• Tidak ada hasil yang ditemukan

Profil Desa Pa’rappunganta

Desa Pa’rappunganta merupakan salah satu dari lima belas desa yang berada di wilayah administrasi Kecamatan Polombangkeng Utara, Kabupaten Takalar dengan luas 5,25 km2 (2,47% dari luas wilayah kecamatan Polombangkeng Utara) (Badan Pusat Statistik Kabupaten Takalar, 2010). Jumlah penduduk pada tahun 2010 sebanyak 2534 jiwa. Jarak Desa Pa’rappunganta dari Ibukota Kabupaten Takalar yaitu 13 km (Pemerintah Desa Pa’rappunganta, 2010). Letak Kecamatan Polombangkeng Utara dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Peta Kabupaten Takalar Sumber : Google Map (2012)

Batas-batas wilayah Desa Pa’rappunganta sebagai berikut : (1) sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Parangluara dan Desa Parangbaddo’, (2) sebelah Timur berbatasan dengan Desa Massamaturu, (3) sebelah Selatan berbatasan dengan Keluarahan Panrannuangku, (4) sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Palleko dan Kelurahan Matompodalle. Secara administrasi, Desa Pa’rappunganta terdiri atas 5 dusun yaitu : (1) Dusun Bontosunggu, (2) Dusun Batunipa, (3) Dusun Lerekang, (4) Dusun Massalongko, (5) Dusun Pa’bulaengan.

17

Keadaan Topografi

Dilihat dari keadaan topografinya, Desa Pa’rappunganta memiliki bentuk wilayah yang datar (Gambar 5) dan didominasi oleh hamparan sawah dan kebun dengan ketinggian desa 200-499 meter di atas permukaan laut. Bentuk wilayah yang rata dimanfaatkan warga desa sebagai sumber mata pencaharian yaitu melalui pertanian (sawah) dan perkebunan.

(a) (b)

Gambar 5. Topografi Desa Pa’rappunganta, (a) Padang Penggembalaan (b) Sawah Luas lahan di Desa Pa’rappunganta sebesar 950 ha yang didominasi perkebunan seluas 492,42 ha. Jenis tanaman kebun yang banyak terdapat di Desa Pa’rappunganta adalah tanaman tebu. Luas lahan sawah 151 ha, pekarangan seluas 139,10 ha, tegalan seluas 78,86 ha dan lain-lainnya 88,62 ha (Badan Pusat Statistik Kabupaten Takalar, 2010). Seluruh sawah di Desa Pa’rappunganta adalah sawah tadah hujan dan terdapat masa saat sawah diberakan (dikosongkan) setelah panen. Panen padi di lokasi penelitian dilakukan dua kali dalam setahun. Sawah yang diberakan biasanya ditanami dengan tanaman kacang hijau oleh penduduk setempat dengan panen kacang hijau dua kali dalam setahun.

Desa Pa’rappunganta beriklim tropis dengan suhu rata-rata tahun 2010-2011 mencapai 22-32 oC (Pemerintah Desa Pa’rappunganta, 2010) dengan 2 tipe musim yaitu musim hujan dan musim kemarau. Curah hujan di Desa Pa’rappunganta cenderung bervariasi setiap bulan. Perbedaan curah hujan per-bulan dari Januari hingga Desember dari tahun 2007 sampai 2009 di Desa Pa’rappunganta dapat dilihat pada Tabel 1.

18 Tabel 1. Curah Hujan Rata-rata Per-Bulan Desa Pa’rappunganta (mm)

Bulan Tahun 2007 2008 2009 Januari 863 0 792 Februari 639 0 413 Maret 219 17 94 April 348 90 161 Mei 51 4 12 Juni 112 41 2 Juli 0 1 83 Agustus 11 23 0 September 0 13 0 Oktober 0 119 20 November 225 384 67 Desember 473 667 397 2941 1359 2041

Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Takalar (2010)

Keadaan Demografi

Jumlah penduduk Desa Pa’rappunganta tahun 2010 sebanyak 2534 jiwa yang terdiri atas laki-laki 1245 jiwa dan perempuan 1289 jiwa. Jumlah kepala keluarga (KK) di Desa Pa’rappunganta sebanyak 725 KK. Rincian jumlah penduduk dan kepala keluarga di Desa Pa’rappunganta disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Jumlah Penduduk dan Kepala Keluarga di Desa Pa’rappunganta Tahun 2010

