• Tidak ada hasil yang ditemukan

Untuk mengetahui komposisi susunan kimia suatu bahan pakan dilakukan analisis kimia yang disebut analisis proksimat. Adapun peubah yang diamati pada pakan perlakuan meliputi : Bahan Kering (BK), Protein Kasar (PK) dan Serat Kasar (SK) dari pelepah sawit yang telah difermentasi. Hasil analisa dapat dilihat pada Tabel 9 dibawah ini.

Table 9. Hasil Analisis Proksimat Bahan Pakan Perlakuan (Berdasarkan Bahan Kering).

Bahan Pakan Perlakuan (%) PK (%) SK (%) LK Abu (%) Pelepah Sawit Tanpa Fermentasi

Pelepah Sawit Fermentasi dengan SBP Pelepah Sawit Fermentasi dengan Probion Pelepah Sawit Fermentasi dengan A.niger

10,03 11,46 11,54 12,94 55,65 43,12 47,31 49,11 7,95 7,42 8,11 7,64 10,80 12,19 12,43 12,55 Sumber : Kartolo (2014).

Kandungan protein kasar pelepah sawit tanpa fermentasi yaitu 10,03 persen, kandungan protein kasar pelepah sawit yang difermentasi dengan Saus Burger Pakan sebesar 11,46 persen, kandungan protein kasar pelepah sawit yang difermentasi dengan Probion sebesar 11,54 persen, sedangkan kandungan protein kasar pelepah sawit yang difermentasi dengan menggunakan Aspergillus niger yaitu sebesar 12,94 persen.

Kandungan serat kasar pada semua bahan pakan perlakuan masih sangat tinggi yaitu berkisar antara 43,12 persen sampai dengan 55,65 persen. Masih rendahnya kandungan protein serta tingginya kandungan serat kasar yang terkandung pada pelepah kelapa sawit menyebabkan rendahnya tingkat kecernaan. Hasil Analisis Proksimat Pelepah Sawit Penelitian dapat dilihat pada lampiran 3. Tabel 10. Komposisi Nutrisi Ransum Perlakuan (Berdasarkan Analisis Dalam

Bentuk Bahan Kering).

Jenis Nutrisi Kandungan Nutrisi (%)

R0 R1 R2 R3 Protein Kasar Serat Kasar Abu Lemak 17,46 26,30 9,70 8,95 18,13 21,93 9,41 8,38 18,49 23,04 9,15 8,98 20,01 23,83 9,61 8,42 Sumber : Kartolo (2014).

Untuk meningkatkan kandungan nutrisi dari pelepah sawit perlu adanya penerapan suatu teknologi tepat guna, salah satunya dengan perlakuan secara biologi seperti yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu dengan menggunakan mikroba lokal. Adapun tujuan dari perlakuan tersebut adalah untuk meningkatkan kandungan protein kasar dan menurunkan kandungan serat kasar yang terkandung dalam pelepah sawit serta meningkatkan daya cerna dari pelepah sawit. Hasil penelitian perlakuan pakan yang diperoleh dari hasil analisis proksimat (Tabel 10) yaitu pelepah sawit yang difermentasi kandungan nutrisinya lebih baik dibandingkan dengan pelepah sawit tanpa difermentasi seperti terlihat pada lampiran 5.

Konsumsi Pakan

Konsumsi pakan dihitung dalam bentuk bahan kering (BK).Data rataan konsumsi bahan kering ransum selama penelitian terlihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Rataan konsumsi bahan kering (BK) pakan domba lokal jantan selama penelitian (g/ekor/hari) 1 2 3 4 5 R0 332,81 306,00 336,52 316,59 311,64 320,71b ± 13,34 R1 335,83 347,45 338,24 391,11 349,86 352,50 a ± 22,39 R2 334,20 305,36 324,31 307,87 305,64 315,48 b ± 13,09 R3 311,19 323,54 319,52 319,38 312,30 317,19 b ± 5,25 Rataan 328,51 320,59 329,65 333,74 319,86 326,47

Perlakuan Ulangan Rataan ± SD

Ket : R0 = Pelepah Sawit Tanpa Fermentasi (Kontrol); R1 = Pelepah Sawit Fermentasi

dengan Saus Burger Pakan; R2 = Pelepah Sawit Fermentasi dengan Probion; R3 = Pelepah Sawit Fermentasi dengan Aspergillus niger.

