• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kabupaten Lamongan memiliki luas wilayah 181 280 Ha yang secara geografis terletak pada 6o51’54’’-7o23’6’’ LS dan 112o4’41’’-112o33’12’’ BT. Kabupaten Lamongan pada bagian utara berbatasan dengan Laut Jawa, bagian timur berbatasan dengan Kabupaten Gresik, bagian selatan berbatasan dengan Kabupaten Jombang dan Kabupaten Mojokerto, sedangkan bagian barat berbatasan dengan Kabupaten Bojonegoro dan Kabupaten Tuban. Kabupaten Lamongan secara administratif memiliki 27 kecamatan, termasuk Kecamatan Laren, Sekaran, Maduran, Babat, dan Sukodadi. Aspek topografis Kabupaten Lamongan cenderung cekung di tengah, tinggi di sebagian selatan dan utara, serta dilalui Sungai Bengawan Solo. Sungai ini memiliki peranan penting untuk usaha pertanian seperti usaha tanaman padi dan budidaya ikan/udang. Kabupaten Lamongan terdiri dari dataran rendah dan berawa dengan ketinggian 0-25 m dengan luas 50.2%, daratan ketinggian 25-100 m seluas 45.7% dan sisanya 4.1% merupakan dataran dengan ketinggian di atas 100 m dari permukaan air laut.

Penggunaan lahan Kabupaten Lamongan terdiri dari penggunaan kawasan lindung dan kawasan budidaya. Kawasan lindung terdiri dari kawasan hutan lindung dan kawasan perlindungan setempat. Kawasan budidaya terdiri dari hutan produksi, hutan rakyat, pertanian, perikanan, pertambangan, perindustrian, pariwisata, dan pesisir. Kawasan sawah memiliki persentase paling besar yaitu 25.6%. Struktur perekonomian paling dominan di Kabupaten Lamongan adalah sektor pertanian dengan nilai rata-rata 51% dari total PDRB Kabupaten Lamongan pada tahun 2007-2011. Potensi pengembangan Lamongan dalam kawasan pertanian secara keseluruhan memiliki luas 91 458.91 ha dengan rincian pertanian lahan basah (sawah) seluas 79 320 ha dan pertanian lahan kering atau hortikultura seluas 12 138.91 ha. (Pemkab Lamongan 2013).

Karakteristik Umum Petani

Setiap individu petani memiliki karakteristik umum tersendiri yang mengacu pada karakter gaya hidup serta nilai-nilai yang berkembang secara teratur sehingga perilaku menjadi lebih konsisten dan mudah untuk diperhatikan. Karakteristik petani responden dikategorikan berdasarkan usia, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan utama, jumlah pendapatan, jumlah tanggungan keluarga, serta keikutsertaan dalam anggota kelompok tani (poktan).

Kategori usia petani responden di lima kecamatan umumnya berkisar di atas 40 tahun (Tabel 1). Kurangnya regenerasi petani ini disebabkan oleh adanya pekerjaaan yang dianggap lebih menarik seperti menjual bahan bangunan, membuka toko kelontong di kota, menjadi pegawai negeri sipil (PNS), dan sebagainya. Orang tua di beberapa kecamatan tersebut juga menyarankan kepada anak-anaknya agar tidak bekerja sebagai petani. Mereka menyekolahkan anaknya agar tidak menjadi petani seperti orangtuanya. Semakin tua usia petani biasanya semakin lambat dalam mengadopsi inovasi dan cenderung melakukan kegiatan yang sudah biasa secara turun temurun (Handayani 2006).