Dusun Jumlah Kepala Keluarga (KK) Penduduk Jumlah Penduduk Laki-laki Perempuan Bontosunggu 165 279 280 559 Batunipa 147 224 254 478 Lerekang 158 258 292 550 Massalongko 212 391 387 778 Pa'bulaengan 43 93 76 169 Jumlah 725 1245 1289 2534

19 Penduduk Desa Pa’rappunganta didominasi masyarakat suku Makassar yang seluruhnya beragama Islam. Budaya atau tradisi masyarakat Desa Pa’rappunganta yaitu kebiasaan mengadakan pa’bunting (pesta pernikahan) atau sunna’ (khitanan) secara besar-besaran (meriah) dengan menggunakan daging ternak besar seperti sapi atau kuda sebagai menu utama dalam pesta. Kebiasaan ini tidak terbatas pada warga dengan tingkat ekonomi yang tinggi, namun masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah juga mengadakan pesta tersebut.

Mata Pencaharian

Desa Pa’rappunganta didominasi oleh masyarakat yang bekerja di bidang pertanian terutama petani sawah, kemudian disusul oleh pekerja di bidang perdagangan, jasa pemerintahan, transportasi, industri kerajinan, konstruksi jasa sosial, jasa perseorangan, keuangan dan warung makan. Perincian mata pencaharian penduduk di Desa Pa’rappunganta tahun 2010 dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini. Tabel 3. Sebaran Penduduk Desa Pa’rappunganta berdasarkan Mata Pencaharian

Tahun 2010

Pekerjaan Pokok Jumlah Persentase (%)

Pertanian 930 36,7 Industri Kerajinan 18 0,71 Konstruksi 17 0,67 Perdagangan 96 3,79 Warung Makan 1 0,04 Transportasi 41 1,62 Keuangan 2 0,08 Jasa Pemerintahan 43 1,69 Jasa Sosial 12 0,47 Jasa Perorangan 9 0,35

Tidak atau Belum Bekerja 1365 53,87

Jumlah 2534 100

Sumber : Diolah dari data Badan Pusat Statistik Kabupaten Takalar ( 2010)

Bidang pertanian telah menjadi mata pencaharian masyarakat di Desa Pa’rappunganta secara turun-temurun, baik bagi penduduk yang memiliki lahan

20 sendiri maupun sebagai buruh tani. Kehidupan masyarakat Desa Pa’rappunganta yang erat dengan pertanian memberikan keuntungan bagi usaha ternak sapi bali di desa tersebut. Limbah pertanian dapat dimanfaatkan sebagai salah satu sumber pakan sapi bali. Selain bertani, masyarakat juga beternak sebagai usaha sambilan. Hewan yang diternakkan seperti ayam, itik, sapi bali dan kuda. Hal tersebut sejalan dengan penjelasan Daryanto (2009) bahwa pertanian merupakan way of life dan sumber kehidupan sekitar 45% tenaga kerja di Indonesia. Kaitannya dengan pakan, sektor pertanian memiliki peranan sebagai pemasok terbesar bahan baku utama pakan ternak.

Karakteristik Peternak dan Usaha Ternak Sapi Bali

Karakteristik peternak merupakan hal yang penting untuk diketahui karena karakteristik tersebut dapat mempengaruhi pengembangan sapi bali. Kemampuan dalam pemeliharaan sapi bali merupakan salah satu hal yang dipengaruhi oleh karakteristik peternak. Pengamatan karakteristik peternak di Desa Pa’rappunganta dibedakan berdasarkan umur peternak, tingkat pendidikan, motivasi beternak, pengalaman beternak dan jumlah kepemilikan ternak sapi bali.

Umur Peternak

Peternak yang diwawancarai dalam penelitian ini sebagian besar berumur antara 41-50 tahun (33,33%), Peternak yang berumur 20-30 tahun sebanyak 3 orang (7,14%). Peternak berumur 31-40 tahun sebesar 23,81%, umur 51-60 tahun sebesar 23,81%, dan umur lebih dari 60 tahun sebesar 11,90%. Sebaran peternak berdasarkan umur ditunjukkan pada Gambar 6.