Superskrip yang berbeda pada kolom rataan perlakuan menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P<0.05)

Tabel 11 terlihat bahwa konsumsi bahan kering (g/ekor/hari) yang tertinggi terdapat pada perlakuan R1 (352,50), kemudian disusul perlakuan R0 (320,71), perlakuan R2 (315,48) dan perlakuan R3 (317,48). Rataan konsumsi pakan keseluruhan selama penelitian adalah sebesar 326,47g/ekor/hari. Namun pada analisis sidik ragam menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05) seperti terlihat pada lampiran 7.

Konsumsi pakan tertinggi terdapat pada perlakuan R1 berbeda nyata dengan perlakuan R0, R2 dan R3. Sedangkan konsumsi pakan paling rendah terdapat pada perlakuan R2 tidak berbeda nyata dengan perlakuan R0 dan R3 tetapi berbeda nyata dengan R1. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pemberian pakan pelepah sawit yang difermentasi dengan mikroba yang berbeda berpengaruh nyata terhadap konsumsi pakan dalam bahan kering pakan.

Fermentasi dengan menggunakan Saus Burger Pakan (SBP) konsumsinya lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan Probion, dan Aspergillus niger. Hal ini disebabkan karena pada bahan pakan yang difermentasi dengan SBP menghasilkan enzim selulase yang dapat mendegradasi selulosa sehingga lebih mudah dicerna oleh ternak serta dapat meningkatkan nilai palatabilitas dan ternak lebih banyak mengkonsumsi pakan tersebut. Sesuai dengan pernyataan Sutardi (1980), bahwa ternak akan mencapai tingkat penampilan produksi yang tertinggi sesuai dengan potensi genetiknya bila memperoleh zat-zat makanan yang dibutuhkan, zat makanan ini diperoleh dengan mengkonsumsi sejumlah ransum. Konsumsi ditentukan oleh berat/besar badan, jenis makanan, umur, kandungan energi ransum, stres dan jenis kelamin. Pemberian pakan dalam bentuk pelet juga dapat meningkatkan konsumsi bahan kering ransum.

Tingkat perbedaan konsumsi dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya bobot badan ternak, umur ternak, tingkat kecernaan pakan, kualitas pakan dan palatabilitas. Pakan yang berkualitas baik tingkat konsumsinya lebih tinggi daripada pakan yang berkualitas rendah sehingga pakan yang relatif sama kualitasnya maka tingkat konsumsinya juga tidak jauh berbeda (Parakkasi, 1995).

Pertambahan Berat Badan

Pengukuran pertambahan bobot badan (PBB) dihitung berdasarkan selisih dari penimbangan bobot badan akhir dikurangi dengan bobot badan awal dibagi dengan jumlah hari penelitian.Data mengenai rata-rata pertambahan berat badan domba lokal jantan selama penelitian tercantum pada Tabel 12.

Tabel 12. Rataan pertambahan berat badan domba jantan lokal selama penelitian (g/ekor/hari) 1 2 3 4 5 R0 42,83 38,33 46,67 33,17 43,50 40,90b ± 10,61 R1 66,67 77,83 68,33 95,00 82,50 78,07a ± 11,52 R2 75,83 41,67 59,17 70,00 40,83 57,50b ± 16,00 R3 62,50 45,67 48,83 41,67 47,17 49,17b ± 7,91 Rataan 61,96 50,88 55,75 59,96 53,50 56,41

Perlakuan Ulangan Rataan ± SD

Superskrip yang berbeda pada kolom rataan perlakuan menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P<0.05).

Tabel 12 menunjukkan bahwa rata-rata pertambahan berat badan

(g/ekor/hari) domba penelitian yang tertinggi terdapat pada perlakuan R1 (78,07), kemudian diikuti perlakuan R2 (57,50), perlakuan R3 (49,17) dan

perlakuan R0 (40,90). Rataan pertambahan berat badan keseluruhan selama penelitian adalah sebesar 56,41g/ekor/hari. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05) seperti terlihat pada lampiran 9.