5 Tabel 1 Karakteristik umum petani di lima kecamatan di Kabupaten Lamongan

Karakteristik petani Responden (%)

Laren Maduran Sekaran Sukodadi Babat Umur (tahun) 21-30 3 0 0 0 0 0.6 31-40 10 23 27 20 10 18 41-50 57 50 47 30 33 43 >50 30 27 27 50 57 38 Pendidikan terakhir

Tidak tamat sekolah dasar 20 27 23 17 13 20

Sekolah dasar 40 40 33 30 33 35

Sekolah menengah pertama 30 23 27 27 17 25

Sekolah menengah atas 7 3 13 27 23 15

Perguruan tinggi 3 7 3 0 13 5

Pekerjaan utama

Petani 63 83 80 60 77 73

Pedagang 0 0 3 23 3 6

Buruh bangunan 0 0 0 3 10 3

Pegawai negeri sipil 3 7 3 0 10 5

Peternak 7 0 0 3 0 2

Ibu rumah tangga 27 10 7 10 0 11

Penghasilan per bulan (juta)

< 1 40 17 43 23 0 25

1-1.5 23 37 0 33 7 20

1.6-2 10 13 10 27 43 21

2-2.5 10 27 47 17 50 30

> 2.5 17 7 0 0 0 5

Jumlah anggota keluarga

≤ 3 orang 10 20 3 3 13 10

4-5 orang 57 67 60 57 70 62

6-8 orang 30 13 37 27 17 25

≥ 9 orang 3 0 0 13 0 3

Keanggotaan kelompok tani

Ya 33 67 50 60 47 51

Tidak 67 33 50 40 53 49

Tingkat pendidikan petani di lima kecamatan sebagian besar adalah sekolah dasar (SD), sedangkan untuk perguruan tinggi memiliki persentase paling rendah di semua kecamatan. Hal ini disebabkan kurangnya kesadaran untuk sekolah hingga jenjang yang tinggi (Tabel 1). Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan

6

penelitian Faridzi (2013) di Kabupaten Serang yang memperoleh data bahwa tingkat pendidikan petani padi umumnya tidak tamat sekolah atau hanya hingga tingkat SD.

Mata pencaharian utama petani responden di kelima kecamatan adalah petani, dan pekerjaan lainnya ialah pedagang, buruh bangunan, PNS, peternak, buruh tani, dan ibu rumah tangga. Upah minimum kabupaten (UMK) Lamongan sebesar Rp 1 573 000. Kategori segi pendapatan terbesar di Kecamatan Laren berada dalam kisaran Rp 500 000 hingga Rp 1 000 000 (40%), Kecamatan Maduran dan Sukodadi dalam kisaran Rp 1 000 000 hingga Rp 1 500 000 (37% dan 33%), Kecamatan Sekaran dan Babat berada dalam kisaran Rp 2 000 000 hingga Rp 2 500 000 (47% dan 50%) (Tabel 1). Jumlah pendapatan di Kecamatan Babat relatif paling tinggi bila dibandingkan dengan kecamatan lain karena letaknya yang dekat dengan pusat kota dan pasar, laju ekonomi di kecamatan ini relatif lebih maju bila dibandingkan dengan kecamatan lainnya.

Jumlah tanggungan keluarga umumnya berada dalam kisaran tiga hingga lima orang di lima kecamatan, jumlah tanggungan keluarga dengan persentase terendah berada dalam kisaran lebih dari 9 orang. Tingkat partisipasi petani dalam mengikuti gabungan kelompok tani berbeda di tiap kecamatan, namun rata-rata petani responden cenderung mengikuti kelompok tani. Kecamatan yang memiliki tingkat partisipasi rendah berada di Kecamatan Laren (67%) dan Kecamatan Babat (53%). Kecamatan yang memiliki tingkat partisipasi tinggi berada di Kecamatan Maduran (33%), Kecamatan Sekaran (40%). Kecamatan Sukodadi memiliki persentase yang sama dalam keikutsertaan petani mengikuti kelompok tani (Tabel 1). Petani jarang mengikuti kelompok tani karena menurut rata-rata kelompok tani hanya mengambil sedikit petani di setiap desa. Petani sebenarnya menginginkan bergabung dengan kelompok tani, namun karena keterbatasan jumlah anggota sehingga mereka menjadi enggan untuk bergabung. Ketidakikutsertaan petani responden dalam mengikuti gapoktan membuat informasi tentang budidaya pertanian yang baik masih kurang. Gabungan kelompok tani merupakan sebuah perkumpulan yang dibentuk oleh dan untuk petani. Gapoktan berfungsi untuk bertukar pikiran antar anggota untuk bisa saling membantu dan menyelesaikan masalah pertanian, merekatkan hubungan antar satu petani dengan satu petani lainnya.

