• Tidak ada hasil yang ditemukan

Produktivitas, Potensi dan Prospek Pengembangan Sapi Bali (Bos javanicus) di Desa Pa’rappunganta Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Produktivitas, Potensi dan Prospek Pengembangan Sapi Bali (Bos javanicus) di Desa Pa’rappunganta Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan"

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

PRODUKTIVITAS, POTENSI DAN PROSPEK PENGEMBANGAN

SAPI BALI (

Bos javanicus

) DI DESA PA’RAPPUNGANTA

KABUPATEN TAKALAR SULAWESI SELATAN

SKRIPSI

AYU LESTARI

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(2)

RINGKASAN

AYU LESTARI. D14080010. 2012. Produktivitas, Potensi dan Prospek

Pengembangan Sapi Bali (Bos javanicus) di Desa Pa’rappunganta Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi

Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Ir. Hj. Komariah, MSi. Pembimbing Anggota : Ir. Dwi Joko Setyono, MS.

Sapi bali merupakan ternak asli Indonesia yang mampu tumbuh baik dengan makanan yang bernilai gizi rendah dan adaptif terhadap kondisi iklim Indonesia. Takalar adalah salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan dengan populasi sapi potong terbesarnya adalah sapi bali yaitu 99%. Desa Pa’rappunganta menjadi salah satu wilayah pengembangan sapi bali di Kabupaten Takalar. Populasi sapi bali di Desa Pa’rappunganta tahun 2011 adalah 787 ekor atau hanya 2,3% dari jumlah seluruh sapi bali di Kabupaten Takalar. Populasi sapi bali yang relatif kecil di Desa Pa’rappunganta diduga disebabkan sistem pengusahaan yang masih tradisional karena keterampilan peternak yang rendah, keterbatasan pakan berkualitas baik, pencatatan reproduksi belum dilakukan, kurang tersedianya betina dan kecen-derungan seleksi negatif pada sapi bali. Dibutuhkan analisis potensi berdasarkan sumberdaya lokal serta faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi per-kembangan usaha ternak sapi bali untuk mengetahui prospek pengembangan sapi bali di Desa Pa’rappunganta.

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui produktivitas sapi bali serta menganalisis potensi dan prospek pengembangan populasinya di Desa Pa’rappunganta. Penelitian ini dilakukan di Desa Pa’rappunganta, Kecamatan Polombangkeng Utara, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan pada bulan Agustus hingga September 2011. Responden dalam penelitian ini sebanyak 42 orang peternak.

Produktivitas ternak ditinjau dari sifat reproduksi yaitu umur pubertas, umur kawin pertama, umur beranak pertama, tingkat kelahiran, service per conception

(S/C), lama berahi kembali setelah melahirkan, selang beranak dan tingkat kematian anak. Data reproduksi sapi bali diperoleh dengan wawancara terhadap peternak. Hasil yang diperoleh adalah sebagai berikut : umur pubertas sapi bali betina ialah 2,1±0,52 tahun, umur kawin pertama 2,2±0,51 tahun, umur beranak pertama 3,1±0,59 tahun, service per conception (S/C) 1,9±0,94 tahun, tingkat kelahiran anak 98,1%, lama berahi kembali setelah beranak 82±36,09 hari, selang beranak 370±36 hari, dan tingkat kematian anak 5,38%. Nilai Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia (KPPTR) di Desa Pa’rappunganta menunjukkan bahwa desa tersebut masih dapat menampung ternak ruminansia sebesar 137,97 ST. Analisis SWOT (strengths, weaknesses, opportunities dan threats) dan KPPTR menunjukkan bahwa sapi bali memiliki prospek pengembangan yang baik di Desa Pa’rappunganta.

(3)

ABSTRACT

Productivity, Potency, and Development Prospect of Bali Cattle (Bos javanicus) in Pa’rappunganta Village Takalar Region South Sulawesi

Lestari, A., Komariah, and Setyono, D. J.

Bali cattle is one of Indonesia indigenous cattle with high adaptivity of environment and feed. The aims of this study was to determine the productivity, potency, and development prospect of bali cattle in Pa'rappunganta village. This research was conducted from July to August 2011 in Pa’rappunganta village, Takalar region, South Sulawesi. Primary data was obtained through interviewed of 42 farmers. Secondary data was obtained from the village government and related agencies. Data of village profile, farming management and resources were analyzed descriptively. This study also analyzed reproductive characteristic, SWOT (strengths, weaknesses, opportunities and threats) and Increasement Population Capacity of Ruminant (IPCR). The results showed that the age of first oestrus in female bali cattle average was 2,1 years and age of first mating was 2,2 years. Service per conception (S/C) was on average 1,9 times and calving rate mean was 98,1%. Oestrus postpartum of bali cattle in this study was an average of 81.95 days, calving interval was 370±36 days and calf mortality was 5,8%. Result of IPCR analysis showed that capacity of ruminant increase was 137,97 Animal Unit. The result indicated that bali cattle still potential to be developed in Pa’rappunganta village. Result of SWOT analyzed and IPCR showed that bali cattle had a good prospect to be developed in Pa’rappunganta village.

(4)

PRODUKTIVITAS, POTENSI DAN PROSPEK PENGEMBANGAN

SAPI BALI (

Bos javanicus) DI DESA PA’RAPPUNGANTA

KABUPATEN TAKALAR SULAWESI SELATAN

AYU LESTARI

D14080010

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(5)

Judul : Produktivitas, Potensi dan Prospek Pengembangan Sapi Bali (Bos

javanicus) di Desa Pa’rappunganta Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan

Nama : Ayu Lestari

NIM : D14080010

Menyetujui,

Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota,

(Ir. Hj. Komariah, M.Si.) (Ir. Dwi Joko Setyono, M.S.) NIP. 19590515 198903 2 001 NIP. 19601123 198903 1 001

Mengetahui : Ketua Departemen,

Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M. Agr. Sc.) NIP. 19591212 198603 1 004

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Ayu Lestari dilahirkan pada tanggal 26 Januari 1991 di Takalar, Sulawesi Selatan. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Ayahanda Drs. H. Muh. Syukri dan Ibunda Dra. Hj. Syarpah Syam.

Penulis mengawali pendidikan dasar pada tahun 1995 di SDN 1 Binamu dan pendidikan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2005 di SMP Negeri 3 Binamu. Pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2008 di SMA Negeri 1 Takalar. Penulis melanjutkan pendidikan pada jenjang perguruan tinggi di tahun 2008 di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis terdaftar sebagai mahasiswa di Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan (IPTP), Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Semasa menjadi mahasiswa di IPB, penulis aktif berorganisasi seperti sekretaris kelas A27 TPB periode 2008-2009, anggota Organisasi Mahasiswa Daerah Sulawesi Selatan (OMDA IKAMI) periode 2008-2009, staf divisi politik dan kajian strategis Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Peternakan (BEM-D) periode 2010, anggota paduan suara Fakultas Peternakan Graziono Symphonia periode 2009-2010, serta koordinator Badan Pengawas Organisasi Himpunan Mahasiswa Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan (BPO Himaproter) periode 2010-2011.

(7)

KATA PENGANTAR

Bismillaahirrohmaanirrohiim

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul Produktivitas,

Potensi dan Prospek Pengembangan Sapi Bali (Bos javanicus) di Desa Pa’rappunganta Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan. Salam dan salawat penulis

tujukan bagi Rasulullah SAW beserta keluarga dan para sahabatnya.

Skripsi ini disusun berdasarkan penelitian yang dilaksanakan pada bulan Agustus sampai September 2011 di Desa Pa’rappunganta Kabupaten Takalar. Sapi bali sebagai sapi asli Indonesia menjadi topik penelitian dalam skripsi ini. Sapi bali memiliki keunggulan adaptasi yang baik terhadap lingkungan dan pakan. Tingginya permintaan masyarakat terhadap sapi bali menjadi peluang besar bagi usaha ternak sapi bali. Sapi bali di Takalar umumnya diternakkan secara tradisonal dengan sistem semi intensif. Populasi sapi bali dapat mengalami penurunan apabila tidak ada pembenahan dalam pemotongan pejantan, pemanfaatan teknologi inseminasi buatan, manajemen pemeliharaan dan lainnya. Potensi pengembangan sapi bali perlu diketahui dan dimanfaatkan untuk memaksimalkan prospek pengembangan sapi bali. Penelitian mengenai sapi bali ini bertujuan untuk mengetahui produktivitas dalam hal reproduksi, serta potensi dan prospek pengembangan sapi bali di Desa Pa’rappunganta.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan karena kendala yang dihadapi saat penelitian. Penulis berharap adanya saran dan kritik yang membangun untuk penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat pembaca dan bagi pengembangan ternak lokal Indonesia.

