• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelaksanaan penelitian secara umum berjalan cukup baik. Pertumbuhan awal tanaman di beberapa lokasi relatif baik, kecuali di Taman Bogo Lampung dan Wonosari Gunung Kidul. Curah hujan yang cukup pada awal-awal pertumbuhan, khususnya di Sukabumi dan Bogor memberikan pengaruh positif terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman. Kondisi serupa tidak terjadi di Indramayu yang sejak awal ketersediaan airnya kurang. Data iklim lingkungan uji disajikan pada Lampiran 4. Kondisi tanah di Taman Bogo pada ulangan I kejenuhan Al agak tinggi sehingga tanaman kurang tumbuh secara optimal.

Daya tumbuh benih genotipe III3-4-6-1 di Wonosari kurang dari 50 % karena serangan semut dan uret sehingga harus dilakukan tanam ulang. Hama uret, mentul, dan belalang pemakan daun muncul di Wonosari, tetapi serangannya tidak sampai menyebabkan kerugian hasil yang signifikan. Pada fase vegetatif terjadi serangan blas daun (Pyricularia grisea pv. oryzae) di Sukabumi. Lokasi penelitian di Sukabumi merupakan daerah endemik blas daun. Serangan ini masih dapat ditanggulangi sehingga tidak menimbulkan kerugian yang besar.

Walang sangit (Leptocorisa oratorius) menyerang tanaman pada saat

muncul malai sampai bulir padi matang susu. Cairan bulir padi yang dihisap walang sangit menyebabkan gabah menjadi hampa dan berubah warna. Serangan hama ini terjadi di Bogor secara sporadis. Serangan yang lebih luas hama ini tidak terjadi, dan masih dapat ditanggulangi dengan penggunaan insektisida. Serangan blas leher malai juga terjadi di Bogor. Serangan ini hanya terjadi di ulangan 4 karena berdekatan dengan genotipe-genotipe lain padi gogo yang rentan terhadap blas leher malai (di luar genotipe yang diujikan).

Serangan burung terjadi pada fase generatif sampai menjelang panen. Beberapa lokasi seperti Sukabumi, Purworejo, dan Malang bahkan menunjukkan serangan burung sejak awal pengisian biji. Hal ini disebabkan karena ketidaksamaan waktu tanam dengan areal pertanaman sekitar dan umur genotipe yang diuji lebih genjah, sehingga serangan burung terkonsentrasi pada satu tempat

tertentu. Rata-rata kehilangan hasil akibat serangan burung di Malang mencapai 30 % untuk varietas berumur panjang.

Analisis Stabilitas Hasil

Sidik ragam pada karakter hasil GKG di delapan lokasi pengujian memperlihatkan bahwa seluruh lokasi menunjukkan adanya perbedaan respon yang nyata dan sangat nyata terhadap genotipe-genotipe yang diuji (Tabel 4). Tabel 4 Jumlah kuadrat, kuadrat tengah, dan nilai F genotipe pada karakter hasil

gabah kering giling di 8 lokasi

Lokasi db Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah Nilai F Indramayu 11 13.09 1.19 2.69 * Wonosari 11 22.81 2.07 3.51 ** Purworejo 11 103.52 9.41 10.81 ** Sukabumi 11 59.87 5.44 12.15 ** Bogor 11 60.57 5.51 7.00 ** Malang 11 31.69 2.88 13.57 ** Natar 11 36.99 3.36 18.33 ** Taman Bogo 11 25.87 2.35 2.23 *

Keterangan : * berpengaruh nyata pada taraf kesalahan 5 %, ** berpengaruh sangat nyata pada taraf kesalahan 1 %.