Karakteristik Budidaya dan Pemasaran Produk Pertanian

Status kepemilikan lahan petani padi di lima kecamatan sebagian besar merupakan petani pemilik dan penggarap. Persentase petani dan penggarap di Kecamatan Laren, Maduran, Sekaran, Sukodadi dan Babat secara berturut-turut adalah 60%, 57%, 53%, 80%, dan 83%. Luas lahan responden rata-rata berkisar antara 5 000m2 hingga 10 000 m2, Kecamatan Babat memiliki persentase tertinggi yaitu 70% (Tabel 2). Status kepemilikan lahan sangat berpengaruh pada biaya usaha yang dikeluarkan karena hal tersebut merupakan salah satu komponen penting dalam usaha tani.

Pola tanam monokultur di kelima kecamatan sebagian besar masih dilakukan secara konvensional (Tabel 2). Lahan sawah ditanami padi secara terus menerus dalam satu tahun dan tidak melakukan pola rotasi tanam. Sebagian kecil petani responden melakukan rotasi tanam dengan palawija seperti kacang-kacangan, jagung, kedelai, dan lain-lain. Hal ini disebabkan karena Pemerintah Kabupaten

7 Lamongan menginginkan produksi padi secara besar-besaran dalam tiap tahunnya, sehingga mengabaikan pola rotasi tanam dengan palawija. Perlu diketahui bahwa Kabupaten Lamongan merupakan salah satu pemasok padi terbesar di Propinsi Jawa Timur (Pemkab Lamongan 2013).

Tabel 2 Karakteristik budidaya petani responden

Karakteristik Petani Responden (%)

Laren Maduran Sekaran Sukodadi Babat Status kepemilikan lahan

Pemilik 30 37 33 13 17 26 Penggarap 10 7 7 7 0 6 Penyewa 0 0 7 0 0 1 Pemilik penggarap 60 57 53 80 83 67 Luas lahan (m2) < 1 000-2 500 27 10 13 13 0 13 2 500-5 000 27 37 17 20 0 20 5 000-10 000 33 30 23 47 70 41 > 10 000 13 23 47 20 30 27 Pola tanam Padi-padi palawija 33 33 3 0 20 18

Padi terus menerus 67 67 97 100 80 82

Teknik pergiliran tanaman merupakan salah satu komponen pengendalian terpadu hama WBC dan hama hama padi lainnya. Salah satu penyebab timbulnya peledakan WBC pada pertanaman padi di Pulau Jawa adalah karena petani terus menerus menanam padi pada lahan sawah. Hal ini dimungkinkan karena adanya perbaikan sistem irigasi yang mengakibatkan tersedianya air setiap saat (Untung 2011). Pola tanam yang sebaiknya diterapkan oleh petani adalah padi-padi palawija. Pola tersebut bisa memutus siklus OPT yang menyerang tanaman padi. Penanaman padi secara terus menerus juga tidak baik untuk kesuburan lahan. Petani perlu melakukan upaya rotasi tanam untuk mencegah terjadinya peningkatan populasi WBC menggunakan pola padi-padi-palawija, padi-palawija-padi, atau rotasi tanam yang lain.

Pemasaran hasil pertanian sebagian besar dijual kepada pengumpul. Hal tersebut umum dilakukan oleh petani karena penjualan padi ke pengumpul dianggap lebih mudah, sehingga petani tidak perlu membawa hasil panen ke pasar secara langsung. Selain itu, kondisi perekonomian petani yang masih rendah menyebabkan petani melakukan peminjaman modal kepada pengumpul.