Gambar 6. Sebaran Peternak berdasarkan Umur Sumber : Data yang diolah (2011)

7,14% 23,81% 33,33% 23,81% 11,90% 20-30 tahun 31-40 tahun 41-50 tahun 51-60 tahun >60 tahun

21 Hasil penelitian menunjukkan umumnya peternak responden masih dalam umur produktif. Selang umur produktif di Indonesia yaitu 15-64 tahun (Badan Pusat Statistik, 2010). Umur peternak yang produktif merupakan salah satu potensi dalam pengembangan sapi bali di Desa Pa’rappunganta. Peternak yang masih produktif di Desa Pa’rappunganta diharapkan memiliki kemampuan pemeliharaan dan penye-diaan pakan ternak yang lebih baik dibandingkan umur tidak produktif.

Tingkat Pendidikan

Saleh (2006) menyatakan bahwa tingkat pendidikan peternak juga berhubungan sangat nyata dengan perilaku membuat jejaring komunikasi antar peternak sendiri, aktif mencari, mengklarifikasi dan memanfaatkan informasi peternakan sapi potong sesuai kebutuhan. Peternak yang diwawancarai sebagian besar tidak pernah sekolah dengan persentase sebesar 40,48%. Pendidikan formal tertinggi responden adalah Sekolah Menengah Atas (SMA) dengan persentase sebesar 4,76%. Rendahnya tingkat pendidikan peternak mengakibatkan pengetahuan dan keterampilan peternak masih kurang. Contoh dalam pemberian pakan jerami padi, peternak tidak melakukan pengolahan terlebih dahulu seperti amoniasi atau silase sehingga kecernaan dan palatabilitasnya relatif rendah. Manajemen reproduksi sapi bali belum dilaksanakan dengan baik. Peternak belum mengetahui cara pencatatan siklus reproduksi sapi bali sehingga kurang tepat untuk mendeteksi birahi, kebuntingan atau kemajiran pada ternaknya. Kebersihan kandang dan kesehatan ternak kurang diperhatikan oleh peternak seperti vaksinasi dan pengobatan penyakit sapi bali. Hal-hal tersebut merupakan contoh kurangnya keterampilan peternak di Desa Pa’rappunganta.

Keterampilan peternak selain diperoleh dari pendidikan formal juga dapat diperoleh melalui pendidikan non-formal seperti penyuluhan dan pembinaan. Program-program penyuluhan dan pembinaan peternak sudah diadakan namun belum merata. Masih banyak peternak yang belum mendapat kesempatan untuk mengikuti pendidikan non-formal tersebut. Perlu adanya pelaksanaan penyuluhan ataupun pelatihan mengenai manajemen beternak yang baik termasuk bagaimana pemberian pakan sesuai status fisiologis sapi bali, pengolahan jerami, pencatatan siklus reproduksi sapi bali, pencegahan penyakit, kebersihan kandang dan lain-lain.

22 Penyuluhan dan pelatihan tersebut sebaiknya dilakukan secara berkala dan dapat diikuti oleh seluruh peternak.

Penyaluran informasi mengenai pemeliharaan sapi bali di Desa Pa’rappunganta perlu diperbaiki. Pemberdayaan kelompok petani-peternak sangat diperlukan agar dapat menjadi tempat bagi peternak memperoleh informasi, mengembangkan pengetahuan dan meningkatkan keterampilan beternak sapi bali. Selama ini kelompok peternak yang telah dibentuk tidak terorganisir dengan baik, anggota kelompok jarang melakukan pertemuan untuk berdiskusi atau berbagi informasi mengenai pemeliharaan sapi bali. Hal ini sesuai dengan pendapat Syamsu

et al. (2006) bahwa masalah dalam pengembangan peternakan di Sulawesi Selatan

adalah lemahnya kelembagaan di tingkat kelompok tani dan peternak. Kondisi tersebut di Desa Pa’rappunganta perlu diperbaiki dengan mengaktifkan kembali kelompok melalui kegiatan-kegiatan kelompok yang terencana dan berkala seperti pelatihan, diskusi kelompok dan lain-lain. Sebaran responden berdasarkan tingkat pendidikan formal dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Sebaran Peternak Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Tingkat Pendidikan Jumlah Responden Persentase