Bogor, Agustus 2012

(8)

DAFTAR ISI

Umur Beranak Pertama (First Parturition) ... 8

Tingkat Kelahiran (Calving Rate) ... 8

Berahi Setelah Beranak (Oestrus Postpartum) ... 9

Selang Beranak (Calving Interval) ... 10

Kematian Anak (Calf Mortality) ... 10

Analisis Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia ... 11

Analisis SWOT…… ... 11

Analisis Sifat Reproduksi ... 12

Analisis KPPTR ... 13

(9)

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 16

Keadaan Umum Lokasi Penelitian ... 16

Profil Desa Pa’rappunganta ... 16

Keadaan Topografi ... 18

Keadaan Demografi ... 18

Mata Pencaharian ... 19

Karakteristik Peternak dan Usaha Ternak Sapi Bali ... 20

Umur Peternak ... 20

Manajemen Pemeliharaan Sapi Bali ... 27

Perkandangan ... 27

Sistem pemeliharaan ... 29

Pakan .. ... 31

Perawatan Sapi Bali ... 34

Performa Sifat Reproduksi Sapi Bali ... 35

Umur Berahi Pertama (Puberty) ... 36

Umur Kawin Pertama (First Mating) ... 37

Service per Conception (S/C) ... 37

Umur Beranak Pertama (First Parturition) ... 38

Tingkat Kelahiran (Calving Rate) ... 38

Berahi Setelah Beranak (Oestrus Postpartum) ... 39

Selang Beranak (Calving Interval) ... 39

Kematian Anak (Calf Mortality) ... 39

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Curah Hujan Rata-rata per-Bulan Desa Pa’rappunganta ... 18

2. Jumlah Penduduk dan Kepala Keluarga di Desa Pa’rappunganta Tahun 2010 .... ... 18

3. Sebaran Penduduk Desa Pa’rappunganta Berdasarkan Mata Pencaharian .... ... 19

4. Sebaran Peternak Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 22

5. Sebaran Peternak Berdasarkan Lama Beternak ... 24

6. Sebaran Peternak Berdasarkan Jumlah Sapi Bali yang Dipelihara ... 25

7. Sebaran Peternak Berdasarkan Kepemilikan Sapi Bali ... 25

8. Laju Perkembangan Populasi Sapi Bali di Desa Pa’rappunganta ... 27

9. Sebaran Peternak Berdasarkan Pakan Tambahan yang Digunakan ... 33

10. Sifat Reproduksi Sapi Bali di Desa Pa’rappunganta ... 36

11. Nilai KPPTR di Desa Pa’rappunganta ... 40

12. Faktor Internal Pengembangan Sapi Bali di Desa Pa’rappunganta .... 42

(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Sapi Bali Betina ... 4

2. Sapi Bali Jantan ... 4

3. Matriks Grand Strategy ... 15

4. Peta Kabupaten Takalar ... 16

5. Topografi Wilayah Desa Pa’rappunganta (a) Padang Penggembalaan (b) Sawah ... 17

6. Sebaran Peternak Berdasarkan Umur ... 20

7. Sebaran Peternak Berdasarkan Motivasi Beternak Sapi Bali ... 23

8. Kandang Sapi Bali di Desa Pa’rappunganta (a) Kandang dengan Atap (b) Kandang Tanpa Atap ... 27

9. Tempat Pakan dan Tempat Minum Sapi Bali (a) Tempat Minum (b) Tempat Pakan ... 28

10. Kandang Sapi Permanen di Desa Pa’rappunganta ... 29

11. Sapi Bali yang Digembalakan di Desa Pa’rappunganta (a) Sapi Digembalakan di Kebun Tebu (b) Sapi Digembalakan di Sawah Bera .... ... ... 30

12. Sapi Bali yang Dinaungkan ... 30

13. Cara Pengangkutan Pakan oleh Peternak Sapi Bali (a) menggunakan Gerobak (b) Berjalan Kaki... 31

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Prioritas pembangunan peternakan Indonesia di masa yang akan datang cenderung berada di luar pulau Jawa. Pertimbangan utamanya adalah masih tersedianya lahan yang luas dan kepadatan penduduk yang masih sedikit, memberikan prospek bagi pengembangan usaha peternakan khususnya sapi. Hal tersebut sejalan dengan program dua juta sapi dan kerbau tahun 2016 yang dicanangkan pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. Bangsa sapi yang mendominasi di Sulawesi Selatan adalah sapi bali dengan jumlah populasi pada Juni 2011 sebesar 954.901 ekor (Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Sulawesi Selatan, 2012).

Takalar adalah salah satu kabupaten yang berada di Sulawesi Selatan dengan rumah tangga pemelihara sapi bali sebanyak 8363 kepala keluarga. Kabupaten Takalar pada tahun 2011 memiliki populasi sapi bali 34.747 ekor atau 3,64% dari total keseluruhan ternak sapi bali di Sulawesi Selatan (Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Sulawesi Selatan, 2012). Pemanfaatan sapi bali sebagai hewan ternak dilatarbelakangi oleh kemampuan adaptasi dan produktivitas sapi bali yang baik dalam hal kesuburan. Sapi bali dimanfaatkan oleh masyarakat Takalar sebagai penghasil daging untuk dikonsumsi saat pesta pernikahan, khitanan atau acara adat lainnya serta sebagai hewan kurban saat hari raya Idul Adha, sehingga kebutuhan akan daging sapi bali relatif besar.

Desa Pa’rappunganta yang berada di Kabupaten Takalar merupakan salah satu wilayah pengembangan sapi bali. Populasi sapi bali di Desa Pa’rappunganta pada tahun 2008 sebesar 722 ekor dan mengalami peningkatan pada tahun 2010 sebesar 904 ekor (Subdinas Peternakan Kabupaten Takalar, 2011). Desa Pa’rappunganta merupakan wilayah pertanian dan perkebunan yang memiliki potensi besar untuk pengembangan usaha ternak khususnya sapi bali. Peternak sapi bali melakukan pemeliharaan ternak secara tradisional beriringan dengan sistem usahatani lain seperti padi, tebu dan kacang hijau.

(14)

2 belum maksimal, kualitas sumberdaya manusia (peternak) yang masih rendah dan tidak tersedianya sarana penunjang produksi peternakan dapat menyebabkan produktivitas yang tidak optimal. Dibutuhkan analisis produktivitas sapi bali dan potensi berdasarkan sumberdaya lokal desa untuk mengetahui prospek pengembangan sapi bali di Desa Pa’rappunganta.

Tujuan

(15)

TINJAUAN PUSTAKA

Sapi Bali

Sapi bali berasal dari banteng (Bibos banteng) yang telah didomestikasi berabad-abad lalu. Beberapa sinonim sapi bali yaitu Bos javanicus, Bos banteng dan

Bos sondaicus. Sapi bali termasuk Famili Bovidae, Genus Bos dan Subgenus

Bibovine (Hardjosubroto dan Astuti, 1993). Sumber sapi bali murni di Indonesia

adalah Pulau Bali. Sapi bali memiliki beberapa keunggulan yaitu: (1) tingkat kesuburan sangat tinggi, (2) merupakan sapi pekerja yang baik dan efisien, (3) dapat memanfaatkan hijauan yang kurang bergizi, (4) persentase karkas tinggi, (5) daging rendah lemak subkutan, (6) heterosis positif (penyimpangan penampilan yang diharapkan dari penggabungan dua sifat yang dibawa kedua tetuanya) yang tinggi (Pane, 1990).

Sapi bali merupakan salah satu jenis sapi potong yang penting dan berperan dalam pengembangan industri ternak di Indonesia (Talib, 2002). Santosa dan Harmadji (1990) menyatakan bahwa dalam rangka penyebaran dan perbaikan mutu genetik sapi lokal, sapi bali menjadi prioritas karena sifatnya yang mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan hidup yang baru (tidak selektif terhadap pakan) dan tingkat kelahiran yang tinggi. Pemilihan sapi bali menurut Mangkoewidjoyo (1990), memberikan keuntungan dalam usaha meningkatkan populasi sapi di Indonesia karena sapi bali sudah beradaptasi dengan lingkungan di daerah tropis.

Sapi bali memiliki warna bulu merah bata saat muda, tetapi pada jantan warna tersebut akan menjadi hitam setelah dewasa. Ciri-ciri khusus sapi bali adalah warna putih pada bagian pantat, pinggiran bibir atas, kaki bawah mulai tarsus dan carpus

(16)

4 kembali menjadi coklat kemerah-merahan (Darmadja, 1990). Gambar 1 dan Gambar 2 menunjukkan perbedaan antara sapi bali jantan dan betina.

Gambar 1. Sapi Bali Betina Sumber : Direktorat Jenderal Peternakan (2012)

Gambar 2. Sapi Bali Jantan Sumber : Departemen Pertanian (2010)

(17)

5 jantan. Sementara anak sapi betina memiliki kisaran bobot lahir antara 13 kg sampai dengan 26 kg dengan rataan 17,9±1,6 kg. Penambahan bobot badan harian (PBBH) sapi bali pra-sapih antara 0,33 kg–0,48 kg, sedangkan PBBH pasca-sapih sebesar 0,20 kg-0,75 kg menurut hasil penelitian Panjaitan et al. (2003).

Daerah sumber bibit utama sapi bali berada di Bali, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Berdasarkan populasi maka Sulawesi Selatan memiliki populasi sapi bali terbesar di Indonesia (954.901 ekor menurut Badan Pusat Statistik tahun 2012). Sejarah penyebaran sapi bali di Sulawesi Selatan yaitu pada tahun 1927 sapi bali dimasukkan ke Sulawesi Selatan (Rampi) sebanyak 5 ekor dan berkembang biak hingga 50 ekor pada tahun 1940. Tahun 1947 sapi bali disebarkan ke propinsi ini secara besar-besaran. Sapi-sapi tersebut beserta sapi yang telah ada sebelumnya, menjadi sumber awal sapi bali di Sulawesi Selatan yang telah berkembang menjadi propinsi dengan jumlah sapi bali terbanyak di Indonesia. Bencana penyakit jembrana pada tahun 1964 di Bali yang terjadi secara besar-besaran menyebabkan sapi bali tidak boleh dikeluarkan lagi dari pulau Bali sebagai ternak bibit. Mulai saat itu sumber bibit sapi bali di Indonesia digantikan oleh NTT, Sulawesi Selatan dan NTB (Talib, 2002).

Produktivitas

Ball dan Peters (2004) menyatakan dalam produksi sapi potong, reproduksi yang baik sangat penting untuk efisiensi manajemen dan keseluruhan produksi. Reproduksi terbaik adalah seekor induk menghasilkan satu anak setiap tahun.