Pertambahan bobot badan tertinggi terdapat pada perlakuan R1, berbeda nyata dengan perlakuan R0, R2 dan R3 sedangkan pertambahan bobot badan paling rendah terdapat pada perlakuan R0 yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan R2 dan R3 tetapi berbeda sangat nyata dengan perlakuan R1. Hal ini menunjukkan bahwa pakan perlakuan pada R1 memberikan respons yang sangat bagus terhadap pertambahan bobot badan ternak domba dibandingkan dengan perlakuan lainnya, peningkatan pertambahan bobot dapat mencapai 78.07 g/ekor/hari. Terjadinya pertambahan bobot badan ternak domba yang diberikan pakan yang difermentasi dengan Saus Burger Pakan (SBP) disebabkan karena SBP mengandung multimikroba seperti mikroba asan laktat, mikroba selulolitik, mikroba amilolitik dan mikroba baik lainnya, asam asam Amino Esensial, vitamin, mineral serta bahan bahan alami lainnya yang sangat dibutuhkan oleh ternak untuk pertumbuhan dan kesehatan.

Konversi Pakan

Konversi pakan dapat dihitung dengan membagi total jumlah konsumsi bahan kering dengan pertambahan bobot badan yang dihitung selama penelitian. Data mengenai rataan konversi pakan pada domba lokal jantan selama penelitian terlihat pada Tabel 13.

Tabel 13. Rata-rata konversi pada pakan domba jantan lokal selama penelitian.

1 2 3 4 5 R0 7,77 7,98 7,21 9,55 7,16 7,93a ± 0,970 R1 5,04 4,46 4,95 4,12 4,24 4,56c ± 0,415 R2 4,41 7,33 5,48 4,40 7,49 5,82bc ± 1,516 R3 4,96 7,08 6,54 7,67 6,62 6,57ab ± 1,008 Rataan 5,55 6,71 6,05 6,44 6,38 6,22

Perlakuan Ulangan Rataan ± SD

Superskrip yang berbeda pada kolom rataan perlakuan menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P<0.05)

Tabel 13 menunjukkan bahwa rata-rata konversi pada pakan domba penelitian yang paling bagus terdapat pada perlakuan R1 (4,56), kemudian diikuti oleh perlakuan R2 (5,82), perlakuan R3 (6,57) dan perlakuan R0 (7,93). Rataan konversi pkan selama penelitian adalah sebesar 6,22. Hal ini berarti bahwa untuk menaikkan berat badan 1 kg maka dibutuhkan pakan sebanyak 6,22 kg dalam bahan kering. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05) seperti terlihat pada lampiran 11.

Konversi pakan paling rendah terdapat pada perlakuan R1 yang tidak berbeda nyata dengan dengan perlakuan R3 tetapi berbeda nyata dengan Perlakuan R0 dan Perlakuan R3. Konversi pakan tertinggi terdapat pada perlakuan R0 yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan R1 dan perlakuan R2 tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan R3. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa konversi pakan pada perlakuan R1 berbeda nyata dengan perlakuan R0 dan R3. Semakin rendah nilai konversi pakan menandakan pakan tersebut sangat baik, karena semakin sedikit pakan yang diperlukan untuk produksi daging, hal ini menyatakan bahwa perlakuan R1 lebih baik konversi pakannya dibandingkan parlakuan yang lain.

Hasil yang tersebut diatas menunjukkan bahwa konversi pakan yang dihasilkan berbeda nyata. Konversi pakan yang berbeda nyata tersebut disebabkan oleh adanya pertambahan berat badan yang berbeda, konsumsi pakan yang berbeda dan kecernaan yang berbeda. Hal ini sesuai dengan pendapat Rosida (2006) yang menyatakan bahwa konversi pakan sangat dipengaruhi oleh kondisi ternak, daya cerna, jenis kelamin, bangsa, penyakit, kualitas dan kuantitas pakan, juga faktor lingkungan yang tidak kalah penting.