Tidak sekolah 17 40,48

Sekolah Dasar 14 33,33

Sekolah Menengah Pertama 9 21,43

Sekolah Menengah Atas 2 4,76

Sarjana 0 0,00

Jumlah 42 100

Sumber : Data yang diolah (2011)

Tingkat pendidikan yang rendah juga berpengaruh terhadap penguasaan peternak terhadap istilah dalam peternakan. Beberapa peternak tidak menguasai Bahasa Indonesia sehingga dalam melakukan wawancara, peneliti harus menggunakan bahasa daerah Makassar. Istilah-istilah dalam bidang peternakan juga tidak diketahui oleh para peternak sehingga peneliti harus menjelaskan pengertian dari istilah tersebut dalam Bahasa Makassar terlebih dahulu atau menggunakan istilah Bahasa Makassar yang umum digunakan oleh para peternak.

23

Motivasi Beternak

Motivasi yang dimiliki oleh peternak dalam menjalankan usaha ternak sapi bali cenderung seragam. Sebanyak 39 orang atau 92,85% responden yang diwawancarai dalam penelitian ini menyatakan motivasi mereka beternak sapi bali adalah untuk menambah penghasilan. Sisanya sebanyak 3 orang responden (7,14%) menyatakan alasan mereka beternak sapi bali adalah sebagai tabungan masa depan.

Beternak dilakukan sebagai pekerjaan sambilan untuk menambah peng-hasilan. Banyaknya peternak yang beternak sapi bali sebagai pekerjaan sambilan didorong oleh biaya pemeliharaan sapi bali yang relatif kecil karena sistem peternakan semi intensif yang diterapkan oleh peternak. Peternak hanya butuh tenaga untuk mencari pakan dan biaya untuk membuat kandang sederhana serta biaya pembelian garam. Sapi bali juga menjadi tabungan masa depan karena peternak dapat menjual sapi bali yang dimilikinya sewaktu-waktu jika membutuhkan uang untuk berbagai keperluan misalnya biaya sekolah anak dan biaya pengobatan. Hal tersebut sejalan dengan laporan Sudardjat dan Pambudy (2003) yakni peternak tradisional masih lebih senang memilih ternak sebagai alternatif usaha menyimpan dana. Hal tersebut sebenarnya merupakan alternatif tepat karena menabung dalam bentuk ternak akan memperoleh “bunga” yaitu dari anak sapi yang dapat dicapai bila manajemen ternak dilakukan dengan baik. Sebaran peternak berdasarkan motivasi beternak sapi bali disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7. Sebaran Peternak berdasarkan Motivasi Beternak Sapi Bali Sumber : Data yang diolah (2011)

Seluruh responden yang diwawancarai menjual ternaknya pada pedagang pengumpul yang sekaligus berperan sebagai belantik. Harga jual sapi bali di lokasi penelitian relatif stabil. Sapi bali berumur 1 tahun berkisar 3-4 juta rupiah sedangkan

93%

7% Tambahan penghasilan Tabungan masa depan

24 sapi bali yang berumur 2 tahun dijual pada kisaran harga 4-5 juta rupiah. Bagi responden, harga jual ini sudah menguntungkan karena responden tidak memperhitungkan biaya tenaga kerja, biaya penyusutan peralatan dan biaya-biaya lainnya. Tenaga kerja usaha ternak sapi bali berasal dari tenaga kerja keluarga sehingga peternak tidak menghitung upah tenaga kerja.

Pengalaman Beternak

Pengalaman responden dalam beternak sapi bali bervariasi (Tabel 5).

Peternak di lokasi penelitian telah mengetahui cara beternak yang diperoleh dari keluarga secara turun-temurun. Cara beternak yang diketahui masih bersifat tradisional, namun sudah cukup baik sebagai modal untuk pengelolaan dan pengembangan usaha ternak sapi bali. Febrina dan Liana (2008) menyatakan bahwa pengalaman beternak yang cukup lama memberikan indikasi bahwa pengetahuan dan keterampilan peternak terhadap manajemen pemeliharaan ternak mempunyai kemampuan yang lebih baik. Pengalaman beternak sangat berpengaruh terhadap keberhasilan usaha.