Sidik ragam gabungan dari delapan lokasi pengujian menunjukkan faktor lingkungan dan genotipe berpengaruh sangat nyata terhadap hasil gabah kering giling (Tabel 5). Interaksi antara genotipe dan lingkungannya (G × E) juga berpengaruh sangat nyata pada hasil gabah kering giling. Adanya interaksi tersebut akan menyebabkan setiap genotipe memberikan respon yang berbeda terhadap lingkungan dimana pengujian dilakukan, dengan kata lain interaksi genotipe dan lingkungan menyebabkan tidak konsistennya hasil pada setiap lingkungan. Menurut Kramer (1980), walaupun interaksi genotipe dan lingkungan menyebabkan tidak konsistennya hasil pada setiap lingkungan, namun pada kondisi tertentu tanaman memiliki kemampuan untuk meminimalkan pengaruh lingkungan yang tidak menguntungkan sekaligus memaksimalkan pengaruh lingkungan yang menguntungkan.

Suatu genotipe atau varietas kemungkinan tidak akan selalu menghasilkan hasil yang sama besar jika ditanam pada lingkungan yang berbeda. Hal ini disebabkan oleh adanya keragaman lingkungan makro geofisik yang sangat besar yang akan memberikan keragaman lingkungan tumbuh yang sangat besar pula (Satoto et al. 2009). Respon tersebut terutama ditunjukkan dengan adanya fluktuasi pada hasil gabah, sehingga menghasilkan pemeringkatan produktivitas yang berbeda dari genotipe-genotipe di setiap lokasi pengujian.

Tabel 5 Sidik ragam gabungan hasil gabah kering giling dari 8 lokasi pengujian

Sumber db Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah Nilai F Lokasi (E) 7 123.18 17.60 30.68** Ulangan/Lokasi 24 66.29 2.76 4.82 Genotipe (G) ** 11 123.48 11.23 19.57 G × E ** 77 230.93 3.00 5.23 Galat ** 264 151.41 0.57 Total 383 695.30 Keterangan : ** berpengaruh sangat nyata pada taraf kesalahan 1 %.

Fluktuasi hasil GKG genotipe-genotipe yang diuji serta varietas pembandingnya di delapan lokasi disajikan pada Gambar 3. Lokasi Purworejo, Sukabumi, dan Malang menunjukkan pola rata-rata produksi yang tinggi untuk seluruh genotipe, sedangkan Indramayu menunjukkan pola rata-rata produksi paling rendah. Setiap lokasi menunjukkan pola urutan peringkat genotipe yang berbeda. Hal ini yang digambarkan Cooper et al. (1996) sebagai interaksi G × E yang disebabkan oleh heterogenitas ragam di antara lingkungan dan kurangnya korelasi genetik di antara lingkungan.

Way Rarem, WI-44, dan IW-67 merupakan 3 galur dengan peringkat teratas di Indramayu dan Sukabumi. Di Wonosari 3 peringkat teratas adalah IW- 56, IW-67, dan Way Rarem. IW-67, IW-56, dan Batutegi menduduki 3 peringkat teratas di Purworejo. WI-44, GI-7, dan O18-b-1 menduduki 3 peringkat teratas di Bogor sedangkan di Malang 3 peringkat teratas adalah . WI-44, GI-7, dan Way Rarem. Di Natar galur dengan 3 peringkat teratas adalah Way Rarem, Batutegi, dan WI-44, sedangkan di Taman Bogo adalah Batutegi, I5-10-1-1, dan IG-19.

Gambar 3 Fluktuasi keragaan hasil gabah kering giling genotipe-genotipe padi gogo di 8 lokasi

Pola urutan peringkat genotipe yang berbeda di setiap lingkungan menunjukkan interaksi G × E yang bersifat kuantitatif. Interaksi G × E kuantitatif yang mengakibatkan perubahan dalam peringkat genotipe ini menyebabkan tingkat ketidakpastian yang tinggi dalam mengidentifikasi genotipe mana yang memiliki daya adaptasi luas. Pemilihan genotipe dilakukan berdasarkan performa genotipe-genotipe yang diuji dalam pengujian multi-lokasi, dan respon seleksi pada populasi target lingkungan yang diharapkan.