Reproduksi Sapi Bali

(18)

6 memungkinkan keberlanjutan rantai makanan tersebut dengan baik, (3) pengem-bangan genetik ternak yang memanfaatkan proses reproduksi alami ternak.

Efisiensi reproduksi yaitu ukuran kemampuan sapi betina untuk bunting dan menghasilkan anak hidup karena anak sapi merupakan produk utama. Hal tersebut menjadikan efisiensi reproduksi maksimal sangat penting dalam menentukan keuntungan usaha ternak sapi (Ball dan Peters, 2004). Hardjopranjoto (1995) menyatakan bahwa tinggi rendahnya efisiensi reproduksi sekelompok ternak ditentukan oleh angka kebuntingan (conception rate), jarak antar melahirkan (calving interval), jarak waktu antara melahirkan sampai bunting kembali (service period), angka perkawinan perkebuntingan (service per conception) dan angka kelahiran (calving rate).

Sapi bali yang kondisi badannya normal dan diberi kesempatan untuk kawin akan menunjukkan reproduksi maksimal yang diharapkan. Tingginya tingkat reproduksi sapi bali tersebut dapat terlihat dari selang beranak yang pendek mendekati satu tahun (Martojo, 1990). Pengelolaan reproduksi ternak yang baik sangat diperlukan agar diperoleh keuntungan yang besar. Faktor pengelolaan yang perlu mendapat perhatian menurut Hardjopranjoto (1995) yaitu : (1) pemberian pakan yang berkualitas baik dan cukup, (2) lingkungan yang mendukung perkembangan ternak, (3) tidak menderita penyakit khususnya penyakit menular kelamin, (4) tidak menderita kelainan anatomi alat kelamin yang bersifat menurun, (5) tidak menderita gangguan hormon khususnya hormon reproduksi.

Umur Berahi Pertama (Puberty). Berahi pertama atau pubertas didefinisikan sebagai waktu munculnya estrus pertama kali yang diikuti dengan ovulasi (Ball dan Peters, 2004). Awal pubertas pada ternak dapat terjadi lebih dini atau lebih lambat, tergantung pada bangsa, tingkatan makanan dan faktor lainnya (Salisbury dan VanDemark, 1985). Ternak yang dikawinkan pada saat estrus pertama atau pubertas, maka persentase kesulitan beranak akan tinggi. Toelihere (1979) menjelaskan bahwa pengaruh lingkungan menyebabkan estrus sering terjadi pada umur ternak yang masih muda sehingga apabila terjadi konsepsi maka akan berbahaya saat kelahiran karena tubuh induk belum berkembang.

(19)

7 sekitar 55% berat dewasa. Sapi pedaging bangsa Eropa mencapai pubertas pada umur 10-15 bulan (Bearden et al., 2004). Toelihere (1979) menyatakan bahwa sapi mengalami pubertas antara umur 4 bulan sampai 24 bulan.

Kondisi makanan yang kurang baik di Indonesia menyebabkan pubertas terjadi pada umur yang lebih tua dibandingkan sapi bangsa Eropa. Sapi bali mengalami pubertas pada umur di atas 2 tahun (Toelihere, 1981a). Bearden et al.

(2004) menjelaskan bahwa faktor genetik dan lingkungan akan mempengaruhi waktu terjadinya pubertas pada sapi. Umumnya, setiap faktor yang memperlambat pertumbuhan ternak akan menunda terjadinya pubertas. Faktor yang mempengaruhi waktu pubertas pada sapi menurut Ball dan Peters (2004) yaitu jenis ternak, nutrisi, bobot badan, musim serta kehadiran pejantan di sekitar betina. Faktor lain yang mempengaruhi pubertas menurut Toelihere (1979) adalah suhu lingkungan. Sapi dara yang ditempatkan di kandang terbuka dan berhubungan dengan udara luar akan estrus pertama pada umur 320 hari.

Umur Kawin Pertama (First Mating). Umur kawin pertama merupakan umur ternak

ketika dikawinkan untuk pertama kalinya. Umur kawin pertama pada sapi yang dianjurkan yakni pada umur 14-22 bulan. Hal tersebut disebabkan hewan-hewan betina muda tidak boleh dikawinkan hingga pertumbuhan badannya memungkinkan kebuntingan dan kelahiran normal (Toelihere, 1979). Umur kawin pertama sapi dara sangat dipengaruhi oleh pelaksanaan manajemen pertumbuhan dan perkembangan sapi (Salisbury dan VanDemark, 1985). Rata-rata umur kawin pertama sapi bali di Sulawesi Selatan berdasarkan penelitian Liwa (1990) adalah 33,4±4,7 bulan.

(20)

8 Service per Conception (S/C). Service per conception (S/C) atau yang seringkali disebut dengan jumlah perkawinan tiap konsepsi merupakan suatu konsep kuantitatif yang menggambarkan tingkat kesuburan ternak. Service per conception merupakan hal penting untuk menduga potensi fertilitas jantan baik melalui perkawinan alam maupun inseminasi buatan (Salisbury dan VanDemark, 1985).

Toelihere (1981) menyatakan nilai S/C 1,6 masih wajar pada sapi. Hal tersebut sejalan dengan penjelasan Ball dan Peters (2004) bahwa nilai S/C rata-rata sapi adalah 1,64 kali. Hardjopranjoto (1995) menyatakan bahwa penyebab kawin berulang pada ternak adalah kegagalan pembuahan dan kematian embrio dini. Hasil penelitian Kadarsih (2004) terhadap sapi bali di daerah transmigrasi Bengkulu menunjukkan bahwa pada nilai S/C sapi bali pada dataran rendah sebesar 2,5 kali, daerah berbukit 1,85 kali dan dataran tinggi 2,1 kali. Fordyce et al. (2003) melaporkan bahwa kebuntingan sapi bali terjadi setelah dua kali perkawinan. Hal tersebut normal terjadi pada sapi-sapi di daerah tropis dan sekitar 30% disebabkan oleh kematian embrionik.

Umur Beranak Pertama (First Parturition).Beranak disebut juga proses kelahiran yang dimulai dengan pelunakan dan diawali pembesaran serviks yang kemudian diikuti dengan kontraksi uterus. Proses beranak diakhiri ketika janin dan membran plasenta dikeluarkan (Bearden et al., 2004). Dijelaskan Hardjopranjoto (1995) bahwa sapi dara yang dapat melahirkan anak sapi pertama pada umur 2 tahun akan memiliki masa laktasi dan jangka waktu bereproduksi lebih lama dibandingkan dengan sapi dara yang beranak pertama pada umur 3 tahun atau lebih.

Hasil penelitian Liwa (1990) terhadap sapi bali di Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa rataan umur induk beranak pertama adalah 41,8±1,8 bulan. Gunawan et al. (2011) yang meneliti di pusat pembibitan sapi bali di Bali menyatakan umur beranak pertama sapi bali rata-rata 43,86 bulan yang dipengaruhi oleh ketersediaan nutrisi dalam pakan sedangkan menurut Talib et al. (2003), umur beranak pertama sapi bali di Sulawesi Selatan adalah pada umur 36 bulan (3 tahun).

Tingkat Kelahiran (Calving Rate). Tingkat kelahiran anak sapi merupakan ukuran

(21)

9 penghasil daging. Kondisi yang paling baik akan memungkinkan induk menghasilkan satu anak sapi per tahun (Ball dan Peters, 2004).

Hasil penelitian Pane (1990), tingkat kelahiran sapi bali di Sulawesi Selatan sebesar 76%, Nusa Tenggara Barat sebesar 72% dan Bali sebesar 69%. Calving rate

sapi bali di Sulawesi Selatan sebesar 60,4% berdasarkan laporan Talib et al. (2003). Sariubang et al. (2009) menyatakan tingkat kelahiran sapi bali pada sistem pemeliharaan intensif sebesar 83,3% sedangkan sistem tradisional hanya sebesar 66,7%.

Ball dan Peters (2004) menjelaskan bahwa di bawah kondisi yang ideal sekalipun (dengan 100% sapi induk yang normal dan 100% efisiensi deteksi berahi), tingkat kelahiran tidak dapat mencapai 100%. Optimalnya hanya 60-70% pengawinan sapi betina yang akan dapat menghasilkan anak. Jumlah kegagalan pengawinan atau service yang di atas 50% harus memiliki alasan yang spesifik. Penyebab kegagalan tersebut dapat melibatkan interaksi antara genetik, lingkungan dan manajemen pemeliharaan ternak.

Berahi Setelah Beranak (Oestrus Postpartum). Sapi-sapi betina sebagian besar

akan kembali berahi 21-80 hari sesudah melahirkan, dengan rata-rata 70 hari (Salisbury dan VanDemark, 1985). Hardjopranjoto (1995) menyatakan bahwa setelah melahirkan, induk akan kembali menunjukkan gejala birahi antara minggu kedua sampai minggu kesepuluh walaupun uterus belum kembali normal atau involusi normal. Involusi uterus membutuhkan waktu 3-6 minggu setelah ternak beranak. Kesuburan induk akan kembali normal 40-60 hari pasca beranak.

Hasil penelitian Liwa (1990) menunjukkan jarak berahi kembali sesudah beranak sapi bali di Sulawesi Selatan, rata-rata 178,1±40,3 hari. Sariubang et al.

(22)

10

Selang Beranak (Calving Interval). Selang beranak adalah jarak waktu antara satu

kelahiran ke kelahiran atau beranak selanjutnya. Jarak beranak sangat dipengaruhi waktu oestrus postpartum (berahi kembali setelah beranak) maupun days open (masa kosong atau saat sapi betina tidak bunting), yaitu semakin besar days open maka jarak beranak jugasemakin panjang (Romjali dan Rasyid, 2007).