Varietas padi yang dominan dibudidayakan oleh petani di kelima kecamatan adalah varietas Ciherang (Tabel 3). Varietas Ciherang banyak dipilih oleh petani responden karena produktifitas malainya yang tinggi, jumlah anakan banyak, dan tahan terhadap serangan hama penyakit. Varietas selain Ciherang yang dibudidayakan oleh petani adalah varietas Bagendit, Inpari 4, IR 64, beras hitam dan beras merah, Bestari, Mikongga, IPB 3S, Sri Dhenok, dan Kamajoyo. Ragamnya varietas tersebut dikarenakan ada yang dijadikan varietas selingan, ada

8

yang sengaja berganti varietas agar tidak mudah terserang hama penyakit, dan uji coba varietas baru di lahan mereka.

Tabel 3 Karakteristik varietas padi yang digunakan petani responden

Karakteristik Petani Responden (%)

Laren Maduran Sekaran Sukodadi Babat Varietas padi

Bagendit 20 3 0 10 0 7

Ciherang 63 80 97 90 83 83

Inpari 4 3 10 0 13 0 5

IR 64 37 10 0 7 10 13

Beras hitam dan merah 3 0 0 0 0 1

Bestari 3 0 0 0 0 1 Mikongga 0 7 3 7 0 3 IPB 3S 0 0 0 0 10 2 Sri Dhenok 0 0 0 0 3 1 Kamajoyo 0 0 0 0 3 1 Jarak tanam (cm x cm) 20x20 7 7 10 13 0 7 23x23 33 23 13 27 27 25 23x25 23 7 7 0 0 7 25x25 3 43 67 20 57 38 25x27 0 3 0 10 17 6 27x27 0 3 3 0 0 1 30x30 0 3 0 7 0 2 25x20 0 10 0 0 0 2 30x25 33 0 0 23 0 11

Alasan memilih varietas

Tahan HPT 70 93 83 47 27 64

Produktivitas tinggi 20 7 17 53 67 33

Daya jual tinggi 3 0 0 0 7 2

Rasa lebih enak 7 0 0 0 0 1

Sumber benih

Membenihkan sendiri 10 7 0 0 0 3

Instansi pemerintah 3 30 23 20 40 23

Kios tani 83 63 77 80 60 73

Petani lain 3 0 0 0 0 1

Jarak tanam adalah salah satu faktor yang menentukan tinggi rendahnya hasil panen padi. Jarak tanam padi ditentukan dua faktor, yaitu kemampuan produksi jumlah anakan dan kesuburan tanah. Varietas padi yang memiliki kemampuan merumpun tinggi akan membutuhkan jarak tanam yang lebih lebar dibandingkan dengan varietas padi yang memiliki kemampuan merumpun rendah. Semakin subur tanah semakin lebar juga jarak tanam yang digunakan. Jarak tanam terlalu sempit

9 menyebabkan kurangnya sinar matahari yang menembus ke permukaan tanah, sehingga tanaman padi lebih cepat tinggi namun lemah. Hal ini bisa menurunkan kualitas dan kuantitas tanaman padi (Siregar 1981). Petani responden umumnya menggunakan jarak tanam seluas 25 cm x 25 cm (Tabel 3). Jarak tanam yang paling baik digunakan petani adalah sistem jajar legowo. Sistem jajar legowo bisa meningkatkan populasi tanaman dengan mengatur jarak tanam dan memanipulasi letak tanaman seolah-olah berada di pinggir (tanaman pinggir). Tanaman yang berada di pinggir biasanya memperoleh lebih banyak cahaya matahari, sehingga kualitas gabah semakin baik dan produksi gabah meningkat. Beberapa manfaat sistem jajar legowo antara lain meningkatkan produksi tanaman padi, mengurangi serangan OPT pada tanaman padi, mempermudah dalam perawatan tanaman padi baik dalam proses pemupukan maupun penyemprotan pestisida, dan dapat menhemat pupuk.