Kondisi tingkat ketidakpastian yang tinggi dalam mengidentifikasi genotipe dan tidak konsistennya hasil pada setiap lingkungan, berpotensi menyulitkan pemulia untuk memilih genotipe-genotipe mana yang akan dilepas. Kondisi tersebut menyebabkan perlunya pengujian lebih lanjut berupa analisis stabilitas untuk menentukan genotipe, galur, atau varietas yang lebih tepat ditanam di suatu lingkungan tertentu atau ditanam pada lingkungan yang lebih luas.

Rata-rata hasil GKG genotipe-genotipe yang diuji dari seluruh lokasi berkisar antara 2.95 ton/ha yaitu genotipe III3-4-6-1 sampai dengan 4.72 ton/ha yaitu genotipe WI-44 (Tabel 6). Varietas cek yang digunakan, yaitu Batutegi dan Way Rarem, rata-rata hasil GKG-nya masing-masing adalah 4.22 dan 4.62 ton/ha.

Rata-rata hasil GKG genotipe WI-44 mampu mengungguli genotipe dan varietas cek lain di dua lokasi pengujian, yaitu Bogor dan Malang. Secara signifikan, di Bogor dan Malang, genotipe ini berbeda nyata dengan varietas cek Way Rarem. Potensi hasil di dua lokasi ini adalah 5.40 ton/ha dam 5.98 ton/ha. Rata-rata hasil GKG genotipe IW-67 di Purworejo mencapai 6.94 ton/ha, mengungguli genotipe dan varietas cek lain. Genotipe IW-56 unggul di lokasi Wonosari dengan potensi hasil GKG 4.39 ton/ha. Rata-rata hasil GKG varietas Way Rarem lebih unggul dibanding genotipe-genotipe lain di tiga lokasi pengujian, yaitu Indramayu, Sukabumi, dan Lampung. Way Rarem unggul sangat signifikan di Sukabumi dengan potensi hasil GKG 6.95 ton/ha. Rata-rata hasil GKG varietas Batutegi lebih tinggi dibanding genotipe lain di Taman Bogo, tetapi uji DMRT tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata dengan WI-44 dan Way Rarem. Hal ini menguatkan bahwa kegiatan seleksi dalam perakitan varietas Way Rarem dan Batutegi dilakukan di Lampung.

Rata-rata kelebihan dan kekurangan hasil genotipe-genotipe yang diuji di delapan lokasi terhadap varietas Batutegi dan Way Rarem disajikan pada Gambar 4 dan 5. Rata-rata selisih hasil IW-67 dengan Batutegi adalah 0,177 ton/ha atau sekitar 4.03 %. Selisih hasil rata-rata antara WI-44 dengan Way Rarem adalah 0.1 ton/ha atau sekitar 2.17 % lebih tinggi dibanding Way Rarem. Selain WI-44 genotipe-genotipe lain yang diuji dalam penelitian ini tidak ada yang rata-rata hasil GKG-nya melebihi varietas Batutegi dan Way Rarem.

A B

Gambar 4 Rata-rata kelebihan hasil galur-galur yang diuji terhadap pembanding. Batutegi (A) dan Way Rarem (B)

Gambar 5 Persentase kelebihan dan kekurangan hasil genotipe-genotipe yang diuji terhadap varietas Batutegi dan Way Rarem

Analisis Stabilitas Francis-Kannenberg, Finlay-Wilkinson, dan Eberhart Russel Parameter pengujian stabilitas hasil gabah kering giling padi gogo hasil kultur antera dari delapan lokasi pengujian disajikan pada Tabel 7. Lin et al.

(1986) mengemukakan tiga konsep stabilitas. Suatu genotipe dikatakan stabil jika (1) keragaman dalam lingkungannya kecil; (2) respon terhadap lingkungannya sebanding dengan respon rata-rata seluruh genotipe yang diujikan; (3) kuadrat tengah sisa dari indeks regresi lingkungannya kecil.

