuh ... 12

Minyak Ikan Lemuru ... 12

Campuran Garam Karboksilat Kering (CGKK) ... 13

MATERI DAN METODE ... 14

Lokasi dan Waktu ... 14

Materi ... 14

Ternak ... 14

Peralatan dan Perkandangan ... 15

Pakan dan Air minum ... 15

(9)

viii

Prosedur ... 17

Persiapan dan Pemeliharaan ... 17

Pengambilan Data Tingkah Laku ... 18

Pengambilan Data Pendukung ... 19

Rancangan dan Analisis Data ... 20

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 22

Keadaan Umum Lokasi Penelitian ... 22

Tingkah Laku Umum Kerbau Rawa yang Diberi Perlakuan ... 23

CGKK dan Non CGKK ... 23

Tingkah Laku Kerbau Rawa yang Diberi Suplemen CGKK ... 25

pada Waktu yang Berbeda ... 25

Tingkah Laku Kerbau Rawa yang Diberi Suplemen Non CGKK ... 27

pada Waktu yang Berbeda ... 27

Kondisi Fisiologi Kerbau Rawa ... 30

Denyut Jantung ... 31

Laju Pernapasan ... 33

Suhu Rektal ... 34

KESIMPULAN DAN SARAN ... 36

Kesimpulan ... 36

Saran ... 36

UCAPAN TERIMA KASIH ... 37

DAFTAR PUSTAKA ... 38

(10)

ix DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Komposisi Pakan Ternak Kerbau Berdasarkan Bahan Kering ... 17

2. Kandungan Nutrisi Pakan Ternak Kerbau Berdasarkan Bahan Kering 17 3. Rataan Suhu dan Kelembaban Udara Dalam Kandang Saat Penelitian ... 22

4. Rataan Tingkah Laku Kerbau Rawa Keseluruhan yang Disuplementasi CGKK dan Non CGKK. ... 23

5. Rataan Frekuensi Tingkah Laku Kerbau Rawa yang Disuplemen CGKK pada Waktu yang Berbeda ... 25

6. Rataan Frekuensi Tingkah Laku Kerbau Rawa yang Disuplemen Non CGKK pada Waktu yang Berbeda ... 28

7. Frekuensi Denyut Jantung Kerbau CGKK dan Non CGKK ... 31

8. Frekuensi Pernapasan Kerbau CGKK dan Non CGKK ... 33

(11)

x DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman 1. Kerbau yang Diberi Suplemen CGKK ... 14 2. Kerbau yang Diberi Suplemen Non CGKK ... 14 3. Pakan yang Digunakan dalam Penelitian (a) Pakan Hijauan, (b)

Pakan Konsentrat + CGKK ... 15 4. Alur Pembuatan Suplemen Minyak Ikan Lemuru yang Terproteksi

Dalam Bentuk CGKK ... 16 5. Beberapa Contoh Tingkah Laku Kerbau Rawa (a) Tingkah Laku

Agonistik, (b) Tingkah Laku Makan, (c,) Tingkah laku Merawat

(12)

xi DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman 1. Hasil Uji T Rataan Tingkah Laku Kerbau Rawa yang Disuplemen

CGKK ... 42 2. Hasil Uji T Rataan Tingkah Laku Kerbau Rawa yang Disuplemen

Non CGKK ... 42 3. Hasil Uji T Rataan Tingkah Laku Kerbau Rawa Secara Keseluruhan

yang Disuplemen CGKK dan Non CGKK ... 43 4. Hasil Uji T Rataan Denyut Jantung, Pernapasan dan Suhu Rektal

Kerbau Rawa yang Disuplemen CGKK dan Non CGKK ... 43 5. Perbandingan Rataan Denyut Jantung Kerbau Rawa yang

Disuplemen CGKK dan Non CGKK ... 43 6. Perbandingan Rataan Laju Pernapasan Kerbau Rawa yang

Disuplemen CGKK dan Non CGKK ... 44 7. Perbandingan Rataan Suhu Rektal Kerbau Rawa yang Disuplemen

CGKK dan Non CGKK ... 44 8. Hasil uji Friedmant Tingkah Laku Kerbau Rawa yang Disuplemen

CGKK pada Waktu yang Berbeda ... 44 9. Hasil uji Friedmant Tingkah Laku Kerbau Rawa yang Disuplemen

Non CGKK pada Waktu yang Berbeda ... 45 10. Hasil Uji Mann Whiteney Frekuensi Kejadian Seluruh Tingkah

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kerbau (Bubalus bubalis) merupakan salah satu ternak ruminansia besar yang telah lama dikenal oleh masyarakat khususnya di pedesaan di Indonesia. Kerbau diketahui memiliki beberapa kelebihan diantaranya dapat bertahan hidup dengan pakan yang terbatas, baik dalam hal kualitas maupun kuantitas. Kerbau juga toleran terhadap penyakit atau parasit di daerah tropis, lembab, menyebabkan ketahanan hidup kerbau tinggi pada berbagai agroekosistem di Indonesia. Namun, kondisi peternakan kerbau saat ini bersifat tradisional yang tidak berorientasi pada kebutuhan ternak sehingga menyebabkan rendahnya populasi kerbau serta produktivitasnya. Di Indonesia pemeliharaan ternak kerbau umumnya digunakan sebagai ternak kerja, meningkatkan status sosial, akibatnya ternak dijual dan dipotong pada umur tua, sehingga daging yang dihasilkan mempunyai kualitas yang rendah, seperti daging menjadi keras dan alot, warna daging lebih gelap dan baunya yang tajam dibandingkan dengan daging sapi, sehingga daging kerbau kurang disukai.

Daya saing daging kerbau terhadap daging sapi dapat ditingkatkan salah satunya melalui penggemukan. Faktor yang harus diperhatikan pada penggemukan yaitu pemberian pakan. Pakan yang diberikan harus sesuai kebutuhan untuk hidup pokok, pertumbuhan dan produksi. Tata cara pemberian pakan yang sesuai biasanya sejalan dengan usaha perbaikan hidup ternak atau sesuai kebutuhan ternak baik untuk pertumbuhan dan produksi sehingga menjamin kesejahteraan ternak yang dipelihara. Selain itu, pemeliharaan secara intensif juga sangat perlu untuk meningkatkan produktivitas ternak dan juga berpengaruh terhadap kesejahteraan ternak.Indikator kesejahteraan ternak terletak pada produksi dan tingkah laku normal. Tingkah laku hewan berarti menentukan karakteristik hewan dan bagaimana responnya terhadap lingkungan baik pengaruh dalam hal pemberian pakan yang tepat maupun sistem pemeliharan yang intensif. Pada penelitian ini sistem pemeliharaan kerbau dilakukan secara feedlot, yaitu dikandangkan secara individu dan diberikan ransum dengan penambahan campuran garam karboksilat kering (CGKK) di dalamnya, dengan bahan utamanya yaitu minyak ikan lemuru. Asam lemak tak jenuh dalam minyak ikan lemuru dapat diproteksi ke dalam bentuk CGKK. Kandungan asam lemak tak jenuh dalam minyak ikan lemuru yaitu sekitar 85,61 %. Asam lemak tak jenuh yang

(14)

2 terkandung dalam minyak ikan lemuru adalah asam lemak omega-3 seperti EPA (Eicosapentaenoic Acid C20:5(n-3)) dan DHA (Docosahexaenoic Acid, C22:6(n-3)) (Tasse, 2010). Pemberian minyak ikan lemuru terproteksi dalam bentuk CGKK diharapkan dapat meningkatkan nilai nutrisi daging yang dihasilkan.

Dengan sistem pemeliharaan dan pemberian pakan ini akan diketahui perbedaan pengaruh penambahan CGKK dalam ransum terhadap tingkah laku ternak kerbau tersebut. Selama interaksi tersebut ternak akan menimbulkan respon berupa tingkah laku terhadap lingkungan yang dihadapinya, seperti terjadinya tingkah laku makan, disebabkan karena adanya makanan (rangsangan dari lingkungan) dan adanya kebutuhan atau lapar (rangsangan dari dalam) serta kenyamanan ternak saat dipelihara.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari tingkahlaku yang dilakukan kerbau rawa terutama tingkahlaku makan dan minum, melawan, membuang kotoran, merawat diri, dan vokalisasi yang dikandangkan secara feedlot. Menganalisis dan mengamati tingkah laku ternak kerbau yang diberi perlakuan pakan yang berbeda yakni kerbau yang diberi CGKK dan kerbau yang tidak diberi CGKK, serta pengaruh fisiologi ternak.