Selang beranak yang lebih singkat akan menyebabkan tingkat kelahiran yang lebih tinggi di tahun-tahun berikutnya. Selang beranak sapi bali rata-rata 360,93 hari (Gunawan et al., 2011). Bamualim dan Wirdahayati (2003) melaporkan bahwa rata-rata selang beranak sapi bali adalah 15,7±1,8 bulan. Penelitian Romjali dan Rasyid (2007) menunjukkan selang beranak sapi bali adalah rata-rata 388,6 hari sedangkan hasil penelitian Sutan (1988) adalah 444,46 hari. Sutan (1988) juga menambahkan bahwa faktor yang mempengaruhi selang beranak adalah service per conception, jarak antara melahirkan terdahulu dengan kawin pertama setelah bunting, dan lama kebuntingan.

Kematian Anak (Calf Mortality). Hasil penelitian Liwa (1990) di Sulawesi Selatan

menunjukkan kematian anak sapi bali dibawah umur 1 tahun sebesar 8,3%. Hal tersebut sejalan dengan Talib et al. (2003) yang menyatakan tingkat kematian anak sapi bali atau calf mortality di Sulawesi Selatan sebesar 8% dan Gunawan et al. (2011) sebesar 7,58%. Kematian anak sapi bali hasil penelitian Kadarsih (2004) menunjukkan di dataran rendah sebesar 9,02%, daerah berbukit 3,20%, dan daerah pegunungan sebesar 6,43%. Kematian anak sapi lebih tinggi di daerah dataran rendah. Penyebabnya diduga karena manajemen dan stres pada ternak.

(23)

11

Analisis Kapasitas Peningkatan Populasi Ternak Ruminansia (KPPTR)

Kapasitas suatu wilayah dalam penyediaan pakan ternak dapat dianalisis dengan metode KPPTR sebagai suatu pendekatan sehingga diketahui potensi wilayahnya. Kaidah kesetaraan dan nilai asumsi Nell dan Rollinson (1974) digunakan dalam metode ini. Potensi tersebut dapat dinyatakan dalam nilai potensi (ton/BK/tahun) atau nilai riil yakni jumlah unit ternak (animal unit) yang dapat ditampung di wilayah yang bersangkutan. Selanjutnya dapat pula diketahui kapasitas peningkatan populasi ternak di suatu wilayah peternakan apabila populasi ternak ruminansia diketahui (Nell dan Rollinson, 1974).

Analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunities, Threats)

(24)

MATERI DAN METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di Desa Pa’rappunganta, Kecamatan Polombangkeng Utara, Kabupaten Takalar, Provinsi Sulawesi Selatan. Penelitian ini dilakukan mulai bulan Juli hingga Agustus 2011.

Materi

Data primer diperoleh dari responden sebanyak 42 orang yang berasal dari populasi peternak 341 orang. Jumlah total sapi bali yang dimiliki oleh responden penelitian adalah 210 ekor. Data sekunder diperoleh dari Pemerintah Desa Pa’rappunganta, Subdinas Peternakan Kabupaten Takalar dan Badan Pusat Statistik Kabupaten Takalar. Alat yang digunakan adalah borang kuesioner, alat tulis, kamera dan laptop.

Metode

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu dengan wawancara menggunakan kuesioner dan observasi. Penentuan responden menggunakan metode

purposive sampling dengan penetapan kriteria tertentu. Kriteria responden adalah

penduduk Desa Pa’rappunganta yang memelihara sapi bali dan bersedia diwawancarai. Observasi dilakukan pada lokasi penelitian dan didokumentasikan.

Rancangan dan Analisis Data

Analisis Deskriptif

Keadaan umum serta potensi pengembangan sapi bali di Desa Pa’rappunganta digambarkan dengan analisis deskriptif. Keadaan umum yang digambarkan yaitu profil Desa Pa’rappunganta, sumberdaya peternak dan lahan serta manajemen pemeliharaan.

Analisis Sifat Reproduksi

(25)

13 beranak pertama (first parturition), lama berahi kembali setelah beranak (oestrus postpartum), selang beranak (calving interval) dan kematian anak (calf mortality).

Analisis KPPTR (Nell dan Rollinson, 1974)

Metode pendekatan yang digunakan untuk melihat kapasitas suatu wilayah dalam penyediaan pakan ternak adalah analisis kapasitas peningkatan populasi ternak ruminansia atau KPPTR. Nilai KPPTR dapat dihitung menggunakan metode Nell dan Rollinson (1974) dengan rumus sebagai berikut :

KPPTR (SL) = KTTR – Populasi Riil

1) KTTR =

Keterangan :

k : koefisien ketersediaan lahan penghasil hijauan rumput Le : lahan penghasil hijauan rumput

j : koefisian ketersediaan produksi Hijauan Hasil Sisa Pertanian (HHSP)

Li : lahan penghasil HHSP

15 ton/BK/tahun : rata-rata produksi padang rumput di Indonesia 2,3 : kebutuhan ton BK/tahun setiap ST

KTTR : kapasitas tampung ternak ruminansia KPPTR (SL) : KPPTR berdasarkan sumberdaya lahan

Analisis SWOT (Rangkuti, 1997)

Analisis SWOT digunakan untuk mempelajari prospek pengembangan sapi bali dari faktor internal strengths dan weaknesses serta faktor eksternal opportunities

dan threats di Desa Pa’rappunganta. Langkah dalam melakukan analisis ini yakni

membuat matrik faktor strategi eksternal atau External Factor Analysis Summary

(EFAS) dan matrik faktor strategi internal atau Internal Factor Analysis Summary

(IFAS) terlebih dahulu.

1) Bobot nilai dalam matrik IFAS

a) Kolom pertama diisi dengan 5 sampai 10 kekuatan dan kelemahan.

(26)

14 c) Kolom ketiga diisi dengan rating untuk masing-masing faktor dengan skala mulai dari 1 sampai 4 berdasarkan besar kecilnya pengaruh faktor tersebut terhadap pengembangan ternak sapi bali yang ada di Desa Pa’rappunganta. d) Kolom keempat diisi dengan nilai yang diperoleh dengan cara mengalikan

bobot dan rating.

2) Bobot nilai dalam matrik EFAS

a) Kolom pertama diisi dengan 5 sampai 10 peluang dan ancaman.

b) Pemberian bobot pada kolom kedua mulai dari 1,0 (sangat penting) sampai dengan 0,0 (tidak penting). Jumlah total bobot tidak boleh melebihi 1,00. c) Kolom ketiga diisi dengan rating untuk masing-masing faktor dengan skala

mulai dari 1 sampai 4 berdasarkan besar kecilnya pengaruh faktor tersebut terhadap kondisi yang ada di Desa Pa’rappunganta.

d) Nilai pada kolom keempat diperoleh dengan cara mengalikan bobot dan rating masing-masing faktor peluang dan ancaman.

Nilai yang telah diperoleh untuk setiap faktor internal dan eksternal digunakan untuk menentukan posisi dalam matriks grand strategy yang disajikan dalam Gambar 3. Nilai axis diperoleh dari total nilai kekuatan dikurangi nilai kelemahan. Nilai ordinat diperoleh dari nilai peluang dikurangi dengan nilai ancaman. Titik pertemuan antara nilai axis dan ordinat menunjukkan pilihan strategi pengembangan.

Terdapat empat set kemungkinan alternatif strategi menurut Rangkuti (1997) yang dihasilkan dari matrik grand strategy :

1) strategi agressive atau SO yakni pemanfaatan seluruh kekuatan untuk merebut dan memanfaatkan peluang sebesar-besarnya, terletak pada kuadran I .

2) strategi ST atau diversifikasi yaitu menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk mengatasi ancaman terletak di kuadran II.

3) strategi WO yakni pemanfaatan peluang dengan kelemahan yang diminimalkan atau strategi turnaround yang terletak di kuadran IV.

(27)

15 Empat set kemungkinan seluruhnya terdapat dalam matrik grand strategy. Matrik grand strategy dalam analisis SWOT dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Matriks Grand Strategy

Sumber : Rangkuti (1997) Kuadran

IV

Kuadran I

Kuadran III

Kuadran II Peluang

Kelemahan Kekuatan

(28)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Lokasi Penelitian

Profil Desa Pa’rappunganta

Desa Pa’rappunganta merupakan salah satu dari lima belas desa yang berada di wilayah administrasi Kecamatan Polombangkeng Utara, Kabupaten Takalar dengan luas 5,25 km2 (2,47% dari luas wilayah kecamatan Polombangkeng Utara) (Badan Pusat Statistik Kabupaten Takalar, 2010). Jumlah penduduk pada tahun 2010 sebanyak 2534 jiwa. Jarak Desa Pa’rappunganta dari Ibukota Kabupaten Takalar yaitu 13 km (Pemerintah Desa Pa’rappunganta, 2010). Letak Kecamatan Polombangkeng Utara dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Peta Kabupaten Takalar Sumber : Google Map (2012)

(29)

17

Keadaan Topografi

Dilihat dari keadaan topografinya, Desa Pa’rappunganta memiliki bentuk wilayah yang datar (Gambar 5) dan didominasi oleh hamparan sawah dan kebun dengan ketinggian desa 200-499 meter di atas permukaan laut. Bentuk wilayah yang rata dimanfaatkan warga desa sebagai sumber mata pencaharian yaitu melalui pertanian (sawah) dan perkebunan.