Tabel 5. Sebaran Peternak Berdasarkan Lama Beternak

Lama Beternak Sapi Bali (tahun) Jumlah Responden Persentase

1 sampai 10 15 35,71

11 sampai 20 15 35,71

21 sampai 30 7 16,67

31 sampai 40 5 11,90

Jumlah 42 100,00

Sumber : Data yang diolah (2011)

Kepemilikan Sapi Bali

Kepemilikan sapi bali paling banyak antara 1-5 ekor (76,19%). Jumlah sapi bali yang dipelihara responden dapat dilihat pada Tabel 6. Kepemilikan sapi bali relatif kecil dalam memberikan jaminan kesejahteraan kepada peternak terutama yang telah lama menjalankan usaha ternak sapi bali. Kondisi ini disebabkan oleh kurangnya modal peternak untuk membeli bibit atau sapi dara dan pola pemeliharaan yang masih tradisional.

25 Tabel 6. Sebaran Peternak Berdasarkan Jumlah Sapi Bali yang Dipelihara

Jumlah ternak Sapi Bali Responden Persentase

1 sampai 5 32 76,19

6 sampai 10 8 19,05

>10 2 4,76

Jumlah 42 100

Sumber : Data yang diolah (2011)

Kairupan (2011) menyatakan bahwa peternakan sapi memegang peranan penting dalam perekonomian masyarakat di pedesaan. Hal tersebut mengingat sebagian besar sapi di Indonesia ada pada tingkat petani kecil yang dikelola dalam skala usaha peternakan rakyat, namun umumnya para peternak yang memelihara sapi bali tidak mengembangkan populasi ternaknya dan dijual apabila membutuhkan uang dalam kondisi mendesak. Syamsu et al. (2006) menjelaskan permasalahan peternakan di Sulawesi Selatan adalah skala usaha kecil, umumnya masih terbatas pada skala usaha sambilan sehingga kurang kompetitif.

Sapi bali yang dipelihara peternak tidak seluruhnya merupakan kepemilikan peternak sendiri, namun juga ada yang berupa sapi bali yang dititipkan atau sapi bali gaduhan Tabel 7 menunjukkan bahwa jumlah peternak yang memelihara sapi bali milik sendiri dan milik orang lain lebih dominan.

Tabel 7. Sebaran Peternak Berdasarkan Kepemilikan Sapi Bali

Kepemilikan Sapi Bali Responden Persentase

Milik sendiri 14 33,33

Gaduhan 9 21,43

Milik sendiri dan gaduhan 19 45,24

Jumlah 42 100

Sumber : Data yang diolah (2011)

Sistem gaduhan di Desa Pa’rappunganta menguntungkan peternak dengan modal kecil karena mereka memperoleh bibit sapi bali tanpa membeli. Bibit sapi bali yang dipelihara oleh peternak responden umumnya berasal dari sapi yang dititipkan oleh orang lain. Sistem penitipan ini dalam Bahasa Makassar disebut “ni tesang”

26 atau dikenal juga dengan menggaduh atau bagi hasil. Sistem ini dijalankan berdasarkan kesepakatan antara pemilik sapi bali dan peternak yang memelihara. Kesepakatan yang umum yaitu anak pertama dari sapi tersebut menjadi milik orang yang menitipkan sedangkan anak kedua menjadi milik peternak yang memelihara dan begitu seterusnya. Sapi bali yang dititipkan ke peternak umumnya berjenis kelamin betina untuk digunakan sebagai bibit. Sistem gaduhan sapi bali tersebut dapat mengembangkan sapi bali di Desa Pa’rappunganta apabila peternak yang dititipi sapi bali mampu melakukan pemeliharaan dengan baik dan memproduksi anak sapi atau pedet satu ekor per tahun (produktivitas baik).

Populasi Sapi Bali

Sapi bali di Desa Pa’rappunganta berasal dari wilayah Kabupaten Takalar yang dibeli oleh penduduk desa kemudian diternakkan. Populasi sapi bali mengalami peningkatan maupun penurunan setiap tahun. Kepadatan sapi bali Desa Pa’rappunganta pada tahun 2011 mencapai 150 ekor/km2

. Tahun 2008 hingga tahun 2010 jumlah sapi bali mengalami peningkatan. Sapi bali betina jumlahnya lebih besar dibandingkan sapi bali jantan karena sapi bali jantan umumnya dijual oleh peternak ketika umurnya telah mencapai 1-2 tahun. Peternak tidak menjual sapi betina karena diharapkan dapat menghasilkan anak tiap tahunnya, kecuali jika sapi betina tersebut sudah afkir atau sakit.