(15)

TINJAUAN PUSTAKA

Kerbau

Kerbau merupakan hewan ruminansia dari sub family Bovinae yang berkembang di banyak bagian dunia dan diduga berasal dari daerah India. Kerbau domestikasi atau water buffalo yang terdapat saat ini berasal dari spesies bubalus arnee. Spesies kerbau lainnya yang masih liar adalah bubalus mindorensis, bubalus depressicornis dan bubalus caffer (Hasinah dan Handiwirawan, 2006). Kerbau domestik (Bubalus bubalis) terdiri dari dua tipe yaitu kerbau rawa dan kerbau sungai. Kerbau rawa merupakan kerbau tipe pedaging sedangkan kerbau sungai merupakan kerbau tipe perah. Taksonomi kerbau (Bubalus bubalis) menurut Fahimuddin (1975) adalah sebagai berikut:

Kerajaan : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mamalia Ordo : Arthiodactyla Family : Bovidae Genus : Bos Sub genus : Bubaline

Spesies : Bubalus bubalis

Kerbau sungai (river buffalo) adalah kerbau yang biasa digunakan sebagai ternak perah dan memiliki kebiasaan berkubang pada air jernih. Fahimuddin (1975) menyatakan bahwa kerbau sungai banyak terdapat di India, Pakistan, Mesir, dan daerah Mediterania. Kerbau rawa (swamp buffalo) tersebar dalam jumlah yang besar di daerah Asia Tenggara. Ciri-ciri kerbau rawa menurut Fahimuddin (1975) adalah berwarna keabu-abuan, leher terkulai dan memiliki tanduk besar yang mengarah ke belakang. Kerbau rawa memiliki kebiasaan berkubang pada lumpur. Kerbau rawa biasanya digunakan sebagai penghasil daging dan hewan kerja.

Kerbau diketahui memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan sapi Diwyanto dan Handiwirawan (2006) menyatakan bahwa kerbau dapat hidup di kawasan yang relatif sulit dalam keadaan pakan yang kurang baik. Kerbau juga dapat berkembangbiak dalam rentang agroekosistem yang luas dari daerah yang basah sampai daerah yang relatif kering. Di beberapa Negara kerbau dikembangbiakkan

(16)

4 terutama untuk produksi susu dan bahan baku produk olahan susu karena kadar lemak susu kerbau lebih tinggi daripada sapi.

Sistem Pemeliharaan Kerbau

Sistem pemeliharaan ternak kerbau biasanya dilakukan dengan cara ekstensif, terutama di Daerah Kalimantan Timur. Kerbau digembalakan pada padang rumput atau lahan rawa dan pada malam hari kerbau beristirahat di kalang. Hamdan et al, (2006) menjelaskan bahwa sistem pemeliharaan ekstensif sangat bergantung pada dua musim, yaitu musim hujan dan kemarau. Aktivitas kerbau pada musim hujan lebih banyak dihabiskan di dalam kalang, sedangkan pada musim kemarau kerbau banyak beraktivitas di padang penggembalaan. Sistem pemeliharaan secara ekstensif banyak dilakukan di kawasan Timur Indonesia, dimana kondisi agroklimat dan topografi daerahnya didominasi hamparan lahan kering yang luas bervegetasi rumput alam dan semak belukar (Suhubdy, 2009). Kendala yang sering dihadapi peternak dengan sistem pemeliharaan ekstensif dan semi intensif adalah musim dan terbatasnya lahan penggembalaan. Pada musim kemarau peternak sulit memperoleh pakan hijauan sehingga harus mencari ke tempat lain, sedangkan pada musim hujan sering terjadi banjir pada lahan penggembalaan.

Sistem pemeliharaan kerbau tidak hanya dilakukan secara ekstensif, namun juga dilakukan secara semi intensif dan intensif, khususnya di Kabupaten Kudus, Jawa Timur sekitar 26,67% peternak memelihara kerbau secara intensif dan 73,33% secara semi intensif. Peternak di sekitar persawahan bera dan bantaran sungai yang memiliki rerumputan umumnya melakukan pemeliharaan secara semi intensif, sedangkan pemeliharaan intensif pada umumnya dilakukan oleh peternak kerbau yang di sekitar perkandangannya memiliki lahan yang sempit. Parakkasi (1999) menjelaskan bahwa sistem pemeliharaan secara ekstensif jika ditinjau dari segi usaha tidak merugi, karena biaya produksi hampir tidak ada. Namun untuk memenuhi kebutuhan daging nasional sistem pemeliharaan seperti ini sangat tidak diharapkan. Hal ini disebabkan oleh lamanya waktu yang dibutuhkan untuk penggemukkan atau dapat juga dikatakan produktivitasnya rendah. Pencapaian bobot badan 150 kg, memerlukan waktu sekitar 5 tahun. Pemeliharaan dengan sistem intensif menghasilkan produksi yang lebih efisien dan dapat memendekkan waktu

(17)

5 produksi. Sistem pemeliharaan intensif dapat memungkinkan ternak mengkonsumsi ransum yang berkualitas baik dan dapat memanfaatkan bahan hasil ikutan industri pertanian sebagai pakan tembahan, selain itu sistem ini mempermudah dalam pengawasan kesehatan ternak dan menggunakan lahan yang sedikit dibandingkan sistem ekstensif.

Produktivitas Ternak Kerbau

Ternak kerbau merupakan salah satu ternak lokal yang belum banyak dikaji potensinya secara optimal padahal merupakan sumberdaya genetik ternak asli Indonesia yang harus dipertahankan. Ternak yang secara genetik beradaptasi terhadap kondisi lingkungan spesifik akan lebih produktif. Ternak kerbau memiliki kemampuan lebih tinggi dibandingkan dengan ternak sapi dalam hal memanfaatkan pakan yang kurang berkualitas (hijauan berprotein rendah dan serat kasar tinggi), karena karakteristik fisiologi pencernaan dan kapasitas perut ternak kerbau lebih banyak dibanding protozoa dan gerakan makanan dalam saluran pencernaan lamban. Hal ini menyebabkan kemampuan untuk memanfaatkan pakan dan kecernaan pakan menjadi lebih tinggi sekitar 2% - 3% per unit (Wanapat,2001).

Ternak kerbau memiliki potensi yang lebih besar ditinjau dari kapasitas fisiologi nutrisi dan feeding behavior, sehingga akan sesuai hidup pada lingkungan yang bervariasi (Suhubdy, 2007). Ternak kerbau tahan terhadap tekanan dan perubahan lingkungan yang sangat ekstrim misalnya perubahan temperature atau fenologi padang rumput, hal ini terlihat dari penyebarannya yang luas mulai dari daerah beriklim kering di NTT dan NTB, lahan pertanian yang subur di Jawa, hingga lahan rawa di Sulawesi Selatan, Kalimantan, dan Sumatera. Kerbau juga berkembang di daerah pegunungan di Tapanuli Utara dan Tengger serta dataran rendah di pinggir laut seperti Tegal dan Brebes (Bamualim at al., 2009). Karakteristik kerbau terhadap lingkungan menunjukkan bahwa sifat produksi dan reproduksi kerbau sangat responsive apabila habitat dan manajemen pemeliharaannya diperbaiki (Suhubdy, 2007).

(18)

6 Tingkah Laku

Ethology biasa juga disebut sebagai ilmu yang mempelajari tingkah laku hewan, yang berasal dari kata ethos yang berarti karakter atau alam dan logos yang berarti ilmu. Mempelajari tingkah laku hewan berarti menentukan karakteristik hewan dan bagaimana responnya terhadap lingkungan. Selama interaksi tersebut ternak akan menimbulkan respon berupa tingkah laku terhadap lingkungan yang dihadapinya (Gonyou,1991). Goin dan Goin (1978) juga menyatakan bahwa perilaku suatu hewan dapat dipengaruhi oleh beberapa variabel seperti genetik, proses belajar dari pengalaman dan beberapa faktor fisiologis termasuk umur dan jenis kelamin.

Perilaku dapat diartikan sebagai ekspresi seekor hewan yang dituangkan dalam bentuk gerakan-gerakan (Prijono, 1997). Grier (1984) berpendapat, bahwa tingkah laku hewan dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor dalam dan faktor luar individu yang bersangkutan, faktor dalam antara lain hormon dan sistem syaraf sedangkan faktor luar antara lain cahaya, suhu dan kelembaban (Grier, 1984). Faktor yang mempengaruhi perilaku dinamakan rangsangan (Tanudimadja dan Kusumamihardja, 1985).