Kecernaan Pakan

a. Kecernaan Bahan Kering

Kecernaan bahan kering dihitung dengan cara bahan kering konsumsi (yang dikonsumsi oleh ternak domba) dikurangi dengan bahan kering feses kemudian dengan bahan kering konsumsi setelah dikalikan 100 persen. Rataan kecernaan bahan kering pakan pada domba lokal jantan selama penelitian terlihat pada Tabel 14 dibawah ini.

Tebel 14. Rataan kecernaan bahan kering pakan pada domba lokal jantan selama penelitian. 1 2 3 4 5 R0 60,39 59,98 60,94 59,76 59,87 60,19 c ± 0,483 R1 76,52 80,83 80,19 79,65 78,49 79,14 a ± 1,694 R2 68,33 72,44 67,90 66,62 68,04 68,67 b ± 2.210 R3 62,72 62,52 62,29 59,28 60,79 61,52 c ± 1,464 Rataan 66,99 68,94 67,83 66,33 66,80 67,38

Perlakuan Ulangan Rataan (%) ± SD

Superskrip yang berbeda pada kolom rataan perlakuan menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P<0.05)

Tabel 14 terlihat bahwa kecernaan bahan kering yang tertinggi terdapat pada perlakuan R1 (79,14 persen), kemudian disusul perlakuan R2 (68,67 persen), perlakuan R3 (61,52 persen) dan perlakuan R0 (60,19 persen). Rataan kecernan bahan kering keseluruhan selama penelitian adalah sebesar 67,38 persen. Analisis sidik ragam diperoleh perbedaan yang sangat nyata antar perlakukan (P<0.05) seperti terlihat pada lampiran 14.

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan pakan memberikan pengaruh nyata (P<0.05) terhadap nilai kecernaan bahan kering pakan penelitian. Adapun nilai dari koefesien daya cerna bahan kering pakan penelitian ini berkisar antara 60,19 persen – 79,14 persen. Nilai rataan kecernaan bahan kering pada domba lokal 61.22 persen. Nilai kecernaan bahan kering dalam penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Simanihuruk et al., (2008). Faktor yang berpengaruh terhadap nilai kecernaan antara lain pakan, ternak dan lingkungan. Ditinjau dari segi pakan kecernaan dipengaruhi oleh faktor perlakuan terhadap pakan (pengolahan, penyimpanan dan cara pemberian), jenis, jumlah dan komposisi pakan yang diberikan pada ternak. Menurut Anggorodi (1994) umur ternak, kemampuan mikroba rumen mencerna pakan, jenis ternak, serta kondisi lingkungan seperti derajat keasaman (pH), suhu dan udara juga dapat menentukan nilai kecernaan, selain itu menurut Mackie et al., (2002) adanya aktivitas mikroba dalam saluran pencernaan sangat mempengaruhi kecernaan. Menurut Tillman et al., (1993), salah satu hal yang mempengaruhi daya cerna adalah komposisi pakan. Pakan dengan kandungan nutrisi yang lengkap akan meningkatkan daya cerna pakan itu sendiri.

b. Kecernaan Bahan Organik

Kecernaan bahan organik dihitung dengan cara bahan organik yang dikonsumsi dikurangi dengan bahan organik yang terkandung dalam feses lalu dibagi dengan bahan organik yang dikonsumsi kemudian dikalikan dengan 100 persen. Rataan kecernaan bahan organik pakan pada domba lokal jantan selama penelitian terlihat pada Tabel 15 dibawah ini.

Tebel 15. Rataan kecernaan bahan organik pakan pada domba lokal jantan selama penelitian. 1 2 3 4 5 R0 63,57 63,25 64,96 63,37 62,89 63,61 c ± 0,795 R1 78,53 83,07 82,02 81,52 80,07 81,04 a ± 1,770 R2 70,88 74,50 70,37 69,36 70,66 71,15 b ± 1,956 R3 67,31 65,61 66,20 62,96 63,79 65,17 c ± 1,777 Rataan 70,07 71,61 70,89 69,30 69,35 70,24

Perlakuan Ulangan Rataan (%) ± SD

Pada tabel 15 terlihat bahwa kecernaan bahan organik yang tertinggi

terdapat pada perlakuan R1 (81,04 persen), kemudian disusul perlakuan R2 (71,15 persen), perlakuan R3 (65,17 persen) dan perlakuan R0 (63,61 persen).