Peningkatan populasi sapi bali di Desa Pa’rappunganta sebesar 6,48% terjadi di tahun 2009 jika tahun 2008 diasumsikan sebagai tahun awal. Tahun 2010 terjadi peningkatan populasi sebesar 4,75%, namun laju perkembangan populasi mengalami penurunan dari tahun 2009 ke tahun 2010 sebesar 1,73%. Peningkatan populasi sapi bali di lokasi penelitian lebih tinggi dibandingkan peningkatan populasi sapi nasional tahun 2008-2010. Data dari Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (2011) menunjukkan populasi sapi tahun 2009 mengalami peningkatan sebesar 2,01% dibandingkan tahun 2008, sedangkan tahun 2010 meningkat sebesar 3,12% dari tahun 2009.

Populasi sapi bali yang meningkat tahun 2008 ke 2009 didorong oleh adanya program bantuan sapi bali melalui Sarjana Membangun Desa (SMD) yang bekerjasama dengan Dinas Peternakan. Diharapkan prospek pengembangan sapi bali dapat semakin baik setiap tahun dengan pengoptimalan produktivitas, potensi dan

27 penerapan strategi pengembangan yang tepat. Perkembangan populasi sapi bali mengalami peningkatan dari tahun 2008 hingga 2010 dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Laju Perkembangan Populasi Sapi Bali di Desa Pa’rappunganta

Tahun Jumlah Ternak (ekor) Laju Perkembangan (%)

Jantan Betina

2008 151 571 -

2009 160 662 6,48

2010 186 718 4,75

Jumlah 2448 1951

Sumber : Data diolah dari Subdinas Peternakan Kabupaten Takalar (2010)

Manajemen Pemeliharaan Sapi Bali Perkandangan

Kandang sapi bali di Desa Pa’rappunganta berada di sekitar rumah atau di bawah rumah jika rumah peternaknya merupakan rumah panggung. Konstruksi kandang sangat sederhana, dibangun dari bambu atau potongan kayu, atap dari bahan rumbia atau seng dan lantai tanah. Beberapa kandang tidak beratap dan hanya berupa pembatas yang mencegah sapi lepas. Hal tersebut berkaitan dengan pemeliharaan semi intensif dimana ternak tidak dikandangkan saat siang hari sehingga peternak merasa tidak perlu memberikan naungan di kandang. Konstruksi kandang sapi bali dapat dilihat pada Gambar 8.

(a) (b)

Gambar 8. Kandang Sapi Bali di Desa Pa’rappunganta, (a) Kandang dengan Atap (b) Kandang Tanpa Atap

28 Tempat pakan berupa wadah yang terbuat dari papan ataupun bahan lain yang mudah diperoleh peternak dan tidak membutuhkan biaya pembelian yang besar. Tempat pakan umumnya terbuat dari papan atau wadah lainnya. Ember untuk air minum sapi menggunakan ember plastik atau memanfaatkan ember bekas cat seperti yang ditunjukkan pada Gambar 9.

(a) (b)

Gambar 9. Tempat Pakan dan Tempat Minum Sapi Bali, (a) Tempat Minum (b) Tempat Pakan

Sudardjat dan Pambudy (2003) menjelaskan bahwa pola pemeliharaan dan usaha ternak potong di Indonesia masih merupakan usaha tani, yang berarti usaha pokok peternak adalah bertani dan usaha sambilan adalah beternak. Sapi, kerbau maupun ternak lainnya sepanjang hari digembalakan di ladang sendiri, di tanah gembalaan umum, di tepi jalan atau pinggir sungai yang ditumbuhi banyak rumput. Ternak sore hari kemudian dikandangkan di kandang yang sederhana.