Menurut Scott (1987), pola perilaku dikelompokkan ke dalam sistem informasi, yakni kumpulan pola perilaku-perilaku yang memiliki satu fungsi umum. Praktisnya tingkah laku dapat diartikan sebagai gerak-gerik organisme untuk memenuhi rangsangan dalam tubuhnya dengan memanfaatkan rangsangan dari lingkungannya. Terjadinya tingkah laku makan, disebabkan karena adanya makanan (rangsangan dari lingkungan) dan adanya kebutuhan atau lapar (rangsangan dari dalam). Demikian juga terjadinya tingkah laku kawin, disebabkan karena adanya rangsangan dari dalam, kemudian baru terjadi perkawinan jika ada rangsangan dari lawan jenisnya (Tinberger, 1979).

Tingkah Laku Makan

Tingkah laku makan masing-masing ternak berbeda-beda tiap bangsa yang berbeda. Ternak tidak dapat hidup tanpa makan dan minum. Ensminger (2002) menyatakan peningkatan produksi dapat dicapai jika ternak makan dengan agresive sehingga memakan pakan lebih banyak. Tingkah laku makan lain adalah merumput, makan pakan hasil pemotongan atau penyimpanan dan konsentrat. Tingkah laku

(19)

7 makan lain adalah ruminasi. Ruminasi yaitu proses mengunyah kembali pakan yang dikeluarkan dari retikulorumen, kemudian dikunyah dengan bantuan saliva (Ensminger, 2002).

Tingkah Laku Agonistik

Wodzicka-Tomaszewaska et al. (1991) menyatakan bahwa Agonistik berasal dari kata latin yang berarti berjuang. Selain itu, agonistik juga mempunyai pengertian yang cukup luas yakni menonjolkan postur, melakukan pendekatan, menakut-nakuti, berkelahi dan terbang, juga meliputi seluruh tingkah laku yang ada hubunganya dengan agresifitas, kepatuhan dan pertahanan. Hafez (1969) menyatakan, agonistik merupakan suatu kegiatan mengkais, menanduk, mendorong dengan bahu. Lari bersama, bergerombol dan lari.

Tingkah laku yang termasuk dalam tingkah laku agonistik adalah berkelahi, berlari atau terbang dan tingkah laku lain yang mempunyai hubungan dengan konflik. Hewan mamalia jantan memiliki tingkah laku berkelahi lebih tinggi dibandingkan dengan betina, hal ini dipengaruhi oleh hormon, terutama oleh hormon testosteron (Ensminger, 1991).

Hart (1985) menyatakan bahwa pola perilaku agonistik merupakan interaksi sosial antara satwa yang dikategorikan beberapa tingkat konflik, yaitu dalam memperoleh makanan, pasangan seksual dan perebutan wilayah istirahat dengan melakukan tindakan yang bersifat ancaman menyerang dan perilaku patuh. Selanjutnya dikatakan pula bahwa perilaku agonistik ini merupakan hal yang penting dalam menetapkan dan mempertahankan hubungan dominan dan subordinat antara tingkatan sosial spesies. Sistem penggembalaan di padang rumput dengan sumber makanan dan air banyak tersedia dapat menunjukkan keadaan perilaku dominan tidak begitu jelas terlihat, tetapi hal ini akan terlihat dengan nyata dan penting pada keadaan berdesakan (Wodzicka-Tomaszewaska et al., 1991).

Tingkah Laku Kerbau

Pemeliharaan kerbau rawa berbeda dengan kerbau atau sapi pada umumnya. Perbedaan utama terletak pada cara penggembalaan untuk mendapatkan pakan. Pada musim hujan, sejak sore hingga pagi kerbau berada di atas kandang. Menurut

(20)

8 Hamdan et al. (2006) pada pukul 7 atau 9 pagi kerbau diturunkan untuk mencari makan dan pada sore hari pulang ke kalang. Pada musim kemarau, aktivitas kerbau lebih banyak di padang penggembalaan atau jarang pulang ke kandang. Pada lahan rawa yang kering dibuatkan pagar keliling sebagai tempat penampungan sementara serta untuk membatasi kerbau agar tidak berjalan terlalu jauh.

Putu et al. (1994) membedakan tingkah laku kerbau rawa atas tingkah laku merumput dan kawin. Pada saat merumput, satu kelompok kerbau dipimpin oleh seekor pejantan yang mengarahkan kerbau lain dalam kelompoknya menuju padang penggembalaan. Jarak tempuh kerbau pada saat merumput mencapai 2 km dari kalang, dengan kecepatan pergerakan rata-rata 2,20 m/menit. Pada waktu kawin, betina yang sedang berahi biasanya dikelilingi 5−6 ekor pejantan yang berusaha untuk mengawininya. Waktu perkawinannya tidak menentu.

Tingkah Laku Reproduksi Kerbau Betina dan Jantan

Lita (2009) mengatakan bahwa sistem reproduksi kerbau pada pertanian rakyat yang tidak ada recording dan cara birahinya yang silent heat atau tidak mengeluarkan suara dan cenderung diam merupakan salah satu penyebab lambatnya perkembang biakan kerbau di Indonesia. Terzano et al. (2005) menyatakan lebih dari dua pertiga kerbau betina mengalami silent heat dan semua menampilkan perubahan endokrin yang sama dengan sapi yang memperlihatkan tanda-tanda estrus dengan jelas.

Sistem reproduksi ternak kerbau berbeda dengan sistem reproduksi ternak sapi. Ternak sapi mengalami birahi pertama pada sekitar umur 1 tahun, beranak pertama pada umur 2,5 tahun, dan lama bunting umur 283 hari. Tingkah laku birahi sapi pun berbeda dengan kerbau, sapi yang sedang birahi akan mengeluarkan suara yang sering dan terlihat gelisah, ciri-ciri lain yang dapat dilihat pada bagian belakang (anus) sapi seperti, berwarna merah, bengkak dan basah. Sistem reproduksi ternak kerbau yang lebih lama dan susah terlihat saat birahi dibandingkan dengan ternak sapi merupakan salah satu penyebab usaha ternak kerbau di Indonesia kurang berkembang dengan baik dibandingkan ternak sapi (Affandy et al., 2007).

Jainudeen dan Hafez (1980) menjelaskan bahwa tingkah laku seksual kerbau jantan sama dengan sapi tetapi kurang intense dibandingkan sapi. Libido bertahan selama siang hari yang panas, terutama pada kerbau lumpur. Kemampuan seksual

(21)

9 kerbau jantan menurun selama musim panas dan membaik pada musim dingin (Banerjee, 1982). Hal ini disebabkan oleh populasi kerbau di Indonesia yang mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Usaha pembibitan dan penggemukkan kerbau berskala industri hampir tidak ada dan pemerintah lebih fokus pada pengembangan ternak sapi sedangkan ternak kerbau kurang diperhatikan.

Tingkah Laku Makan Kerbau

Kerbau termasuk hewan yang suka merumput (grazing) (Schoenian, 2005). Kerbau termasuk ternak yang kurang memilih dalam mencari makan, sehingga kerbau mengkonsumsi pakan yang kurang bermutu dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan pakan sapi. Hal ini yang menjadi alasan mengapa kerbau dapat berkembang dengan baik dibandingkan sapi pada kondisi pakan yang buruk (Banerjee, 1982). Justru dengan sifat tersebut maka kerbau dapat diberikan pakan yang mempunyai palatabilitas rendah bagi ternak lain namun memiliki nilai nutrisi yang baik.

Di Australia, kerbau dapat beradaptasi dengan wilayah padang rumput yang kurang baik, terlalu basah atau berkualitas marginal bagi sapi. Kerbau dapat mencari makan dalam kondisi yang berawa-rawa. Selain itu, kerbau juga memakan jenis pakan dalam kisaran yang lebih luas dibandingkan sapi dan telah terobservasi membersihkan saluran irigasi dari alang-alang dan tumbuhan lain yang secara normal tidak disentuh oleh sapi. Kelebihan lain dari kerbau adalah dapat hidup baik dengan memakan jerami dan limbah pertanian yang berkualitas rendah (Lemcke, 2008). Tingkah Laku Sosial

Kerbau jantan lebih cenderung untuk menyerang kerbau jantan dibandingkan sapi perah atau sapi potong jantan, sehingga memerlukan perhatian untuk memelihara ternak tersebut secara terpisah. Perkelahian antar kerbau jantan sangat berbahaya dan sering berakhir dengan kematian (Banerjee, 1982).