Tabel 7 Parameter stabilitas hasil gabah kering giling padi gogo hasil kultur antera dari 8 lokasi pengujian

Genotipe Rata-rata (t/ha) SDi CVi bi 2 Ri

Yi pada Lingkungan 1 t/ha 2 Lingkungan Yi pada 6 t/ha III3-4-6-1 2.95 1.09 32.51 0.64* 1.04 0.31 1.15 4.35 I5-10-1-1 4.01 0.74 19.74 1.10tn 0.73 0.64 0.91 6.42 WI-44 4.72 1.02 22.17 1.52* 1.25 0.43 0.44 8.05 GI-7 3.52 1.21 31.16 0.77* 1.40 0.29 1.37 5.20 O18-b-1 3.13 1.01 29.55 0.76* 0.98 0.37 1.00 4.79 IW-67 4.39 1.00 26.56 1.31* 1.58 0.32 0.71 7.26 IG-19 3.30 1.23 28.85 0.84tn 1.05 0.37 0.94 5.13 IG-38 3.28 1.10 25.70 1.02tn 0.82 0.47 0.40 5.52 IW-56 3.82 1.38 35.92 1.18tn 2.19 0.20 0.49 6.40 B13-2e 3.79 1.04 19.71 0.78* 0.65 0.67 1.59 5.50 Batutegi 4.22 1.20 27.98 1.17tn 1.75 0.29 0.92 6.78 Way Rarem 4.62 1.15 24.42 0.90tn 1.47 0.35 2.08 6.59 Rata-rata 3.81 1.00 1.00 6.00

Keterangan : SDi=Standar Deviasi Genotipe; CVi=Koefisien Keragaman Genotipe; bi=Koefisien regresi genotipe, * berbeda nyata dengan 1, tn tidak berbeda nyata dengan 1; 2=parameter deviasi;,

Ri 2

Francis dan Kannenberg (1978) mengukur stabilitas menggunakan koefisien keragaman (CVi

Konsep stabilitas Francis dan Kannenberg didasarkan pada keragamaan genotipe yang timbul akibat respon genotipe tersebut terhadap pengaruh lingkungan pengujian. Konsep stabilitas ini bersifat statis dan hanya melihat respon masing-masing individu genotipe terhadap lingkungannya, tanpa ada pembandingan langsung antar genotipe. Becker (1981) dalam Lin et al. (1986) mengkategorikan konsep stabilitas ini sebagai stabilitas biologi yang berbeda jauh dengan konsep stabil secara agronomi. Konsep stabilitas ini juga sangat tergantung pada rentang wilayah dan lokasi pengujian. Jika rentang wilayah lokasi pengujian semakin luas, yang menyebabkan kondisi lokasi pengujian semakin beragam, maka konsep stabilitas ini menjadi tidak berarti.

) setiap genotipe yang diuji pada beberapa lingkungan. Semakin kecil nilai koefisien keragaman genotipenya, semakin stabil genotipe tersebut. Moedjiono dan Mejaya (1995) mengkategorikan nilai koefisien keragaman genotipe dalam empat kelompok, yaitu rendah ( < 25 %), agak rendah (25 -50 %), cukup tinggi (50 – 75 %), dan tinggi (75 – 100 %). Berdasarkan kategori tersebut maka genotipe-genotipe yang diuji dalam penelitian ini masuk dalam kategori rendah dan agak rendah. Genotipe I5-10-1-1, WI-44, B13-2e, dan Way Rarem memiliki koefisien keragaman genotipe rendah (Tabel 7) sehingga digolongkan stabil.

Stabil secara biologi ini juga tetap harus memperhatikan daya hasil dari genotipe yang diuji. Genotipe yang stabil tetapi rendah daya hasilnya menjadi tidak berarti untuk kepentingan produksi lebih lanjut. Dari genotipe-genotipe yang dikategorikan stabil secara biologi, genotipe I5-10-1-1, WI-44, dan Way Rarem memiliki daya hasil tinggi melebihi daya hasil rata-rata seluruh genotipe dari delapan lokasi pengujian. Jika dibandingkan dengan daya hasil rata-rata varietas pembandingnya, yaitu Batutegi dan Way Rarem, maka hanya genotipe WI-44 yang selalu terkategori stabil juga memiliki daya hasil paling tinggi diantara genotipe yang diuji.