(a) (b)

Gambar 5. Topografi Desa Pa’rappunganta, (a) Padang Penggembalaan (b) Sawah

Luas lahan di Desa Pa’rappunganta sebesar 950 ha yang didominasi perkebunan seluas 492,42 ha. Jenis tanaman kebun yang banyak terdapat di Desa Pa’rappunganta adalah tanaman tebu. Luas lahan sawah 151 ha, pekarangan seluas 139,10 ha, tegalan seluas 78,86 ha dan lain-lainnya 88,62 ha (Badan Pusat Statistik Kabupaten Takalar, 2010). Seluruh sawah di Desa Pa’rappunganta adalah sawah tadah hujan dan terdapat masa saat sawah diberakan (dikosongkan) setelah panen. Panen padi di lokasi penelitian dilakukan dua kali dalam setahun. Sawah yang diberakan biasanya ditanami dengan tanaman kacang hijau oleh penduduk setempat dengan panen kacang hijau dua kali dalam setahun.

(30)

18 Tabel 1. Curah Hujan Rata-rata Per-Bulan Desa Pa’rappunganta (mm)

Bulan Tahun

Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Takalar (2010)

Keadaan Demografi

Jumlah penduduk Desa Pa’rappunganta tahun 2010 sebanyak 2534 jiwa yang terdiri atas laki-laki 1245 jiwa dan perempuan 1289 jiwa. Jumlah kepala keluarga (KK) di Desa Pa’rappunganta sebanyak 725 KK. Rincian jumlah penduduk dan kepala keluarga di Desa Pa’rappunganta disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Jumlah Penduduk dan Kepala Keluarga di Desa Pa’rappunganta Tahun

(31)

19 Penduduk Desa Pa’rappunganta didominasi masyarakat suku Makassar yang seluruhnya beragama Islam. Budaya atau tradisi masyarakat Desa Pa’rappunganta yaitu kebiasaan mengadakan pa’bunting (pesta pernikahan) atau sunna’ (khitanan) secara besar-besaran (meriah) dengan menggunakan daging ternak besar seperti sapi atau kuda sebagai menu utama dalam pesta. Kebiasaan ini tidak terbatas pada warga dengan tingkat ekonomi yang tinggi, namun masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah juga mengadakan pesta tersebut.

Mata Pencaharian

Desa Pa’rappunganta didominasi oleh masyarakat yang bekerja di bidang pertanian terutama petani sawah, kemudian disusul oleh pekerja di bidang perdagangan, jasa pemerintahan, transportasi, industri kerajinan, konstruksi jasa sosial, jasa perseorangan, keuangan dan warung makan. Perincian mata pencaharian penduduk di Desa Pa’rappunganta tahun 2010 dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini.

Tabel 3. Sebaran Penduduk Desa Pa’rappunganta berdasarkan Mata Pencaharian Tahun 2010

Pekerjaan Pokok Jumlah Persentase (%)

Pertanian 930 36,7

Industri Kerajinan 18 0,71

Konstruksi 17 0,67

Perdagangan 96 3,79

Warung Makan 1 0,04

Transportasi 41 1,62

Keuangan 2 0,08

Jasa Pemerintahan 43 1,69

Jasa Sosial 12 0,47

Jasa Perorangan 9 0,35

Tidak atau Belum Bekerja 1365 53,87

Jumlah 2534 100

Sumber : Diolah dari data Badan Pusat Statistik Kabupaten Takalar ( 2010)

(32)

20 sendiri maupun sebagai buruh tani. Kehidupan masyarakat Desa Pa’rappunganta yang erat dengan pertanian memberikan keuntungan bagi usaha ternak sapi bali di desa tersebut. Limbah pertanian dapat dimanfaatkan sebagai salah satu sumber pakan sapi bali. Selain bertani, masyarakat juga beternak sebagai usaha sambilan. Hewan yang diternakkan seperti ayam, itik, sapi bali dan kuda. Hal tersebut sejalan dengan penjelasan Daryanto (2009) bahwa pertanian merupakan way of life dan sumber kehidupan sekitar 45% tenaga kerja di Indonesia. Kaitannya dengan pakan, sektor pertanian memiliki peranan sebagai pemasok terbesar bahan baku utama pakan ternak.

Karakteristik Peternak dan Usaha Ternak Sapi Bali

Karakteristik peternak merupakan hal yang penting untuk diketahui karena karakteristik tersebut dapat mempengaruhi pengembangan sapi bali. Kemampuan dalam pemeliharaan sapi bali merupakan salah satu hal yang dipengaruhi oleh karakteristik peternak. Pengamatan karakteristik peternak di Desa Pa’rappunganta dibedakan berdasarkan umur peternak, tingkat pendidikan, motivasi beternak, pengalaman beternak dan jumlah kepemilikan ternak sapi bali.

Umur Peternak

Peternak yang diwawancarai dalam penelitian ini sebagian besar berumur antara 41-50 tahun (33,33%), Peternak yang berumur 20-30 tahun sebanyak 3 orang (7,14%). Peternak berumur 31-40 tahun sebesar 23,81%, umur 51-60 tahun sebesar 23,81%, dan umur lebih dari 60 tahun sebesar 11,90%. Sebaran peternak berdasarkan umur ditunjukkan pada Gambar 6.

Gambar 6. Sebaran Peternak berdasarkan Umur Sumber : Data yang diolah (2011)

(33)

21 Hasil penelitian menunjukkan umumnya peternak responden masih dalam umur produktif. Selang umur produktif di Indonesia yaitu 15-64 tahun (Badan Pusat Statistik, 2010). Umur peternak yang produktif merupakan salah satu potensi dalam pengembangan sapi bali di Desa Pa’rappunganta. Peternak yang masih produktif di Desa Pa’rappunganta diharapkan memiliki kemampuan pemeliharaan dan penye-diaan pakan ternak yang lebih baik dibandingkan umur tidak produktif.

Tingkat Pendidikan

Saleh (2006) menyatakan bahwa tingkat pendidikan peternak juga berhubungan sangat nyata dengan perilaku membuat jejaring komunikasi antar peternak sendiri, aktif mencari, mengklarifikasi dan memanfaatkan informasi peternakan sapi potong sesuai kebutuhan. Peternak yang diwawancarai sebagian besar tidak pernah sekolah dengan persentase sebesar 40,48%. Pendidikan formal tertinggi responden adalah Sekolah Menengah Atas (SMA) dengan persentase sebesar 4,76%. Rendahnya tingkat pendidikan peternak mengakibatkan pengetahuan dan keterampilan peternak masih kurang. Contoh dalam pemberian pakan jerami padi, peternak tidak melakukan pengolahan terlebih dahulu seperti amoniasi atau silase sehingga kecernaan dan palatabilitasnya relatif rendah. Manajemen reproduksi sapi bali belum dilaksanakan dengan baik. Peternak belum mengetahui cara pencatatan siklus reproduksi sapi bali sehingga kurang tepat untuk mendeteksi birahi, kebuntingan atau kemajiran pada ternaknya. Kebersihan kandang dan kesehatan ternak kurang diperhatikan oleh peternak seperti vaksinasi dan pengobatan penyakit sapi bali. Hal-hal tersebut merupakan contoh kurangnya keterampilan peternak di Desa Pa’rappunganta.

(34)

22 Penyuluhan dan pelatihan tersebut sebaiknya dilakukan secara berkala dan dapat diikuti oleh seluruh peternak.

Penyaluran informasi mengenai pemeliharaan sapi bali di Desa Pa’rappunganta perlu diperbaiki. Pemberdayaan kelompok petani-peternak sangat diperlukan agar dapat menjadi tempat bagi peternak memperoleh informasi, mengembangkan pengetahuan dan meningkatkan keterampilan beternak sapi bali. Selama ini kelompok peternak yang telah dibentuk tidak terorganisir dengan baik, anggota kelompok jarang melakukan pertemuan untuk berdiskusi atau berbagi informasi mengenai pemeliharaan sapi bali. Hal ini sesuai dengan pendapat Syamsu

et al. (2006) bahwa masalah dalam pengembangan peternakan di Sulawesi Selatan

adalah lemahnya kelembagaan di tingkat kelompok tani dan peternak. Kondisi tersebut di Desa Pa’rappunganta perlu diperbaiki dengan mengaktifkan kembali kelompok melalui kegiatan-kegiatan kelompok yang terencana dan berkala seperti pelatihan, diskusi kelompok dan lain-lain. Sebaran responden berdasarkan tingkat pendidikan formal dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Sebaran Peternak Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Tingkat Pendidikan Jumlah Responden Persentase

Tidak sekolah 17 40,48

Sekolah Dasar 14 33,33

Sekolah Menengah Pertama 9 21,43

Sekolah Menengah Atas 2 4,76

Sarjana 0 0,00

Jumlah 42 100

Sumber : Data yang diolah (2011)

(35)

23

Motivasi Beternak

Motivasi yang dimiliki oleh peternak dalam menjalankan usaha ternak sapi bali cenderung seragam. Sebanyak 39 orang atau 92,85% responden yang diwawancarai dalam penelitian ini menyatakan motivasi mereka beternak sapi bali adalah untuk menambah penghasilan. Sisanya sebanyak 3 orang responden (7,14%) menyatakan alasan mereka beternak sapi bali adalah sebagai tabungan masa depan.