Petani mendapatkan benih dari berbagai sumber seperti instansi pemerintah, kios tani, dan petani lain (Tabel 3). Petani responden yang melakukan pembenihan sendiri meyakini bahwa keamanan dan kualitas benih terjamin. Petani responden yang melakukan pembenihan sendiri terdapat di Kecamatan Laren dan Maduran. Petani jarang melakukan pembenihan sendiri karena sulit dan tidak tahu cara membenihkan dengan benar. Petani responden yang mendapatkan benih dari instansi pemerintah umumnya merupakan bagian dari kelompok tani, untuk menguji kelayakan dan ketahanan varietas tersebut. Persentase sumber benih terbanyak berasal dari kios tani yang menjual benih. Petani lebih memilih membeli benih ke kios tani karena petani bisa bertanya ke pemilik kios tentang benih yang akan dibeli dengan mudah.

Permasalahan dalam Usaha Tani

Permasalahan yang umum dihadapi petani antara lain adalah hama dan penyakit, modal, air, varietas unggul, pupuk, pestisida, dan harga jual gabah yang rendah (Tabel 4). Semakin banyak permasalahan yang dialami oleh petani maka akan berpengaruh pada penggunaan pestisida (Darajat 2014). Berdasarkan hasil survei, hama dan penyakit merupakan permasalahan yang paling sering dihadapi oleh petani. Lima kecamatan menunjukkan persentase tertinggi sebesar 100% di semua kecamatan.

Penyakit padi pada lima kecamatan cukup beragam, di antaranya penyakit

blast, bercak cokelat, hawar daun bakteri, dan virus tungro. Sedangkan hama pada lima kecamatan yang menyerang tanaman padi selain WBC adalah penggerek batang kuning (Scirpophaga interculas) dan tikus sawah (Rattus argentiventer) (Tabel 4). Tingkat serangan hama pada musim kemarau lebih tinggi bila dibandingkan musim hujan (Fattah dan Hamka 2011). Persentase serangan penggerek batang tertinggi terdapat di Kecamatan Laren (90%). Serangan hama ini bisa menimbulkan serangan hingga 80% (Pracaya 2007). Hama ini pernah mengakibatkan gagal panen pada sebagian petani responden.

Serangan hama tikus paling tinggi terjadi di Kecamatan Babat sebesar 87%. Pengendalian hama tikus paling efektif menurut petani responden adalah dengan menggunakan kabel beralirkan listrik yang dimulai pada pukul 18.00 WIB hingga dini hari. Tikus yang melewati lahan akan mati jika terkena aliran listrik. Pengendalian yang dilakukan petani menggunakan arus listrik sebenarnya kurang baik. Pengendalian yang bisa dilakukan petani yaitu dengan gropyokan,

10

penggunaan musuh alami, dan penggunaan terpal di sekeliling lahan petani. Gropyokan dilakukan dengan menggenangi lubang atau sarang tikus, kemudian setelah tikus keluar dari sarang, dilakukan penangkapan tikus secara bersama dengan petani lain. Selain penggerek batang dan tikus, hama lain yang menyerang sawah milik petani responden ialah ulat grayak, walang sangit, dan keong mas.

Permasalahan pupuk juga masih menjadi masalah utama bagi petani responden di lima kecamatan. Permintaan pupuk yang tinggi tidak diimbangi dengan ketersediaan pupuk yang memadai. Distribusi pupuk terkadang lebih diutamakan ke kelompok tani, lalu dijual dengan harga yang cukup mahal kepada petani lainnya. Petani sangat menyayangkan hal tersebut, namun karena mereka membutuhkan pupuk untuk keberlangsungan usaha taninya maka petani rela membeli pupuk yang mereka butuhkan, terutama pupuk N P K.