Kerbau jantan liar biasanya hidup dengan betina serta anaknya dalam kelompok-kelompok kecil dengan jumlah anggota 10-20 ekor meskipun teramati bisa mencapai 100 ekor, yang menempati suatu area untuk mencari pakan, minum, berkubang dan istirahat. Dalam kelompok ternak kerbau bisa terbentuk sebuah hirarki dimana yang jadi pemimpin kelompok adalah seekor kerbau betina yang

(22)

10 paling tua dan dikawal oleh satu jantan dewasa. Kerbau jantan muda berlatih bertarung dengan kerbau jantan muda yang lain untuk menegaskan dominasi tetapi tetap menghindari perkelahian yang serius. Kerbau jantan akan bergabung dengan kelompok kerbau betina pada saat musim kawin (Massicot, 2004)

Fisiologi Kerbau

Dilihat dari segi koefisien tahan panasnya (KTP) ternak kerbau mepunyai KTP yang rendah sehingga mudah menderita cekaman panas (Cockrill, 1984). Faktor yang menyebabkan rendahnya KTP ini diduga karena kelenjar keringat pada ternak kerbau sangat sedikit dan mempunyai bulu-bulu yang jarang. Kelenjar keringat pada ternak kerbau kira-kira hanya sepertiga pada ternak sapi (Moran, 1973 ; Fahimuddin, 1975). Selain itu kulit yang berpigmen hitam menyebabkan banyak mengabsorbsi panas (Hafez et al., 1955 ; Robey, 1976). Bila tidak terdapat teduhan atau kubangan maka ternak kerbau akan mengalami kesulitan dalam membuang panas dari dalam tubuhnya pada keadaan suhu lingkungan yang tinggi. Suhu rektal dan angka respirasi pada ternak kerbau bertambah lebih cepat dibandingkan dengan pada ternak sapi bila secara langsung kena sinar surya, oleh sebab itu oefisien tahan kerbau lebih rendah dari pada sapi dan sangat peka terhadap setiap perubahan suhu lingkungan. Keistimewaannya adalah setelah menderita cekaman panas, mampu kembali ke normal dalam waktu relatif cepat apalagi bila tersedia teduhan atau kubangan. Hal ini diduga karena pembuluh darah perifer pada ternak kerbau cukup banyak dan mudah terjadi vasidilatasi (Whittow, 1962), sehingga mudah dalam melepas panas tubuhnya melalui kulit sewaktu berteduh atau berkubang (Robey, 1976).

Denyut Jantung

Jantung pada berbagai hewan dapat berkontraksi dengan sendirinya tanpa ada rangsangan dari luar. Jantung mamalia sensitif terhadap pasokan oksigen dan temperatur. Kontraksi pada jantung mamalia dimulai dari sinus node. Kontraksi menyebar cepat ke seluruh otot pada kedua atrium, beberapa saat kemudian ke otot ventrikel. Gelombang kontraksi mencapai sekat antara atrium dan ventrikel, lembar jaringan yang disebut atrioventricular bundle mengkonduksi impulse ke ventrikel yang kemudian setelah penundaan sesaat yang dihasilkan dari konduksi, berkontraksi secara simultan (Kay, 1998).

(23)

11 Kelly (1974) menyatakan faktor-faktor fisiologis yang berpengaruh pada kecepatan denyut jantung adalah spesies, ukuran tubuh, umur, kondisi fisik, jenis kelamin, kehamilan, proses kalahiran, laktasi, rangsangan, postur tubuh (perawakan), proses pencernaan, ruminasi dan suhu lingkungan. Kecepatan denyut jantung pada ternak yang muda lebih tinggi daripada ternak dara dan dewasa pada spesies yang sama. Sebagai contoh anak sapi neonatal mempunyai kecepatan denyut jantung 120 kali per menit, sapi dara (umur satu tahun) diatas 80 kali per menit dan sapi dewasa 50 kali per menit. Kecepatan denyut jantung juga akan meningkat bila ternak banyak makan. Satu jam setelah makan kecepatan denyut jantung masih lebih tinggi 10 persen daripada sebelum makan (Kelly, 1974).

Denyut jantung pada ternak yang lebih kecil biasanya lebih cepat dibandingkan ternak yang besar. Hal ini berhubungan dengan kenyataan bahwa ternak yang lebih kecil mempunyai laju metabolism per unit bobot badan yang lebih tinggi. Hubungan terbalik antara bobot badan ini berlaku dalam satu spesies atau antar spesies. Rata- rata denyut nadi pada hewan dewasa dalam keadaan istirahat 40 kali per menit, pada hewan jantan 52 kali permenit, pada hewan betina 41 kali per menit, dan pada anak kerbau lima sampai enam bulan 71 kali per menit (Fahimuddin, 1975).

Laju Pernapasan

Respirasi merupakan gerakan fisik dimana udara masuk dan dikeluarkan dari paru-paru. Respirasi juga termasuk dalam proses kimia dan fisik yang memungkinkan organisme untuk mempertukarkan gas-gas (udara) dari lingkungan (Kelly, 1974). Peningkatan frekuensi laju pernapasan terjadi karena adanya peningkatan kebutuhan oksigen oleh jaringan-jaringan tubuh. Sebagai konsekuensinya dapat dilihat ketika ternak melakukan gerakan badan, berjemur pada suhu atau kelembaban udara yang tinggi dan karena ternak kegemukan (Kelly, 1974). Frekuensi pernapasan bervariasai tergantung dari besar badan, umur, aktivitas tubuh, kelelahan dan penuh tidaknya rumen. Bersamaan dengan peningkatan suhu lingkungan, reaksi pertama ternak dalam menghadapi keadaan adalah dengan panting (terengah-engah) dan sweting (berkeringat berlebihan) (Smith dan Mangkoewidjojo, 1987). Pada sapi, kerbau, kambing dan domba peningkatan frekuensi pernapasan merupakan salah satu mekanisme pengaturan suhu tubuh. Frekuensi pernapasan

(24)

12 merupakan salah satu wujud homeostasis tubuh yang erat hubungannya dengan kecepatan denyut jantung (palsus). Frekuensi pernafasan pada kerbau jantan dewasa dalam keadaan istirahat 20 sampai 25 kali per menit dan kerbau betina 16 kali per menit. Frekuensi pernapasan bertambah dengan meningkatnya suhu lingkungan dan dapat mencapai 70 kali per menit dalam suhu lingkungan yang tinggi (Fahimuddin, 1975).

Temperatur Tubuh

Homeostasis merupakan suatu penyesuaian sistem tubuh untuk mempertahankan keseimbangan fisiologis. Ternak akan berusaha menangkal pengaruh-pengaruh buruk dari peningkatan temperatur lingkungan dengan cara mencari peneduh, menambah aliran darah ke kulit (vasodilatasi), berkeringat lebih banyak, perubahan aktivitas hormonal, minum lebih banyak daripada makan dan peningkatan temperature tubuh (Heath dan Olusanya, 1985) .Suhu tubuh normal kerbau berkisar antara 38,2oC sampai 38,4oC dan berada dalam keseimbangan dengan suhu lingkungan yang terdapat antara 22oC sampai 33oC. Pada kisaran suhu lingkungan tersebut, proses homeostasis pada kerbau berjalan dengan sangat baik. Namun, di bawah suhu 22oC dan diatas 33oC selain proses homeostasis normal, ternak kerbau secara fisiologi harus menyesuaikan diri, yang mengakibatkan pengaruh terhadap pertumbuhan dan efisiensi reproduksi. Kelembaban dapat pula mempengaruhi mekanisme temperatur tubuh, pengeluaran panas dengan cara berkeringat ataupun melakukan respirasi akan lebih cepat (Parakkasi, 1999).

Minyak Ikan Lemuru

Minyak ikan lemuru (sardinella longiseps) merupakan hasil samping pada industri pengalengan ikan lemuru yang memiliki potensial sebagai sumber asam lemak tak jenuh (Maryana, 2002). Minyak ikan lemuru mengandung konsentrasi EPA (% b/b dari total asam lemak) lebih tinggi dibandingkan dengan asam lemak essensialnya (EPA 7,8% b/b vs asam stearat 0,9% b/b, asam oleat 2,1% b/b, asam linoleat 0,3% b/b, asam linolenat 0,2% b/b dan DHA 3,1% b/b) (Tasse, 2010). Parakkasi (1999) menyatakan bahwa kandungan asam lemak tak jenuh dalam minyak ikan lemuru adalah sekitar 85,61%. Manfaat penambahan lemak dalam pakan ruminansia adalah sebagai sumber asam lemak esensial, meningkatkan jumlah

(25)

13 energi pada ransum, meningkatkan palatabilitas ransum dan menurunkan produksi metan dalam rumen serta memperbaiki rasio asetat dan propionat. Peningkatan palatabilitas ransum akan meningkatkan total konsumsi ransum pada ternak. Penurunan produksi metan di dalam rumen, akan meningkatkan efiensi penggunaan energi.