Beternak dilakukan sebagai pekerjaan sambilan untuk menambah peng-hasilan. Banyaknya peternak yang beternak sapi bali sebagai pekerjaan sambilan didorong oleh biaya pemeliharaan sapi bali yang relatif kecil karena sistem peternakan semi intensif yang diterapkan oleh peternak. Peternak hanya butuh tenaga untuk mencari pakan dan biaya untuk membuat kandang sederhana serta biaya pembelian garam. Sapi bali juga menjadi tabungan masa depan karena peternak dapat menjual sapi bali yang dimilikinya sewaktu-waktu jika membutuhkan uang untuk berbagai keperluan misalnya biaya sekolah anak dan biaya pengobatan. Hal tersebut sejalan dengan laporan Sudardjat dan Pambudy (2003) yakni peternak tradisional masih lebih senang memilih ternak sebagai alternatif usaha menyimpan dana. Hal tersebut sebenarnya merupakan alternatif tepat karena menabung dalam bentuk ternak akan memperoleh “bunga” yaitu dari anak sapi yang dapat dicapai bila manajemen ternak dilakukan dengan baik. Sebaran peternak berdasarkan motivasi beternak sapi bali disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7. Sebaran Peternak berdasarkan Motivasi Beternak Sapi Bali Sumber : Data yang diolah (2011)

Seluruh responden yang diwawancarai menjual ternaknya pada pedagang pengumpul yang sekaligus berperan sebagai belantik. Harga jual sapi bali di lokasi penelitian relatif stabil. Sapi bali berumur 1 tahun berkisar 3-4 juta rupiah sedangkan

93%

7%

(36)

24 sapi bali yang berumur 2 tahun dijual pada kisaran harga 4-5 juta rupiah. Bagi responden, harga jual ini sudah menguntungkan karena responden tidak memperhitungkan biaya tenaga kerja, biaya penyusutan peralatan dan biaya-biaya lainnya. Tenaga kerja usaha ternak sapi bali berasal dari tenaga kerja keluarga sehingga peternak tidak menghitung upah tenaga kerja.

Pengalaman Beternak

Pengalaman responden dalam beternak sapi bali bervariasi (Tabel 5).

Peternak di lokasi penelitian telah mengetahui cara beternak yang diperoleh dari keluarga secara turun-temurun. Cara beternak yang diketahui masih bersifat tradisional, namun sudah cukup baik sebagai modal untuk pengelolaan dan pengembangan usaha ternak sapi bali. Febrina dan Liana (2008) menyatakan bahwa pengalaman beternak yang cukup lama memberikan indikasi bahwa pengetahuan dan keterampilan peternak terhadap manajemen pemeliharaan ternak mempunyai kemampuan yang lebih baik. Pengalaman beternak sangat berpengaruh terhadap keberhasilan usaha.

Tabel 5. Sebaran Peternak Berdasarkan Lama Beternak

Lama Beternak Sapi Bali (tahun) Jumlah Responden Persentase

1 sampai 10 15 35,71

11 sampai 20 15 35,71

21 sampai 30 7 16,67

31 sampai 40 5 11,90

Jumlah 42 100,00

Sumber : Data yang diolah (2011)

Kepemilikan Sapi Bali

Kepemilikan sapi bali paling banyak antara 1-5 ekor (76,19%). Jumlah sapi bali yang dipelihara responden dapat dilihat pada Tabel 6. Kepemilikan sapi bali relatif kecil dalam memberikan jaminan kesejahteraan kepada peternak terutama yang telah lama menjalankan usaha ternak sapi bali. Kondisi ini disebabkan oleh kurangnya modal peternak untuk membeli bibit atau sapi dara dan pola pemeliharaan yang masih tradisional.

(37)

25 Tabel 6. Sebaran Peternak Berdasarkan Jumlah Sapi Bali yang Dipelihara

Jumlah ternak Sapi Bali Responden Persentase

1 sampai 5 32 76,19

6 sampai 10 8 19,05

>10 2 4,76

Jumlah 42 100

Sumber : Data yang diolah (2011)

Kairupan (2011) menyatakan bahwa peternakan sapi memegang peranan penting dalam perekonomian masyarakat di pedesaan. Hal tersebut mengingat sebagian besar sapi di Indonesia ada pada tingkat petani kecil yang dikelola dalam skala usaha peternakan rakyat, namun umumnya para peternak yang memelihara sapi bali tidak mengembangkan populasi ternaknya dan dijual apabila membutuhkan uang dalam kondisi mendesak. Syamsu et al. (2006) menjelaskan permasalahan peternakan di Sulawesi Selatan adalah skala usaha kecil, umumnya masih terbatas pada skala usaha sambilan sehingga kurang kompetitif.

Sapi bali yang dipelihara peternak tidak seluruhnya merupakan kepemilikan peternak sendiri, namun juga ada yang berupa sapi bali yang dititipkan atau sapi bali gaduhan Tabel 7 menunjukkan bahwa jumlah peternak yang memelihara sapi bali milik sendiri dan milik orang lain lebih dominan.

Tabel 7. Sebaran Peternak Berdasarkan Kepemilikan Sapi Bali

Kepemilikan Sapi Bali Responden Persentase

Milik sendiri 14 33,33

Gaduhan 9 21,43

Milik sendiri dan gaduhan 19 45,24

Jumlah 42 100

Sumber : Data yang diolah (2011)

(38)

26 atau dikenal juga dengan menggaduh atau bagi hasil. Sistem ini dijalankan berdasarkan kesepakatan antara pemilik sapi bali dan peternak yang memelihara. Kesepakatan yang umum yaitu anak pertama dari sapi tersebut menjadi milik orang yang menitipkan sedangkan anak kedua menjadi milik peternak yang memelihara dan begitu seterusnya. Sapi bali yang dititipkan ke peternak umumnya berjenis kelamin betina untuk digunakan sebagai bibit. Sistem gaduhan sapi bali tersebut dapat mengembangkan sapi bali di Desa Pa’rappunganta apabila peternak yang dititipi sapi bali mampu melakukan pemeliharaan dengan baik dan memproduksi anak sapi atau pedet satu ekor per tahun (produktivitas baik).

Populasi Sapi Bali

Sapi bali di Desa Pa’rappunganta berasal dari wilayah Kabupaten Takalar yang dibeli oleh penduduk desa kemudian diternakkan. Populasi sapi bali mengalami peningkatan maupun penurunan setiap tahun. Kepadatan sapi bali Desa Pa’rappunganta pada tahun 2011 mencapai 150 ekor/km2

. Tahun 2008 hingga tahun 2010 jumlah sapi bali mengalami peningkatan. Sapi bali betina jumlahnya lebih besar dibandingkan sapi bali jantan karena sapi bali jantan umumnya dijual oleh peternak ketika umurnya telah mencapai 1-2 tahun. Peternak tidak menjual sapi betina karena diharapkan dapat menghasilkan anak tiap tahunnya, kecuali jika sapi betina tersebut sudah afkir atau sakit.

Peningkatan populasi sapi bali di Desa Pa’rappunganta sebesar 6,48% terjadi di tahun 2009 jika tahun 2008 diasumsikan sebagai tahun awal. Tahun 2010 terjadi peningkatan populasi sebesar 4,75%, namun laju perkembangan populasi mengalami penurunan dari tahun 2009 ke tahun 2010 sebesar 1,73%. Peningkatan populasi sapi bali di lokasi penelitian lebih tinggi dibandingkan peningkatan populasi sapi nasional tahun 2008-2010. Data dari Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (2011) menunjukkan populasi sapi tahun 2009 mengalami peningkatan sebesar 2,01% dibandingkan tahun 2008, sedangkan tahun 2010 meningkat sebesar 3,12% dari tahun 2009.

(39)

27 penerapan strategi pengembangan yang tepat. Perkembangan populasi sapi bali mengalami peningkatan dari tahun 2008 hingga 2010 dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Laju Perkembangan Populasi Sapi Bali di Desa Pa’rappunganta

Tahun Jumlah Ternak (ekor) Laju Perkembangan (%)

Jantan Betina

2008 151 571 -

2009 160 662 6,48

2010 186 718 4,75

Jumlah 2448 1951

Sumber : Data diolah dari Subdinas Peternakan Kabupaten Takalar (2010)

Manajemen Pemeliharaan Sapi Bali

Perkandangan

Kandang sapi bali di Desa Pa’rappunganta berada di sekitar rumah atau di bawah rumah jika rumah peternaknya merupakan rumah panggung. Konstruksi kandang sangat sederhana, dibangun dari bambu atau potongan kayu, atap dari bahan rumbia atau seng dan lantai tanah. Beberapa kandang tidak beratap dan hanya berupa pembatas yang mencegah sapi lepas. Hal tersebut berkaitan dengan pemeliharaan semi intensif dimana ternak tidak dikandangkan saat siang hari sehingga peternak merasa tidak perlu memberikan naungan di kandang. Konstruksi kandang sapi bali dapat dilihat pada Gambar 8.

(a) (b)

(40)

28 Tempat pakan berupa wadah yang terbuat dari papan ataupun bahan lain yang mudah diperoleh peternak dan tidak membutuhkan biaya pembelian yang besar. Tempat pakan umumnya terbuat dari papan atau wadah lainnya. Ember untuk air minum sapi menggunakan ember plastik atau memanfaatkan ember bekas cat seperti yang ditunjukkan pada Gambar 9.

(a) (b)

Gambar 9. Tempat Pakan dan Tempat Minum Sapi Bali, (a) Tempat Minum (b) Tempat Pakan

Sudardjat dan Pambudy (2003) menjelaskan bahwa pola pemeliharaan dan usaha ternak potong di Indonesia masih merupakan usaha tani, yang berarti usaha pokok peternak adalah bertani dan usaha sambilan adalah beternak. Sapi, kerbau maupun ternak lainnya sepanjang hari digembalakan di ladang sendiri, di tanah gembalaan umum, di tepi jalan atau pinggir sungai yang ditumbuhi banyak rumput. Ternak sore hari kemudian dikandangkan di kandang yang sederhana.