Analisis stabilitas Finlay dan Wilkinson (1963) merupakan suatu metode pengukuran stabilitas yang didasarkan pada koefisien regresi (bi) antara hasil rata-

lingkungan pengujian. Analisis ini dapat menjelaskan fenomena stabilitas dan adaptabilitas suatu genotipe. Finlay dan Wilkinson mengelompokkan nilai bi

sebagai standar stabilitas dalam tiga kelompok, yaitu (1) stabilitas di bawah rata- rata, jika nilai bi > 1; (2) stabilitas setara rata-rata, jika nilai bi = 1; (3) stabilitas di

atas rata-rata, jika nilai bi

Berdasarkan kriteria tersebut, terdapat 6 genotipe yang memiliki nilai b

< 1.

i

yang tidak berbeda nyata dengan 1, yaitu I5-10-1-1, IG-19, IG-38, IW-56, Batutegi, dan Way Rarem (Tabel 7). Genotipe-genotipe ini dikategorikan sebagai genotipe yang stabil. Genotipe-genotipe yang memiliki stabilitas di bawah rata- rata adalah WI-44 dan IW-67 dengan nilai bi masing-masing 1.52 dan 1.31,

sedangkan genotipe-genotipe yang memiliki stabilitas di atas rata-rata adalah III3- 4-6-1, GI-7, O18-b-1, dan B13-2e dengan nilai bi

Stabilitas di bawah atau di atas rata-rata pada dasarnya menunjukkan pola adaptabilitas dari genotipe-genotipe tersebut. Genotipe-genotipe yang memiliki stabilitas di bawah rata-rata merupakan genotipe-genotipe yang peka terhadap perubahan lingkungan dan beradaptasi khusus pada lingkungan yang menguntungkan (favorable). Adapun genotipe-genotipe yang memiliki stabilitas di atas rata-rata umumnya mampu beradaptasi pada lingkungan yang marginal.

berturut-turut 0.64, 0.77, 0,76, dan 0.78.

Gambar 6 dan 7 menunjukkan pola linier produksi tiap-tiap genotipe pada indeks lingkungan tertentu. Pada lingkungan dengan indeks rata-rata hasil 1 ton/ha, genotipe-genotipe yang termasuk memiliki stabilitas di bawah rata-rata, yaitu WI-44 dan IW-67, hanya mampu berproduksi 0.44 ton/ha dan 0.71 ton/ha, sebaliknya pada lingkungan dengan indeks rata-rata hasil 6 ton/ha, genotipe tersebut mampu berproduksi melebihi indeks lingkungannya yaitu sebesar 8.05 ton/ha dan 7.26 ton/ha (Tabel 7).

Pada Gambar 6 terlihat bahwa grafik linier untuk genotipe WI-44 dan IW- 67 tergolong curam (bi > 1). Pada kisaran indeks lingkungan 0 – 2 ton/ha genotipe

WI-44 dan IW-67 memiliki potensi produksi yang lebih rendah dibanding indeks lingkungannya. Lonjakan yang signifikan mulai terjadi pada indeks lingkungan 3 ton/ha dan seterusnya. Pada indeks lingkungan tersebut dugaan potensi produksi genotipe WI-44 dan IW-67 selalu melebihi indeks lingkungannya. Hal ini

menunjukkan kepekaan kedua genotipe tersebut terhadap lingkungannya, pada lingkungan marginal produksinya di bawah rata-rata sedangkan pada lingkungan menguntungkan produksinya di atas rata-rata.

Gambar 6 Pola linier produksi genotipe-genotipe padi gogo yang tergolong tidak stabil berdasarkan metode Finlay & Wilkinson.