Serangan WBC umumnya terjadi pada tanaman padi yang telah dewasa, tetapi belum memasuki masa panen. Hama ini terkadang juga menyerang persemaian padi. Menurut Syam dan Wurjandari (2003), fase tanaman yang rentan terhadap serangan WBC dimulai dari fase pembibitan hingga matang susu. Penyerangan WBC tertinggi berkisar di umur 0 hingga 15 hari sebanyak 50% di Kecamatan Babat, umur 15 hingga 30 hari sebanyak 40% dan 43% di Kecamatan Maduran dan Sekaran, umur 30 hingga 45 hari sebanyak 40% di Kecamatan Sukodadi, lebih dari 60 hari sebanyak 33% di Kecamatan Laren (Tabel 5). Umur persemaian hingga panen sebanyak 27% di Kecamatan Sekaran. WBC menyerang tanaman padi pada semua usia. Menurut Baihaki (2009), WBC menyerang tanaman padi saat berumur 10-20 hari setelah masa tanam, dua minggu setelah tanam, atau ketika lilir. Jika tanaman padi muda terserang, warna daunnya menjadi kuning, pertumbuhannya menjadi terhambat, dan tanaman akan tetap kerdil. Serangan hebat akan mengakibatkan tanaman menjadi layu dan mati. Perkembangan akar pun menjadi terhambat.

Tabel 4 Permasalahan dalam usaha tani di lima kecamatan

Permasalahan Responden (%)

Laren Maduran Sekaran Sukodadi Babat Masalah yang sering dihadapi

Hama Penyakit 100 100 100 100 100

Modal 0 3 0 0 0

Air 10 0 0 0 0

Pupuk 7 10 57 63 70

Obat pestisida 10 0 10 43 33

Harga jual rendah 3 10 40 43 67

Hama lain yang menyerang

Penggerek batang 90 53 47 53 20

Ulat grayak 10 0 0 10 0

Walang sangit 30 3 13 7 10

Tikus 7 73 70 7 87

11 Kehilangan hasil panen yang diakibatkan serangan WBC cukup besar dan menimbulkan kerugian pada petani. WBC dapat menyebabkan kehilangan hasil panen hingga 100%. Kehilangan hasil panen rata-rata berkisar antara 25-50% (Tabel 5). Hal ini tentu merugikan petani. Penurunan hasil akibat serangan WBC dan wereng punggung putih pada beberapa varietas padi sangat berpengaruh terhadap penurunan hasil (Baehaki dan Kartohardjono 2005).

WBC mengakibatkan kerusakan berat pada tanaman padi yang disebut

hopperburn. Bentuk kerusakan pada padi seperti membentuk lingkaran-lingkaran kecil, kemudian meluas hingga akhirnya bertemu satu lingkaran dengan lingkran yang lain. WBC berkembang biak di pangkal batang tanaman. Serangga ini menghisap cairan batang hingga tanaman menjadi kuning dan mati kering (Pracaya 2007).

WBC mengeluarkan embun madu yang biasanya akan dijadikan media tumbuh oleh cendawan jelaga sehingga daun padi tampak berwarna hitam. Tingginya populasi WBC bisa dilihat dari banyaknya sisa pergantian kulit nimfa yang berwarna putih. Gejala yang dialami petani responden adalah daun padi menjadi kering, pangkal tanaman mengering, daun menjadi berwarna cokelat kehitaman dan kusam, daun batang menguning, pangkal tanaman menghitam. Petani responden umumnya mengalami gejala tanaman menjadi kering. Kumpulan imago dan nimfa menghisap cairan tanaman, mengakibatkan tanaman menjadi kerdil, daun-daun mulai kuning, layu (Baehaki dan Widiarta 2009).

Berbagai bentuk pencegahan dan pengendalian dilakukan petani responden untuk WBC cukup beragam (Tabel 5). Pengendalian untuk menekan dan mencegah terjadinya serangan WBC sudah berkembang dengan baik, namun penerapan di lapangan masih banyak yang tidak berhasil. Berdasarkan hasil survei, penggunaan pestisida sintetik menunjukkan proporsi paling tinggi bila dibandingkan dengan jenis pencegahan lainnya. Penggunaan pestisida sintetik masih menjadi pilihan utama petani responden.