(41)

29 Subdinas Peternakan Kabupaten Takalar memiliki kompleks kandang individu yang dapat menampung hingga 88 ekor ternak sapi yang terletak di Desa Pa’rappunganta (Gambar 10)

Gambar 10. Kandang Sapi Permanen di Desa Pa’rappunganta

Kandang individu tersebut merupakan kandang permanen yang dilengkapi dengan tempat pakan dan air minum namun peternak belum memanfaatkannya karena harus mengeluarkan biaya tambahan untuk menyewa kandang. Biaya penyewaan kandang disesuaikan dengan kesepakatan peternak dan pihak dinas peternakan. Alasan keamanan juga menjadi pertimbangan peternak tidak meng-gunakan kandang tersebut karena letak kandang yang jauh dari rumah akan menyulitkan pengawasan. Kandang terletak di lokasi yang berjarak sekitar 500 meter dari pemukiman penduduk dan dari pinggir jalan desa.

Sistem Pemeliharaan

Sistem pemeliharaan sapi bali yang dilakukan oleh peternak adalah sistem semi-intensif. Ternak biasanya dikeluarkan dari kandang pada pukul 6 pagi kemudian digembalakan (Gambar 11). Siang hari peternak menambatkan ternak sapi di bawah pohon atau naungan yang berada di sekitar lahan penggembalaan dan pada sore hari sekitar pukul 5 sore, sapi bali dikandangkan kembali. Mathius (2008) menjelaskan bahwa untuk menekan biaya produksi, baik biaya tenaga kerja maupun penyediaan pakan, khususnya pakan hijauan, maka pola pemeliharaan sebaiknya

dilakukan secara semi-intensif, yaitu ternak dikandangkan pada malam hari dan

(42)

30 Penggembalaan harus diatur agar daya dukung pakan hijauan lokal tersedia

sepanjang tahun. Defoliasi yang berlebihan dapat terjadi, sehingga keseimbangan

vegetasi yang ada harus dipertahankan dan bahkan ditingkatkan untuk menghindari

kerusakan kebun akibat kelebihan daya tampung (over-grazing). Sapi bali yang sedang bernaung dan di kandangkan dapat dilihat pada Gambar 12.

(a) (b)

Gambar 11. Sapi Bali yang Digembalakan, (a) Sapi Digembalakan di Kebun Tebu (b) Sapi Digembalakan di Sawah Bera

Gambar 12. Sapi Bali yang Dinaungkan

(43)

31 Pa’rappunganta mencakup pembibitan, produksi bakalan, pembesaran dan sekaligus penggemukan.

Pakan

Sapi bali di lokasi penelitian diberi pakan yang terdiri dari dua jenis yaitu rumput-rumputan dan limbah hasil pertanian. Pakan utama yang diberikan oleh peternak yaitu rumput dan alang-alang yang banyak tumbuh di lokasi penelitian. Ketersediaan pakan didukung oleh kondisi iklim yang cukup baik dan lahan yang luas sehingga tersedia hijauan sepanjang tahun dan meminimalkan biaya pakan yang harus dikeluarkan peternak.

Peternak umumnya melakukan sistem cut and carry yakni mengambil pakan yang diperoleh dengan mengarit dari sekitar kebun tebu atau lokasi lain untuk mencegah sapi bali kekurangan pakan terutama saat musim kemarau dimana rumput produksi hijauan lahan penggembalaan lebih sedikit. Pakan diangkut dengan berjalan kaki maupun dengan kendaraan seperti gerobak, sepeda, sepeda motor dan traktor seperti terlihat pada Gambar 13.

(a) (b)

Gambar 13. Cara Pengangkutan Pakan oleh Peternak Sapi Bali, (a) Menggunakan Gerobak (b) Berjalan Kaki

(44)

32 sapi bali di Sulawesi Selatan (diistilahkan dengan hijauan pedesaan) adalah antara 18,5%-32,5% dengan rata-rata 25% BK per-kilogram hijauan pedesaan. Penelitian lebih lanjut dan lebih mendalam masih diperlukan untuk mengetahui kandungan nutrisi dari seluruh sumber pakan yang ada di desa tersebut serta menghitung hijauan yang diperoleh sapi dari aktivitas merumput (saat digembalakan) untuk mengetahui keterpenuhan nutrisi sapi bali.

Frekuensi pemberian pakan yang dilakukan responden bervariasi yaitu 3 kali sehari (45,24%), 2 kali sehari (45,24%) dan terus-menerus (9,52%). Pemberian pakan 2 kali sehari dilakukan pada pagi dan sore hari menjelang malam. Frekuensi pemberian pakan 3 kali sehari dilakukan peternak dengan pemberian pakan pada pagi, siang dan sore menjelang malam. Pemberian pakan dua kali sehari dilakukan pada pagi dan sore hari. Peternak di lokasi penelitian tidak memberikan pakan saat sapi bali berada di kandang pada malam hari, sehingga pakan yang diberikan pada sore hari akan lebih banyak.

Pakan di Desa Pa’rappunganta selain dari hijauan berupa rumput, juga berupa limbah pertanian. Sumber limbah pertanian menurut Syamsu et al. (2003) diperoleh dari komoditi tanaman pangan yang ketersediaannya dipengaruhi oleh pola tanam dan luas panen di suatu wilayah. Beberapa hal yang menjadi faktor pembatas pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan ternak ruminansia seperti produksi limbah pertanian yang musiman atau tidak kontinyu sepanjang tahun sehingga memerlukan fasilitas tempat penyimpanan. Disamping itu kualitas nutrisi yang rendah dan bervariasi tergantung dari spesiesnya sehingga perlu upaya peningkatan nilai nutrisi melalui penggunaan teknologi pakan yang mudah, murah dan dapat diadopsi oleh peternak.

(45)

33 Pakan sapi bali di Desa Pa’rappunganta yang berasal dari limbah pertanian diantaranya jerami padi, dedak padi, jerami tebu dan jerami kacang hijau. Sebaran peternak berdasarkan jenis pakan tambahan yang diberikan pada sapi bali peliharaannya dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Sebaran Peternak Berdasarkan Pakan Tambahan yang Digunakan

Pemberian Pakan Tambahan Jumlah Responden Persentase

Dedak padi 21 50,00

Dedak padi + jagung 3 7,14

Dedak padi + ampas tebu 1 2,38

Jagung + ampas tebu 1 2,38

Dedak padi + jagung + ampas tebu 2 4,76

Molases 2 4,76

Tidak diberi pakan tambahan 12 28,57

Jumlah 42 100,00

Sumber : Data yang diolah (2011)

Jumlah pakan tambahan yang diberikan peternak pada sapi bali sulit untuk dihitung jumlahnya. Hal tersebut karena jenis pakan yang diberikan sangat bervariasi dan pemberian pakan tambahan tidak setiap hari. Pakan yang diberikan tidak memperhatikan kebutuhan nutrisi sapi bali. Faktor jenis kelamin, status fisiologis (bunting, menyusui dan lain-lain) dan umur sapi bali (anak, muda atau dewasa) tidak diperhatikan dalam pemberian pakan. Hal tersebut disebabkan peternak di memiliki pengetahuan dan pemahaman mengenai pemenuhan nutrisi sapi bali, sehingga perlu dilakukan penyuluhan maupun pelatihan mengenai pakan.

(46)

34 sehari yang dicampur 10 liter air untuk diminum satu ekor sapi. Pemberian minum yang dicampur garam dilakukan sebanyak 2 kali sehari yaitu pagi dan sore hari.

Perawatan Sapi Bali

Memandikan sapi bali sangat penting untuk menjaga kebersihannya. Sapi bali yang dipelihara tidak dimandikan secara teratur. Peternak memandikan sapi bali jika cuaca panas atau saat musim kemarau untuk mencegah stres panas pada sapi. Cara memandikan sapi yang sering dilakukan oleh peternak yaitu dengan membawa sapi ke pinggir sungai atau ke sumur untuk dimandikan.

Perawatan juga dilakukan peternak dengan menjaga kebersihan kandang. Melihat kondisi kandang di lokasi penelitian, cukup sulit untuk menjaga kandang tetap dalam kondisi kering karena lantai kandang umumnya terbuat dari tanah. Kegiatan pembersihan kandang yang dilakukan peternak adalah membersihkan kotoran sapi dengan alat serok. Frekuensi pembersihan kandang cenderung bervariasi. Sebanyak 26 orang atau 61,90% responden tidak teratur dalam membersihkan kandang. Kandang hanya dibersihkan saat kotoran atau feses sapi sudah menumpuk. Frekuensi pembersihan kandang akan meningkat saat musim hujan tiba karena peternak mencegah bau tidak sedap utamanya jika kandang sapi terletak sangat dekat dengan rumah peternaknya. Sebanyak 23,81% (10 orang responden) membersihkan kandang setiap hari yaitu setiap pagi setelah sapi bali dikeluarkan dari kandang. Sisanya sebesar 14,28% atau sebanyak 6 responden tidak pernah membersihkan kandang sapinya.

(47)

35 Dijelaskan oleh Chotiah (2008), penyakit diare berdarah disebabkan oleh

enterohaemorrhagic E. coli (EHEC) yang memproduksi verotoksin sehingga menyebabkan kerusakan pembuluhdarah di daerah kolon sapi, terutama menyerang

anak sapi, ditandai dengan adanya darah pada feses. Penyakit cacingan menurut

Ahmad (2008) disebabkan oleh parasit cacing yang menyerang sapi bali. Ternak

yang cacingan akan kurus, konversi pakan buruk, mencret, anemia, bengkak dan

dapat menyebabkan kematian. Ngorok atau SE memiliki gejala demam yang disertai gangguan pernafasan dan kebengkakan daerah leher yang meluas, mempunyai tingkat kematian yang tinggi. Penyebab penyakit ini adalah bakteri P. multocida

(Priadi dan Natalia, 2000).

Hasil penelitian di Desa Pa’rappunganta menunjukkan bahwa frekuensi pembersihan kandang yang dilakukan peternak tidak berpengaruh pada penyakit yang menyerang sapi bali yang disebabkan oleh parasit dan bakteri. Seluruh responden menyatakan sapi bali peliharaannya pernah terkena penyakit diare berdarah, ngorok atau SE dan cacingan. Manajemen kesehatan ternak dan lingkungan yang baik merupakan salah satu hal yang diperlukan dalam

meminimalisasi penyakit tersebut.