Genotipe-genotipe yang termasuk memiliki stabilitas di atas rata-rata yaitu III3-4-6-1, GI-7, O18-b-1, dan B13-2e, nilai perkiraan produksi pada indeks lingkungan 1 ton/ha berkisar antara 1 – 1.59 ton/ha, sedangkan pada indeks lingkungan 6 ton/ha berkisar antara 4.35 – 5.5 ton/ha (Tabel 7). Pada Gambar 5 terlihat bahwa grafik linier untuk genotipe III3-4-6-1, GI-7, O18-b-1, dan B13-2e tergolong landai (bi < 1). Pada kisaran indeks lingkungan 0 – 2 ton/ha genotipe

III3-4-6-1, GI-7, O18-b-1, dan B13-2e memiliki potensi produksi yang lebih tinggi dibanding indeks lingkungannya. Pada indeks lingkungan 3 ton/ha dan seterusnya. dugaan potensi produksi genotipe III3-4-6-1, GI-7, O18-b-1, dan B13- 2e selalu lebih rendah dari indeks lingkungannya. Hal tersebut menunjukkan kemampuan adaptabilitas dari genotipe-genotipe III3-4-6-1, GI-7, O18-b-1, dan B13-2e pada lingkungan yang marginal. Angka indeks lingkungan 3 ton/ha dalam penelitian ini dapat dijadikan standar titik kritis untuk menentukan marginal atau tidaknya suatu lingkungan.

bi> 1

Berbeda halnya dengan varietas-varietas yang stabil seperti I5-10-1-1, IG- 19, IG-38 dan IW-56 perkiraan kisaran produksinya hampir selalu mengikut i indeks rata-rata hasil lingkungannya (Gambar 7). Nilai bi = 1 pada genotipe-

genotipe yang tergolong stabil menunjukkan bahwa hampir tidak ada deviasi antara produksi dengan indeks rata-rata hasil lingkungannya. Genotipe I5-10-1-1 (bi = 1.1) pada indeks lingkungan 1 ton/ha nilai duga produksinya adalah 0.9

ton/ha, sedangkan pada indeks lingkungan 6 ton/ha nilai duga produksinya mencapai 6.42 ton/ha (Tabel 7).

Gambar 7 Pola linier produksi genotipe-genotipe padi gogo yang tergolong stabil berdasarkan metode Finlay & Wilkinson.

Konsep stabilitas Finlay dan Wilkinson didasarkan pada respon suatu genotipe terhadap lingkungannya, dan dibandingkan dengan respon rata-rata seluruh genotipe yang diujikan. Kondisi ini menyebabkan metode tersebut bersifat relatif dan tergantung pada set genotipe yang diujikan pada waktu yang sama. Ukuran stabilitas akan berubah jika set genotipe yang diujikan juga berubah. Penambahan, pengurangan, atau penggantian genotipe tertentu pada set pengujian, akan menyebabkan berubahnya ukuran stabilitas dari genotipe-genotipe yang diujikan tersebut.

Analisis stabilitas Eberhart dan Russell (1966) merupakan pengukuran stabilitas yang didasarkan kepada deviasi dari regresi nilai rata-rata genotipe pada indeks lingkungan. Suatu genotipe dikatakan stabil jika kuadrat tengah sisa dari garis regresinya adalah kecil. Parameter stabilitasnya dilihat dari nilai deviasi ( 2) dan koefisien determinasi (Ri) genotipe yang diuji. Model stabilitas suatu genotipe dikatakan baik jika memiliki nilai 2 kecil dan Ri

Berdasarkan parameter tersebut maka dari kedua-belas genotipe dan varietas yang diuji di delapan lokasi, dua genotipe yang memiliki nilai

besar (mendekati 1).

2 terkecil adalah B13-2e dan I5-10-1-1, yaitu 0.65 dan 0.73 (Tabel 7). Nilai koefisien determinasi (Ri

Analisis Stabilitas Model AMMI

) dari kedua genotipe tersebut juga merupakan nilai terbesar diantara genotipe dan varietas lainnya yaitu 0.67 dan 0.64. Hal ini mengindikasikan bahwa model regresi yang digunakan untuk memperkirakan kestabilan kedua genotipe tersebut lebih baik daripada model regresi genotipe- genotipe lainnya.