Penanaman padi yang terus menerus menggunakan varietas sama mempunyai gen tahan tunggal dapat mempercepat timbulnya biotipe WBC baru. Secara alami berbagai varietas yang ditanam luas dengan tidak mengandung gen tahan tunggal akan menyeleksi hama WBC, dan penggunaan suatu varietas dalam waktu yang lama membentuk biotipe WBC (Baehaki dan Munawar 2008a), maka dari itu pergantian varietas penting untuk mematahkan gen ketahanan yang terdapat dalam WBC.

Aspek sosial kemasyarakatan diperlukan, terutama dalam melakukan kesepakatan penanaman secara serempak. Petani responden yang melakukan tanam serempak hanya terjadi di Kecamatan Laren sebanyak 10% (Tabel 5). Hal ini menunjukkan bahwa masih kurangnya kesepakatan antara sesama di kecamatan lain. Petani saling berloma menanam padi agar harga gabah yang dijual bisa mencapai harga yang tinggi. Penanaman serempak dapat memutus rantai hama penyakit pada tanaman. Tanaman padi yang ditanam serempak dan dipanen bersamaan, akan memutus rantai makanan bagi hama penyakit.

Peningkatan biodiversitas lokal sebagai pemulihan biodiversitas dan pengembangan tanaman bunga di sekitar tanaman padi telah dilakukan di Indonesia dengan memperkenalkan sistem integrasi palawija pada tanaman padi (SIPALAPA) tahun 2002. Tanaman palawija yaitu menanam kedelai, jagung, dan sayuran seperti sawi dan kacang panjang di sepanjang pematang. Tanaman bunga yang ditanam

12

adalah yang mengandung nektar sebagai sumber makanan parasitoid seperti

Wedelian chinensis, Helianthus sp., Lantana camara, Crotalaria, okra atau wijen

Sesamum indicum yang ditanam di pematang sawah (Baehaki dan Made 2012). Berdasarkan hasil survei, penanaman bunga hanya dilakukan oleh petani responden yang berada di Kecamatan Laren sebanyak 10% (Tabel 5). Gabungan kelompok tani di kecamatan tersebut sudah maju dengan arahan penyuluh lapang, mereka melakukan tindakan yang sekiranya bisa menekan pertumbuhan hama-hama utama padi.

Pengamatan hama secara berkala penting dilakukan petani responden untuk mengetahui sejauh mana serangan OPT menyerang lahan milik mereka. Pengamatan juga dilakukan apakah pestisida yang mereka gunakan sudah cukup ampuh untuk menekan dan mematikan serangan OPT di lahan. Pengamatan hama secara berkala dilakukan di Kecamatan Laren sebanyak 17%. Hal ini penting dilakukan oleh petani untuk mengamati sudah sejauh mana OPT berkembang, jumlah hama per rumpun, atau gejala yang ditimbulkan patogen. Petani yang melakukan pengamatan secara berkala akan lebih mudah dalam mengambil keputusan pengendalian. Pengamatan secara berkala diharapkan dapat membuat petani lebih bijak dalam menggunakan pestisida sintetik.

Beberapa petani ada yang memilih mengunakan solar dalam mencegah WBC. Solar dinilai efektif untuk mengendalikan WBC karena bisa membuat daun tanaman licin sehingga menyebabkan telur beserta WBC tidak hinggap kembali. Harga solar juga lebih ekonomis bila dibandingkan dengan harga pestisida sintetik. Umumnya penerapan teknologi baru memiliki resiko yang lebih besar dibandingkan dengan cara konvensional yang telah dilakukan petani. Menurut Subagio (2008), petani yang sering mengalami kegagalan dalam menerapkan inovasi-inovasi pada kegiatan usahatani yang dijalankan akan memengaruhi sikap dan perilaku petani pada kegiatan usaha tani berikutnya.