Campuran Garam Karboksilat Kering (CGKK)

Bahan dasar dalam pembuatan Campuran Garam Karboksilat Kering (CGKK) adalah minyak ikan lemuru. CGKK dibuat dengan dengan mencampurkan minyak ikan lemuru dengan larutan asam klorida (HCl). Larutan HCl (1:1,25 b/v) akan menghidrolisis minyak ikan. Hidrolisis asam merupakan hidrolisis yang digunakan dalam pembuatan CGKK yang bertujuan untuk membentuk asam lemak bebas. Asam lemak tak jenuh bebas dapat terbentuk akibat proses oksidasi. Keunggulan dari hidrolisis asam adalah waktu dalam pembentukan asam lemak bebas yang lebih cepat sehingga asam lemak bebas yang terkandung di dalam minyak ikan lemuru tidak banyak teroksidasi. Agar tidak mudah teroksidasi maka hidrolisis asam minyak ikan diberi tambahan larutan KOH. Hidrolisis asam minyak ikan tersebut akan menghasilkan garam karboksilat. Garam karboksilat yang telah terbentuk kemudian dicampur dengan onggok dengan perbandingan dan dikeringkan di dalam oven yang bersuhu 32oC sampai kadar airnya 15% (Tasse, 2010).

(26)

MATERI DAN METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini telah dilaksanakan selama tiga bulan dari bulan Juni sampai September 2011 di Laboratorium lapangan kandang A dan Laboratorium Ruminansia Besar Fakultas Peternakan dan Teknopark SEAFAST Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Kandang digunakan sebagai tempat penggemukan kerbau dan pengamatan tingkahlaku. Laboratorium telah digunakan sebagai tempat pembuatan suplemen campuran garam karboksilat kering (CGKK).

Materi

Ternak

Ternak yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 6 ekor kerbau rawa. Ternak yang digunakan adalah ternak jantan yang berumur 2 tahun serta memiliki rataan bobot awal 218, 66 kg. Jumlah perlakuan digunakan ada dua yaitu perlakuan kerbau rawa yang diberi pakan konsentrat yang mengandung campuran garam karboksilat kering (CGKK) dan konsentrat yang tidak mengandung campuran garam karboksilat kering (non CGKK). Berikut gambaran ternak kerbau yang digunakan dalam penelitian ini terlihat pada Gambar 1 dan Gambar 2.

Gambar 1. Kerbau yang Diberi Suplemen CGKK

(27)

15 Peralatan dan Perkandangan

Peralatan yang digunakan meliputi pencatat waktu, thermohigrometer, stetoskop, kamera, tali, thermometer rektal, timbangan untuk pakan hijauan dan konsentrat, timbangan digital dengan kapasitas 1000 kg untuk menimbang bobot badan ternak, serta alat tulis. Kandang yang digunakan adalah kandang individu dengan ukuran 2 x 1,5 m, kandang juga dilengkapi dengan tempat pakan dan minum. Pakan dan Air minum

Pakan yang diberikan dalam penelitian ini berupa pakan hijauan yang terdiri dari rumput lapang dan rumput gajah segar. Konsentrat yang digunakan merupakan konsentrat komersial yang terdiri dari onggok, bungkil sawit, bungkil kedelai, tetes, CaCO3, dan urea. Pakan hijauan dan konsentrat diberikan sesuai dengan kebutuhan ternak kerbau berdasarkan bahan kering. Penambahan campuran garam karboksilat kering dilakukan dengan mencampurkannya dengan konsentrat. Air minum diberikan secara ad libitum. Pakan yang digunakan dalam penelitian dapat dilihat pada Gambar 3 berikut.

(a) Pakan Hijauan (b) Pakan Konsentrat + CGKK Gambar 3. Pakan yang Digunakan dalam Penelitian (a) Pakan Hijauan, (b) Pakan

Konsentrat + CGKK

Pembuatan Campuran Garam Karboksilat Kering (CGKK)

Proses pembuatan campuran garam karboksilat kering (CGKK) dilakukan pada awal penelitian sebelum tahap pemeliharaan kerbau. Pembuatan CGKK dimulai

(28)

16 dengan menimbang bahan-bahan kimia campurannya seperti KOH, CaCl2 dan HCL, kemudian ketiganya diencerkan. Apabila semua bahan sudah siap, lalu minyak ikan lemuru dipanaskan dan dicampurkan dengan CaCl2 dan KOH, kemudian adonan diaduk hingga suhunya 70oC, setelah mencapai suhu 70oC lalu ditambahkan HCL dan diaduk hingga rata. Kemudian didinginkan lalu adonan tersebut dicampurkan dengan onggok dan diaduk hingga halus dan merata. Kemudian adonan yang sudah halus dan rata dikeringkan dalam oven. Hasil pengeringan campuran tersebut merupakan campuran garam karboksilat kering (CGKK) dapat dicampur dengan konsentrat dan siap untuk dikonsumsi oleh kerbau. Alur pembuatan suplemen minyak lemuru yang terproteksi dalam bentuk CGKK dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Alur Pembuatan Suplemen Minyak Ikan Lemuru yang Terproteksi dalam Bentuk CGKK Minyak ikan lemuru + larutan HCL, lalu dikocok HCl dan KOH masing-masing dilarutkan dengan aquades Alat disiapkan, bahan (HCl, KOH dan onggok) ditimbang Dicampur dengan onggok (perbandingan 5:1) hingga merata Ditambahkan larutan KOH, diaduk kemudian didinginkan Ditambahkan aquades, dipanaskan, lalu diaduk hingga suhu ±60oC Dikemas dengan takaran 90 gram Dioven pada suhu

(29)

17 Komposisi pakan kerbau berdasarkan bahan keringnya dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1. Komposisi Pakan Ternak Kerbau Berdasarkan Bahan Kering

No Komposisi Bahan Pakan Persentase ransum (%)

1 Rumput raja + tongkol jagung 45

2 Konsentrat : Onggok Bungkil kedelai Bungkil sawit Tetes CaCO3 Urea 55 30 8 4 12 0,3 1 Total 100

Tabel 2. Kandungan Nutrisi Pakan Ternak Kerbau Berdasarkan Bahan Kering No Kandungan Nutrien Persentase ransum (%)

1 TDN 66,800 2 Protein kasar 11,610 3 Serat kasar 14,618 4 Lemak kasar 3,570 5 Ca 0,480 6 P 0,237 Prosedur

Persiapan dan Pemeliharaan

Kerbau penelitian dikandangkan secara individu, kemudian dilakukan penimbangan bobot badan kerbau. Penimbangan dilakukan untuk mengetahui keseragaman bobot badan kerbau rawa tersebut dengan menggunakan timbangan digital dengan kapasitas 1000 kg. Rataan berat awal kerbau rawa adalah 218,66±16,3 kg. Perlakuan 2 bulan pertama adalah penyesuaian terhadap kandang baru,

(30)

18 penyesuaian terhadap pakan Pemeliharaan enam ekor kerbau rawa, dimana tiga ekor mengkonsumsi suplemen CGKK dan tiga ekor lagi tidak diberi suplemen CGKK. Perbandingan konsentrat dan hijauan sebesar 40:60. Selain itu, kulit ari kacang kedele diberikan pada ternak yang dicampur konsentrat dengan perbandingan konsentrat dan kulit ari kacang kedele sebesar 1:2. Kerbau dengan perlakuan CGKK ditambahkan CGKK sebanyak 90 gram atau 4,5% bahan konsentrat. Pemberian pakan dibagi menjadi tiga waktu yaitu pagi (06.00-08.00 WIB), siang (11.00-13.00), dan sore (16.00-18.00). Pemberian pakan dimulai dengan pemberian konsentrat terlebih dahulu, pada kerbau CGKK pemberian konsentrat dilakukan setelah pemberian CGKK dicampur konsentrat yang diberikan habis dimakan. Apabila konsentrat sudah habis dimakan maka diberi minum dan hijauan sesuai dengan ketentuan yang sudah dibuat. Selama pemeliharaan juga dilakukan penyiraman terhadap ternak kerbau sebanyak tiga kali sehari untuk menjaga suhu tubuh ternak. Pengambilan Data Tingkah Laku

Pengamatan dilakukan dengan mengamati tingkah laku kerbau rawa yang dipelihara pada kandang individu dengan perlakuan pemberian pakan yang berbeda, a. Pengamatan tahap awal pada dua bulan pertama tidak dilakukan pencatatan, hal

ini dikarenakan untuk penyesuaian kandang, pakan dan pemeliharaan.

b. Tahap kedua yaitu pengamatan tingkah laku kerbau rawa. Pengambilan data pengamatan dilakukan selama tiga kali sehari dengan waktu sebagai berikut. Pagi dilakukan pengamatan pada pukul (08.00 – 10.00), siang dilakukan pengamatan pukul (12.00 – 14.00), dan sore hari dilakukan pengamatan pukul (15.00 – 17.00).

c. Pengambilan data dilakukan dua hari dalam seminggu (sabtu dan minggu) sampai mendapatkan 6 kali ulangan.

d. Pengamatan tingkah laku kerbau rawa dilakukan tiap ekor selama 10 menit dan jeda antara pengamatan individu yang berbeda adalah 5 menit. Setelah selesai pengamatan tingkah laku, kemudiaan kerbau diukur denyut jantung, pernapasan, dan suhu rektalnya.