Jenis kandang yang umum di lokasi penelitian adalah kandang kelompok dan tidak dijumpai adanya kandang individu yang dimiliki peternak. Peternak tidak memperhatikan ukuran luas dan kepadatan kandang. Kandang dibuat hanya berdasarkan luas lahan yang dimiliki peternak, ketersediaan bahan pembuat kandang dan biaya yang dimiliki oleh peternak untuk pembuatan kandang. Luas kandang sapi bali di lokasi penelitian sangat bervariasi dan terkadang juga berfungsi sebagai pagar pembatas pekarangan rumah. Kandang tersebut memiliki pengamanan yang sangat minim. Pintu kandang biasanya terbuat dari potongan kayu yang dibentuk menyerupai pagar/gerbang sederhana dan umumnya tidak dapat dikunci. Kondisi tersebut menyebabkan rawan terjadi pencurian sapi bali.

29 Subdinas Peternakan Kabupaten Takalar memiliki kompleks kandang individu yang dapat menampung hingga 88 ekor ternak sapi yang terletak di Desa Pa’rappunganta (Gambar 10)

Gambar 10. Kandang Sapi Permanen di Desa Pa’rappunganta

Kandang individu tersebut merupakan kandang permanen yang dilengkapi dengan tempat pakan dan air minum namun peternak belum memanfaatkannya karena harus mengeluarkan biaya tambahan untuk menyewa kandang. Biaya penyewaan kandang disesuaikan dengan kesepakatan peternak dan pihak dinas peternakan. Alasan keamanan juga menjadi pertimbangan peternak tidak meng-gunakan kandang tersebut karena letak kandang yang jauh dari rumah akan menyulitkan pengawasan. Kandang terletak di lokasi yang berjarak sekitar 500 meter dari pemukiman penduduk dan dari pinggir jalan desa.

Sistem Pemeliharaan

Sistem pemeliharaan sapi bali yang dilakukan oleh peternak adalah sistem semi-intensif. Ternak biasanya dikeluarkan dari kandang pada pukul 6 pagi kemudian digembalakan (Gambar 11). Siang hari peternak menambatkan ternak sapi di bawah pohon atau naungan yang berada di sekitar lahan penggembalaan dan pada sore hari sekitar pukul 5 sore, sapi bali dikandangkan kembali. Mathius (2008) menjelaskan bahwa untuk menekan biaya produksi, baik biaya tenaga kerja maupun penyediaan pakan, khususnya pakan hijauan, maka pola pemeliharaan sebaiknya dilakukan secara semi-intensif, yaitu ternak dikandangkan pada malam hari dan digembalakan secara terbatas (dengan pengawasan/diikat) pada siang hari.

30 Penggembalaan harus diatur agar daya dukung pakan hijauan lokal tersedia sepanjang tahun. Defoliasi yang berlebihan dapat terjadi, sehingga keseimbangan vegetasi yang ada harus dipertahankan dan bahkan ditingkatkan untuk menghindari kerusakan kebun akibat kelebihan daya tampung (over-grazing). Sapi bali yang sedang bernaung dan di kandangkan dapat dilihat pada Gambar 12.

(a) (b)

Gambar 11. Sapi Bali yang Digembalakan, (a) Sapi Digembalakan di Kebun Tebu (b) Sapi Digembalakan di Sawah Bera

Gambar 12. Sapi Bali yang Dinaungkan

Sapi bali digembalakan di lahan kosong yang ditumbuhi rumput lapang atau sawah yang sedang tidak ditanami (diberakan). Alasan peternak menerapkan pola pemeliharaan semi-intensif adalah agar ternak dapat memakan rumput lapang di lokasi penggembalaannya selain dari pakan yang diberikan. Sapi bali yang digembalakan di sawah bera dapat mengonsumsi limbah berupa jerami padi yang ketersediaannya melimpah saat musim panen. Sistem produksi yang dilaksanakan peternak adalah sistem campuran. Sistem produksi campuran sapi bali di Desa

31 Pa’rappunganta mencakup pembibitan, produksi bakalan, pembesaran dan sekaligus penggemukan.

Pakan

Sapi bali di lokasi penelitian diberi pakan yang terdiri dari dua jenis yaitu rumput-rumputan dan limbah hasil pertanian. Pakan utama yang diberikan oleh peternak yaitu rumput dan alang-alang yang banyak tumbuh di lokasi penelitian. Ketersediaan pakan didukung oleh kondisi iklim yang cukup baik dan lahan yang

Dokumen terkait