Analisis ragam gabungan untuk hasil gabah kering giling per ha menunjukkan bahwa pengaruh genotipe, lingkungan, dan interaksi keduanya (G × E) berbeda sangat nyata (Tabel 5). Kontribusi faktor genotipe terhadap keragaman performa hasil gabah kering giling sebesar 17.76 %. Lokasi memberikan kontribusi sebesar 17.72 % terhadap keragaman performa hasil gabah kering giling. Adapaun interaksi antara genotipe dan lokasi (G × E) memberikan kontribusi sebesar 33.21 % terhadap keragaman performa hasil gabah kering giling. Adanya pengaruh interaksi (G × E) yang nyata memungkinkan untuk dilakukannya analisis AMMI dan mempolakan interaksi genotipe dan lingkungannya dengan biplot. Analisis AMMI merupakan suatu teknik analisis data percobaan dua faktor perlakuan dengan pengaruh utama perlakuan dan lingkungan bersifat aditif, sedangkan pengaruh interaksi dimodelkan dengan model bilinear (Mattjik dan Sumertajaya 2006).

Hasil penguraian bilinear terhadap matriks pengaruh interaksi dari data produksi GKG padi gogo hasil kultur antera diperoleh nilai singular (vektor ciri) yaitu : 5.56, 3.17, 2.83, 2.20, 1.36, 1.16, 0.86, dan 0.00. Berdasarkan nilai singular tersebut, maka banyaknya komponen yang dapat dipertimbangkan untuk model

AMMI adalah komponen ke-1 sampai komponen ke-7. Kontribusi ragam yang dapat diterangkan oleh masing-masing komponen utama interaksi (KUI) berturut- turut adalah 53.53%, 17.44%, 13.89%, 8.35%, 3.18%, 2.33%, dan 1.27%. Analisis ragam AMMI dari 12 genotipe di 8 lokasi pengujian disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Analisis ragam AMMI genotipe-genotipe padi gogo hasil kultur antera di

8 lokasi pengujian Sumber

Keragaman Db JK KT F hit Nilai P

Kontribusi thd Keragaman (%) Kontribusi thd Keragaman G × E (%) Lokasi 7 123.18 17.60 30.68 0.000 17.72 Ulangan/Lokasi 24 66.29 2.76 4.82 0.000 9.53 Genotipe 11 123.48 11.23 19.57 0.000 17.76 Genotipe × Lokasi 77 230.93 3.00 5.23 0.000 33.21 IAKU1 17 123.63 7.27 12.68 0.000 53.53 IAKU2 15 40.28 2.69 4.68 0.000 17.44 IAKU3 13 32.09 2.47 4.30 0.000 13.89 IAKU4 11 19.29 1.75 3.06 0.001 8.35 IAKU5 9 7.34 0.82 1.42 0.178 3.18 IAKU6 7 5.37 0.77 1.34 0.232 2.33 IAKU7 5 2.93 0.59 1.02 0.406 1.27 Galat 264 151.41 0.57 21.78 Total 383 695.30 100 100

Keterangan : db= derajat bebas, JK=Jumlah Kuadrat, KT=kuadrat Tengah, Nilai P=Peluang, IAKU=Interaksi Analisis Komponen Utama.

Berdasarkan analisis ragam AMMI tersebut, diperoleh empat komponen utama interaksi yang nyata dengan nilai F sebesar 12.68, 4.68, 4.30, dan 3.06, serta nilai peluang nyata masing-masing sebesar 0.000, 0.000, 0.000, dan 0.001. Hal ini menunjukkan bahwa produksi GKG padi gogo hasil kultur antera dalam penelitian ini dapat diterangkan dengan model AMMI4. Mattjik (2005) menyatakan bahwa jumlah komponen utama yang terbaik adalah yang rataan akar kuadrat tengah sisa (Root Mean Square Predictive Different/RMSPD) dari data validasinya paling kecil. Nilai RMSPD AMMI4 menunjukkan nilai paling kecil yaitu 1.04. Nilai AMMI1 sampai dengan AMMI3 berturut-turut adalah 1.09, 1.06, dan 1.08, sedangkan nilai AMMI5 sampai dengan AMMI7 berturut-turut adalah 1.06, 1.05, dan 1.04. Hal ini memperkuat bahwa model AMMI4 adalah model terbaik untuk menjelaskan fenomena interaksi genotipe-genotipe padi gogo hasil kultur antera tersebut dengan lingkungannya.