Pengamatan terhadap tingkah laku kerbau rawa dilakukan dengan menggunakan metode focal animal sampling (Altman, 1973) yaitu metode pengamatan tingkah laku dengan mengamati hewan tertentu yang menjadi focus

(31)

19 pengamatan. Focal animal sampling digunakan untuk mengamati tingkah laku khusus kerbau rawa, yaitu tingkah laku ingestive, agonistic, eliminatif, grooming, dan vokalization pada periode waktu tertentu.

Peubah-peubah yang diamati pada tingkah laku kerbau rawa saat di kandang adalah sebagai berikut:

1. Tingkah laku makan (ingestive), yaitu tingkah laku mengkonsumsi pakan zat hara baik dalam bentuk padatan maupun cairan serta tingkah laku ruminasi yaitu suatu proses memamah kembali makanan yang berasal dari lambung dan masih kasar kemudian dikeluarkan lagi dan dikunyah dimulut, kemudian ditelan kembali.

2. Tingkah laku agonistic atau melawan, yaitu perilaku agresifitas yang mengarah pada pertentangan atau temperamental pada seekor kerbau yang diperlihatkan dengan cara menumbukan tanduk, menghentakan kaki, dan mendengus.

3. Tingkah laku membuang kotoran (eliminatif), yaitu perilaku ternak membuang kotoran baik feses maupun urine.

4. Tingkah laku grooming, yaitu perilaku kerbau memelihara atau merawat tubuhnya yang ditunjukkan dengan menjilati tubuhnya sendiri dan kerbau lain, menggaruk tubuhnya serta menggosok tubuhnya sendiri kedinding kandang (auto self grooming) ataupun saling menjilati (social grooming).

5. Vokalisasi, yaitu tingkah laku ternak mengeluarkan suara. Pengambilan Data Pendukung

Data pendukung yang digunakan dalam penelitian ini meliputi :

1. Mengamati kondisi fisik, topografi tempat penelitian dengan mengukur dan mencatat suhu dan kelembaban di lingkungan kandang menggunakan alat thermohigrometer.

2. Pengukuran fisiologi kerbau rawa.

a. Pengukuran pernapasan dilakukan dengan menghitung banyaknya kerbau melakukan pernapasan per/menit dengan cara meletakkan telapak tangan didepan hidung kerbau kemudian dihitung jumlah pernapasan selama satu menit.

(32)

20 stetoskop diletakan pada bagian urat nadi di bagian sela antara kaki depan dengan dada. Pengukuran dilakukan selama 15 detik kemudian untuk menghitung jumlah denyut nadi per menit jumlah denyut nadi hasil pengukuran dikalikan empat.

c. Pengukuran suhu rektal dilakukan menggunakan thermometer rektal. Thermometer rektal dimasukan ke dalam anus kemudian dilihat suhu yang ditunjukkan setelah bunyi tanda tertentu. Pengukuran pernapasan, suhu rektal, dan denyut jantung dilakukan setelah pengamatan tingkah laku.

Rancangan dan Analisis Data

Data hasil pengamatan terhadap frekuensi kejadian tingkah laku dianalisis menggunakan uji non parametrik Man Whitney, digunakan untuk data yang mengandung unsur dengan pengukuran tidak berulang dengan n = 2, sedangkan untuk data yang mengalami pengukuran berulang dengan perlakuan lebih dari dua maka digunakan analisis Friedman, jika data berbeda nyata maka dilanjutkan dengan menggunakan uji banding rataan Rank atau Multiple Comparison of Means Ranks, dengan rumus sebagai berikut :

[Ri Rj] ≤ Z [ k (N + 1) / 6 ]0,5

Jika [Ri – Rj] lebih besar dari Z [ k (N + 1) / 6 ]0,5, maka perbedaan Ri dan Rj adalah nyata pada taraf α.

Rumus uji Friedman :

tH = tα / 2; db = ( k – 1) ( n – 1 )

Rumus uji Man Whitney :

U= +

Data suhu dan kelembaban menggunakan uji analisis ragam dan data fisiologis ternak dianalisis dengan menggunakan uji T untuk mengetahui nilai rataan yang berbeda. Rumus Uji t :

(33)

21 Keterangan :

t = Nilai t.

X = Nilai Rata–Rata. µ0 = Rataan standard deviasi. SD = Standar Deviasi.

(34)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Lokasi Penelitian

Faktor manajemen lingkungan juga berpengaruh terhadap pertumbuhan ternak. Suhu dan kelembaban yang sesuai dengan kondisi fisiologis ternak akan membuat pertumbuhan ternak semakin baik karena tingkat nafsu makan dan jumlah konsumsi pakannya semakin tinggi. Lokasi penelitian memiliki suhu dan kelembaban lingkungan yang tidak sama antara siang dan malam hari. Data suhu dan kelembaban di dalam kandang selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 3 berikut. Tabel 3. Rataan Suhu dan Kelembaban Udara Dalam Kandang Saat Penelitian Waktu Suhu (⁰C) Kelembaban (%) Pagi 27,58±1,80c 76,67±8,98a Siang 33,17±0,75a 58,17±8,61c Sore 30,33±1,03b 60,33±6,06b

Keterangan : superskrip huruf yang berbeda (a,b,c) pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) pagi ( 08.00 WIB), siang (12.00 WIB), sore (16.00 WIB)

Suhu optimum kerbau untuk hidup yaitu berada pada kisaran 15-25oC dengan kelembaban 60% - 70% (Yurleni, 2000), walaupun kenyataannya kerbau paling banyak ditemukan di daerah tropis dan subtropis, akan tetapi kerbau tidak tahan terhadap panas. Berdasarkan hasil analisis ragam pada Tabel 3 menunjukkan bahwa suhu pada pagi hari nyata lebih rendah (P<0,05) dibandingkan pada siang dan sore hari, sedangkan pada siang hari nyata lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan pada pagi dan sore hari. Hal ini dapat disebabkan perbedaan suhu antara pagi, siang dan sore hari, dimana pada pagi hari suhu udara belum meningkat dan belum terkena pancaran sinar matahari, sedangkan pada siang hari suhu udara sudah meningkat dan sudah terkena pancaran sinar matahari yang maksimal, sehingga suhu udara dalam kandang menjadi tinggi. Suhu udara dalam kandang pada sore hari kembali turun, karena panasnya pancaran sinar matahari sudah berkurang. Tingginya suhu udara di dalam kandang selama penelitian karena penelitian dilakukan secara intensif atau dikandangkan, selain itu juga tempat penelitian berada pada daerah tropis, sedangkan kerbau biasanya berada pada lingkungan yang basah dan suka berkubang. Hal ini ada kemungkinan akan menyebabkan kerbau mengalami heat stress, sehingga dapat

(35)

23 menyebabkan terjadinya penurunan produktivitas dan tingkah laku normal kerbau. Untuk mencegah hal itu terjadi, maka selama penelitian dilakukan penyiraman terhadap ternak sebanyak tiga kali sehari, sehingga ternak tidak terlalu stress terhadap panas dan nyaman terhadap lingkungan. Kesejahteraan ternak akan terjamin bila salah satunya jika sistem pemberian pakan yang sesuai dengan kebutuhan hidup pokok ternak dan lingkungan yang sesuai dengan kenyamanan ternak.

Hasil analisis ragam terhadap kelembaban udara di dalam kandang juga menunjukkan bahwa pada pagi hari berbeda nyata (P<0,05) antara siang dan sore hari dan juga berbeda nyata antara siang dan sore hari. Kelembaban udara berkaitan erat dengan dengan suhu udara, dimana kelembaban akan meningkat seiring dengan kenaikan suhu. Kelembaban pada pagi hari tinggi, karena suhu lingkungan pada pagi hari rendah, begitu juga dengan kelembaban pada siang hari rendah karena suhu lingkungan pada siang hari meningkat.