Pengendalian WBC sebenarnya membutuhkan strategi khusus agar bisa menekan populasi hama secara signifikan. Penggunaan pestisida sintetik selalu menjadi pilihan utama petani responden. Padahal penyemprotan dengan bahan kimia jika tidak hati-hati malah sebaliknya akan menimbulkan dampak buruk pada serangga, manusia dan lingkungan. Penyemprotan harus dilakukan dengan baik agar sasaran pengendalian tercapai seperti penggunaan insektisida kontak yang harus mengenai tubuh serangga hama. Jika yang terkena hanya bagian atas tanaman padi, penyemprotan menjadi tidak efektif karena WBC berada pada bagian pangkal padi (Pracaya 2007).

Penggunaan insektisida hayati bisa menjadi salah satu langkah pengendalian yang ramah lingkungan melalui pemanfaatan cendawan entomopatogenik, namun karena kesulitan dalam penyediaanya termasuk untuk memperoleh bahan dasar cendawan ini, akibatnya tidak terlalu banyak petani yang menggunakannya bahkan cenderung semakin berkurang. Pestisida hayati yang digunakan petani responden di antaranya Beauveria sp. dan Metharizium sp. Penggunaan insektisida hayati ini bisa meningkatkan ketahanan batang tanaman sehingga OPT sulit untuk menginfeksi dan merusak tanaman, tidak menyebabkan resistensi hama, serta aman untuk lingkungan. Di samping itu petani juga mengaplikasikan pestisida nabati seperti ekstrak daun nimba walaupun tidak banyak petani yang menggunakannya.

13 Tabel 5 Karakteristik serangan WBC terhadap padi di lima kecamatan

Indikator Responden (%)

Laren Maduran Sekaran Sukodadi Babat

Umur penyerangan WBC (hari)

0-15 13 17 20 3 50 21 16-30 0 40 43 20 20 25 31-45 33 13 7 40 10 21 46-60 3 3 0 3 0 2 >60 33 3 3 10 0 10 Persemaian-panen 13 23 27 23 20 21

Kehilangan hasil panen (%)

0-25 13 30 3 17 3 13 25-50 13 67 87 37 43 49 50-75 53 3 10 13 7 17 75-100 20 0 0 33 47 20 Gejala penyerangan WBC Kering 90 37 67 7 47 50

Pangkal tanaman kering 0 27 33 0 7 13

Tanaman coklat kehitaman 30 20 0 23 0 15

Daun, batang menguning 0 3 0 70 33 21

Pangkal tanaman hitam 3 23 3 0 13 8

Pencegahan WBC

Pestisida sintetik 40 67 83 70 90 70

Pestisida nabati 23 17 10 30 7 17

Pergantian varietas 13 10 50 0 0 15

Penanaman serempak 10 0 0 0 0 2

Penanaman tanaman bunga 10 0 0 0 0 2

Pengamatan hama 13 13 10 7 10 11 Penggunaan solar 0 0 10 7 13 6 Pengendalian WBC 87 93 87 70 90 Pestisida sintetik 85 Pestisida nabati 20 3 10 30 7 14 Penggunaan solar 3 17 10 7 13 10

Pengetahuan Petani tentang Pestisida Sintetik

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya suatu tindakan seseorang. Perubahan perilaku baru adalah suatu proses yang kompleks dan memerlukan waktu yang relatif lama. Tahapan yang pertama adalah pengetahuan, sebelum seseorang mengadopsi perilaku baru harus tahu terlebih dahulu apa arti atau manfaat tersebut, sehingga perilaku seseorang sangat dipengaruhi tingkat pengetahuan. Jika pengetahuan yang dimiliki sudah

14

baik, harapannya akan diterapkan dalam bentuk praktik dalam kehidupan

Dokumen terkait