Rataan kecernaan bahan organik keseluruhan selama penelitian adalah sebesar 69,37 persen. Analisis sidik ragam diperoleh perbedaan yang sangat nyata antar perlakukan (P<0.05) seperti terlihat pada lampiran 18.

Kecernaan tertinggi terdapat pada perlakuan R1 berbeda nyata dengan perlakuan R2, R0 dan R3. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pemberian pelepah sawit yang difermentasi dengan berbagai macam mikroba yang berbeda berpengaruh nyata terhadap kecernaan bahan organik.

Nilai kecernaan bahan organik pakan pada penelitian ini berkisar antara 63,61 persen sampai dengan 81,04 persen dengan rataan kecernaan bahan organik 70,24 persen. Nilai rataan kecernaan bahan organik pada domba lokal adalah 60.74 persen. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan yang berbeda memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai kecernaan bahan organik pada pakan penelitian. Adanya perbedaan kecernaan bahan organik dalam penelitian ini diduga karena pada pakan perlakuan dilakukan fermentasi dengan mikroba yang berbeda sehingga spesies mikroba berbeda dalam mencerna bahan organik, sehingga menghasilkan kecernaan yang berbeda pula. Ternak kambing dan domba memiliki kemampuan yang sama dalam mencerna bahan organik. Tidak adanya perbedaan kecernaan bahan organik kambing dan domba karena kedua jenis ternak tersebut memiliki spesies mikroba yang sama dalam mencerna bahan organik, sehingga menghasilkan kecernaan yang sama (Elita,2006). Menurut Thalib et al. (2000) efektifitas mikroba sebagai pencerna substrat atau bahan pakan tidak saja ditentukan oleh komposisi populasi mikroba tetapi juga komposisi spesies mikroba itu sendiri.

Income Over Feed Cost (IOFC)

Analisis pendapatan didasarkan pada harga jual domba, harga beli bakalan serta biaya pakan selama pemeliharaan. Adapun besarnya keuntungan yang diperoleh selama masa penggemukan ditampilkan dalam Tabel 16.

Tabel 16. Rataan Perhitungan IOFC Domba selama Pemeliharaan.

Perlakuan (Rp/ekor/hari)Pendapatan (Rp/ekor/hari)Biaya Pakan (Rp/Ekor/hari)IOFC (Rp/Ekor/3 bln)IOFC R0 2.045,00 760,95 1.284,05 115.564,50 R1 3.903,33 826,59 3.076,74 276.906,60 R2 2.875,00 751,38 2.123,62 191.125,80 R3 2.458,33 788,55 1.669,78 150.280,20 Pendapatan yang diperoleh berdasarkan perhitungan Income Over Feed Cost adalah selisih antara pendapatan dengan total biaya pakan yang dikeluarkan. Dari Tabel 16 dapat dilihat bahwa IOFC yang tertinggi ada pada perlakuan R1 yaitu Rp 3.076,74 disusul R2 yaitu Rp 2.123,62 kemudian disusul lagi oleh R3 yaitu Rp 1.669,78 sedangkan yang terendah ada pada perlakuan R0 yaitu sebesar Rp 1.284,05. IOFC secara keseluruhan adalah sebesar Rp 2.038,55 selama penelitian. Hal ini dipengaruhi dari selisih pendapat yang dihasilkan (pendapatan bobot badan dikali dengan harga jual) dengan biaya pakan (total konsumsi dikali harga pakan) yang dikeluarkan selama penelitian. Hasil ini lebih besar dibandingkan IOFC Hadi (2006) yang menggunakan hasil sampingan tanaman kelapa sawit, padi, dan jagung dengan memakai EM4 untuk domba lokal jantan lepas sapih sebesar 45.308,78 selama tiga bulan. Pengaruh probiotik yang digunakan dalam penelitian Hadi (2006) dapat menaikan IOFC (melalui pertambahan bobot badan) cukup baik, di samping juga karena biaya pakan yang murah. Menurut Prawirokusumo (1990) Income Over Feed Cost dipengaruhi oleh besarnya pendapatan dan biaya pakan yang dikeluarkan selama penelitian.

Dokumen terkait