Tingkah Laku Umum Kerbau Rawa yang Diberi Perlakuan CGKK dan Non CGKK

Tingkah laku hewan adalah respon hewan tersebut terhadap lingkungan (Gonyou, 1991). Tingkat kesejahteraan ternak dapat diketahui salah satunya dengan mengamati tingkah laku normalnya. Seorang peternak yang baik harus mengetahui kebiasaan dan tingkah laku ternaknya, sehingga dapat mengelola peternakan dengan baik dan efektif. Hasil pengamatan berupa rataan frekuensi tingkah laku kerbau rawa secara keseluruhan yang diberi perlakuan pakan dapat dilihat pada Tabel 4 berikut. Tabel 4. Rataan Tingkah Laku Kerbau Rawa Keseluruhan yang Disuplementasi

CGKK dan Non CGKK.

Tingkah Laku Makan Agonistik Eliminasi Merawat Diri Vokalisasi ………..………Kali/ 10 Menit……..……… CGKK 3,33 ± 1,17 1,78 ± 0,59 0,20 ± 0,06 2,00 ± 1,12 0,02 ± 003 Non CGKK 3,54 ± 1,25 2,11 ± 0,80 0,22 ± 0,11 2,00 ± 0,17 0,00 ± 0,00 Rataan 3,44 ± 1,08 1,94 ± 0,65 0,21 ± 0,08 2,00 ± 0,71 0,01± 0,02

Keterangan : Superskrip pada pada huruf dan baris yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)

Berdasarkan hasil uji Man Whitney pada Tabel 4 menunjukkan bahwa frekuensi masing - masing tingkah tingkah laku tidak berbeda nyata (P>0,05) antara

(36)

24 kerbau yang diberi suplemen CGKK dengan kerbau non CGKK. Rataan jumlah frekuensi tingkah laku makan pada kerbau CGKK dan non CGKK lebih banyak dilakukan dibandingkan dengan tingkah laku lainnya seperti tingkah laku agonistik, eliminasi, merawat diri dan vokalisasi. Tingkah laku makan lebih banyak dilakukan disebabkan karena adanya makanan (rangsangan dari lingkungan) dan adanya kebutuhan atau lapar (rangsangan dari dalam).

Tingkah laku yang lebih banyak dilakukan setelah tingkah laku makan yaitu tingkah laku merawat diri, hal ini mungkin disebabkan karena lingkungan yang kering, sehingga kerbau terus menjilati tubuhnya supaya basah dan selain itu juga lalat sering hinggap ditubuhnya. Berbeda dengan kebiasaan kerbau yang hidup ditempat yang lembab dan berkubang, sehingga tubuhnya bebas dari lalat dan tidak kepanasan. Tingkah laku agonistik, tingkah laku eliminasi dan tingkah laku vokalisasi terlihat jarang dilakukan kerbau selama pengamatan.

Tingkah laku makan sangat erat hubungannya dengan tingkat kesejahteraan ternak, terutama ternak kerbau. Sebagaimana menurut Banerjee (1982) bahwa kerbau termasuk ternak yang kurang memilih dalam mencari makan, sehingga kerbau mengkonsumsi pakan yang kurang bermutu dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan pakan sapi. Hal ini yang menjadi alasan mengapa kerbau dapat berkembang dengan baik dibandingkan sapi pada kondisi pakan yang buruk. Hal ini berkaitan erat dengan tingkah laku kerbau, dimana di lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan hidup pokoknya dan memperoleh pakan yang nutrisinya terpenuhi dan mempunyai palatabilitas tinggi, maka kesejahteraan kerbau dapat tercapai dan melakukan tingkah laku yang normal. Selain ternak kerbau menunjukkan tingkah laku yang normal juga menunjukkan tingkat produktivitas yang baik. Berdasarkan hasil penelitian lain menyebutkan bahwa konsumsi ransum total ternak dengan suplemen CGKK lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan ternak tanpa suplemen CGKK. Hal ini menunjukkan suplemen CGKK mampu meningkatkan nafsu makan dari ternak (Nurbianti, 2012). Campuran Garam Karboksilat Kering merupakan suplemen tambahan yang berbahan dasar minyak ikan lemuru, onggok super dan garam karboksilat. Penambahan suplemen pakan hanya 4,5% dari 1 kg konsentrat karena kandungan garam pada suatu ransum tidak dapat lebih dari 5%. Bau yang khas ikan lemuru cenderung memiliki palatabilitas rendah, namun CGKK memiliki rasa yang

(37)

25 disukai oleh ternak sehingga dapat meningkatkan jumlah konsumsi ternak, sehingga tingkah laku makan kerbau terlihat normal. Standar dari tingkah laku yang normal pada kerbau dapat diasumsikan bahwa tingkah laku kerbau yang tanpa diberi ransum CGKK digunakan sebagai hewan kontrol yang melakukan tingkah laku normal sehingga bisa dibandingkan dengan tingkah laku kerbau yang diberi ransum CGKK. Tingkah laku kerbau rawa dikatakan normal karena terlihat dari tidak adanya perbedaan yang signifikan antara kerbau yang diberi ransum CGKK dan non CGKK, baik itu tingkah laku makan, agonistik, eliminatif, merawat diri dan vokalisasi.

Tingkah Laku Kerbau Rawa yang Diberi Suplemen CGKK pada Waktu yang Berbeda

Pemberian pakan kerbau rawa yang disuplemen CGKK dan non CGKK dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup kerbau serta meningkatkan palatabilitas ternak terhadap pakan yang memungkinkan terjadinya perubahan tingkah laku. Namun berdasarkan pada Tabel 4 ternyata pemberian pakan yang berbeda tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap tingkah laku kerbau secara keseluruhan. Oleh karena itu selanjutnya dilakukan analisis terhadap tingkah laku kerbau rawa yang diberi suplemen CGKK pada waktu yang berbeda untuk melihat pengaruh masing – masing perlakuan terhadap tingkah lakunya. Rataan frekuensi tingkah laku kerbau rawa yang disuplemen CGKK dapat dilihat pada Tabel 5 berikut.

Tabel 5. Rataan Frekuensi Tingkah Laku Kerbau Rawa yang Disuplemen CGKK pada Waktu yang Berbeda

Tingkah laku Frekuensi Tingkah Laku

Pagi Siang Sore Rataan ………kali / 10 menit………. Makan 4,17±3,61 2,00±0,44 3,83±2,50 3,33±4,77 Agonistik 1,22±0,79 2,39±1,50 1,72±1,51 1,78±3,47 Eliminatif 0,17±0,17 0,17±0,17 0,28±,10 0,20±0,41 Merawat Diri 0,83±0,29a 3,06±0,75bc 2,11±0,35b 2,00±2,29 Vokalisasi 0,06±0,10 0,00±0,00 0,00±0,00 0,02±0,14 Keterangan : Superskrip pada pada huruf dan baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)

(38)

26 Berdasarkan hasil uji Friedman menunjukkan bahwa jumlah frekuensi tingkah laku makan kerbau pada pagi hari tidak berbeda nyata (P>0,05) antara siang dan sore hari. Rataan frekuensi tingkah laku makan pada pagi hari, siang dan sore hari sebesar (3,33±4,77 kali/10 menit). Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat dikatakan bahwa pemberian ransum yang disuplemen CGKK tidak berpengaruh terhadap tingkah laku kerbau. Hal ini mungkin disebabkan karena kerbau termasuk ternak yang kurang memilih dalam mencari makan, sehingga kerbau tetap mengkonsusmsi pakan yang kurang bermutu dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan pakan sapi.

Berdasarkan Tabel 5 hanya terlihat perbedaan jumlah frekuensi antara pagi, siang dan sore hari, dimana pada pagi hari jumlah frekuensi makan lebih banyak di lakukan (4,17±3,61 kali/10 menit) dibandingkan pada siang dan sore hari. Hal ini disebabkan karena kerbau lebih suka atau lebih banyak mengkonsumsi pakan pada pagi hari, karena pada saat pagi hari suhu udara belum meningkat. Kerbau sangat sensitif dengan udara yang panas, sehingga mempengaruhi nafsu makan kerbau tersebut. Tingkah laku agonistik lebih banyak dilakukan pada siang hari (2,39±1,50 kali/10 menit) dibandingkan pada pagi dan sore hari dengan rataan sebesar (1,78±3,47 kali/10 menit). Hal ini mungkin disebabkan karena suhu udara pada siang hari tinggi, dimana ternak kerbau akan merasa kepanasan dan gelisah, sehingga kerbau melakukan perlawanan terhadap kerbau lainnya dengan cara menanduk. Selain itu kerbau jantan lebih cenderung untuk menyerang kerbau jantan dibandingkan sapi perah atau sapi potong jantan. Perkelahian antar kerbau jantan sangat berbahaya dan sering berakhir dengan kematian (Banerjee, 1982), sehingga memerlukan perhatian untuk memelihara mereka secara terpisah atau dikandangkan.