Performa Sifat Reproduksi Sapi Bali

Reproduksi didefinisikan sebagai fungsi tubuh yang sangat penting bagi kelanjutan keturunan suatu jenis atau bangsa hewan. Reproduksi pada hewan diatur oleh kelenjar-kelenjar endokrin dan hormon yang dihasilkan dan berlangsung sesudah hewan mencapai masa pubertas (Toelihere, 1979). Sapi bali merupakan sapi asli Indonesia yang mempunyai keunggulan dibanding sapi potong lainnya yaitu tingkat reproduktivitas dan kesuburan (fertilitas) yang tinggi serta mampu beradaptasi dan berkembang di beberapa wilayah di Indonesia (Romjali dan Rasyid, 2007).

(48)

36 Tabel 10. Sifat Reproduksi Sapi Bali di Desa Pa’rappunganta

Sifat Reproduksi Rata-rata Literatur

Umur berahi pertama/puberty (tahun) 2,1 ±0,52 >2a Umur kawin pertama/first mating (tahun) 2,2 ±0,51 2-3b

Service per Conception (kali) 1,9 ±0,94 2c

Tingkat kelahiran anak/calving rate (%) 98,1 60-70d Umur induk beranak pertama/ first parturition (tahun) 3,1 ±0,59 3,48±0,15e Berahi setelah beranak/oestrus postpartum (hari) 82±36,09 70f Selang Beranak /calving interval (hari) 370±36 471±54g

Kematian anak/calf mortality (%) 5,8 8.3e

Keterangan : aToelihere (1981); bHardjopranjoto (1995); cFordyce (2003); dBall dan Peters (2004); eLiwa (1990); f Salisbury dan VanDemark (1985); gWirdahayati dan Bamualim (2003)

Umur Berahi Pertama (Puberty)

(49)

37

Umur Kawin Pertama (First Mating)

Hardjopranjoto (1995) menjelaskan waktu perkawinan yang tepat bagi hewan betina adalah faktor yang penting karena dapat menghasilkan keuntungan besar bagi peternak jika kebuntingan terjadi pada waktu yang tepat. Responden akan mengawinkan sapi bali saat mengalami pubertas, sehingga umur kawin pertama sangat bergantung pada umur berahi pertama. Salisbury dan VanDemark (1985) menyatakan bahwa umur kawin pertama sapi dara sangat dipengaruhi oleh pelaksanaan manajemen pertumbuhan dan perkembangan sapi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sapi bali betina kawin pertama rata-rata pada umur 2,2 tahun atau 25,8 bulan. Umur kawin pertama sapi bali di Desa Pa’rappunganta sejalan dengan Hardjopranjoto (1995) yang menyatakan bahwa sapi dara yang kurang baik pemeliharaannya sebaiknya dikawinkan pada umur 2-3 tahun, mengingat pertumbuhan betina perlu mencapai kondisi optimum untuk bunting dan beranak.

Sapi bali di Desa Pa’rappunganta dikawinkan dengan kawin alam yang dilakukan dengan membawa sapi betina yang sedang birahi ke tempat sapi jantan berada. Sapi betina kemudian dilepaskan/dibiarkan bersama sapi jantan agar dapat dikawini oleh pejantan tersebut. Tanda-tanda sapi bali birahi yang diketahui peternak di lokasi penelitian yaitu sapi gelisah dan menaiki sapi lain. Tanda-tanda birahi lainnya belum dipahami oleh peternak. Tidak tepatnya pendeteksian birahi menyebabkan selang beranak akan semakin panjang. Akibatnya adalah kerugian peternak sehingga dibutuhkan peningkatan pemahaman peternak mengenai berbagai tanda birahi dan pencatatan siklus berahi sapi bali melalui penyuluhan. Salisbury dan VanDemark (1985) menyatakan bahwa umur kawin pertama sapi dara sangat dipengaruhi oleh manajemen pertumbuhan dan perkembangan sapi.

Service per Conception (S/C)

Service per conception (S/C) sapi bali betina di lokasi penelitian rata-rata 1,9

(50)

38 antaranya manajemen pemeliharaan, kondisi induk dan pejantan serta keterampilan inseminator. Fordyce et al. (2003) menyatakan kebuntingan rata-rata terjadi setelah 2 kali perkawinan dan hal ini lazim di daerah tropis. Diduga 30% penyebabnya adalah kematian embrionik. Hardjopranjoto (1995) menyatakan bahwa penyebab kawin berulang pada ternak adalah kegagalan pembuahan dan kematian embrio dini.

Umur Beranak Pertama (First Mating)

Hasil penelitian menunjukkan umur beranak pertama sapi bali adalah 3,1±0,59 tahun atau 37,44 bulan. Sama halnya dengan umur kawin pertama, umur beranak pertama sapi bali dipengaruhi oleh umur berahi pertama, umur kawin pertama dan nilai service per conception. Hasil penelitian tersebut lebih rendah dibandingkan hasil penelitian Liwa (1990) di Sulawesi Selatan yang menunjukkan bahwa rataan umur induk beranak pertama adalah 41,8±1,8 bulan. Gunawan et al. (2011) yang meneliti di pusat pembibitan sapi bali di Bali dan menyatakan umur beranak pertama sapi bali rata-rata 43,86 bulan yang dipengaruhi oleh ketersediaan nutrisi dalam pakan.

Tingkat Kelahiran (Calving Rate)

(51)

39

Berahi Kembali Setelah Beranak (Oestrus Postpartum)

Lama berahi kembali setelah beranak atau oestrus postpartum sapi bali pada penelitian ini berkisar 45,86-118,04 hari dengan rata-rata 82 hari. Salisbury dan VanDemark (1985) menjelaskan bahwa sapi-sapi betina sebagian besar akan kembali birahi 21-80 hari sesudah melahirkan, dengan rata-rata 70 hari. Berbeda dengan hasil penelitian Sariubang et al. (2009) di Desa Manongkoki, Kabupaten Takalar yaitu sapi bali menunjukkan berahi kembali 107 hari setelah beranak pada sistem beternak tradisional. Toelihere (1979) menyatakan bahwa sapi potong yang kekurangan makanan, interval partus ke berahinya lebih lama. Rangsangan menyusu juga mempengaruhi lama waktu berahi kembali setelah beranak. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Wiltbank (1970) bahwa sapi induk yang menyusui, umur induk dan tingkat nutrisi merupakan variabel penting yang mempengaruhi oestrus post partum.

Selang Beranak (Calving Interval)

Sapi bali di Desa Pa’rappunganta memiliki selang beranak rata-rata 370±36 hari. Selang beranak hasil penelitian ini lebih singkat dibandingkan hasil penelitian Wirdahayati dan Bamualim (2003) yaitu 15,71±1,8 bulan atau sekitar 471 hari. Selang beranak merupakan sifat reproduksi yang sangat dipengaruhi oleh siklus reproduksi sapi bali. Sutan (1988) menjelaskan bahwa faktor yang mempengaruhi selang beranak adalah service per conception, jarak antara melahirkan terdahulu dengan kawin pertama setelah bunting dan lama kebuntingan.

Kematian Anak (Calf Mortality)

Calf mortality atau kematian anak sapi bali di Desa Pa’rappunganta sebesar

5,8%. Kematian anak sapi di lokasi penelitian diantaranya disebabkan oleh anak sapi tidak menyusu karena lahir dalam kondisi lemah dan stress panas. Tingkat kematian anak sapi bali tersebut dapat diturunkan dengan pemenuhan nutrisi induk selama kebuntingan serta penanganan pasca kelahiran seperti menyediakan tempat yang nyaman bagi anak sapi yang baru lahir.

Gambar

Gambar 1.  Sapi Bali Betina Sumber : Direktorat Jenderal Peternakan (2012)
Gambar 3. Matriks Grand Strategy Sumber : Rangkuti (1997)
Gambar 4.  Peta Kabupaten Takalar
Gambar 5. Topografi Desa Pa’rappunganta, (a) Padang Penggembalaan (b) Sawah
+7

Referensi

Dokumen terkait

sebagai pemahaman eksistensial, dan 6). Hermeneutika sebagai sistem penafisran. Hermeneutika sebagai sistem penafsiran dapat diterapkan, baik secara kolektif maupun

filmkan oleh Sandra Bullock. Amélie Nothomb berada dalam keluarga yang akrab dengan dunia politik dan sastra. Sehingga dalam karya-karyanya, Amélie Nothomb sering

Ketika telah selesai dalam pembuatan sebuah game, ada satu proses yang nantinya akan menentukan apakah game yang telah dibuat sudah dapat atau layak untuk digunakan, dimainkan

 Pada kolom output format -> pilih format output yang diinginkan -> misalnya mp3, dan apabila ingin melakukan sedikit konfigurasi untuk format ini klik Config ->

Trauma tumpul abdomen adalah pukulan / benturan langsung pada rongga abdomen yang mengakibatkan cidera tekanan/tindasan pada isi rongga abdomen, terutama organ

Dini Jannatul Putri : Pengaruh Ekstrak Daun Kembang Sepatu (Hibiscus rosa- sinensis L.) terhadap Siklus Reproduksi Mencit (Mus musculus L.) Swiss Webster.. Ledakan

For models with an intercept, if the observed test statistic value is greater than 2, then you want to test the null hypothesis against the alternative hypothesis of negative

Berdasarkan format Pengukuran Kinerja yang telah dibuat dengan merujuk pada Indikator Kinerja Utama dan Renstra instansi maka capaian Pengukuran