Model AMMI4 mampu menerangkan keragaman pengaruh interaksi sebesar 93.22 %. Namun karena keterbatasan visualisasi grafik yang hanya mampu menampilkan grafik dua dimensi, maka model yang digambarkan dalam tesis ini adalah AMMI2. Biplot pengaruh interaksi model AMMI2 untuk produksi GKG genotipe-genotipe padi gogo hasil kultur antera disajikan pada Gambar 8.

Gambar 8 Biplot pengaruh interaksi model AMMI2 untuk produksi GKG genotipe-genotipe padi gogo hasil kultur antera

Model AMMI2 hanya dapat menerangkan keragaman pengaruh interaksi sebesar 70.98%, ini berarti keragaman yang tidak diterangkan oleh model sebesar 29.02%. Menurut Mattjik (2005), model AMMI akan dapat meningkatkan akurasi dugaan respon interaksi genotipe dan lingkungan jika hanya sedikit komponen AMMI saja yang nyata. Sedikitnya komponen yang nyata sama artinya dengan menyatakan bahwa jumlah kuadrat sisanya hanya berupa galat sehingga dengan menghilangkan galat ini berarti mengakuratkan dugaan respon interaksi genotipe dan lingkungan.

Pada Gambar 8, biplot antara komponen utama 1 dan komponen utama 2 dapat menjelaskan genotipe-genotipe mana saja yang stabil pada seluruh lokasi uji atau spesifik pada lokasi tertentu. Mattjik dan Sumertajaya (2006) menyatakan bahwa suatu galur atau genotipe dikatakan stabil apabila berada dekat dengan sumbu atau titik (0,0). Adapun galur atau genotipe yang berada jauh dari sumbu

tetapi berdekatan dengan garis lokasi, maka genotipe tersebut tergolong genotipe- genotipe yang spesifik lokasi. Berdasarkan hal tersebut maka genotipe-genotipe yang stabil pada seluruh lokasi pengujian adalah I5-10-1-1, WI-44, IG-38, dan Way Rarem. Genotipe IW-56 dan IW-67 spesifik untuk lokasi Purworejo, Batutegi spesifik untuk lokasi Natar, genotipe IG-19 spesifik untuk lokasi Malang, sedangkan genotipe O18-b-1 dan GI-7 spesifik untuk lokasi Bogor.

Rekapitulasi analisis stabilitas pada genotipe-genotipe yang diuji disajikan

dalam Tabel 9. Konsep stabilitas yang dikemukakan Lin et al. (1986)

menunjukkan bahwa metode Francis & Kannenberg dan Eberhart & Russell menunjukkan analisis stabilitas yang bersifat statis, dimana suatu genotipe hanya dapat dilihat stabil atau tidaknya saja. Metode Finlay & Wilkinson menunjukkan analisis stabilitas yang bersifat dinamis yang juga dapat menunjukan pola adaptabilitas suatu genotipe.

Tabel 9 Rekapitulasi analisis stabilitas pada genotipe-genotipe yang diuji

Genotipe Rata-rata (ton/ha) Analisis Stabilitas Francis - Kannenberg Finlay- Wilkinson Eberhart- Russell AMMI III3-4-6-1 2.95 - - - -

I5-10-1-1 4.01 Stabil Stabil Stabil Stabil

WI-44 4.72 Stabil - - Stabil

GI-7 3.52 - - - -

O18-b-1 3.13 - - - -

IW-67 4.39 - - - -

IG-19 3.30 - Stabil - -

IG-38 3.28 - Stabil - Stabil

IW-56 3.82 - Stabil - -

B13-2e 3.79 Stabil - Stabil -

Batutegi 4.22 - Stabil - -

Way Rarem 4.62 Stabil Stabil - Stabil

Rata-rata 3.81

Statis atau dinamisnya konsep stabilitas juga didasarkan pada metode pembandingan genotipe yang diuji. Stabilitas statis hanya membandingkan

Dokumen terkait