Tingkah laku eliminatif juga terlihat pada saat pengamatan, namun jumlah frekuensi tingkah laku kerbau antara pagi, siang dan sore hari tidak terlalu berbeda dengan rataan sebesar (0,20±0,41 kali/10 menit) dan tingkah laku eliminatif terlihat jarang dilakukan selama pengamatan berlangsung. Kerbau juga terlihat sering melakukan tingkah laku merawat diri, dimana jumlah frekuensi tingkah laku pada siang hari lebih sering dilakukan (3,06±0,75 kali/10 menit). Berdasarkan hasil uji friedman menunjukkan bahwa tingkah laku kerbau pada siang hari berbeda nyata (P<0,05) dengan pagi hari, sedangkan frekuensi tingkah laku pada siang hari tidak

(39)

27 berbeda nyata (P>0,05) dengan sore hari, namun tingkah laku pada sore hari berbeda nyata (P<0,05) dengan pagi hari. Hal ini mungkin disebabkan banyaknya lalat terbang pada siang hari, dimana lingkungannya yang kering menyebabkan gangguan lain dapat terjadi, seperti panasnya udara pada siang hari menyebabkan kerbau merasa kepanasan, sehingga kerbau lebih sering berbaring pada lantai yang tergenang air serta menjilati bagian tubuhnya maupun menjilati kerbau lainnya.

Tingkah laku merawat diri pada kerbau ditunjukkan dengan kebiasaan kerbau yang menjilati tubuhnya sendiri maupun menjilati tubuh kerbau lainnya, menggosokkan badannya ke dinding dan tiang pembatas antar ternak kerbau, serta berbaring dilantai yang tergenang air agar tubuhnya lebih dingin. Hal ini dapat dikatakan ternak kerbau kurang nyaman dengan lingkungannya, untuk mengurangi ketidaknyamanan kerbau tersebut dapat dilakukan dengan penyiraman yang lebih sering untuk mengurangi panas tubuhnya dan kekeringan pada tubuhnya yang menyebabkan lalat hinggap. Berbeda dengan kebiasaan kerbau yang suka berkubang untuk menghindari gangguan lalat, kutu dan mengurangi produksi panas tubuhnya (Smith dan Mangkoewidjojo, 1987).

Tingkah laku vokalisasi paling jarang dilakukan baik pada pagi hari, siang maupun sore hari. Kerbau hanya akan mengeluarkan suara pada saat tertentu seperti dalam hal kekurangan pakan dan adanya ancaman dari luar yang akan membahayakan dirinya. Jumlah frekuensi vokalisasi yang paling sedikit ini dapat menunjukkan bahwa ternak kerbau marasa nyaman dipelihara secara feedlot, dimana akan terhindar dari ancaman luar maupun kekurangan terhadap kebutuhan hidup pokoknya seperti kekurangan makan.

Tingkah Laku Kerbau Rawa yang Diberi Suplemen Non CGKK pada Waktu yang Berbeda

Kerbau termasuk hewan yang suka merumput (grazing) (Schoenian, 2005). Kerbau termasuk ternak yang kurang memilih dalam mencari makan, sehingga kerbau mengkonsusmsi pakan yang kurang bermutu dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan pakan sapi. Hal ini yang menjadi alasan mengapa kerbau dapat berkembang dengan baik dibandingkan sapi pada kondisi pakan yang buruk (Banerjee, 1982). Justru dengan sifat tersebut ternak kerbau juga harus mendapatkan perhatian dari peternak untuk meningkatkan kesejahteraannya dengan

(40)

28 memperhatikan kebutuhan hidup pokoknya dengan memberi pakan yang mempunyai palatabilitas tinggi bagi ternak dan memiliki nilai nutrisi yang baik. Pemberian ransum yang disuplemen Campuran Garam Karboksilat Kering (CGKK) diharapkan dapat memenuhi kebutuhan nutrisi ternak sehigga tercapainya kesejahteraan terhadap ternak dengan pengamatan terhadap tingkah laku normal nya. Rataan frekuensi tingkah laku kerbau rawa yang disuplemen non CGKK pada waktu yang berbeda dapat dilihat pada tabel 6 berikut.

Tabel 6. Rataan Frekuensi Tingkah Laku Kerbau Rawa yang Disuplemen Non CGKK pada Waktu yang Berbeda

Tingkah laku Frekuensi Tingkah Laku

Pagi Siang Sore Rataan ………kali / 10 menit………. Makan 4,78±2,47 2,28±0,75 3,56±0,96 3,54±4,58 Agonistik 2,78±0,79 2,33±1,44 1,22±0,54 2,11±3,82 Eliminatif 0,33±0,17 0,11±0,10 0,22±0,25 0,22±0,57 Merawat Diri 1,83±0,44 2,00±0,83 2,17±0,44 2,00±2,50 Vokalisasi 0,00±0,00 0,00±0,00 0,00±0,00 0,00±0,00 Keterangan : Superskrip pada pada huruf dan baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)

pagi ( 08.00 WIB), siang (12.00 WIB), sore (16.00WIB).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa frekuensi tingkah laku makan lebih banyak dilakukan pada pagi hari (4,78±2,47 kali/10 menit) dibandingkan pada siang dan sore hari. Kerbau sangat sensitif dengan udara yang panas, sehingga mempengaruhi nafsu makan kerbau tersebut. Kerbau memiliki daya tahan panas yang rendah, hal ini diduga karena kelenjar keringat pada ternak kerbau sangat sedikit dibandingkan dengan ternak sapi, serta mempunyai bulu-bulu yang jarang, sehingga sangat rentan dengan suhu tinggi, hal ini disebabkan karena evaporasi pendinginan dari permukaan tubuhnya kurang efisien (Williamson and Payne, 1993) yang menyebabkan nafsu makan kerbau jadi berkurang. Rataan frekuensi tingkah laku kerbau lainnya seperti tingkah laku agonistik (2,78±0,79 kali/10 menit), eliminatif (0,33±0,17 kali/10 menit) juga menunjukkan bahwa tingkah laku yang banyak dilakukan pada pagi hari. Berbeda dengan tingkah laku merawat diri lebih banyak dilakukan pada siang hari sore hari yaitu (2,00±0,83 kali/10 menit) dan sore

Gambar

Gambar 1. Kerbau yang Diberi Suplemen CGKK
Gambar 4. Alur Pembuatan Suplemen Minyak Ikan Lemuru yang Terproteksi dalam      Bentuk CGKK  Minyak ikan  lemuru + larutan HCL, lalu dikocok HCl dan KOH masing-masing dilarutkan dengan aquades Alat disiapkan, bahan (HCl, KOH dan onggok) ditimbang Dicampur dengan onggok (perbandingan 5:1) hingga merata Ditambahkan larutan KOH, diaduk kemudian didinginkan Ditambahkan aquades, dipanaskan, lalu diaduk hingga suhu ±60oC Dikemas dengan takaran 90 gram Dioven pada suhu
Tabel 1. Komposisi Pakan Ternak Kerbau Berdasarkan Bahan Kering

Referensi

Dokumen terkait

Zobj = Jarak antara titik tengah kedua kamera dengan objek β 1,2 : Sudut pandang kamera ke objek terhadap garis normal. Agar menghasilkan korelasi yang baik, maka perlu

Tulisan ini hendak memberikan legal problem solving terhadap permasalahan penumpukan perkara pidana di Indonesia yang hingga saat ini belum mampu terpecahkan,

Dengan area disktrik yang difungsikan sebagai kawasan hiburan dan perdagangan, adanya pusat perbelanjaan/ Shopping Mal dan restauran, kehadiran Pusat Perfilman di Surabaya ini

Pengaruh Sistem Kompensasi terhadap Motivasi Kerja Guru di Sekolah Menengah Atas Negeri Se-Kota Cimahi.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

MENURUT ORGANI SASI / BAGI AN ANGGARAN, UNI T ORGANI SASI , PUSAT,DAERAH DAN KEWENANGAN. KODE PROVINSI KANTOR PUSAT KANTOR DAERAH DEKONSEN

Lambang yang terdpat padi bagian depan baju hakama yng digunakan , merupaka simbol keluarga, lamang ini merupakan Hana Wachigai, lambang dari klan Izumo

Firewall adalah suatu aturan yang diterapkan baik terhadap hardware , software ataupun jaringan dengan maksud untuk melindungi, baik dengan melakukan

Bahwa Pimpinan STIESIA dalam Rapat Pleno tanggal 14 September 2012 telah menerima konsep Rencana Strategis (Renstra) Prodi S3 Ilmu Manajemen Tahun 2012-2016, dan sesuai